Menjauhi Dosa Gibah

Hubungan sosial dalam masyarakat tergambar dari komunikasi yang dibangun dalam pergaulan sehari-hari, khususnya di kalangan anak muda. Hal ini juga tidak terlepas di kalangan kaum tua. Namun sayang, disadari atau tidak, kita kadangkala terjerumus pada perbuatan dosa. Dosa itu dikenal dengan nama “gibah”.

Percakapan dan diskusi dalam hubungan sosial tersebut seakan terasa hambar jika tidak membicarakan tentang seseorang, baik dari segi positif maupun negatifnya. Orang yang dibicarakan tersebut umumnya tidak berada di tengah-tengah percakapan atau diskusi tersebut.

Kita pun menyadari bahwa sebagian besar topik pembicaraan itu terkadang berkaitan dengan aib seseorang yang semestinya kita jaga dan tidak dibicarakan. Meskipun kita tahu kebenaran tentang aib tersebut. Namun, rasa-rasanya godaan setan dan dorongan nafsu untuk tetap membicarakan aib orang lain seakan tak terbendung sehingga tanpa sadar kita telah melakukan perbuatan menggibahi saudara kita sendiri. Wal’iyadzu billah.

Gibah dalam definisi syariat

Perhatikan hadis berikut:

قيل يا رسولَ اللهِ ما الغيبةُ ؟ قال : ذِكرُك أخاك بما يكرهُ . قال : أرأيتَ إن كان فيه ما أقولُ ؟ قال : إن كان فيه ما تقولُ فقد اغتبتَه ، وإن لم يكنْ فيه ما تقولُ فقد بهَتَّه

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Ya Rasulullah, apakah gibah itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “(Gibah) adalah engkau menyebutkan perkara yang tidak disukai saudaramu.” Beliau ditanya, “Bagaimana pendapat engkau, jika yang aku ceritakan tentang saudaraku benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Jika yang engkau katakan benar ada padanya, maka sungguh engkau telah menggibahinya. Namun, jika tidak, maka engkau telah menebarkan kedustaan atasnya.” (HR. Muslim (2589), Abu Daud (4874),  At-Tirmidzi (1934), An-Nasa’i (11518), dan Ahmad (8985), disahihkan oleh Al-Albani, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Gibah bersumber dari prasangka. Padahal setiap pikiran memiliki keterbatasan. Hanya saja banyak manusia yang tidak menyadarinya sehingga cukup mudah berprasangka, menghakimi, bahkan menyimpulkan hal-hal yang berkaitan dengan sisi buruk orang lain. Wal’iyadzu billah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujarat: 11)

Saudaraku, renungkanlah! Meski aib orang yang kita bicarakan itu adalah nyata, selama hal itu merupakan perkara yang tidak disukai oleh orang yang kita bicarakan, maka tetap menjadi hal yang terlarang dalam agama. Karena itulah yang disebut dengan gibah. Sedangkan jika hal itu tidak benar adanya, maka kita telah berbuat kedustaan.

Prasangka adalah awal mula daripada perbuatan gibah karena prasangka membawa seseorang untuk mencari keburukan orang lain. Bayangkan, dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa perumpamaan orang yang menggunjing (menggibah) adalah bagaikan memakan daging saudaranya yang telah mati. Hal ini menunjukkan bahwa sungguh gibah adalah perbuatan yang menjijikkan yang seharusnya kita jauhi.

Agar terhindar dari perbuatan gibah

Pertama: Menjauh dari lingkungan yang buruk

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرَّجلُ على دِينِ خليلِه ، فلْينظُرْ أحدُكم مَن يُخالِلْ

“Seseorang di atas agama sahabatnya. Hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa yang hendak ia jadikan sahabatnya.”  (HR. Abu Dawud, lihat Kitab Shahih Abu Dawud hal. 4833, dihasankan oleh Al-Albani)

Sebenarnya, kita telah mengetahui karakteristik setiap majelis yang sering kita hadiri, topik apa yang sering dibicarakan, dan bagaimana sifat teman-teman kita yang notabene menyampaikan pikiran dan pendapatnya dalam majelis tersebut. Kemudian, kita pun menyadari bahwa kadangkala percakapan dan diskusi dalam majelis tersebut tidak bisa lepas dari perbuatan gibah.

Oleh karenanya, apabila kita telah mengetahui hal tersebut, itu adalah pertanda bahwa majelis tersebut tidak baik untuk kita sehingga kita bisa mengantisipasi diri untuk tidak terlibat dalam perbuatan gibah. Namun, alangkah lebih baik apabila kita mampu mewarnai majelis tersebut dengan mengalihkan setiap pembicaraan kepada hal-hal yang lebih bermanfaat seperti mendiskusikan tentang rencana mengikuti kajian Islam, ide-ide baru tentang bisnis, serta motivasi untuk saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran sehingga majelis tersebut menjadi majelis yang memberikan manfaat bagi diri kita dan para sahabat kita.

Kedua: Menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ من حُسْنِ إسلامِ المرءِ تَركَهُ ما لا يَعْنِيهِ

“Sesungguhnya tanda kebaikan seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi dan selainnya, lihat kitab Tarikh Baghdad karya Al-Khatib Al-Baghdadi nomor 12/64, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat adalah hal yang sangat mulia. Di era digital ini, kita mudah hanyut dalam hal-hal yang bahkan tidak bermanfaat sama sekali bagi diri kita, baik terkait urusan dunia maupun akhirat. Utamanya berkaitan dengan pergaulan dalam suatu majelis baik dengan satu, dua, atau banyak manusia. Lagi-lagi, kita lebih mengetahui apakah dengan melibatkan diri dalam majelis tersebut akan mendatangkan manfaat bagi diri kita atau tidak?

Saudaraku, seorang muslim yang bertekad untuk menjalani hari-hari dengan penuh manfaat hendaknya membuat rencana detail apa yang akan ia lakukan. Pada hari itu, pekan itu, tahun itu, dan bahkan apa yang akan ia ikhtiarkan untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Seorang muslim adalah visioner. Ia mengetahui apa yang harus ia lakukan dengan berbagai manfaat bagi dirinya dan bagi umat. Dengan rencana detail yang telah kita persiapkan, kita menjadi lebih sibuk dengan muhasabah diri. Dan dengannya kita terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat bagi diri kita khususnya dari perbuatan gibah yang justru mendatangkan dosa.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,

فطُوبى لمن شغله عيبُه عن عيوب النَّاس

Maka, berbahagialah bagi orang yang menyibukkan dirinya (dengan mengintrospeksi diri) dari aibnya sendiri daripada ia sibuk mencari aib orang lain.” (Lihat Kitab Miftah Darussaadah wa Mansyur Wilayatil Alam wal Iradh karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 344)

Menjaga aib orang lain = Menutupi aib diri sendiri

Saudaraku, sadarilah bahwa kita sebagai hamba (yang penuh dengan kekurangan, kesalahan, kekhilafan, dan dosa) adalah manusia yang selamanya bergantung pada kasih sayang Allah Ta’ala. Di antara ketergantungan kita tersebut adalah keinginan agar aib-aib dan dosa-dosa kita ditutupi oleh Allah Ta’ala agar kita dipandang mulia di hadapan manusia.

Ingat! Sekali Allah Ta’ala membuka aib kita, maka sungguh bisa jadi kita akan jauh lebih hina di mata manusia daripada orang-orang yang selama ini kita sebut-sebut aibnya. Oleh karenanya, janganlah kita menjadi penyebab terbukanya aib diri sendiri dengan menyebut-nyebut aib saudara kita sendiri. Allah Ta’ala Mahatahu siapa hamba-hamba-Nya yang lebih hina atau lebih bertakwa di hadapan-Nya.

Muhammad ibnu Wasi’ rahimahullah berkata,

وْ كَانَ لِلذُّنُوبِ رِيحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ أَنْ يَجْلِسَ إِلَيَّ

“Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Lihat Kitab Muhasabatu An-Nafsi li Ibni Abi Dunya karya Ibnu Abi Dunya, hal. 82)

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84901-menjauhi-dosa-gibah.html

Kenali 10 Pemicu Ghibah yang Perlu Anda Waspadai

Mengapa dorongan ingin menggunjing dan membicarakan keburukan sesama muncul dalam kehidupan sehari-hari secara kolegial? Seringkali bahkan dilakukan secara sengaja.

Jawaban atas pertanyaan ‘mengapa’ inilah yang hendak diungkap Imam Zainuddin al-Juba’i al-Amili as-Syami ( w 965 H) dalam karyanya yang cukup langka dan fenomenal berjudul Kasyf ar- Raibah ‘An Ahkam al-Ghibah. Ada sepuluh hal yang bisa memicu perbuatan menggunjing keburukan orang lain yaitu:

Pertama, Kemarahan dalam diri pelaku ghibah terhadap si obyek. Amarah terhadap seseorang mendorong pelaku membeberkan aib yang bersangkutan. Terlebih jika ruh keagamaan dan sikap //wara’//hilang dari mereka yang tengah dirundung amarah.

Jika amarah tersebut tak tersalurkan atau ternetralisir dengan permintaan maaf, atau jiwa besar mengikhlaskan, yang akan terjadi selanjutnya adalah, amarah itu mengendap dan semakin mengeras dalam batinnya.

Amarah itu menjelma menjadi dendam kesumat, selamanya akan mengingat dan menyebutkan keburukan si fulan. Berhati-hatilah, kata al-Juba’I, amarah dan dendam pemicu dominan ghibah.

Kedua, solidaritas yang salah tempat. Berkumpul dalam perkumpulan, yang mungkin, tujuan awalnya baik, ternyata di tengah-tengah perbincangan tersebut, pelaku ghibah mengawali melontarkan isu, gosip, dan kabar burung tentang seseorang, lalu mengajak kita, benar-benar ikut dalam pusaran ghibah.

Kerap kali, dalam kondisi demikian, kita menyadari larangan berghibah, akan tetapi karena menjaga perasaan dan solidaritas salah tempat tadi, akhirnya, kita turut menjerumuskan diri, bersama-sama si pelaku berghibah.

Ketiga, mendegradasi kredibilitas si obyek ghibah. Ini bisa jadi muncul karena misal faktor persaingan tak sehat, atau untuk tujuan mereduksi kredibilitas seseorang dalam hal persaksian. Pelaku dalam kondisi semacam ini, melakukan ‘serangan’ lebih awal untuk menjatuhkan ‘lawannya’ itu di depan publik.

Keempat, cuci tangan atas perbuatan yang sama-sama pernah dilakukan dengan si obyek ghibah.

Ia ingin mencitrakan seolah-olah bersih dan sepenuhnya tak terlibat, padahal fakta tidak demikian. Pelaku ghibah akan menguak aib yang sebenarnya, ia juga melakukannya. Ia berbohong untuk dirinya sendiri, namun ia jujur menguliti keburukan orang lain.K

Kelima, keinginan mengangkat status pelaku dan menjatuhkan martabat si obyek dengan merendahkan dan atau menyebarkan kekurangan intelektualitasnya misal, kepada orang lain.

Seperti tudingan bahwa si fulan itu bodoh, tak pandai bicara, dan minim wawasan. Tujuannya hanya satu, meninggikan derajat dan nilai si pelaku di mata orang.

Keenam, dengki. Ia tak ingin saudaranya mendapat nikmat. Jika publik memuji ‘lawannya’, kedengkian si pelaku, akan membakar hatinya dan menggerakkannya melakukan ghibah.

Bagaimana agar publik berhenti memuji ‘saingannya’ itu. Caranya sangat tak santun dan tak beretika. Ia akan membuka aib orang tersebut di depan khalayak. Harapannya, rangkaian pujian demi pujian yang selama ini tertuju pada si obyek akan terhenti.

Ketujuh, kekurangan dan aib seseorang sebagai bahan candaan. Sadar atau tidak, candaan tak pantas kita terhadap si fulan di belakangnya, bermuatan ghibah, meski sekadar ingin mencairkan suasana, memancing gelak tawa. namun, ketahuilah hal itu sama sekali tak pantas.

Kedelapan, keinginan merendahkan dan menghina si fulan. Menurut al-Juba’i, sekalipun pembeberan keburukan itu dilakukan di hadapannya, dan ia mengetahui dan mendengar, itu pun, bisa dikategorikan sebagai ghibah, sebab ia tak menutupi aib, malah membuka dan menjadikannya bahan ejekan.

Kesembilan, menurut al-Juba’i, sangatlah tipis dan halus muatannya. Ini terkadang terjadi di kalangan orang-orang terdidik. Seperti perkataan demikian,”Kasihan si fulan saya ikut prihatin.”

Tak ada yang salah dengan kalimat ini, yang keliru ialah, biasanya kalimat ini disusul dengan membeberkan kekurangan-kekurangan si fulan yang melatarbelakangi mengapa si pelaku ghibah prihatin.

Kesepuluh, kemurkaan karena Allah SWT. Kok bisa? Ya, ini lagi-lagi kerap menghinggapi mereka yang terdidik dan kalangan khusus seperti ulama. Seseorang bisa saja marah, karena si fulan bermaksiat, melanggar larangan-larangan-Nya, namun, secara spontan kerap, ia justru membuka aib si fulan tersebut di hadapan orang lain.

KHAZANAH REPUBLIKA

Gibah yang Islami

TIDAK ada gibah yang Islami. Sebagaimana tidak ada zina yang Islami, mabuk yang Islami, mencuri yang Islami atau durhaka yang Islami.

Membicarakan aib saudara, teman atau rekan memang sebuah dosa. Apalagi bila tujuannya untuk sekadar menjelekkan atau menyebarkan ke publik. Sehingga semakin banyak orang yang tahu kelemahan dan keburukan.

Kalau pun ada tujuan mulia dari membicarakan keburukan saudara kita, maka wilayahnya sangat sempit dan terbatas. Tidak semua orang punya hak untuk melakukannya. Dan tidak semua orang boleh diperlakukan seperti itu. Juga tidak setiap saat dibenarkan melakukannya.

Kalau sudah demikian, maka judul besar bukan lagi gibah, tetapi sesuatu dengan nama yang lain. Misalnya, istilah muhasabah atau evaluasi. Yang sejenisnya adalah kriitk membangun yang disertai saran yang konkret dan logis. Yang dekat dengan itu adalah mengingatkan atau menegur kesalahan.

Namun semua itu ada adab-adabnya. Tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Contoh sederhana, bila saudara kita salah dalam membaca Alquran, cukup satu orang saja yang mengoreksinya secara komunikatif, konstruktif dan jelas. Tidak perlu 10 orang secara koor berteriak-teriak, “Hey bacaanmu salah, dasar goblok.”

Demikian juga ketika kita mengevaluasi teman kita yang melakukan kesalahan, jangan lakukan di depan umum yang hanya akan menghina dan merendahkan harga dirinya. Tidak perlu semua orang memborbardir dengan penilaian, cukup satu orang saja yang benar-benar berwenang dan bijak. Yang tidak berkepentingan tidak perlu tahu dan tidak perlu ikut-ikutan sok menjadi hakim.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Wallahu a’lam bishshawab. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2339621/gibah-yang-islami#sthash.lOlgeww0.dpuf

Bahaya Lisan

Nabi Muhammad SAW suatu ketika menjelaskan ikhwal makna ghibah, “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

“Engkau mengabarkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya,” sabdanya. Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika yang aku katakan itu memang terdapat pada saudaraku?”

Kemudian Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka kamu telah menggunjingnya (melakukan ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya, maka kamu telah berdusta atasnya.” (HR Muslim).

Lidah memang tidak bertulang. Namun, banyak terjadi lisan seseorang berdampak buruk terhadap bangunan sosial kemasyarakatan. Ucapan seseorang dapat mengakibatkan kebahagiaan suami istri hancur, harmoni sosial cerai-berai, dan merenggangkan ikatan emosional antarsesama.

Ucapan, sebagai kerja lisan, kerap kita gunakan untuk menyampaikan informasi kepada sesama. Namun, kita acap kali tak berhati-hati menggunakan lisan sehingga informasi itu menghancurkan bangunan sosial.

Rasulullah SAW mengancam orang yang selalu mengadu domba untuk menanamkan kebencian dalam hati seseorang, melalui sabdanya, “Tidak akan masuk surga al-qattat (tukang adu domba).” (HR Bukhari).

Menjaga lisan dari ucapan memfitnah, menggunjing, dan mengadu domba merupakan salah satu wujud dari menjaga hati. Lisan kita merupakan representasi hati dan pikiran. Ketika hati dan pikiran kita buruk, ucapan yang keluar juga berwujud keburukan. Ketika hati dan pikiran kita baik, ucapan kita pun akan berbentuk kebaikan juga.

Karena itulah, kita semestinya menjaga lisan agar mengucapkan kebaikan, tidak berbicara sesuatu yang tak bermanfaat, pandai menjaga rahasia, dan tidak tergesa-gesa ketika hendak berbicara. Qul khairaan aw liyashmut–ucapkanlah kebaikan (dan kalau tidak bisa), maka hendaklah berdiam diri.

Mukmin yang saleh dan salehah ialah yang pandai menjaga kehormatan saudaranya, meskipun pada kenyataannya, mereka itu pernah melakukan perbuatan buruk. Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa membela (dari ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menghindarkan api neraka dari wajahnya.” (HR Ahmad).

Menjaga lisan mudah diucapkan, tetapi sangat sulit dilakukan. Realitas masyarakat kita telah akrab dengan budaya gosip, fitnah, gunjingan (ghibah), mengadu domba (namimah), dan menyebarkan berita bohong. Pekerjaan lisan di atas, lahir dari orang yang berhati dan berpikiran buruk. Sebab, di dalam jiwanya tertanam kebencian. Bila kebencian sudah mengerangkeng jiwa, pendengaran, penglihatan, dan perasaan pada seseorang pun akan tertutup dari kebaikan. Setiap yang dilakukannya adalah salah!

Karena itu, jauhilah kebencian karena kebencian itu lahir dari prasangka-prasangka yang buruk tentang seseorang. Jangan pernah membuka aib dan kesalahan seseorang karena bila melakukannya, kita dianalogikan sebagai “pemakan daging saudaranya”. Bertakwalah kepada Allah, lalu bertobatlah bila kita pernah menyebarkan fitnah, menggunjing, dan mengadu domba dalam hidup ini.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujurat [49] 12). Wallahu a’lam.

 

sumber: Republka Online

 

Simak juga:7 CaraMenghindari Ghibah

Melalui Medsos, Gibah Bisa Berjamaah

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia  (MUI), KH Cholil Nafis mengatakan, ghibah saat ini tidak lagi harus bertatap muka. Namun, sarana gibah berubah dari manual kepada digital. “Kini dengan media sosial orang bisa bergibah secara berjamaah,” ujar Cholil, kepada Republika.co.id Selasa (7/6).

Perkembangan media sosial memang tidak bisa dibendung. Mayoritas masyarakat pun pengguna media sosial. Untuk itu dia mengatakan, diperlukan cara agar tidak bergibah melalui media sosial. Menurut Cholil, menyibukkan diri dengan ibadah dan ibadah sosial merupakan salah satu cara menghindari gibah.

Sehingga gibah tidak merusak ibadah puasa. Sebah, gibah dapat membatalkan pahala puasa. “Walaupun itu tidak membatalkan sahnya puasa,” kata Cholil.

Cholil menambahkan, Rasulullah SAW pernah bersabda tentang ghibah. Menurut Cholil sabda Rasulullah berbunyi “jika tak mampu menghindari kata kotor (seperti gibah) dan perbuatan buruk maka Allah tidak butuh untuk meninggalkan makan dan minum,” tutur Cholil.

 

sumber: Republika Online

Gibah Bisa Datang dari Medsos

Gibah atau membicarakan keburukan orang lain saat ini mudah ditemui, terutama gibah di berbagai media sosial (medsos), baik Twitter, Facebook, Path, maupun Instagram.

Masyarakat akan mudah melakukan gibah melalui medsos karena informasi yang didapatkan. Sehingga, tidak mengherankan jika gibah akan menyebar begitu cepatnya.

Pakar komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung Deddy Mulyana mengatakan, perlu pengelolaan informasi yang baik agar masyarakat memilah informasi yang didapatkan. Informasi mana yang bermanfaat untuk disampaikan atau yang perlu untuk disimpan.

“Jadi, untuk menjadi bangsa, masyarakat yang berbudaya maju sebenarnya perlu melakukan pengelolaan informasi untuk memilah-milah,” kata Deddy, kepada Republika.co.id, Selasa (7/6).

Deddy memberikan alasan mengapa perlu untuk mengelola informasi secara baik. Menurut Deddy, informasi yang didapatkan kemudian dijadikan pijakan pekerjaan sehari-hari.

Informasi yang semakin berkembang saat ini, tuturnya, sulit membedakan antara yang benar dan tidak sesuai dengan fakta. Sayangnya, dengan kondisi demikian, orang cenderung langsung menyebarkan informasi yang diperoleh tanpa dipilah.

Deddy berharap masyarakat dapat menyebarkan informasi yang benar dan bermanfaat. Sedangkan, yang benar tetapi tidak bermanfaat lebih baik disimpan saja.

Kondisi seperti ini, menurut Deddy, tidak bisa hanya diserahkan penanganannya kepada pemerintah. Deddy mengatakan, semua harus dimulai dari diri sendiri. “Pendidikan harus datang dari keluarga itu awal pendidikan paling dini,” ujarnya. Deddy menegaskan, harus ada upaya luar biasa dari seluruh lapisan masyarakat, baik keluarga, komunitas maupun sekolah.

 

sumber:Republika Online

Lebih Keji dari Zina tapi Paling Sering Dilakukan

ZINA merupakan dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah Ta’ala. Ini sudah jelas tertera dalam Alquran yang suci. Meskipun ancamannya sudah pasti neraka, masih banyak orang yang melakukan perbuatan terkutuk ini.

Tetapi tahukah bahwa ada suatu perbuatan yang lebih keji dan hina daripada melakukan zina sebanyak 30 kali? Yaitu gibah atau menggunjing. Perbuatan ini tanpa sadar sering kita lakukan khusunya kaum wanita, meskipun tak jarang kaum laki-laki juga sering melakukan. Imam Al Ghazali menegaskan dalam kitab Bidayah Al Hidayah dan menjelaskan bahwa: “Dosa menggunjing adalah lebih kejam daripada dosa karena berbuat zina yang dilakukan sebanyak 30 kali dan mendapatkan jaminan neraka. Wal Iyaadzu Billah”

Berbicara tentang keburukan orang lain memang sekilas terlihat sulit dilepaskan dari kebiasaan. Seolah-olah ini merupakan pembahasan yang menarik. Apalagi jika yang digunjingkan melewati mereka, maka hati-hati para penggunjing akan bertambah puas untuk merendahkan. Imam Nawawi rahimahullah kemudian memperjelas lagi definisi Gibah ini dalam komentarnya:

“Gibah adalah menceritakan tentang seseorang dengan sesuatu yang dibencinya baik badannya, agamanya, perkara dunianya, dirinya, fisiknya, perilakunya, hartanya, orang tuanya, anaknya, istrinya, pembantunya, hamba sahayanya, serbannya (penutup kepalanya), pakaiannya, gerak langkahnya, gerak geriknya, raut mukanya yang berseri atau masam, atau hal lain yang berkaitan dengan penyebutan seseorang baik dengan lafaz (verbal), tanda, ataupun isyarat dengan menggunakan mata, tangan ataupun kepala.” (Al-Adzkaar: 336).

Penting untuk diketahui bahwa menggunjing merupakan perbuatan yang amat dibenci oleh Allah Ta’ala. Melakukan ini sama saja dengan memakan daging saudaranya yang telah mati. Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman. Jauhilah kebanyakan prasangka. Sesungguhnya kebanyakan parasangka itu adalah dusta dan jangan kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah kamu suka jika salah seorang di antara kamu makan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Hujurat:12).

Anas radhiyallahuanhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda,

“Tatkala saya diangkat ke langit, saya melewati kumpulan orang yang memiliki kuku terbuat dari tembaga, dengannya mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka sendiri, lantas sayapun bertanya pada Jibril alaihissalam: Siapakah mereka itu wahai Jibril? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka memakan daging manusia (menggunjing), dan suka menghina harga diri mereka”. (HR Ahmad 3/224, dan Abu Daud : 4878, sahih).

Orang yang menggunjing akan ditanya tentang kebenaran gunjingan tersebut di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis: “Barangsiapa yang menggunjing orang lain dengan sesuatu yang orang tersebut tidak lakukan, dengan tujuan untuk mengolok-oloknya, maka Allah akan memenjarakannya dalam neraka jahannam sehingga ia mendatangkan kebenaran/bukti perkataannya tersebut”. (HR Thabarani 3/420),

Walaupun hadis ini dinilai daif oleh Hafidz Al-Haitsami dan Syaikh Al-Albani dari segi sanad, namun maknanya benar, dan ia pasti akan diazab sebagaimana dalam banyak hadis sahih lainnya. Meskipun akhlak kita sudah baik, alangkah lebih bagus jika kita menebalkan keimanan dan menambah amalan yang jelas-jelas akan membawa kita menuju surgaNya. Tanyakan pada diri sendiri, apakah kita ini sudah lebih baik daripada orang lain? [radarislam]

 

sumber:Mozaik.Inilahcom