Menuju Kesempurnaan Ibadah Salat

Menuju Kesempurnaan Ibadah Salat (Bag. 9): Syarat Sah Salat

Baca pembahasan sebelumnya Hukum dan Kedudukan Salat

Apabila hendak melaksanakan suatu kewajiban atau perintah Allah Ta’ala, tentu kita wajib mengetahui apa saja syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum melaksanakan kewajiban tersebut. Hal ini agar ibadah tidak menjadi sia-sia atau tidak sah disebabkan satu atau dua syarat yang belum terpenuhi.

Misalnya: tanpa wudu, maka salat tidak akan sah; karena wudu merupakan syarat sah salat. Sebagaimana makna “syarat” secara istilah menurut Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah adalah sesuatu yang apabila tidak ada, hal itu merupakan sebab yang mengharuskan tidak adanya perkara yang lain. (1) Oleh karenanya, syarat salat menjadi unsur yang sangat penting untuk kita pelajari sebagai ikhtiar kita untuk mendapatkan kesempurnaan ibadah salat yang menjadi cita-cita semua orang beriman.

Syarat-Syarat Salat

Syekh Sa’id bin ‘Ali Wahf al-Qahthani dalam kitabnya “Shalatul Mu’min” mengemukakan bahwa terdapat 7 (tujuh) syarat sah salat, di antaranya:

1. Islam

Orang yang diwajibkan untuk melaksanakan salat adalah seorang muslim. Karena amalan orang kafir adalah tertolak. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

مَا كَانَ لِلۡمُشۡرِكِينَ أَن يَعۡمُرُواْ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ شَٰهِدِينَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِم بِٱلۡكُفۡرِۚ أُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ وَفِي ٱلنَّارِ هُمۡ خَٰلِدُونَ

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah, padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri adalah orang kafir. Mereka itu sia-sia amal-amalnya, dan mereka kekal di dalam neraka.” (QS. At-Taubah: 17)

2. Berakal/Mumayyiz

Orang yang tidak waras atau gila tidak mendapatkan beban syariat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

Yang terbebas dari hukum itu ada tiga golongan: (1) orang tidak waras yang hilang akalnya hingga waras kembali; (2) orang yang tidur hingga dia bangun, dan (3) anak (kecil) hingga dia bermimpi (mimpi basah).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan lainnya). (2)

Berkaitan dengan taklif anak kecil, batas umur mulai diberi pendidikan tentang wajibnya salat adalah 7 (tujuh) tahun sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan salat ketika mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (karena enggan mengerjakan salat) pada saat mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

3. Suci dari Hadas dan Najis

Sebagaimana telah dibahas dalam artikel sebelumnya, hadas terbagi dua yaitu: hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil dihilangkan dengan cara berwudu dan hadas besar dengan cara mandi wajib.

Terhadap najis yang berasal dari kotoran, dapat dihilangkan dengan istinja’ (bersuci dengan air) dan istijmar (bersuci dengan benda-benda seperti batu dan lainnya). Selengkapnya tentang najis dan cara menyucikannya dapat merujuk pada artikel sebelumnya. (Baca disini).

4. Menutup Aurat

Batas aurat laki-laki adalah dari pusar sampai lutut. Adapun wanita, seluruh anggota badannya adalah aurat yang wajib ditutupi ketika salat kecuali wajahnya. (3)

5. Masuk Waktu Salat

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)

Berikut penjelasan ringkas terkait dengan waktu-waktu salat wajib:

  1. Salat Zuhur, yaitu mulai dari ketika matahari zawal (condong ke arah barat) hingga ketika bayangan segala benda telah sama dengan panjangnya. (4)
  2. Salat Asar, yaitu mulai sejak selesainya waktu zuhur (ketika bayangan segala benda telah sama dengan panjangnya) hingga ketika bayangan segala benda telah sama dengan dua kali panjangnya atau matahari menguning. (5)
  3. Salat Magrib, yaitu mulai sejak matahari terbenam hingga terbenamnya syafaq (cahaya merah). (6)
  4. Salat Isya, yaitu mulai dari terbenamnya syafaq sampai pertengahan malam. Adapun waktu darurat adalah sampai terbit fajar. (7)
  5. Salat Subuh, yaitu mulai dari terbit fajar shadiq putih (fajar kedua) hingga berakhirnya gelap malam karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  biasa mengerjakannya pada waktu gelap ketika malam masih pekat. Adapun waktu (diperbolehkannya) salat subuh sampai terbit matahari. (8)

6. Menghadap Kiblat

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Sungguh kami melihat wajahmu (sering) menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya.”  (QS. Al-Baqarah : 144)

Oleh karenanya, menghadap ke arah Baitul Haram merupakan syarat sah salat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Jika Engkau hendak mengerjakan salat, sempurnakanlah wudu, kemudian menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah!” (Muttafaqun ‘alaih)

Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah secara langsung, wajib berupaya semaksimal mungkin menghadap persis ke arahnya, meskipun antara dirinya dengan Ka’bah terhalang sesuatu atau berada jauh darinya. Namun, jika melenceng sedikit (tidak terlalu banyak), hal itu tidak membatalkan salat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا بَيْنَ اَلْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Antara timur dan barat adalah arah kiblat.” (Muttafaqun ‘Alaih)*

Begitu pula fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah tentang hadis di atas,

“Hadis ini sahih. Ini memperkuat tidak perlunya takalluf (menyulitkan diri) dalam masalah arah kiblat. Bahwasanya kapanpun seseorang salat menghadap ke arah kiblat, namun agak sedikit melenceng darinya, seperti ini atau seperti itu, maka hal itu tidak mengapa. Dengan demikian, arah di mana dia menghadap, adalah kiblat.” (9)

Penting pula untuk kita ketahui bahwa syarat menghadap kiblat menjadi gugur dengan beberapa kondisi berikut:

  1. Apabila seseorang telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari arah kiblat, kemudian ia melaksanakan salat ke arah kiblat yang ia yakini. Namun, ternyata arah kiblat tersebut salah. (10)
  2. Orang yang tidak mampu. Seperti orang buta yang tidak mengetahui arah kiblat, orang sakit yang tidak dapat bergerak ke arah kiblat dan tidak ada yang bisa membantunya. Begitu pula orang yang ditawan dan diikat. (11)
  3. Ketika dalam keadaan takut akan keselamatan diri dan harta benda. Maka orang yang dalam keadaan demikian diperbolehkan menghadap kiblat sesuai kemampuannya. (12)
  4. Salat sunah di atas kendaraan. (13)

7. Niat

Niat merupakan kemauan keras untuk melakukan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Niat terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:

  1. Niat yang ditujukan untuk Zat yang memerintahkan, yaitu ikhlas tulus karena Allah Ta’ala.
  2. Niat yang ditujukan untuk perbuatan, sebagai pembeda antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, sehingga seseorang bisa berniat untuk melakukan ibadah tertentu.

Kedua bentuk niat tersebut menjadi tekad seseorang dalam hatinya. Ketika seseorang hendak melakukan sesuatu berdasarkan apa yang diniatkannya, maka hal itu cukup baginya tanpa harus mengucapkan niat tersebut karena pengucapan niat merupakan ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (14)

Tujuh syarat sah shalat di atas kiranya menjadi pedoman yang sangat penting bagi kita sebagai seorang muslim dalam melaksanakan ibadah yang pertama kali dihisab pada hari akhir kelak ini. Sebelum melaksanakan ibadah salat, kita wajib memperhatikan satu demi satu syarat sah tersebut sehingga ikhtiar kita dalam menggapai salat yang sah dan sempurna telah terlaksana. Selebihnya kita serahkan kepada Allah Ta’ala yang dengan keadilan-Nya menilai kualitas ibadah kita. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan inayah-Nya kepada kita. Wallahu a’lam.

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Catatan Kaki:

(1) Lihat Kitab Asy-Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’ karya Ibnu ‘Utsaimin (2: 85).

(2) Dinilai sahih oleh al-Albani dalam Kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (2: 4) dari hadis ‘Aisyah, ‘Ali dan Abu Qatadah radhiallahu ’anhum.

(3) Lihat Kitab Fataawaa Ibni Taimiyah (21: 116).

(4) Lihat Kitab “Al-Masaajid” Bab “Auqaatu as-Shalawat al-Khamsi” Karya Muslim no. 612.

(5) Ibid.

(6) Ibid.

(7) Ibid.

(8) Lihat Kitab Majmuu’ Fataawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah (10: 385).

(9) Lihat Kitab Shalatul Mu’min karya Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani hlm. 231

(10) Hadis Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu tentang penduduk Quba’ yang menghadap ke arah Syam, lalu mereka diberitahu bahwa Allah telah memerintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram. Mereka pun segera menghadap Ka’bah sedang mereka dalam salat. (HR. Bukhari dan Muslim)

(11) Lihat QS. At-Tagabun: 16.

(12) Lihat QS. Al-Baqarah: 239.

(13) Lihat Kitab At-Taqshiir, Bab Shalatut Tathawwu ‘ala Dawaabi wa Haitsuma Tawajjahat karya Muslim no. 1093

(14) Lihat Kitab Shalatul Mu’min karya Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, hlm. 235.

* Ditinjau dari posisi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah. (ed.)

Sumber: https://muslim.or.id/68210-menuju-kesempurnaan-ibadah-shalat-bag-9-syarat-sah-salat.html