Menyoal Zakat Profesi, Pantaskah Disebut Bid’ah?

Isu zakat profesi kembali menghangat akhir-akhir ini. Ada dua pendapat yang mengemuka. Pertama, pendapat yang meniadakanzakat profesi karena dianggap membuat sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua, pendapat yang menyetujui zakat profesi tetapi tidak setuju dengan cara perhitungannya yang di-qiyas-kan dengan zakat pertanian. Tentu perbedaan pendapat ini perlu disikapi dengan bijak dan dengan akhlakul karimah, selama ada pijakan dalil-dalil yang bersumber dari Alquran maupun hadis-hadis Rasulullah SAW.

Munculnya argumentasi tentang zakat profesi atau penghasilan oleh para ulama kontemporer pada dasarnya merujuk kepada dalil-dalil umum yang terdapat dalam Alquran dan hadis. Lalu ditambah lagi dengan beberapa riwayat para sahabat Rasulullah SAW yang diikuti oleh praktik para pemimpin Islam pascakepemimpinan Rasulullah SAW (M Taufik Ridlo, 2007).

Untuk itu, ijtihad terkait hal ini tidak dilakukan secara sembarangan apalagi dengan niat untuk membuat-buat sesuatu yang baru. Perlu disadari zakat profesi ini adalah bagian dari zakat mal dan bukan sesuatu yang terpisah dari kelompok zakat maal. Hanya sumbernya saja yang berasal dari profesi seseorang.

Yusuf al-Qaradhawi menyebut harta yang diperoleh karena profesi ini dengan istilah al-maal al-mustafad. Istilah ini mampu mengakomodasi dinamika perkembangan kegiatan ekonomi manusia yang sangat cepat. Alhasil, membuatnya banyak ditemukan berbagai jenis usaha dan pekerjaan yang tidak ditemukan pada zaman-zaman sebelumnya, termasuk pada zaman Nabi SAW.

Di antara dalil-dalil yang bersifat umum dan menjadi referensi adalah QS al-Baqarah: 267; QS adz-Dzariyat: 19; QS At Taubah : 103; dan QS Al Hadid: 7. Ayat-ayat ini menjadi landasan pengenaan zakat atas segala jenis harta yang diperoleh manusia. Tentunya, selama cara memperoleh harta tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan syariah. Demikian pula dengan sejumlah hadis Rasulullah SAW yang bersifat umum. Antara lain sabda Nabi: “Bila suatu kaum enggan mengeluarkan zakat maka Allah akan menguji mereka dengan kekeringan dan kelaparan.” (HR Imam Thabrani).

Kemudian lagi ditambah pendapat dan praktik sejumlah sahabat Rasul yang memperkuat adanya kewajiban zakat atas al-maal al-mustafad ini. Dalam kitab yang sangat terkenal, Al-Amwal, Abu Ubaid menyebutkan sejumlah riwayat sahih dari para sahabat terkait masalah zakat ini.

Antara lain adalah pendapat Ibnu Abbas ra, yang dikenal sebagai sahabat Rasul yang dianggap paling ahli tafsir. Abu Ubaid menyatakan, Ibnu Abbas ra ketika menanggapi seseorang yang mendapatkan manfaat harta dari pekerjaannya maka ia mengatakan bahwa “hendaknya orang tersebut mengeluarkan zakatnya pada hari ia mendapatkannya”.

Masih dalam kitab yang sama, Abu Ubaid meriwayatkan dari Hubairah bin Barim, di mana ia berkata, “Ibnu Mas’ud ra memberikan kami upah dalam kantong-kantong kecil berisi uang, kemudian mengambil zakat darinya”. Ia pun berkata, Ibnu Mas’ud mengeluarkan zakat dari pendapatan mereka dari setiap 1.000 sebesar 25. Artinya, Ibnu Mas’ud ra mengenakan zakat atas penghasilan sebesar 2,5 persen di saat seseorang menerima penghasilannya.

Imam Malik dalam kitabnya yang sangat masyhur, Al-Muwatha, meriwayatkan dari Ibnu Syihab Az Zuhri, di mana ia berkata, “Orang pertama yang mengambil zakat dari pendapatan (yang diberikan dari Baytul Maal) adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra.”

Pada saat itu keputusan Mu’awiyah adalah dalam kapasitasnya sebagai khalifah, pemimpin kaum muslimin, yang mana pada masa beliau berkuasa masih banyak sahabat-sahabat Radiyallaahu ‘anhum yang masih hidup. Kalau keputusan Mu’awiyah ini dianggap sebagai bid’ah yang menyesatkan, tentunya para sahabat akan menentangnya.

Menurut Yusuf al-Qardhawi, bukti para sahabat yang masih hidup akan menentang Mu’awiyah kalau ia menyalahi sunah adalah ketika Mu’awiyah mengambil zakat fitrah setengah sha’ biji gandum yang menggantikan satu sha’ dari yang lainnya. Para sahabat pun mengingkari hal tersebut. Akan tetapi, terkait zakat penghasilan ini, tidak ada sahabat yang mengingkari keputusan Mu’awiyah. Mu’awiyah pun, sebagaimana diketahui, termasuk sahabat Rasul yang sangat paham akan sunah Nabi.

Demikian pula dengan khalifah yang sangat legendaris, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang sering disebut Khalifah Rosyidah kelima. Beliau juga memungut zakat atas gaji dan hadiah, termasuk harta-harta yang pernah disita pemerintah yang dikembalikan pada pemiliknya. Tentu tidak mungkin apa yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz tersebut dianggap sebagai tindakan melanggar ajaran agama sementara beliau termasuk hamba Allah yang saleh dan pemimpin yang adil.

 

Melihat argumentasi di atas maka kewajiban zakat profesi atau zakat penghasilan memiliki landasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Ada ruang dalam ibadah zakat yang memungkinkan konsep zakat dapat dikembangkan, yaitu pada sisi al-amwal az-zakawiyyah (harta-harta yang termasuk objek zakat), termasuk harta hasil aktivitas keprofesian seseorang. Yang berbeda adalah tata cara perhitungan zakatnya, tergantung metode qiyasnya.

Qiyas Zakat Profesi
Ketika berbicara bagaimana cara perhitungan zakat penghasilan/profesi ini maka di sinilah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mensyaratkan haul, ada yang tidak. Pihak yang mensyaratkan haul antara lain karena hadis-hadis yang menegaskan bahwa tidak ada kewajiban zakat atas harta sebelum berlalu satu tahun (haul). Selain itu, ada yang meng-qiyas-kan dengan zakat emas/perak atau perdagangan, sehingga ada ketentuan haul secara otomatis.

Dalam konteks ini, Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqh Zakat-nya telah membahas panjang lebar mengenai derajat hadis yang mensyaratkan adanya haul (kepemilikan satu tahun) sebagai syarat wajib zakat mal. Menurut beliau, hadis-hadis terkait syarat haul itu lemah dari sisi sanadnya.

Ini terlihat dari hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari Ali ra (titik lemah sanad pada Haris dan Ashim), hadis yang diriwayatkan Daruquthni dan Baihaqi dari Ibnu Umar ra (titik lemah sanad pada Ismail bin Iyasy), hadis riwayat Daruquthni dari Anas bin Malik ra (titik lemah sanad pada Hasan bin Siyah), maupun hadis riwayat Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Majah, dan Uqaili dari Siti Aisyah ra (titik lemah sanad pada Harisha bin Abur Rijal).

Untuk itu, dalam mengenakan zakat profesi/penghasilan, tentunya tidak harus menunggu sampai satu tahun penuh, melainkan dapat dikenakan pada saat menerima. M Taufik Ridlo dalam bukunya Zakat Profesi dan Perusahaan (2007), mengutip Yusuf al-Qaradhawi, menyatakan bahwa mensyaratkan adanya haul pada al-maal al-mustafad sama dengan membiarkan para pegawai dan profesional kelas atas untuk menghabiskan hartanya secara berlebihan sehingga mereka tidak terkena zakat. Lain halnya kalau mereka menginfakkan hartanya sehingga hartanya kurang dari nishab. Sesuatu yang langka hari ini.

 

Selanjutnya, menurut Taufik Ridlo (2007), Yusuf al-Qaradhawi, Muhammad Al-Ghazali, dan Syauqi Ismail Syahhatah menyatakan makna al-kasb dalam QS 2: 267, menurut para ahli tafsir, adalah upah atau pendapatan selain hasil berdagang dan jual beli. Upah tersebut adalah pendapatan dari hasil bekerja secara murni (persis karyawan hari ini).

Aspek kerja lebih dominan daripada ra’sul maal (modal pokok) sehingga pendapatan yang dihasilkan adalah murni dari hasil kerja, sama seperti pertanian. Selain itu, menurut Syahhatah, pada ayat ini kata al-kasb dipakai beriringan dengan “wa mimmaa akhrojnaa lakum minal ardh (dan apa-apa yang dikeluarkan bumi)” sehingga dimungkinkan adanya qiyas zakat profesi dengan zakat pertanian.

Dengan adanya pendapat-pendapat seperti ini, tentunya wajar jika terdapat perbedaan tentang tata cara menghitung zakat profesi. Ada yang memilih tata cara perhitungan zakat profesi ini sama dengan zakat uang/emas/perak sehingga ketentuan nisab, kadar, dan haulnya sama, dan ada yang memilih tata cara perhitungan yang sama dengan zakat pertanian dengan argumentasi di atas, dengan ketentuan nisab dan kadar yang sama (tanpa haul).

Ada pula yang mengombinasikan keduanya, seperti yang disampaikan KH Didin Hafidhuddin dalam bukunya, Zakat dalam Perekonomian Modern (2002), di mana nisabnya mengikuti zakat pertanian (tanpa haul) dan kadarnya mengikuti zakat emas perak (2,5 persen). Metode yang digunakan adalah qiyas syabah. Praktik di Indonesia banyak yang mengikuti cara ini.

Namun terpenting, cara apa pun yang digunakan, kita tidak boleh ragu dengan adanya kewajiban zakat atas penghasilan kita selama harta yang kita peroleh dari profesi kita ini telah memenuhi persyaratan. Apa yang sudah dipraktikkan di berbagai lembaga, seperti bank syariah dan perusahaan lainnya, dalam memotong gaji karyawannya secara langsung, insya Allah memiliki argumentasi dan dalil yang kuat.

Dengan adanya UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat, di mana penghasilan termasuk harta objek zakat, maka mudah-mudahan ketentuan ini dapat menjadi solusi atas perbedaan pendapat yang ada. Wallaahu a’lam.        

 

Oleh: Irfan Syauqi Beik
(Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB)

sumber:Republika Online