Mubahalah

Mubahalah

Allah memerintahkan Nabi memutuskan peradilan yang adil dalam menangani kasus perselisihan, salah satunya melalui media mubahalah

KATA MUBAHALAH sedang ramai digunakan banyak orang hari-hari ini. Mubahalah adalah doa kepa da Allah dengan sungguh-sungguh yang dilakukan masing-masing pihak yang ber selisih pendapat, dengan harapan kiranya Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta.

Mubahalah merupakan salah satu cara yang dikemukakan dalam Al-Quran untuk meredam keraguan orang-orang nonmuslim tentang kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ. (Jejak-jejak Islam: Kamus Sejarah dan Peradaban Islam dari Masa ke Masa, Penerbit Bunyan).Ayat Al-Quran tentang mubahalah ini turun berkaitan dengan kedatangan delegasi orang-orang Kristen Najran, yang terdiri atas para cendekiawan, ke Madinah.

Mereka kemudian terlibat dalam perdebatan dengan Nabi Muhammad ﷺ Mereka kalah, kemudian Allah menurunkan ayat yang dikenal dengan mubahalah.

فَمَنۡ حَآجَّكَ فِيۡهِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ الۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡا نَدۡعُ اَبۡنَآءَنَا وَاَبۡنَآءَكُمۡ وَنِسَآءَنَا وَنِسَآءَكُمۡ وَاَنۡفُسَنَا وَاَنۡفُسَكُمۡ ثُمَّ نَبۡتَهِلۡ فَنَجۡعَل لَّعۡنَتَ اللّٰهِ عَلَى الۡكٰذِبِيۡنَ

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS: Ali Imrån [3]: 61)

Delegasi dari Najran itu menerima mubahalah tersebut yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Namun, pada hari yang telah ditentukan, kala mubahalah itu akan dilaksanakan dan delegasi dari Najran itu melihat kedatangan Nabi Muhammad ﷺ dan rombongannya, mereka pun mendekati beliau dan meminta pembatalan mubahalah tersebut.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya berpendapat, ketika mereka (kaum Nashrani Najran) dihadapkan kepada suatu kenyataan, maka sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Demi Allah, jika kalian mau ber-mubahalah dengan Nabi ini, niscaya tiada seorang pun dari kalian yang matanya masih berkedip (mati semua).” Maka sejak saat itu akhirnya mereka lebih cenderung untuk perdamaian, dan mereka bersedia membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan hina. Maka Nabi ﷺ menetapkan jizyah atas mereka dan mengutus kepada mereka Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai amin (sekretarisnya).

Sama dengan makna ayat ini atau mendekatinya adalah firman Allah SWT. kepada Nabi-Nya yang memerintahkan agar mengatakan kepada orang-orang musyrik, yaitu:

قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلالَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَنُ مَدًّا

Katakanlah, “Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya.” (Maryam: 75).

Yakni barang siapa yang berada dalam kesesatan dari kalangan kami dan kalian, semoga Allah menambahkan kepadanya apa yang sudah ada baginya dan memperpanjang serta menangguhkannya, seperti yang akan diterangkan pada tempatnya nanti, insya Allah.

Adapun mengenai orang yang menafsirkan firman-Nya, “Jika kalian memang benar,” yakni dalam pengakuan kalian itu, maka inginilah kematian itu. Mereka yang menafsirkan demikian tidak menyinggung masalah mubahalah, seperti yang telah ditetapkan oleh segolongan ulama ahli kalam (ahli tauhid) dan lain-lainnya.

Ibnu Jarir cenderung kepada pendapat ini sesudah mendekati pendapat yang pertama (yakni yang menyinggung masalah mubahalah). Karena sesungguhnya ia telah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat berikut: Katakanlah, “Jika kalian (beranggapan bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain …” (Al-Baqarah: 94)

Bahwa ayat ini termasuk salah satu ayat yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya sebagai hujah terhadap orang-orang Yahudi yang berada di tempat dekat tempat hijrah beliau ﷺ, sekaligus mengungkap kedustaan para rahib dan para pendeta mereka.

Demikianlah Allah memerintahkan pada Nabi-Nya untuk memutuskan peradilan yang adil dalam menangani kasus yang terjadi antara beliau dan mereka, yakni kasus perselisihan. Sebagaimana Allah memerintahkan kepada beliau agar mengajak golongan yang lain (yakni kaum Nasrani) —di saat mereka bertentangan dengannya dalam masalah Isa ibnu Maryam a.s. dan mereka berdebat dengan beliau mengenainya— untuk melerai hal ini melalui mubahalah antara beliau dan mereka.*

HIDAYATULLAH