https://hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2023/01/03/242757/muhasabah-awal-tahun-2.html

Muhasabah Awal Tahun

Manusia yang melewati waktu hingga umurnya berlalu, namun ia tak memperoleh hal-hal yang bermanfaat (berbuah pahala), merugilah dia, inilah muhasabah awal tahun

WAKTU begitu cepat berlalu. Tahun 2022 sudah berakhir. Dan kinni tahun baru 2023 mulai menapak.

Sadar atau tidak, hadirnya tahun baru sesungguhnya menandakan satu hal: jatah umur kita di dunia ini yang terus berkurang. Terkait dengan itu, tentu menarik saat Allah SWT berfirman:                      

والعصر. ان الانسان لفي خسر

“Demi waktu. Sungguh manusia benar-benar ada dalam kerugian…” (QS: al-‘Ashr [103]: 1-2).

Dalam ayat di atas, setelah sebelumnya Allah SWT bersumpah dengan waktu, Dia menyatakan dengan tegas bahwa sesungguhnya manusia benar-benar merugi. Mengapa merugi? Mengapa Allah SWT menyatakan demikian?

Sebagaimana kita ketahui, kerugian hakikatnya adalah berkurangnya atau bahkan lenyapnya modal (Lihat: Ibn Manzhur, Lisaan al-‘Arab, II/1156; al-Fayumi, Mishbaah al-Muniir, I/78).

Jika rugi—sebagaimana juga dirasakan oleh para pedagang/pebisnis—adalah berkurangnya modal, lalu apa modal manusia? Apanya yang berkurang dari manusia?

Modal manusia tidak lain adalah waktu (umur) yang ia miliki. Inilah yang terus berkurang.

Meski lahiriahnya bertambah, umur manusia hakikatnya terus berkurang setiap saat. Sebabnya, Allah SWT telah menjatah umur setiap manusia. Tentu hanya Dia Yang Mahatahu berapa jatah umur yang Dia berikan kepada setiap manusia di dunia ini. Yang pasti, kata Baginda Rasulullah ﷺ:

أعمار أمتي ما بين الستين إلى السبعين وأقلهم من تجاوز ذلك

Umur umatku ada di antara 60-70 tahun. Hanya sedikit dari mereka yang melampaui batas umur tersebut (Ibnu Majah).

Tentu, manusia mengalami kerugian saat menghabiskan umurnya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Salah seorang ulama salaf berkomentar tentang QS al-‘Ashr di atas, “Aku mempelajari pengertian surat ini dari salah seorang penjual es yang berkeliling di pasar.”

Sebagaimana diketahui, penjual es yang berkeliling di pasar, laku atau tidak jualan esnya, tetap esnya akan habis atau terbuang. Jika laku dan esnya habis, ia akan beruntung. Jika tidak laku, esnya akan meleleh/mencair dan terbuang sia-sia. Ia pun tentu merugi.

Karena itu, kata Imam ar-Razi, manusia yang melewati waktu hingga umurnya berlalu, namun ia tak memperoleh hal-hal yang bermanfaat (berbuah pahala), maka rugilah dia.” (Lihat: Ar-Razi, Mafaatih al-Ghayb, XXIII/85).

Kerugian manusia lebih besar lagi saat ia menjual akhiratnya demi memperoleh dunia. Menjual hal-hal yang abadi dengan yang fana. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Abu Hayan, “Siapa saja yang menjual akhiratnya demi memperoleh dunia, ia berada dalam puncak kerugian.” (Lihat: Abu Hayan, Bahr al-Muhiith, VIII/509).

Namun demikian, tidak semua manusia merugi karena modal umurnya yang terus berkurang. Ada manusia yang tetap beruntung meski modal umurnya habis. Siapa gerangan? Tidak lain, sebagaimana dalam lanjutan ayat tersebut: …kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (QS: al-‘Ashr [103]: 3).

Merekalah orang-orang yang modal umurnya terus berkurang tetapi dalam keadaan tetap beriman, banyak beramal shalih dan terus saling menasihati (baca: berdakwah).

Karena itu agar kita beruntung dan tidak merugi di akhirat,  yuk kita manfaatkan sisa waktu atau jatah umur kita di dunia ini untuk meraih sebanyak mungkin pahala dan menjauhi sebanyak mungkin perkara yang sia-sia apalagi sampai mendatangkan banyak dosa.

Jangan sampai kita menyesal saat modal umur kita habis dan kematian datang menghampiri kita. Saat demikian tentu tak ada lagi gunanya penyesalan, juga angan-angan.

Karena itu benar apa yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahulLaah:

أن الموتى كلهم يتمنون حياة ساعة ليتوبوا فيها، ويجتهدوا في الطاعة، ولا سبيل لهم إلى ذلك

“Sungguh orang-orang yang mati banyak yang berangan-angan bisa hidup kembali meski sesaat agar bisa bertobat dan bersungguh-sungguh melakukan ketaatan, padahal hal demikian adalah mustahil bagi mereka.” (Ibnu Rajab, Lathaa’if al-Ma’aarif, hlm. 727). Wa maa tawfîqii illaa bilLaah ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.*/Arief B. Iskandar, khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

HIDAYATULLAH