Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya

Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ ، وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ ، يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ ، وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya, dan seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, mencegah hilangnya pekerjaan dan harta saudaranya, serta menjaga segala urusan saudaranya ketika tak berada di tempat [1]” (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Al-Albani).

Cermin fisik dan maknawi [2]

Cermin secara fisik adalah sebuah alat yang memantulkan gambar sesuatu dengan sempurna, besar dan bentuknya sama, serta sesuai dengan aslinya.

Apabila seseorang yang bercermin itu berwajah bersih, maka cermin akan memantulkan gambarnya dengan wajah bersih pula, namun apabila ia berwajah penuh kotoran, maka cermin akan memantulkan gambarnya dengan wajah penuh kotoran pula, sesuai dengan kenyataannya, baik orang yang bercermin itu suka atau tidak.

Normalnya, orang yang bercermin lalu melihat ada kotoran pada wajahnya, ia akan membersihkan wajahnya dari kotorannya, bukan malah marah kepada cermin dan menyalahkan cermin yang memantulkan gambar kotoran wajahnya, apalagi sampai memecahkannya.

Itulah “cermin fisik” yang menampakkan kotoran fisik manusia dan dapat dilihat oleh mata manusia.

Namun, ada kotoran pada diri manusia yang tidak bisa ditampilkan oleh cermin fisik; yakni, kotoran maknawi yang berbentuk dosa dan sifat aib.

Seorang manusia untuk bisa melihat kotoran dosa dan sifat aibnya membutuhkan “cermin maknawi” yang menginformasikan dengan jujur tentang dosa dan kesalahannya.

Dan cermin maknawi itu ada pada diri seorang mukmin, saat menasihati saudaranya yang beriman.

Hanya saja di zaman ini, jarang ditemukan orang yang benar-benar mau dengan ikhlas dan sesuai dengan syariat Islam, menasihati saudaranya dengan menunjukkan kesalahannya, kecuali biasanya jika ia sedang bermusuhan atau sedang marah atau hasad/iri, barulah ia menyebutkan keburukan saudaranya, itupun didorong karena rasa jengkel [3].

Ada ungkapan indah,

الصديق مَن صَدَقَك لا مَن صدَّقك

“Teman baik itu orang yang jujur padamu dan bukan yang selalu membenarkanmu.”

Maksudnya, teman yang baik adalah sosok yang jujur dalam menasehatimu sehingga hal itu membantumu untuk taat kepada Allah, dan bukan sosok yang selalu berbasa-basi membenarkan seluruh tindak tandukmu meski sesungguhnya engkau terjatuh dalam suatu kesalahan, dengan dalih agar tidak merenggangkan pertemanan denganmu, padahal justru sikap tersebut menjerumuskanmu dalam jurang Neraka.

Antara cermin dan mukmin

Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam) menuntut hubungan antara muslim yang satu dengan yang lainnya dibangun atas saling mencintai karena Allah, diwujudkan dalam berbagai ucapan maupun perbuatan yang mempererat persaudaraan seiman dan menghindari segala hal yang merusak ukhuwwah Islamiyyah.

Hadis yang agung di atas, hakikatnya menggambarkan salah satu tuntutan persaudaraan Islam (ukhuwwah Islamiyyah), yaitu saling menasihati dan saling menginginkan kebaikan untuk saudaranya seiman serta saling menghindarkan segala keburukan darinya, karena seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya.

Saudaraku seiman, oleh karena itu engkau adalah cermin bagi saudaramu, maka perhatikanlah keadaan saudaramu dan saudaramu cermin bagimu yang memperhatikan keadaanmu [4].

Jika anda melihat kebaikan atau keburukan saudaramu, maka tugasmu adalah memantulkan “foto” saudaramu sebagai bentuk nasihat untuk saudaramu dan sebagai tuntutan ukhuwwah Islamiyyah, persaudaraan seiman.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lainnya.”

Maksudnya adalah seorang yang beriman, karena kecintaannya kepada saudaranya karena Allah, maka ia begitu perhatian kepada saudaranya, setiap kali melihat kesalahan pada diri saudaranya, maka ia memandangnya dengan pandangan cinta dan kasih sayang yang tulus ikhlas, ia tidak tinggal diam, akan tetapi ia bersegera menasihatinya empat mata dan mengingatkannya dengan lembut dan hikmah, tidak kasar agar saudaranya tersebut mudah meneriman nasihatnya dan segera memperbaikinya.

Demikian pula, dia pun tidak tinggal diam apabila dia melihat ada bahaya mengintai saudaranya, baik berupa teman buruk, dai yang menyeru kepada Jahannam, bahaya duniawi maupun ancaman bahaya lainnya, maka ia segera memperingatkan saudaranya dengan lembut dan hikmah, tidak kasar, karena cintanya lillahi ta’ala sebagai tuntutan persaudaraannya seiman dan ingin saudaranya masuk surga bersama dirinya [5].

Sebagaimana juga, apabila ia melihat kebaikan pada saudaranya, maka iapun menyebutkannya dalam bentuk mendorongnya, menyemangatinya, menguatkan keimanannya, dan menolongnya sehingga saudaranya riang, semangat, ringan dan terbantu melakukan kebaikan tersebut [6].

[Bersambung, insyaallah]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id