Nabi Muhammad, Kaum Marginal dan Teguran Allah

Nabi Muhammad, Kaum Marginal dan Teguran Allah

Berikut kisah tentang Nabi Muhammad, kaum marginal dan teguran Allah.

Syahdan, suatu hari nabi tengah asyik bergumul dan bercengkrama dengan kalangan rakyat jelata. Sang pembawa pesan sedang mengajarkan Islam pada Bilal al Habsyi, Khubab bin Arrit, Abdullah bi Mas’ud, Shuaib al Rumi, dan Ammar bin Yasir. Peristiwa ini terjadi ketika Nabi masih berada di Mekah.

Saat tengah asyik mengobrol, tetiba datang sekelompok bangsawan dari Quraisy. Mereka orang terpandang di suku Quraisy. Punya jabatan. Banyak harta. Berasal dari keturunan terpandang. Golongan Quraisy yang bertamu itu adalah Arqa bin Habis at Tamimi, Uyainah bin Hisnh al Fazari.

“Kami adalah orang terhormat dari kalangan suku Quraisy. Kami  berasal dari kaum terpandang. Apabila sempat ada yang melihat kami bertemu Anda, kami tak ingin suku kami melihat kami duduk bersama orang seperti Bilal, suhaib dan kawan-kawan, “ celetuk pemimpin Quraisy itu, seperti dicatat Profesor KH. Musthafa Yaqub dalam Islam Masa Kini.

Pembesar Quraisy enggan duduk bersama para kaum marginal di Kota Mekkah itu. Meraka menganggap diri mereka mulia. Tak sepantasnya sepanggung dengan kaum marginal dari kalangan rakyat jelata. Turun muruah dan harga. Begitu pikir dan pinta mereka.

Lantas apa yang diperbuat Nabi? Beginda pun menyetujui permintaan mereka. Nabi mengamini permintaan konyol itu. Sang pembawa pesan mengiyakan pinta pembesar dan bangsawan Quraisy tersebut. Pasalnya, Nabi berharap langkah ini akan membawa angin segar dalam dakwahnya. Ia berkeinginan supaya tokoh ini masuk Islam.

Terenyuh sudah hati kaum marginal Mekah itu. Sedari tadi para sahabat itu mengintai dan mendengar dialog sang Nabi dengan bangsawan. Sadar diri, tanpa diminta Nabi mereka bak undur-undur surut ke belakangan. Kemudian duduk di sudut.

“Kaum Marginal nan terpinggirkan tak pantas satu majelis dan satu tempat duduk dengan kelas elit dari bangsawan Quraisy,” begitu nian pikir Bilal dan sahabat lain.

Tak puas diri, kaum Quraisy masih meragukan komitmen Muhammad. Mereka mengaharapkan lebih, bukan sekadar lisan. Tinta hitam di atas putih. Itulah yang mereka tagih. Bukan sebatas retorika semata-mata.

Mereka ingin ada perjanjian tertulis; “Bila bangsawan Quraisy datang dan duduk satu majelis dengan Nabi, maka kelompok marginal Bilal dan kawan-kawanya harus pergi dan menyinggir” begitu perjanjiannya.

Terkait perjanjian tertulis ini, apa sikap Nabi? Apakah ia mengamini juga? Atau mengabaikan perjanjian rasis ini? Ternyata Nabi  tak mengambil sikap lain. Ia mengiyakan perjanjian itu. Baginda lantas meminta Ali bin Abi Thalib untuk menulis butir demi butir perjanjian itu. Resmi sudah perjanjian itu.

Tak berselang lama—setelah perjanjian itu usai diresmikan—, tiba-tiba Allah menurunkan Q.S an Na’am. Menurut Profesor KH. Ali Musthafa Yaqub, ayat ini tutun sebagai teguran dan kritik atas peristiwa pengusiran kaum marginal, Bilal dan kawan-kawan. Ayat itu berbunyi;

وَلَا تَطْرُدِ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِم مِّن شَىْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِم مِّن شَىْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Wa lā tarudillażīna yad’na rabbahum bil-gadāti wal-‘asyiyyi yurīdna waj-hah, mā ‘alaika min isābihim min syaiiw wa mā min </em><em>ḥ</em><em>isābika 'alaihim min syaiin fa tarudahum fa takna minaālimīn

Arti: Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim)

Tersentak Baginda menerima ayat ini. Wahyu ini berupa teguran terhadap sikap Nabi Muhammad. Lantas beliau segera menyeru Ali bin Abi Thalib. “Berikan naskah perjanjian itu kepada ku,” perintah Nabi kepada Ali. Naskah itu pun seketika beliau robek-robek lalu dibuang ke tempat sampah.

Di pojok Bilal dan sahabat yang lain masih tengah duduk. Nabi menjumpai mereka. Ia temui satu demi satu sahabat tadi. Sahabat yang setia dan membersamai perjuangannya meskipun mereka dari golongan marginal. Dengan perasaan menyesal dan bersalah, Nabi meranggul dan memeluk satu persatu.

Menurut Profesor Ali Musthafa Yaqub, awalnya ini adalah strategi Nabi untuk meranggul orang Quraisy yang senantiasa mengancam dakwah beliau. Pergitungan awal, bila pembesarnya masuk Islam, sudah barang tentu yang di belakangan akan mengikut. Namun, kalkulasi itu keliru.

Allah tak meridhai perlakuan diskriminatif tersebut. Di sisi Allah, orang-orang yang beriman seperti Bilal dan  kawan-kawan justru lebih mulia di banding para sekelompok gedongan yang tak beriman tersebut. Allah tak memandang seseorang dari jenis ras, warna, kulit, dan keturunan. Iman adalah kunci yang mampu membuka pintu Ilahi. Imanlah yang membuka Kasih dan Cinta Ilahi.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unā wa ja’alnākum syu’baw wa qabā`ila lita’āraf, inna akramakum ‘indallāhi atqākum, innallāha ‘alīmun khabīr

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Demikian sekilas kisah Nabi Muhammad, kaum marginal, dan teguran Allah.

BINCANG SYARIAH