Nilai Penting Adab dalam Ilmu

BEBERAPA hari yang lalu tepatnya 18 November 2016 bersama santri pesantren Shoulin At-Taqwa Depok, kami selesai mengkhatamkan kajian kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim, karya Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Selama satu bulan kitab tersebut kami baca dan pelajari bersama santri Shoulin Depok. Saya menggunakan metode sorogan ala pesantren tradisional, tetapi dengan menggunakan bahasa Indonesia, tidak bahasa Jawa sebagaimana yang berlaku di pesantren tradisional di Jawa.

Kitab ini saya pandang sangat penting diajarkan secara luas untuk para pelajar saat ini. Salah seorang santri At-Taqwa merasa sangat beruntung bisa mengkaji kitab adab ini. Masalah-masalah yang dirundung umat Islam hari ini ternyata ‘kunci pembuka’ jawabannya ada dalam masalah adab. Dan kandungan kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim memberi jawaban.

Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim rupanya disiapkan untuk pelajar pemula. Kajiannya ringkas, bahasanya lugas dengan isi cukup padat. Dalam kitab ini, dijelaskan tiga macam adab seorang pelajar dan tiga macam adab seorang guru. Yaitu, adab kepada dirinya, adab kepada ilmunya, dan adab kepada guru atau muridnya.Untuk memperbaiki adab, seseorang harus memperbaiki ilmu. Menempatkan ilmu sebagai sesuatu yang mulya dan memperbaiki niat, juga bagian dari adab. Maka, Hāsyim ‘Asyarī menjelaskan, orang berilmu adalah orang yang niat belajarnya karena mencari rida Allah, bersih hatinya, dan wara’. Bukan bermaksud untuk kepentingan duniawi, seperti untuk memperkaya, mendapatkan jabatan dan memperbesar pengaruh di hadapan orang. Bahkan, memperbanyak tidur dan makan bukanlah adab seorang pelajar karena hal itu akan menghalangi ilmu. Niat yang benar dan membersihkan hati merupakan adab pelajar terhadap dirinya.

Sudah semestinya, kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim dan Ta’lim Muta’allim (karya Syeikh Zarnuji) menjadi pelajaran wajib pelajar sekolah menengah. Tidak sekedar diajarkan membaca kitab, tetapi dilatih atau di-drill adab nya dalam kehidupan sehari-hari. Melatih adab itu sangat mendesak saat ini. Dengan drill itu, sudah mengamalkan isi kitab. Metode ini sudah lebih dari pendidikan karakter saat ini.

Sampai hari ini, masih banyak orang tua yang lebih senang anak-anaknya dilatih subjek-subjek sains, daripada dilatih adabnya. Anak-anak dikirim ke tempat kursus matematika dan IPA. Tapi rupanya belum ditemukan yang mengirim anaknya untuk kursus adab atau kursus kitab­-kitab adab. Pesantren Shoulin At-Taqwa rupanya menghidupkan kembali tradisi mulazamah dan talaqqi kitab-kitab ulama dahulu supaya adabnya baik. Alangkah bagusnya bila pelajar itu pintar sains sekaligus adabnya baik.

Setiap kali mengajar kitab ini, selalu saya selingi dengan kisah sirah kehebatan ulama-ulama kita. Beberapa kali saya bertanya kepada pelajar sekolah Islam tentang ulama Nusantara yang mendunia seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz Turmusi, Syeikh Yasin al-Fadani, dll, mereka tidak lagi mengenalnya. Rupanya banyak juga yang tidak kenal ilmuan-ilmuan Muslim dunia yang kehebatannya diakui Timur dan Barat, seperti; seperti al-Khawarizmi, al-Kindi, al-Jabbar, dll.

Salah satu efek tidak baik hilangnya adab ini adalah, pemuda-pemuda Islam tidak kenal ulama salaf, dan tidak menghormati ulama yang sekarang. Ulama dianggap biasa-biasa saja. Padahal ulama itu warisan Nabi saw.

Apa pentingnya adab? KH. Hasyim ‘Asyari berpendapat bahwa segala amalan ibadah, baik kecil atau besar, tidak memiliki arti apapun kecuali di dalamnya terdapat adab. Termasuk amalan yang berkaitan dengan ilmu, yang melibatkan sorang guru dan murid. Ilmu pengetahuan, kehebatan seorang guru dan murid, tidak akan bermakna kecuali dihiasi dengan adab. Dari Habib bin al-Syahid, ia berkata kepada anaknya: “Berkawanlah dengan orang berilmu dan belajarlah adab kepadanya. Karena hal itu lebih aku sukai daripada (menghafal) banyak hadith” (KH. Hasyim Asy’ari,Adabul Alim wal Muta’allim,hal. 10).

Kepada seorang guru, pelajar wajib memberi penghormatan kepadanya. Berakhlak baik, berkata dan bertanya dengan lembut, menunaikan hak-haknya, dan bersabar terhadap metode pengajarannya. Mislanya; berilah salam ketika masuk ke dalam kelas; sebelum mengajr mulailah terlabih dahulu dengan berdoa untuk para ahli ilmu yang telah lama meninggalkan kita; berpenampilan yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata dan lain sebagainya. Ketika menjelasan adab kepada guru KH. Hasyim ‘Asyari juga memberi pesan agar mencari guru yang memiliki kredibiltas dan otoritas. Ia mengingatkan, pilihlah guru yang akhlaknya baik, ilmu syariatnya sempurna, dan diakui otoritasnya. Janganlah berguru pada orang yang tidak memiliki otoritas ilmu, dan belajar agamanya tidak melalui guru.

Agar Berkah, Penuntut Ilmu Harus Memperhatikan Adab

Sementara tentang adab kepada ilmu (mata pelajaran), KH. Hasyim ‘Asyari memulai pada pemahaman posisi ilmu. Seorang pelajar harus memulai belajarnya dengan ilmu-ilmu fardu ‘ain. Seperti ilmu tauhid, ilmu fikih,  dan ilmu menunddukkan hawa nafsu, tazkiyah al-nafs. Ilmu fardu ‘ain harus ditekuni sampai mencapai pemahaman yang kuat, karena menjadi pokok ilmu-ilmu yang lain.

Banyak yang masih berpendapat  bahwa pencapaian ilmu adalah segala-galanya, padahal pencapaian ilmu yang tinggi tanpa ada itu berakibat; pikiran rusak, perilaku buruk, tersesat dan tertipu oleh dunia.

Seringkali ilmu berubah menjadi sesuatu yang buruk dan merusak lantaran pemiliknya jauh dari Allah Swt, berorientasi pada popularitas, dan selalu disibukkan oleh dunia. Nabi Saw mengingatkan agar jangan sampai orang yang berilmu menjadikan segala sesuatu selain Allah Swt sebagai tujuannya. Beliau bersabda: “Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya ditujukan untuk mencari ridha Allah Subhanahu Wata’ala, tetapi ia mempelajarinya untuk mendapatkan dunia, kelak pada hari kiamat ia tidak akan mencium bau Surga.” (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Adab hilang pada saat nafsu menghalahkan ilmu. Syeikh Ibnu Athoillah al-Sakandari mengingatkan, nafsu itu bukan hanya bermain-main di ‘wilayah’ maksiat. Tetapi, nafsu  juga bermain dalam ibadah seorang Muslim. Bahkan, nafsu yang menyusup ke dalam ibadah itu lebih sulit dikenali, daripada nafsu yang mendorong maksiat. Sehingga, menghilangkannya pun lebih susah.

Semangat ibadah karena dorongan nafsu ini bahayanya melebihi nafsu dalam maksiat. Mereka yang menjadi pengikut hawa nafsu, bahkan intensitas ibadahnya melebihi ibadah orang pada umumnya.

Ketika  semangat ibadah seseorang sedang naik, maka ada dua kemungkinan; bila dia orang baik, berarti dorongan itu semata karena Allah Swt. Akan tetapi, jika dia penderita penyakit hati, maka dipastikan dorongan itu karena hawa nafsu.

Mereka ini penyembah hawa nafsu, bukan penyembah Allah Swt. Amalaiyah keagamaannya diletup oleh nafsu, bukan ilmu. Karena itu, biasanya keliru.

Ini Panduan Penting bagi Para Penuntut Ilmu

Ibnu Athoillah al-Sakandari memberi contoh penyembah nafsu yaitu; seseorang yang semangat beribadah sunnah tetapi malas beribadah wajib. Beliau mengatakan: “Salah satu tanda seseorang itu mengikuti hawa nafsu adalah, bersegera dalam menjalankan ibadah sunnah, tetapi malas menunaikan kewajiban” (Ibnu Athoillah al-Sakandari,Al-Hikam,hal.23).

Karena itu, dalam pandangan Islam, seorang yang pintar dan hebat ilmunya tidak dapat dijadikan rujukan selama ia tidak memiliki adab. Semua ulama-ulama; seperti imam Syafi’i, imam Asy’ari, imam Nawawi, imam al Ghazali, Ibnu Hajar, dan lain-lain adalah ulama yang memiliki adab sehingga ilmunya menjadi rujukan. Jika saja ada seorang sarjana Muslim yang fasiq, maka tidak akan menjadi ulama rujukan.

Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi dalam alam pikiran Barat yang meyakini ilmu itu netral. Seorang ilmuan yang hobi mabuk, main perempuan, berjudi dan lain-lain bisa menjadi rujukan ilmu selama keilmuannya tersebut dipandang hebat.*

 

Oleh: Ahmad Kholili  Hasib

Penulis anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Jawa Timur

sumber: Hidayatullah.com