Antara Istighfar dan Taubat

Allah Ta’ala terkadang menyebutkan taubat secara terpisah dari istighfar, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ

Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya.” (QS. Al-Maidah [5]: 39).

Demikian pula, Allah Ta’ala terkadang menyebutkan istighfar secara terpisah dari taubat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 6).

Namun di ayat yang lain, terkadang Allah Ta’ala menyebutkan keduanya secara bersamaan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ

Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (QS. Huud [11]: 90).

Lalu, apa beda antara istighfar dan taubat dalam firman Allah Ta’ala di atas?

Jika Taubat dan Istighfar Disebutkan secara Terpisah

Sebagian ulama berpendapat jika istighfar disebutkan terpisah dari taubat, maka makna istighfar adalah sebagaimana makna taubat, bahkan merupakan taubat itu sendiri. Demikianlah pendapat Ibnul Qayyim rahimahullah.Beliau mengatakan,Istighfar yang disebutkan sendirian (terpisah dari taubat, pen.) memiliki makna taubat, bahkan taubat itu sendiri, yang terkandung di dalamnya meminta ampunan dari Allah, yaitu terhapusnya dosa, dihilangkannya dampak dosa, dan penjagaan dari keburukan dosa tersebut. Hal ini tidak sebagaimana sangkaan sebagian orang yang mengatakan bahwa ampunan adalah ditutupinya dosa kita. Karena Allah menutupi dosa orang yang memohon ampun kepada-Nya dan yang tidak memohon ampun kepada-Nya. Akan tetapi, ditutupinya dosa adalah konsekuensi dari diampuninya dosa atau sebagian dari konsekuensinya.” (Madaarijus Saalikiin, 1/307-308).

Jika Taubat dan Istighfar Disebutkan secara Bersamaan

Jika taubat dan istighfar disebutkan secara bersamaan sebagaimana firman Allah,

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubat kepada-Nya.” (QS. Huud [11]: 3).

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan istighfar adalah bertaubat dari dosa-dosa yang telah terjadi. Sedangkan yang dimaksud dengan taubat adalah istighfar dari dosa yang mungkin akan terjadi setelah dosa tersebut benar-benar terjadi.

Oleh karena itu, makna ayat menjadi, bertaubatlah kepada Rabb kalian atas dosa-dosa yang telah kalian lakukan, dan bertaubatlah kepada-Nya dari dosa-dosa yang akan kalian lakukan. Kata ثُمَّ “kemudian” dalam ayat di atas zahirnya menunjukkan waktu yang akan datang.

Ulama yang lain berpendapat, sesungguhnya istighfar terkadang digunakan untuk menunjukkan makna taubat. Maka yang dimaksud adalah istighfar yang diperintahkan, yaitu istighfar yang didahului dengan taubat, yang berarti penyesalan. Maka seolah-olah Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), Memintalah ampun kepada Tuhanmu setelah taubat (menyesal), kemudian bertaubatlah (yaitu, ikhlaslah dalam taubat dan istiqamahlah di atasnya.” Ini sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Al-Alusi rahimahullah.

Al-Alusi rahimahullah berkata,Sesungguhnya istighfar adalah taubat, sehingga kata ثُمَّ dalam ayat tersebut bermakna ‘dan’.” (Lihat Tafsir Al-Alusi, 11/207).

Adapun Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau merinci masalah ini. Beliau menjelaskan bahwa jika istighfar disebutkan secara bersamaan dengan taubat, maka yang dimaksud adalah meminta perlindungan dari kejelekan (dosa) yang telah terjadi. Sedangkan taubat adalah kembali dan meminta perlindungan dari kejelekan yang dia takutkan terjadi di masa yang akan datang, berupa kejelekan amal yang dia perbuat. Maka istighfar adalah menghilangkan kejelekan, sedangkan taubat adalah meminta adanya manfaat (kebaikan). Ampunan (maghfirah) akan melindungi diri kita dari keburukan dosa (yang telah terjadi). Adapun taubat, setelah adanya perlindungan tersebut, maka terwujudlah apa yang dia cintai atau dia harapkan (berupa maslahat atau kebaikan, pen.). (Madaarijus Saalikin, 1/308-309).

Pendapat yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah inilah yang tampaknya lebih tepat. Karena seorang hamba wajib untuk memohon ampun kepada Allah terlebih dahulu dari dosanya untuk menghilangkan kejelekannya. Sehingga dia mendahulukan istighfar dari taubat. Tidaklah seorang hamba memiliki tekad berkaitan dengan kehidupan di masa mendatang (untuk tidak kembali berbuat maksiat) kecuali dengan menyucikan diri terlebih dahulu dari pengaruh dosa dan maksiat (yang telah lewat). Sebagaimana kata ulama,

التخلية مقدمة على التحلية

Membersihkan diri itu lebih utama daripada menghiasi diri.”

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk di antara hamba-Nya yang gemar untuk bertaubat. [1]

***

Selesai disusun ba’da maghrib, Masjid Nasuha Rotterdam NL, 26 Jumadil Akhir 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25309-antara-istighfar-dan-taubat.html

Lafadz-Lafadz yang Ringan di Lidah

Banyak kata…keluar dari lisan kita. Tapi entah berapa yang mengeluarkan sepatah dua patah yang menambah bekal pahala di akhirat nanti. Ya saudariku…hanya sepatah dua patah kata…yang terasa ringan untuk diucapkan, mudah untuk dihafalkan, dan dapat menambah keimanan kita. Bukankah iman bertambah dan berkurang? Semoga kita tidak lupa untuk mengamalkan sunnah ini dan bersemangat untuk menghafalkan dan mengamalkan do’a dan dzikir lainnya (yang membutuhkan waktu untuk menghafalkan dan mengamalkannya) yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bismillah

Untuk lafadz yang satu ini, mungkin kita sendiri lupa entah kapan mulai mempelajarinya. Ternyata banyak saat-saat yang kita disunnahkan untuk mengluarkan lafadz ini. Yang pertama adalah saat hendak mulai makan. Hei…mungkin langsung ada yang bertanya-tanya, bukankah saat hendak makan doa yang dibaca “Allahumma bariklana…?”

Jawabnya, “Bukan saudariku.” Bahkan do’a tersebut tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena hanya disebutkan dalam hadits yang lemah riwayat dari Ibnu Sunni. Cukup dengan ‘bismillah’. Maka setan tidak akan dapat ikut makan bersama kita.

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‘Apabila seseorang masuk rumahnya dia menyebut Allah Ta’ala pada waktu masuknya dan pada waktu makannya, maka setan berkata kepada teman-temannya, ‘Kalian tidak punya tempat bermalam dan tidak punya makan malam.’ Apabila ia masuk tidak menyebut nama Allah pada waktu masuknya itu, maka setan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat menginap’, dan apabila ia tidak menyebut nama Allah pada waktu makan, maka setan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam.’” (HR. Muslim)

Adapun jika kita terlupa membaca ‘bismillah’ di awal waktu kita makan, maka kita cukup membasa ‘bismillah awwalahu wa aakhirohu’ di saat kita ingat.

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila salah seorang kamu makan, maka sebutlah nama Allah Ta’ala (bismillah -pen). Jika ia lupa menyebut nama Allah di awal makannya, maka hendaklah ia mengucapkan,

بِسْمِ اللهِ أوَّلَهُ وَ اخِرَهُ
(Dengan menyebut nama Allah pada awalnya dan pada akhirnya)’.”
 (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)

Kita juga disunnahkan membaca bismillah ketika kendaraan yang kita kendarai mogok. (HR. Abu Daud, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud III/941)

Subhanallah
Alhamdulillah, dzikir yang satu ini pun sudah kita hafal sejak lama. Dzikir ini dapat kita amalkan setelah sholat sebanyak 33 kali (HR. Bukhari dan Muslim) atau kita dzikirkan pula sebelum tidur sebanyak 33 kali (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam satu riwayat lain, dibaca sebanyak 34 kali sebelum tidur. Lafadz ini juga disunnahkan untuk diucapkan ketika kita dalam perjalanan dengan kondisi jalan yang menurun (HR. Bukhari dalam al-Fath VI/135). Dapat pula kita ucapkan ketika kita sedang takjub dengan kebesaran ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala (HR. Bukhari)

Adapula lafadz tasbih lainnya yang telah diajarkan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai berikut:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua kalimat yang ringan di lidah, berat dalam timbangan, dicintai Allah Yang Maha Pengasih, (yaitu),

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
ّ
“Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, maha suci Allah Yang Maha Agung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ucapan yang paling dicintai Allah adalah

سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِ هِ

(HR. Muslim)

Alhamdulillah
Lafadz ini adalah ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada Rabbnya dengan memberikan pujian kepada-Nya. Lafadz ini juga disunnahkan dibaca setelah sholat sebanyak 33 kali dan juga sebelum tidur 33 kali.

Setelah bersin, kita juga disunnahkan mengucapkan alhamdulillah atau alhamdulillah ‘ala kulli haal (HR. Bukhari). Nah, bagi yang mendengar lafadz alhamdulillah dari orang yang bersin, maka berikanlah do’a kepadanya, yaitu

يَر حَمُكَ اللّه

yarhamukallah
“Semoga Allah merahmatimu.”

Kalau sudah mendapat do’a ini, maka orang yang bersin tadi membaca

يَهْدِ يكُمُ اللّهُ و يُصلح بَالَ كُمْ


yahdikumullah wa yuslih baalakum’
“Semoga Allah memberi petunjuk dan memperbaiki keadaanmu.”

Keutamaan dzikir alhamdulillah dan dzikir subhanallah juga terdapat dalam hadits berikut,

“Dari Abu Malik al-Asy’ary dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bersuci adalah setengah iman, الحَمْدُ لِلَّهِ memenuhi timbangan, dan سُبْجَانَ اللّهِ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ (Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya) memenuhi antara tujuh langit dan bumi.”‘” (HR. Muslim)

Allahu Akbar
Sama seperti dua lafadz sebelumnya, lafadz ini juga disunnahkan dibaca setelah sholat dan sebelum tidur. Setelah shalat sebanyak 33 kali dan sebelum tidur sebanyak 33 kali (dalam riwayat lain 34 kali).

Lafadz Allahu Akbar juga sunnah diucapkan ketika melihat sesuatu yang menakjubkan dari ciptaan Allah (HR. Bukhari dalam al-Fath). Dan tahukah saudariku, ternyata lafadz ini juga termasuk dzikir yang sunnah diucapkan ketika dalam perjalanan dengan kondisi jalan yang menanjak. (HR. Bukhari dalam al-Fath VI/135)

Laa ilaha illallah
Alhamdulillah, kita semua tentu telah melafadzkan ini karena inilah salah satu pembeda antara muslim dengan kafir. Tentu saja pelafalan lafadz laa ilaha illallah harus disertai dengan keyakinan hati dan pemaknaan yang benar, bahwa tidak ada ilah atau sesembahan yang berhak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan tentang lafadz ini dalam haditsnya,

“Sebaik-baik dzikir adalah ada لا اله الا الله (tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah).” (HR. Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan.”)

Dan sungguh manis ganjaran orang yang yang melafadzkan dzikir ini, sebagaimana dijelaskan oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa mengucapkan laa ilaah illallah, maka ditanamkan baginya sebatang pohon kurma di Surga.” (HR. Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan.”)

Saudariku tentu juga mengetahui, pernah menjadi tren ‘latah’ yang menyebar di berbagai kalangan. Salah satu ciri latah ini adalah jika seseorang dikagetkan atau terkejut, maka akan keluar kata-kata yang tidak dia sadari. Atau bahkan ia bisa dikontrol oleh orang yang mengejutkannya sehingga berkata-kata atau bertingkah laku yang tidak-tidak. Padahal untuk urusan yang terlihat kecil ini, ternyata telah pula diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yang terkejut disunnahkan untuk mengucapkan lafadz ‘laa ilaha illallah’. (HR. Bukhari dalam Fathul Baari VI/181 dan Muslim IV/22208)

Masya Allah
Yang satu ini, seringkali penulis dengar dilafalkan bukan pada tempatnya. Masya Allah memiliki makna “Atas kehendak Allah”. Lafadz ini diucapkan ketika kita takjub melihat kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, baik berupa harta, kondisi fisik atau yang lainnya. Dalam surat Al Kahfi, terdapat tambahan,

“Masya Allah laa quwwata illa billah”

“Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah.”

Lafadz ini juga berkaitan dengan penyakit ‘ain. Dengan melafadzkan “Masya Allah” ketika kita mengaggumi kelebihan yang dimiliki orang lain, diharapkan orang tersebut tidak terkena penyakit ‘ain disebabkan pandangan kita. Karena penyakit ‘ain ini dapat terjadi baik kita sengaja ataupun tidak.

Nah…yang sering menarik pandangan seseorang adalah tingkah dan fisik anak kecil yang menggoda. Pipinya yang lucu, matanya yang nakal dan lain sebagainya. Lalu datanglah pujian dari sanak, saudara atau teman sekitar kita. Namun kita mungkin lupa, bahwa anak juga merupakan anugrah yang dapat terkena ‘ain. Maka, ingatkanlah orang-orang sekitar untuk mengucapkan masya Allah ketika memberikan pujian kepada anak kita. Begitupula dengan kita sendiri ketika memuji anak atau benda milik seseorang, maka ucapkanlah ‘masya Allah’ ini.

Astaghfirullah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pujian yang paling tinggi adalah la ilaha illallah, sedangkan doa yang paling tinggi adalah perkataan astaghfirullah. Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengesakan Allah dan memohon ampunan bagi diri sendiri dan bagi orang-orang mukmin.”

Memohon ampunan dengan lafadz ini sunnah diucapkan sebanyak 3 kali setelah selesai salam dari sholat wajib. Kita juga dapat memohon ampunan sebanyak-banyaknya, sebagaimana banyak ayat Al-Qur’an menunjukkan hal ini. Begitupula dari contoh perbuatan Rasululllah shallallahu’alaihi wa sallam (padahal beliau sudah diampuni dosanya yang telalu lalu dan akan datang). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar memohn ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Bukhari)

Kita sebagai wanita juga diperintah untuk memperbanyak istighfar, sebagaimana dalam hadits berikut,

“Wahai sekalian kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar, karena sesungguhnya aku melihat kalian adalah kebanyakan penghuni neraka!”

Seorang wanita dari mereka bertanya, “Wahai Rasululllah, mengapa kami menjadi kebanyakan penghuni neraka?”

Beliau menjawab, “Kalian terlalu banyak melaknat dan ingkar (tidak bersyukur) terhadap (kebaikan) suami, aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya bisa mengalahkan lelaki yang berakal kecuali kalian.”

Ia bertanya, “Apa maksudnya kurang akal dan agama?”

Beliau menjawab, “Persaksian dua orang wanita sama dengan seorang laki-laii dan wanita berdiam diri beberapa hari tanpa shalat.”
(HR. Muslim)

Ini adah lafadz-lafadz dzikir yang ringan di lidah dan mudah untuk dihafal dan diamalkan, insya Allah. Semoga yang ringan ini juga menjadi pemicu untuk menghafal dan mempraktekkan do’a dan dzikir-dzikir lain yang lebih panjang. Barakallahufikunna.

Maraji’:
Hisnul Muslim (terj), Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, at-Tibyan
Istighfar (terj), Ibnu Taimiyah, Darul Falah, cetakan pertama 2002 M
Riyadus Shalihin, Jilid 1 (terj), Imam Nawawi dengan tahkik Syaikh Nashiruddin al-Albani, Duta Ilmu, cetakan kedua 2003
Riyadus Shalihin, Jilid 2 (terj), Imam Nawawi dengan tahkik Syaikh Nashiruddin al-Albani, Duta Ilmu, cetakan kedua 2003

***

Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/238-lafadz-lafadz-yang-ringan-di-lidah.html

Pengertian Taubat Nasuha

Di antara perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah perintah untuk taubat. Taubat ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh Allah Ta’ala sebagai sarana agar para hamba-Nya memperbaiki diri atas dosa, maksiat, dan kesalahan yang telah mereka perbuat. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim [66]: 8).

Oleh karena itu, taubat merupakan ibadah yang sangat agung dan memiliki banyak keutamaan. [1] Lalu, apa maksud taubat nasuha sebagaimana yang Allah Ta’ala perintahkan dalam ayat di atas?

Makna Pertama: Taubat yang Murni (Ikhlas) dan Jujur

Secara bahasa, نصح (na-sha-kha) artinya sesuatu yang bersih atau murni (tidak bercampur dengan sesuatu yang lain). Sesuatu disebut (الناصح) (an-naashikh), jika sesuatu tersebut tidak bercampur atau tidak terkontaminasi dengan sesuatu yang lain, misalnya madu murni atau sejenisnya. Di antara turunan kata نصح adalah  النصيحة(an-nashiihah). (Lihat Lisaanul ‘Arab, 2/615-617).

Berdasarkan makna bahasa ini, taubat disebut dengan taubat nasuha jika pelaku taubat tersebut memurnikan, ikhlas (hanya semata-mata untuk Allah), dan jujur dalam taubatnya. Dia mencurahkan segala daya dan kekuatannya untuk menyesali dosa-dosa yang telah diperbuat dengan taubat yang benar (jujur).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

أَيْ تَوْبَةً صَادِقَةً جَازِمَةً تَمْحُو مَا قَبْلَهَا مِنَ السَّيِّئَاتِ، وَتَلُمُّ شَعَثَ التَّائِبِ وَتَجْمَعُهُ وَتَكُفُّهُ عَمَّا كَانَ يَتَعَاطَاهُ مِنَ الدَّنَاءَاتِ.

Yaitu taubat yang jujur, yang didasari atas tekad yang kuat, yang menghapus kejelekan-kejelekan di masa silam, yang menghimpun dan mengentaskan pelakunya dari kehinaan” (Tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim, 4/191).

Ketika menjelaskan ayat di atas, penulis kitab Tafsir Jalalain berkata,

صَادِقَة بِأَنْ لَا يُعَاد إلَى الذَّنْب وَلَا يُرَاد الْعَوْد إلَيْهِ

Taubat yang jujur, yaitu dia tidak kembali (melakukan) dosa dan tidak bermaksud mengulanginya.” (Tafsir Jalalain, 1/753).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

فَالنُّصْحُ فِي التَّوْبَةِ وَالْعِبَادَةِ وَالْمَشُورَةِ تَخْلِيصُهَا مِنْ كُلِّ غِشٍّ وَنَقْصٍ وَفَسَادٍ، وَإِيقَاعُهَا عَلَى أَكْمَلِ الْوُجُوهِ

An-nush-khu dalam taubat, ibadah, dan nasihat artinya memurnikan perkara-perkara tersebut dari semua kotoran, kekurangan, dan kerusakan. Seseorang melaksanakannya dalam bentuk yang paling sempurna.” (Madaarijus Saalikiin, 1/309-310).

Taubat nasuha ini akan terasa pengaruhnya bagi pelakunya, yaitu orang lain kemudian mendoakan kebaikan untuknya.

Al-Alusi rahimahullah berkata,

وجوز أن يراد توبة تنصح الناس أي تدعوهم إلى مثلها لظهور أثرها في صاحبها، واستعمال الجد والعزيمة في العمل بمقتضياتها

Taubat nasuha boleh juga dimaknai dengan taubat yang mendatangkan doa dari manusia. Artinya, manusia mendoakannya untuk bertaubat, sehingga tampaklah pengaruh taubat tersebut bagi pelakunya. Pelakunya pun mencurahkan kesungguhan dan tekad untuk melaksanakan konsekuensi dari taubatnya.“ (Ruuhul Ma’aani, 28/158).

Terdapat beberapa syarat agar taubat nasuha diterima, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama rahimahumullah. [2]

Makna Ke dua: Taubat yang Memperbaiki Kerusakan dalam Agama akibat Perbuatan Maksiat

Penulis ‘Umdatul Qari menjelaskan,

وأصل النَّصِيحَة مَأْخُوذ من نصح الرجل ثَوْبه إِذا خاطه بالمنصح

Adapun makna asal dari ‘nashihah’ diambil dari seseorang yang menjahit pakaiannya, ketika dia menyulam pakaiannya dengan jarum.” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 1/321)

Beliau rahimahullah kemudian melanjutkan,

وَمِنْه التَّوْبَة النصوح، كَأَن الذَّنب يمزق الدّين وَالتَّوْبَة تخيطه

(Dari kata nashihah tersebut) muncullah istilah ‘taubat nasuha’. Seakan-akan dosa (maksiat) telah merobek agama (seseorang), dan taubatlah yang menjahit kembali (robekan tersebut).” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 1/321).

Al-Qurthubi rahimahullah berkata,

وقيل: هي مأخوذة من النصاحة وهي الخياطة. وفي أخذها منها وجهان: أحدهما- لأنها توبة قد أحكمت طاعته وأوثقتها كما يحكم الخياط الثوب بخياطته ويوثقه

Dikatakan, (taubat nasuha) diambil dari kata ‘an-nashahah’, yaitu ‘jahitan’. Berdasarkan asal kata tersebut, terdapat dua sisi (makna) dari taubat nasuha. Pertama, karena taubat tersebut telah memperbaiki ketaatan dan menguatkannya. Sebagaimana jahitan yang memperbaiki pakaian dan menguatkannya.” (Al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, 18/199).

Berdasarkan makna secara bahasa di atas, maka pelaku taubat nasuha telah menyempurnakan taubatnya dan memperkuat taubatnya dengan melaksanakan berbagai macam amal ketaatan. Hal ini sebagaimana jahitan yang menyempurnakan (memperbaiki) pakaian, menguatkan, dan merapikannya.

Al-Alusi rahimahullah berkata,

وسميت التوبة نصوحا : أي توبة ترفو خروقك في دينك وترم خللك

Disebut dengan taubat nasuha, yaitu taubat yang memperbaiki robekan (lubang) dalam agamamu dan memperbaiki keburukanmu.” (Ruuhul Ma’aani, 28/157-158).

Abu Ishaq rahimahullah berkata,

بَالِغَة فِي النصح وَهِي الْخياطَة كَانَ الْعِصْيَان يخرق وَالتَّوْبَة ترفع

Taubat nasuha adalah taubat yang mencapai puncak kesempurnaan (yang dilaksanakan semaksimal mungkin, pen.). Taubat ini (sejenis dengan) pekerjaan menjahit. Seakan-akan maksiat telah merobek (agama), dan taubatlah yang menambal (menjahit atau memperbaikinya).” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 22/280).

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan sisi yang lain istilah taubat nasuha sesuai dengan makna bahasa di atas. Beliau rahimahullah berkata,

والثاني- لأنها قد جمعت بينه وبين أولياء الله وألصقته بهم، كما يجمع الخياط الثوب ويلصق بعضه ببعض.

Sisi yang ke dua, karena taubat nasuha mengumpulkan antara pelakunya dengan wali-wali Allah, dan merekatkannya. Hal ini sebagaimana jahitan yang merekatkan pakaian dan menyambung antara sisi (kain) yang satu dengan sisi lainnya.” (Al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, 18/199).

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam hamba-hambaNya yang gemar untuk bertaubat. [3]

***

Selesai disusun menjelang maghrib, Sint-Jobskade Rotterdam NL, 11 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/7359-pengertian-taubat-nasuha.html

Taubat

Diary Syaikh Ibnu Utsaimin :

Taubat

  • Taubat memiliki arti: berhenti melakukan kemaksiatan dan kembali menuju ketaatan.
  • Taubat adalah amalan yang sangat dicintai Allah ta’ala:إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
  • Taubat hukumnya wajib atas setiap mukmin:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا“Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sungguh-sungguh.” (QS. At-Tahrim : 8)
  • Taubat bisa mendatangkan kemenangan:وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ“Bertaubatlah kepada Allah, wahai orang-oran beriman sekalian agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur : 31)Dan keberuntungan akan dicapai manusia tatkala dirinya merasa sangat butuh kepada-Nya hingga Allah menyelamatkan jiwa yang terperosok mengikuti hawa nafsunya itu.
  • Taubat yang sungguh-sungguh akan mendatangkan limpahan ampunan Allah atas dosa-dosa seorang hamba. Dosa yang makin hari kian bertambah banyak.قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ“Katakanlah: Wahai para hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendirinya, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah Mengampuni semua dosa dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)Saudaraku yang berbuat dosa, jangalah kalian berputus asa terhadap rahmat Rabb mu karena pintu taubat itu senantiasa terbuka sampai matahari terbit dari arah barat.Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,إن الله عز وجل يبسط يده بالليل ليتوب مسيء النهار، ويبسط يده بالنهار ليتوب مسيء الليل، حتى تطلع الشمس من مغربها“Sesungguhnya Allah Ta’ala membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat hamba yang berdosa di siag hari. Dan Allah Ta’ala membentangkan tagan-Nya di siang hari untuk menerima taubat hamba yang berdosa di malam hari, sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim).Betapa banyak orang yang bertaubat atas dosa-dosanya yang besar dan Allah menerima taubat mereka. Allah ta’ala berfirman,وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا ( ) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا ( ) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesembahan lainnya dan tidak membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina dan barangsiapa yang melakukan demikian itu niscaya dia mendapat hukuman yang berat. (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun , Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan : 68-70)

Taubat yang nasuhah (serius) tidak terlepas dari 5 syarat:

Pertama, Ikhlas karena Allah yaitu berniat semata-mata mengharap wajah Allah, pahala atas taubatnya serta berharap selamat dari siksaan-Nya.

Kedua, menyesali kemaksiatan yang ia lakukan, merasa sedih dan berjanji untuk tidak mengulanginya.

Ketiga, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat sesegera mungkin. Jika perbutan tersebut melanggar hak-hak Allah maka segera tinggalkan. Karena perbuatan tersebut haram dilakukan sehingga wajib ditinggalkan. Adapun jika berkaitan dengan hak-hak makhluk maka bergegaslah meminta maaf baik dengan mengembalikan haknya atau meminta kelapangan hatinya agar mau memaafkan.

Keempat, bertekad untuk tidak mengulangi kemaksiatan tersebut di waktu-waktu mendatang.

Kelima, hendaknya taubat dilakukan sebelum ditutupnya pintu taubat, yaitu sebelum ajal menjemput dan sebelum terbitnya matahari dari arah barat. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ

“Dan Taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang berbuat kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seorang diantara mereka barulah dia mengatakan, ‘Saya benar-benar taubat sekarang.’” (QS. An-Nisa : 18)

Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

من تاب قبل أن تطلع الشمس من مغربها، تاب الله عليه

“Barangsiapa yang taubat sebelum terbitnya matahari dari arah barat maka Allah terima taubatnya.” (HR Muslim)

Ya Allah berilah kami taufik agar senantisa bertaubat dengan sungguh-sungguh dan terimalah amalan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/2998-taubat.html

Syarat Agar Taubat Diterima

Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada Alloh dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali. Lalu bagaimanakah agar taubat seorang hamba itu diterima?

Syarat Taubat Diterima

Agar taubat seseorang itu diterima, maka dia harus memenuhi tiga hal yaitu:

(1) Menyesal, (2) Berhenti dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya.

Taubat tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus menerus melakukannya. Akankah kita percaya bahwa seseorang itu bertaubat sementara dia dengan ridho masih terus melakukan perbuatan dosa tersebut? Hendaklah ia membangun tekad yang kuat di atas keikhlasan, kesungguhan niat serta tidak main-main. Bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan syarat yang keempat, yaitu tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. sehingga kapan saja seseorang mengulangi perbuatan dosanya, jelaslah bahwa taubatnya tidak benar. Akan tetapi sebagian besar para ulama tidak mensyaratkan hal ini.

Tunaikan Hak Anak Adam yang Terzholimi

Jika dosa tersebut berkaitan dengan hak anak Adam, maka ada satu hal lagi yang harus ia lakukan, yakni dia harus meminta maaf kepada saudaranya yang bersangkutan, seperti minta diikhlaskan, mengembalikan atau mengganti suatu barang yang telah dia rusakkan atau curi dan sebagainya.

Namun apabila dosa tersebut berkaitan dengan ghibah (menggunjing), qodzaf (menuduh telah berzina) atau yang semisalnya, yang apabila saudara kita tadi belum mengetahuinya (bahwa dia telah dighibah atau dituduh), maka cukuplah bagi orang telah melakukannya tersebut untuk bertaubat kepada Alloh, mengungkapkan kebaikan-kebaikan saudaranya tadi serta senantiasa mendoakan kebaikan dan memintakan ampun untuk mereka. Sebab dikhawatirkan apabila orang tersebut diharuskan untuk berterus terang kepada saudaranya yang telah ia ghibah atau tuduh justru dapat menimbulkan peselisihan dan perpecahan diantara keduanya.

Nikmat Dibukanya Pintu Taubat

Apabila Alloh menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Alloh bukakan pintu taubat baginya. Sehingga ia benar-benar menyesali kesalahannya, merasa hina dan rendah serta sangat membutuhkan ampunan Alloh. Dan keburukan yang pernah ia lakukan itu merupakan sebab dari rahmat Alloh baginya. Sampai-sampai setan akan berkata, “Duhai, seandainya aku dahulu membiarkannya. Andai dulu aku tidak menjerumuskannya kedalam dosa sampai ia bertaubat dan mendapatkan rahmat Alloh.” Diriwayatkan bahwa seorang salaf berkata, “Sesungguhnya seorang hamba bisa jadi berbuat suatu dosa, tetapi dosa tersebut menyebabkannya masuk surga.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Dia berbuat suatu dosa, lalu dosa itu senantiasa terpampang di hadapannya. Dia khawatir, takut, menangis, menyesal dan merasa malu kepada Robbnya, menundukkan kepala di hadapan-Nya dengan hati yang khusyu’. Maka dosa tersebut menjadi sebab kebahagiaan dan keberuntungan orang itu, sehingga dosa tersebut lebih bermanfaat baginya daripada ketaatan yang banyak.”

***

Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/383-syarat-taubat-diterima.html

Keutamaan Shalat Taubat

Dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا، ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّر – وفي رواية: فيحسن الوضوء – ، ثُمَّ يُصَلِّى – وفي رواية: ركعتين –، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّه؛َ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ»، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ {وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Tidaklah seorang (muslim) melakukan suatu perbuatan dosa, lalu dia bersuci – dalam riwayat lain: berwudhu dengan baik –, kemudian melaksanakan shalat – dalam riwayat lain: dua rakaat –, lalu meminta ampun kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuni (dosa)nya”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini (yang artinya), “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah, dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui” (QS. Ali ‘Imraan:135)[1].”

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan shalat dua rakaat ketika seorang bertaubat dari perbuatan dosa dan janji pengampunan dosa dari Allah Ta’ala bagi yang melakukan shalat tersebut[2].

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadits ini:

– Agungnya rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, karena Dia mensyariatkan bagi mereka cara untuk membersihkan diri dari buruknya perbuatan dosa yang telah mereka lakukan.

– Wajib bagi seorang muslim untuk selalu bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasakan pengawasan-Nya, dan berusaha untuk menghindari perbuatan maksiat semaksimal mungkin. Kalau dia terjerumus ke dalam dosa maka hendaknya dia segera bertaubat dan kembali kepada Allah[3], agar Dia mengampuni dosanya, sebagaimana janji-Nya dalam firman-Nya:

{إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ، وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا}

Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS an-Nisaa’:17).

– Yang dimaksud dengan “meminta ampun kepada Allah” dalam hadits ini adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh yang disertai sikap penyesalan atas perbuatan tersebut, menjauhkan diri dari dosa tersebut dengan meninggalkan sebab-sebabnya, serta tekad yang bulat untuk tidak mengulanginya selamanya, dan jika dosa tersebut berhubungan dengan hak orang lain maka segera dia menyelesaikannya[4].

– Imam Ibnu Hajar berkata, “Meminta ampun kepada Allah (hanya) dengan lisan, tapi masih tetap mengerjakan dosa (dengan anggota badan) adalah seperti bermain-main (dalam bertaubat)[5].

– Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya orang yang beriman memandang dosanya seperti dia sedang berada di bawah sebuah gunung (besar) yang dia takut gunung tersebut akan menimpa (dan membinasakan)nya, sedangkan orang yang fajir (rusak imannya) memandang dosanya seperti seekor lalat yang lewat di (depan) hidungnya kemudian dihalaunya dengan tangannya (dinggapnya remeh dan kecil)”[6].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 6 Sya’ban 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/4129-keutamaan-shalat-taubat.html

Anjuran Shalat Taubat

Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk bersemangat melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, mendekatkan diri pada-Nya, dan tidak terjerumus dalam kubangan maksiat. Namun bagaimana jika seseorang terlanjur terjerumus dalam dosa? Jawabnya, ia punya kewajiban untuk bersegera bertaubat dan kembali pada Allah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyunnahkan shalat taubat ketika seseorang benar-benar ingin bertaubat.[1] Berikut tuntunannya.

Shalat taubat adalah shalat yang disunnahkan berdasarkan kesepakatan empat madzhab[2]. Hal ini  berdasarkan hadits Abu Bakr Ash Shiddiq, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ». ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ

Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua raka’at kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.[3]” (HR. Tirmidzi no. 406, Abu Daud no. 1521, Ibnu Majah no. 1395. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)[4]. Meskipun sebagian ulama mendhoifkan hadits ini, namun kandungan ayat (Ali Imron ayat 135) sudah mendukung disyariatkannya shalat taubat.[5]

Shalat taubat ini bisa cukup dengan dua raka’at dan cukup niat dalam hati, tanpa perlu melafazhkan niat tertentu.

Kapan waktu pelaksanaan? Tidak ada keterangan waktu pelaksanaannya, boleh dilakukan siang atau malam hari. Bahkan di waktu terlarang untuk shalat sekalipun, seseorang boleh melakukannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَكَذَلِكَ صَلَاةُ التَّوْبَةِ فَإِذَا أَذْنَبَ فَالتَّوْبَةُ وَاجِبَةٌ عَلَى الْفَوْرِ وَهُوَ مَنْدُوبٌ إلَى أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَتُوبَ كَمَا فِي حَدِيثِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ

“Demikian pula shalat taubat (termasuk shalat yang memiliki sebab dan harus segera dilakukan, sehingga boleh dilakukan meskipun waktu terlarang untuk shalat[6]). Jika seseorang berbuat dosa, maka taubatnya itu wajib, yaitu wajib segera dilakukan. Dan disunnahkan baginya untuk melaksanakan shalat taubat sebanyak dua raka’at. Lalu ia bertaubat sebagaimana keterangan dalam hadits Abu Bakr Ash Shiddiq.”[7]

Setelah seseorang mengetahui shalat taubat, ia pun harus memenuhi syarat-syarat taubat. Apa saja syarat-syaratnya? Secara ringkas dikatakan oleh para ulama sebagaimana disampaikan Ibnu Katsir,

“Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya/ mengembalikannya.”[8]

Secara lebih rinci, syarat-syarat taubat adalah:

1.  Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.

2. Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.”[9] ‘Umar, ‘Ali dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal.[10]

3. Tidak terus menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.

4.  Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.[11]

5. Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.[12]

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)

Semoga Allah mudahkan kita untuk selalu taat kepada-Nya dan menjauhi setiap dosa serta menjadikan kita hamba-hamba yang gemar bertaubat atas dosa yang tidak bosan-bosannya dilakukan. Amiin Yaa Mujibas Saailin.

Sumber https://rumaysho.com/1647-anjuran-shalat-taubat.html

Apakah Orang tua Mendapatkan Pahala Amal Shalih Anaknya?

Pertanyaan:
Ayahku telah wafat dan aku ingin bertanya :
Setiap amal shalih yang aku kerjakan (dengan izin Allah) kemudian aku mendapat pahala darinya, apakah ayahku juga akan mendapat pahala yang semisal dengan pahala yang aku dapatkan karena asal-usulku dari beliau ?
Demikian pula, jika aku menikah kemudian Allah berikan keturunan yang shalih, apakah aku dan ayahku juga mendapatkan pahala amal shalih yang dilakukan oleh anak-anakku.

Jawaban:

Alhamdulillah.
Jika seorang wafat, maka terputuslah kesempatan beramal dan terputus pula pahala dari amal tersebut, kecuali amal tertentu yang disebutkan secara khusus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti : sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat yang ia wariskan, atau doa anaknya yang shalih untuknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثَةٍ : إِلا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika seorang wafat, maka terputuslah amalannya, kecuali 3 hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim No. 1631)

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

Sesungguhnya yang didapati oleh orang yang beriman setelah ia mati dari amalan dan kebaikan yang ia lakukan adalah ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf Al-Qur`an yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah persinggahan bagi para musafir yang ia bangun, sungai yang ia alirkan dan sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan hidup. Semua itu akan tetap menemuinya setelah ia mati.” (HR. Ibnu Majah no. 242. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

As-Suyuti rahimahullah mengumpulkan hadits di atas dalam bait syairnya

إِذَا مَاتَ اِبْن آدَم لَيْسَ يَجْرِي        عَلَيْهِ مِنْ فِعَال غَيْر عَشْر

Jika manusia wafat, tidak akan ada lagi pahala yang mengalir untuknya kecuali dari 10 amal saja

عُلُوم بَثَّهَا وَدُعَاء نَجْل           وَغَرْس النَّخْل وَالصَّدَقَات تَجْرِ

Ilmu yang ia sebarkan dan doa keturunannya, menanam kurma dan sedekah jariah

وِرَاثَة مُصْحَف وَرِبَاط ثَغْر        وَحَفْر الْبِئْر أَوْ إِجْرَاء نَهَر

Mushaf yang diwariskan, menjaga daerah perbatasan perang, menggali sumur atau mengalirkan sungai

وَبَيْت لِلْغَرِيبِ بَنَاهُ يَأْوِي          إِلَيْهِ أَوْ بَنَاهُ مَحَلّ ذِكْر

Rumah untuk para musafir atau membangun masjid

وَتَعْلِيم لِقُرْآنٍ كَرِيم                فَخُذْهَا مِنْ أَحَادِيث بِحَصْرٍ

Mengajarkan Al-Qur’anul karim. Maka ambillah ringkasan ini dari hadits-hadits.

Inilah berbagai amalan yang mengalir manfaat dan pahalanya walaupun yang melakukannya telah wafat.

Apabila seorang anak melakukan amal shalih dari hasil pendidikan dan pengajaran ayahnya, maka sang ayah akan mendapat balasan pahala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka ia mendapat balasan semisal orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang melakukan (kesesatan tersebut) tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim No. 2674)

Juga berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (yang artinya) :
…(Yaitu) ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan”.

Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan: “Rasulullah mendapat pahala semisal pahala seluruh umatnya karena beliaulah yang menunjukkan dan membimbing mereka kepada kebaikan”.

Berdasarkan dalil yang ada jelaslah kondisi seseorang, walaupun ia berasal dari ayahnya dan usahanya, namun tidak berarti ayah akan mendapat pahala untuk setiap amal shalih yg dilakukan anaknya. Akan tetapi, ia hanya diberi balasan sesuai dengan keikutsertaannya dalam amal shalih anaknya. Baik karena ia telah mengajarkan amal tersebut kepada anaknya atau karena bimbingannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menuturkan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menyebutkan bahwa ayah mendapatkan ganjaran pada seluruh amal-amal shalih anaknya. Kami tidak mengetahui adanya dalil jika harus seperti itu. Nabi hanya menjadikan doa sang anak untuk orang tua sebagai salah satu amal jariah. Berbeda dengan orang yang mengajak kepada petunjuk, ia mendapat ganjaran yang semisal dengan orang yang mengikuti petunjuknya.

Perbedaan ini sangat jelas. Dimana orang yang mendakwahkan kepada petunjuk punya keinginan untuk mengamalkan petunjuk tersebut sesuai kemampuannya, namun dia hanya sanggup mendakwahkan dan menyerukan saja sehingga saat ada yang berkeinginan kuat untuk mengamalkannya dan ia mampu, maka orang yang menyerukannya, seperti orang yang beramal secara langsung”.

Beliau juga mengatakan : “Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa orang tua akan mendapat pahala dari setiap amal shalih yang dilakukan anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya mengatakan : “Jika anak Adam wafat, terputuslah amalnya, kecuali 3 perkara …”.

Pada hadits lainnya : “Apabila seseorang membaca (menghafal) Al-qur`an, maka kedua orang tuanya akan dipakaikan pakaian-pakaian surga”.

Disebutkan sebabnya dalam hadits ini : “Dengan sebab hafalan Al-Qur`an anakmu berdua”.

Dan dalil lain yang serupa tentang orang tua akan mendapat pahala dari kebaikan anaknya, tetapi pahala yang didapatkan tidak harus selalu setara dengan pahala amal yang dilakukan anaknya. Tidak seperti keadaan orang yang menunjukkan kepada kebaikan, seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mendapatkan pahala semisal pahala umatnya.
Balasan bagi orang yang mengajarkan dan mengajak kepada kebaikan adalah pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tidak seperti hubungan pahala antara orang tua dan anak. Oleh karena itu, hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan para penyeru dakwah lebih besar daripada orang tua.” (Jami’ al-Masa`il li Ibni Taimiyyah, 273, 4/266)

Kemudian hendaknya seorang anak memperbanyak doa untuk orang tuanya, bersedekah untuk mereka jika mampu, atau berwakaf atas nama orang tuanya sehingga akan menjadi amal jariah untuk orang tuanya. Oleh karena balasan sesuai dengan jenis amal, semoga dengan kesungguhannya untuk menyertakan manfaat bagi orang tuanya, maka Allah akan mempersiapkan untuknya seorang anak yang bersemangat memberi manfaat untuknya setelah ia wafat.

Wallahu a’lam

***

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11361-apakah-orang-tua-mendapatkan-pahala-amal-shalih-anaknya.html

Nabi Yunus dan Hilangnya Harapan pada Kaumnya

NABI Yunus bin Mata termasuk orang yang saleh, sejak sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul beliau memang seorang ahli ibadah yang tekun. Ia termasuk orang yang lurus, namun ada kelemahannya yaitu mudah hilang harapan, ia telah mengajak kaumnya menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Meninggalkan kemaksiatan dan kedurhakaan.

Namun di antara sekian banyak kaumnya itu hanya dua orang yang mau mengikutinya. Dua orang itu adalah Rubil dan Tanuh. Rubil seorang yang alim dan bijaksana sedangkan Tanuh seorang yang tenang dan sederhana.

Nabi Yunus mengancam kaumnya bahwa jika dalam tempo 30 hari mereka tidak mau insyaf, tidak bertaubat kepada Allah maka akan diturunkan siksa. Allah mencela batas waktu itu dan supaya ditambah 10 hari dengan demikian turunnya siksa itu menjadi 40 hari.

Ia kembali kepada kaumnya untuk menyampaikan bahwa tenggang waktu bagi mereka ditambah 10 hari. Selepas itu mereka akan disiksa. Tetapi kaumnya tidak mau menggubrisnya, mereka malah berani menunggu datangnya siksa itu. Nabi Yunus putus asa atas kebengalan kaumnya itu. Ia pergi meninggalkan mereka.

Setelah 40 hari tiba-tiba muncullah awan gelap dipagi hari: Bertambah siang mereka melihat cahaya merah seperti api hendak turun dari langit. Mereka ketakutan, berbondong-bondong mencari Nabi Yunus tetapi tidak ketemu. Tak seorangpun mengetahui tempatnya. Lalu mereka bertobat dan menjalankan ajaran Nabi Yunus. Maka siksa tak jadi diturunkan.

INILAH MOZAIK