Cara Bertaubat dari Dosa Menurut Imam al-Qusyairi

Berikut cara bertaubat dari dosa Menurut Imam al-Qusyairi. Manusia tidak ada yang bisa lepas dari dosa dan terjerumus ke dalam hitamnya dosa. Baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Baik itu yang disengaja ataupun tidak disengaja. Pendek kata manusia tempat berlabuh kesalahan, kekhilafan, dan dosa.

Doa yang dikerjakan manusia terhubung dalam dua hal. Dosa yang berkaitan dengan hak Allah, seperti meninggalkan shalat, tidak berpuasa, atau lalai dalam beribadah lain. Pada sisi lain, ada juga dosa yang berkaitan dengan hak manusia, misalnya saja dosa  karena membunuh nyawa manusia tanpa hak, mencuri barang milik orang lain, menganiaya sesama manusia, menggibah manusia dan membicarakan aib orang lain.  

Meskipun manusia sering dan pernah jatuh dalam kubangan dosa, maka sebaik-baiknya manusia  bertaubat dan meminta ampunan atas segala dosa yang pernah dilakukan. Pasalnya, dengan bertaubat maka orang tersebut akan mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah.

Hal ini sebagaimana tertuang dalam QS. At-Tahrim ayat 8 , Allah berfirman sebagai berikut: 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ يَوْمَ لَا يُخْزِى ٱللَّهُ ٱلنَّبِىَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَٰنِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَٱغْفِرْ لَنَآ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ yā

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia;

Sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. At-Tahrim: 8)

Taubat nasuha merupakan taubat yang akan diampuni Allah. Kendatipun dosa dilakukan adalah dosa besar. Dengan bertaubat maka Allah akan mengampuni dosa tersebut. Akan tetapi untuk mencapai taubat nasuha ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan.

Menurut Imam Abi al-Qasim al-Qusyairy, dalam kitab yang berjudul al-Risalah al-Qusyairiyah, halaman 127, bahwa syarat taubat nasuha ada tiga macam. Pertama, menyesali kesalahan yang telah dilakukan. Penyesalan terhadap dosa yang telah dilakukan merupakan tahapan awal dalam proses melaksanakan taubat.

Kedua, meninggalkan kesalahan dalam keadaan apapun. Setelah menyesal, seorang yang ingin bertaubat harus meninggalkan dosa yang telah ia lakukan. Pasalnya, penyesalan saja tak cukup, jika kemudian dosa itu diulangi kembali.

Syarat taubat yang ketiga adalah berjanji tidak akan mengulangi perbuatan maksiat tersebut. Setelah menyesal, lalu meninggalkan dosa, maka yang orang taubat  harus berjanji tidak akan jatuh dalam dosa lagi.  

شرط التوبة حتى تصح ثلاثة اشياء: الندم على ما عمل من المخالفات، و ترك الزلة في الحال،  و العزم على ان لا يعود إلى مثل ما عمل من المعاصي. فهذه الاركان لا بد منها، حتى تصح توبته.

 Artinya: Bahwa syarat sampai diakui sebagai tobat yakni melingkupi tiga hal. Pertama, menyesali kesalahan yang telah dilakukan. Kedua, meninggalkan kesalahan dalam keadaan apapun dan ketiga menetapkan atau berjanji tidak akan mengulangi perbuatan maksiat serupa. Maka rukun-rukun ini adalah wajib, agar tobatnya menjadi sah

 Sementara itu dalam Syekh Abu Bakar Syatha dalam kitab yang berjudul Kifayat Al-Atqiya’ halaman 46 menjelaskan ada satu syarat lagi jika ingin taubat nasuha. Satu syarat lagi itu berkaitan dengan dosa terkait haq adami [ urusan dosa dengan manusia], yaitu harus bebas dari hak manusia lain.

Misalnya, seorang yang mencuri, ketika ingin taubat harus mengembalikan barang curian, atau dosa mengghibah orang lain seyogianya meminta maaf. Simak penjelasan dalam kitab Kifayat al Atqiya;

والبراءة من جميع حقوق الآدميين

Artinya: Seseorang harus bebas dari semua hak-hak adami. 

Ketika empat syarat tersebut telah dicapai, maka dosa dan kesalahan tersebut akan diampuni dan dimaafkan oleh Allah yang Maha Agung. [Baca juga: Ini Doa Taubat Nasuha dari Imam Al-Ghazali]

Demikian penjelasan terkait cara bertaubat dari dosa menurut Imam al-Qusyairi. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Tata Cara Salat Tobat

Setiap manusia berpotensi melakukan dosa baik kecil maupun besar. Akan tetapi, Allah ‘Azza Wajalla menunjukkan rahmat-Nya kepada kita semua, yaitu dengan membuka pintu tobat selebar-lebarnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

إنَّ اللَّهَ كَتَبَ كِتابًا قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الخَلْقَ: إنَّ رَحْمَتي سَبَقَتْ غَضَبِي، فَهو مَكْتُوبٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ

Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla menetapkan satu ketetapan sebelum menciptakan makhluk yang berisi: sesungguhnya rahmat-Ku jauh melampaui kemurkaan-Ku. Dan itu tercatat di sisi-Nya di atas ‘arsy.” (HR. Bukhari no. 7554)

Termasuk dengan disyariatkannya salat tobat bagi mereka yang mengerjakan perbuatan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ : “وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Tidaklah seorang hamba melakukan dosa, kemudian bersuci dan salat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah pasti akan mengampuni dosanya. Kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama membaca ayat,

وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahui(nya).” (QS Ali Imran: 135).” (HR. Abu Dawud no. 1521)

Dalam hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ، غَفَرَ لَهُ

Barangsiapa berwudu dengan baik kemudian mengerjakan salat dua rakaat atau empat rakaat (perawi hadis ragu terhadap redaksi – komentar ini bukan bagian lafaz hadis) dengan memperbagus zikir dan khusyu, kemudian meminta ampunan kepada Allah, maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Ahmad no. 26998)

Dan cara-cara mengerjakannya adalah sebagai berikut:

Pertama: Dikerjakan dalam rangka bertobat setelah melakukan perbuatan dosa.

Kedua: Salat tobat dikerjakan sebanyak dua rakaat sebagaimana salat sunah yang lain.

Ketiga: Disunahkan untuk dikerjakan secara sendirian, bukan berjemaah.

Keempat: Disunahkan beristigfar setelahnya dengan lafaz-lafaz istigfar yang datang dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama atau dengan kalimat yang mudah baginya untuk diucapkan.

Kelima: Dianjurkan bagi siapapun yang bertobat dari dosa untuk memperbanyak amalan kebaikan setelahnya.

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita agar senantiasa dan bersegera untuk bertobat kepada-Nya. Aamin

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82389-tata-cara-salat-taubat.html

Kapan Waktu Terbaik untuk Bertaubat?

Umumnya, manusia akan menyesal setelah melakukan kesalahan. Ketika melakukan kesalahan, ia merasa ada sesuatu yang tidak tepat yang tidak dilakukan. Permasalahannya, ia mau tidak mengakuinya sebagai kesalahan. Banyak juga yang sulit untuk mengakuinya, karena sekian alasan. Begitu juga kesalahan yang berupa dosa. Allah Swt. sebenarnya begitu luas rahmat-Nya untuk menerima permohonan ampun berupa bertaubat. Tapi adakah waktu terbaik untuk bertaubat ?

Untuk menjawab itu, saya mengutip penjelasan Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, mendiang ulama Suriah, pakar fikih, tafsir, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya dalam bukunya Akhlaq al-Muslim wa ‘Alaaqatuh bi al-Khaliq (Akhlaq Seorang Muslim: Hubungan Muslim dengan Tuhannya). Menurut Syaikh Wahbah, taubat yang diridhai dan diterima (meski bukan berarti di waktu lain ditolak sama sekali) adalah taubat yang dilakukan segera atau sesaat setelah berbuat dosa atau maksiat tanpa ditunda-tunda. Dan, taubat tersebut tetap diterima baik melakukan maksiat itu karena tidak tahu, sengaja, atau secara terpaksa. Dalilnya adlaah surah An-Nisa’ ayat 17-18,

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا *** وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Sesungguhnya taubat di sisi Allah itu hanyalah bagi mereka yang melakukan keburukan disebabkan karena kejahilan, kemudian mereka bertaubat segera (setelah tahu itu keburukan). Maka sesungguhnya mereka itulah yang disisi Allah taubatnya. Dan Allah itu maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan taubat tidaklah terdapat pada orang-orang yang melakukan aneka keburukan sampai ketika kematian menemui mereka, mereka (baru berkata) sesungguhnya sekarang saya sudah bertaubat, dan tidak juga (taubat) diberikan kepada mereka yang meninggalkan dalam keadaan tidak beriman. Mereka itulah yang telah Kami sediakan azab yang pedih.

Hakikatnya, pintu taubat itu selalu terbuka selama manusia itu hidup dan belum sampai masa sakaratul maut, yaitu ketika ruh sudah berada di kerongkongan. Kenapa di saat sudah sakaratul maut tersebut tidak diterima ? Menurut Syaikh Wahbah, karena taubat tidak lagi bisa bermanfaat. Taubat itu bermanfaat di kehidupan, karena kehidupan itulah ruang yang terbuka bagi manusia untuk memperbaiki kesalahan, dan jihad manusia untuk menjadi pribadi yang lurus, mulia, pemurah dan tidak menjadi hina. Maksiat, sesungguhnya membuat manusia terhina, dan ia senantiasa merasa gelisah akibat kemaksiatan yang dilakukan dan penyimpangannya. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Kasih Sayang Allah Kepada Hamba yang Bertaubat

Allah memberikan kasih sayangnya terhadap hambanya yang serius ingin memperbaiki diri. Allah SWT berfirman,

“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka, kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.” (QS az-Zumar [39]:53-54).

Lihatlah bagaimana Allah SWT justru mengundang orang-orang yang berbuat dosa untuk datang kepada-Nya. Allah SWT membuka pintu maaf seluas-luasnya bagi orang yang ingin kembali. Hal ini berbeda 180 derajat jika kita berbuat kesalahan kepada manusia. Bertemu dengan orang tersebut saja kita merasa malu. Tapi, apa jadinya jika kita berbuat kesalahan, tapi justru disambut dengan hangat oleh orang tersebut?

Begitulah Allah SWT memperlakukan hamba-Nya.Tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Toh, setiap kita yang tampak alim sekali pun pasti tak luput dari setiap dosa-dosa yang terus mengintai. Datanglah kepada Allah dan pasti Allah akan menerima tobat kita. “Dan, barang siapa yang bertobat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan menerima tobatnya.” (QS al-Furqaan [25]: 71)

IHRAM

26 Tahun Tak Pernah Shalat, Gadis Ini jadi Belajar Shalat selama Dikarantina karena Corona

Seorang gadis di Singapura bernama Nur Rashima Murat (27) mengalami perubahan luar biasa karena adanya pandemi Corona. Melalui media sosialnya, Shima bercerita blak-blakan bahwa selama ini tak pernah shalat meski beragama Islam. Namun ketika harus dikarantina karena Corona, ia jadi belajar untuk shalat.

Melalui media sosialnya, Shima mengunggah foto sajadah berwarna biru dengan banyak kertas berjejer di atasnya.

Kertas-kertas itu berisi tulisan bacaan salat yang sedang dihafalkan oleh Shima.

“Setelah 26 tahun hidup, ini adalah shalat subuh pertamaku.
Aku harus jujur bahwa aku melakukannya sangat lama, lebih dari 10 menit.
Aku rasa ada beberapa kalimat (bacaan shalat) yang tidak aku ucapkan dengan benar.
Tapi Insya Allah aku akan bisa menguasainya suatu hari nanti.
Teruntuk kamu, terimakasih telah menuntunku ke jalan yang benar pada akhirnya.
Jika aku tahu semudah ini melaksanakan shalat, aku pasti akan belajar dan melakukannya dari dulu,” tulis Shima.

Shima mengaku memang sudah ada niatan untuk shalat usai putus dengan tunangannya, namun niatan tersebut belum mampu terwujud.

Kepada Mstar, Shima menceritakan secara lengkap tentang apa yang ia alami.

Shima berkata jujur bahwa selama 26 tahun hidupnya, ia memang tidak pernah shalat. Bukan karena ayah ibu tak pernah mengajarinya, tapi karena ia malas.

“Sejujurnya selama 26 tahun ini saya tidak pernah shalat, bukan karena ayah ibu tidak mengajari tapi karena saya malas,” ucapnya.

Hingga belum lama ini, gadis yang tinggal di Singapura itu baru kembali dari Eropa. Sepulang dari Eropa, Shima harus menjalani karantina untuk mencegah penularan Covid-19. Kesempatan itu lantas digunakannya untuk belajar shalat.

Shima merasa ini adalah saat yang tepat karena ia harus tinggal di rumah selama beberapa waktu.

“Saya banyak meninggalkan shalat dan ini adalah waktu untuk memperbaikinya. Saya hanya duduk di rumah saja sehingga saya bisa fokus belajar bacaan shalat,” ucapnya.

Niat itu ternyata bisa terwujud dengan baik. Shima mengaku tak mengalami kesulitan ketika harus menghapal bacaan shalat. Ia bahkan takjub karena bisa menghapalkannya dalam waktu singkat.

“Alhamdulillah sekarang saya bisa shalat dengan tenang. Saya tidak perlu pakai banyak catatan lagi. Suprisingly saya bisa hapal hanya dalam waktu sehari,” kata Shima.

Shima yang merupakan anak ketiga dari lima bersaudara itu juga bersyukur bisa menjalani karantina dengan lancar. []

ISLAMPOS


Mengenal Taubat Lebih Dekat

Banyak orang beranggapan bahwa taubat adalah ibadah yang khusus untuk orang-orang yang berbuat banyak dosa. Sedangkan orang-orang yang menjalankan kewajiban dan meninggalkan semua larangan tidak harus dan tidak butuh bertaubat.

Ini adalah anggapan yang keliru. Setiap mukmin dituntut untuk memperbanyak taubat dan istighfar kepada Allah Ta’ala. Bahkan semakin seseorang mengenal Rabb nya, maka semakin banyak pula taubat dan istighfarnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertakwa, paling zuhud dan wara’, paling mulia akhlaknya. Ditambah lagi beliau adalah seorang yang ma’shum. Namun walaupun demikian, beliau merupakan orang yang paling banyak bertaubat dan beristighfar.

Beliau bersabda:

والله إنى لأستغفر الله وأتوب إليه فى اليوم أكثر من سبعين مرة

Demi Allah sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dalam satu hari lebih dari 70 kali.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah, No. 6307)

Lalu mengapa kita harus bertaubat?

Seorang ulama berkata, “Aku berdo’a kepada Allah selama 30 tahun agar Dia menganugerahiku taubat yang benar. Lalu aku terheran-heran dalam hatiku sambil berkata, “Sesuatu yang telah kupinta selama 30 tahun, namun belum kunjung datang jua.” Kemudian aku bermimpi bertemu dengan seseorang, lalu dia berkata, “Kenapa engkau terheran-heran karenanya? Tahukah engkau apa yang sedang engkau minta kepada Allah? Sesungguhnya engkau sedang meminta agar Allah mencintaimu! Bukankah engkau pernah mendengar firman Allah Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang suka bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

(Lihat Ghidzaa’ -l Albaab, Al-Imam As-Saffaariini, 2/590)

Penyesalan adalah taubat

Taubat bukan hanya menyesal terhadap perbuatan maksiat yang telah ia lakukan. Akan tetapi lebih luas dari itu, menyesal terhadap perbuatan taat yang luput darinya, menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan berbuat kebajikan pun termasuk kategori taubat. Seseorang yang tidak pernah shalat sunnah dan puasa sunnah -misalnya-, lalu dia menyesal betapa banyak pahala yang ia sia-siakan dan berjanji akan melaksanakannya, ini juga disebut dengan taubat.

Uhud, saksi penyesalan Anas

Dia adalah Anas bin An-Nadhr radhiyallaahu ‘anhu. Paman Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Beliau termasuk salah seorang sahabat yang tidak ikut serta dalam perang Badr. Sepengetahuan mereka -para sahabat yang berada di Madinah- bahwa Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar Madinah bukan untuk berperang pada waktu itu. Tapi untuk mencegat kafilah dagang kaum Quraisy yang datang dari Syam di bawah pimpinan Abu Sufyan. Maka tidak semua sahabat ikut serta. Dan kebanyakan mereka tidak mengetahui kalau di Badr itu akan terjadi peperangan yang dahsyat. Yang jelas, Anas bin An-Nadhr radhiyallaahu ‘anhu sangat menyesal dan terpukul sekali tidak ikut serta dalam perang bersejarah itu. Kemudian Anas bin An-Nadhr radhiyallaahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullaah, aku tidak hadir dalam peperangan pertama melawan kaum musyrikin. Demi Allah, jika Allah memperkenankanku untuk ikut dalam peperangan melawan mereka, niscaya aku akan memperlihatkan pada-Nya apa yang akan ku perbuat.”

Ketika perang Uhud, pada saat kaum muslimin diserang balik oleh kaum musyrikin, Anas bin An-Nadhr radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ya Allah, aku mohon ampun atas apa yang dilakukan sahabat-sahabatku (karena sebagian kaum muslimin ada yang mundur ke belakang kala itu -pen), dan aku berlepas diri dari apa yang dilakukan orang-orang musyrik.” Lalu ia pun maju dengan gagah berani berpapasan dengan Sa’ad bin Mu’adz radhiyallaahu ‘anhu, sambil berkata kepadanya, “Wahai Sa’ad bin Mu’adz! Surga… Demi Rabb Ka’bah, sungguh aku mencium bau surga di balik gunung Uhud.” Sa’ad berkata menceritakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Aku tidak mampu melakukan apa yang ia lakukan, wahai Rasulullah!”

Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu -perawi yang menceritakan kisah ini- berkata, “Kami menemukan jenazahnya (Anas bin An-Nadhr -pen) penuh dengan luka lebih dari 80 bekas baik itu sayatan pedang, tusukan tombak, dan lemparan panah. Kaum musyrikin telah mencabik-cabik tubuhnya. Tidak ada yang mengenali tubuhnya kecuali saudarinya yang mengenalinya lewat jari-jemarinya.” (Lihat Shahih Al-Bukhari hadits no. 4048 dan Shahih Muslim hadits no. 1903)

Allah Ta’ala berfirman:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

Dan di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya.” (QS. Al-Ahzab: 23).

Inilah bukti kesungguhan penyesalannya. Cukuplah gunung Uhud menjadi saksi atas hal itu.

Tanyakan pada dirimu

Sudahkah engkau bertaubat? Berapa kalikah hari ini engkau bertaubat? Menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan meraup pahala dengan melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan? Lebih-lebih di bulan Ramadhan mendatang. Sudah berapa kali Ramadhan menemuimu, adakah di sana peningkatan iman, ilmu dan amal? Ramadhan tahun ini akan kah sama seperti tahun-tahun yang lalu?

Menyesallah… sebelum penyesalan itu tak berguna.

Bertaubatlah… selama pintu taubat masih terbuka.

Bangkitlah… untuk menyusul saudaramu di surga.

Duhai hati yang lalai… lisan yang kering… dari memohon ampun dan bertaubat kepada Allah Jalla wa ‘Alaa… belum kah tiba waktunya melakukan pembenahan?! Kalau bukan sekarang kapan lagi? Apakah engkau menjamin kalau esok hari dirimu masih melihat sinar matahari pagi? Bukankah Ramadhan yang lalu engkau masih melihat temanmu si Fulan shalat tarawih di masjid bersamamu, lalu keesokan harinya engkau mengusungnya ke kuburan? Siapa sangka kalau Ramadhan kali ini giliranmu? Allaahul Musta’aan.

Penulis: Ustadz Abu Yazid Nurdin

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/20983-mengenal-taubat-lebih-dekat.html

Apakah Taubat Harus Diumumkan?

Dalam artikel ini akan dibahas beberapa syarat taubat dan kondisi seperti apa taubat dianjurkan untuk diumumkan

Luasnya Kesempatan untuk Bertaubat

Sungguh Allah Ta’ala telah melapangkan dan melonggarkan serta memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada kita untuk bertaubat kepada-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ النَّهَارِ ، وَبِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ اللَّيْلِ

“Sungguh, Allah meluaskan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di siang hari. Dan Allah meluaskan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di malam hari” (HR. Muslim no.7165)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لمَ ْيُغَرْغِرْ

“Sungguh Allah menerima taubat hamba-Nya selama belum yu-ghor-ghir” (HR. At Tirmidzi, 3880. Ia berkata: “Hadits ini hasan gharib”. Di-hasan-kan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi)

Yu-ghor-ghir artinya ketika nyawa sudah sampai di kerongkongan. Itulah batas waktu terakhir yang Allah tidak menerima lagi taubat hamba-Nya.

Syarat-Syarat Taubat

Kebanyakan ulama menyebutkan syarat taubat minimalnya ada tiga:

  1. Al iqla’ (berhenti melakukan maksiat)
  2. An nadam (menyesal)
  3. Al ‘azm (bertekad untuk tidak mengulang lagi)

Orang yang melakukan tiga hal ini maka ia dianggap sudah bertaubat. Dan tiga syarat ini yang paling banyak disebutkan para ulama ketika menyebutkan syarat-syarat taubat. Umar bin Khathab radhiallahu’anhu mengatakan:

التَّوْبَةُ النَّصُوحُ أَنْ يَتُوبَ ثُمَّ لَا يَعُودَ إِلَى الذَّنْبِ، كَمَا لَا يَعُودُ اللَّبَنُ إِلَى الضَّرْعِ

“taubat nasuha adalah dengan tidak mengulang lagi dosa yang ia taubati, sebagaimana susu yang tidak akan masuk lagi ke perahannya”

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan:

هِيَ أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ نَادِمًا عَلَى مَا مَضَى؛ مُجْمِعًا عَلَى أَلَّا يَعُودَ فِيهِ

“Taubat seorang hamba adalah dengan menyesal terhadap apa yang telah ia lakukan, ditambah dengan tekad untuk tidak melakukannya lagi”.

Al Qurthubi rahimahullah mengatatakan:

يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الِاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ ، وَالْإِقْلَاعُ بِالْأَبْدَانِ ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ الْعَوْدِ بِالْجَنَانِ ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّئِ الْإِخْوَانِ

“Taubat itu menggabungkan 4 hal: istighfar dengan lisan, berhenti melakukan maksiat dengan badan, bertekad untuk tidak kembali melakukannya dengan anggota badan, dan menjauhi teman-teman yang buruk”

[semua nukilan di atas dari Tafsir Al Baghawi, 8/169]

Haruskah Taubat Diumumkan?

Lalu apakah orang yang bertaubat dari suatu maksiat wajib mengumumkan taubatnya kepada orang banyak? Apakah mengumumkan taubat adalah salah satu syarat taubat?

Jumhur ulama mengatakan tidak wajib, bahkan yang utama adalah bertaubat secara sirr (tidak diumumkan). Karena dalil-dalil menunjukkan tidak disyaratkannya mengumumkan taubat. Allah ta’ala berfirman:

إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

“…kecuali orang yang bertaubat, dan beriman (dengan benar) dan beramal shalih, maka mereka akan digantikan keburukan-keburukan mereka dengan kebaikan-kebaikan” (QS. Al Furqan: 80).

Dalam ayat ini tidak disebutkan syarat mengumumkan taubat, namun Allah menjanjikan ampunan dan dosa-dosanya diganti dengan kebaikan.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Penyesalan itu taubat” (HR. Ahmad no.3568, Ibnu Majah no.4252, Al Baihaqi no.21067. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Menunjukkan bahwa inti dari taubat adalah penyesalan, walaupun tidak diumumkan kepada orang banyak sudah dianggap taubat.

Kondisi Dianjurkan Mengumumkan Taubat

Jika seseorang melakukan maksiat yang tersebar luas dan ia masyhur dikenal sebagai pelaku maksiat tersebut. Maka ketika itu hendaknya diumumkan.

Ibnu Rajab menjelaskan:

وجمهور العلماء على أن من تاب من ذنب فالأصل أن يستر على نفسه, ولا يقر به عند أحد، بل يتوب منه فيما بينه وبين الله عز وجل, روي ذلك عن أبي بكر، وعمر، وابن مسعود، وغيرهم، ونص عليه الشافعي, ومن أصحابه وأصحابنا من قال: إن كان غير معروف بين الناس بالفجور فكذلك، وإن كان معلنًا بالفجور مشتهرًا به فالأولى أن يقر بذنبه عند الإمام ليطهره منه

“Jumhur ulama mengatakan bahwa orang yang taubat asalnya hendaknya menyembunyikan taubatnya. Tidak menyampaikannya kepada siapapun. Namun ia simpan antara dia dengan Allah ‘azza wa jalla. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan sahabat yang lain. Asy Syafi’i juga menegaskan pendapat ini. Dan diantara ulama madzhab kami (Hambali) ada yang mengatakan: jika orang tersebut tidak dikenal sebagai ahli maksiat maka hendaknya ia sembunyikan taubatnya. Namun jika ia mengumumkan maksiatnya sehingga ia masyhur dikenal sebagai pelaku maksiat tersebut, maka yang lebih utama ia nyatakan taubatnya di depan imam untuk membersihkan namanya” (Fathul Bari, 1/61-62).

Intinya, taubat perlu diumumkan jika ada kebutuhan untuk membersihkan namanya dari maksiat yang pernah ia lakukan, agar kehormatannya terjaga. Namun jika tidak ada kebutuhan, yang lebih utama tidak mengumumkan taubatnya.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53589-apakah-taubat-harus-diumumkan.html

Perbedaan Istighfar dan Taubat

Adakahperbedaan antara istighfar dan taubat? Apakah saat seroang beristighfar serta merta bisa dikatakan bertaubat?

Dua istilah yang tampak sama ini, ternyata pada hakikatnya terdapat perbedaan. Berikut perbedaannya :

Pertama : Taubat ada batas waktunya, sementara istighfar tidak ada batas waktunya.

Oleh karenanya sampai orang yang sudah meninggal masih bisa dimohonkan ampunan. Adapun taubat tak diterima ketika nyawa seorang sampai pada kerongkongan. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.

Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan” (HR. Tirmidzi, dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma).

Oleh karenanya seorang yang telah meninggal dunia tidak ditaubatkan, namun mungkin baginya untuk dimohonkan ampunan atau didoakan istighfar. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hashr :10).

Kedua : Taubat hanya bisa dilakukan oleh pelaku dosa itu sendiri, adapaun istighfar bisa dilakukan oleh pelaku dosa dan juga orang lain untuknya.

Oleh karenanya seorang anak bisa mendoakan isighfar untuk ayahnya, atau seorang sahabat kepada sahabatnya yang lain, namun tidak bisa dikatakan seorang anak men-taubatkan bapaknya atau seorang rekan men-taubatkan kawannya.

Ketiga : Taubat memiliki syarat harus berhenti dari dosa yang ditaubati. Adapun istighfar tidak disyaratkan demikian.

Oleh karenanya ada suatu masalah penting yang dikaji oleh para ulama berkaitan hal ini, yakni apakah istighfar bermanfaat tanpa taubat?

Maksudanya apabila seorang beristighfar sementara ia masih terus melakukan maksiat, apakah istighfar itu bermanfat? Misalnya seorang merokok dan ia mengakui bahwa rokok itu haram, kemudian beristighfar, namun tidak berhenti dari merokok, apajah istighfarnya tersebut dapat menghapus dosa merokok yang ia lakkan? Mengingat salahsatu syarat taubat adalah berlepas diri dari dosa yang ditaubati.

Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini :

Pendapat pertama: istighfar tidak bermanfaat tanpa taubat. Karena istighfar adalah jalan menuju taubat. Sehingga apabila maksud tidak tercapai maka istighfar yang dilakukan menjadi sia-sia. Maka menurut ulama yang memegang pendapat ini, istighfar yang dilakukan oleh perokok pada kasus di atas tidak bermanfaat.

Pendapat kedua: istighfar bermanfaat meski pelaku belum bertaubat. Karena dalam hadis-hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dibedakan antara istighfar dan taubat. Seperti hadis berikut,

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

Demi Allah, sungguh diriku beristighfar dan bertaubat dalam sehari lebih dari 70 kali” (Muttafaqun’alaih).

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “… 100 kali“.

Pada hadis di atas istighfar dan taubat disebutkan secara terpisah. Menunjukkan bahwa istighfar dapat bermanfaat dengan sendirinya, meski tidak diiringi taubat.

Maka, menurut para ulama yang memegang pendapat ini, istighfar yang dilakukan oleh perokok pada kasus di atas bermanfaat. Boleh jadi Allah mengijabahi permohonan ampunnya meskipun ia belum bertaubat.

Namun ada kesimpulan yang sangat baik dari guru kami; Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili -hafidzohullah- ketika mengkompromikan dua pendapat di atas. Beliau menjelaskan bahwa istighfar ada dua keadaan :

Pertama : Istighfar / permohonan ampun untuk pelaku dosa yang dilakukan oleh orang lain.

Seperti istighfarnya Malaikat untuk orang yang duduk di tempat sholat selama wudhunya tidak batal, para Malaikat mendoakannya,

اللهم اغفرله اللهم ارحمه

Ya Allah ampunilah dan rahmatilah dia..” (HR. Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah –radhiyallahu’anhu-).

Atau istighfar anak untuk orang tuanya,

رب اغفر لي ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا

Ya Tuhanku ampunilah aku dan kedua orangtuaku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka telah menyayangiku di waktu kecil“.

Nabi juga pernah memerintahkan para sahabat beliau ketika raja Najasi meninggal dunia, untuk mendoakan ampunan untuknya,

استغفروا لأخيكم

Doakanlah istighfar untuk saudara kalian..” (HR. Bukhori dan Muslim).

Beliau juga bersabda sesuai menguburkan salah seorang sahabat beliau,

استغفروا لأخيكم واسلوا له التثبيت فإنه الآن يسأل

Doakan istighfar untuk saudara kalian. Dan mohonkan untuknya ketetapan hati, karena dia sekarang sedang ditanya” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Hakim).

Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan istighfar untuk mayit bukan taubat untuk mayit. Mengingat perbuatan ini diperintahkan oleh syariat, menunjukkan bahwa istighfar untuk mayit dapat bermanfaat. Karena Allah tidaklah memerintahkan sesuatu kecuali perbuatan yang bermanfaat. Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam agama kita.

Kedua : Istighfar pelaku dosa untuk darinya sendiri.

Yang tepat, istighfar seperti ini dapat bermanfat untuk pelakunya mesti ia belum bertaubat, namun, dengan syarat, istighfar tersebut muncul karena rasa takutnya kepada Allah ‘azza wa jalla yang sebenarnya dan jujur. Maka orang seperti ini berada pada dua situasi : antara takut kepada Allah dan kalah oleh hawa nafsu. Saat rasa takut muncul ia beristighfar dan saat ia dikalahkan oleh syahwatnya ia terjerumus dalam dosa, dan ia memyadari bahwa yang dilakukan adalah dosa. Istighfar untuk orang seperti ini kita katakana bermanfaat untuknya.

Adapun istighfar yang hanya di lisan, bukan karena takut kepada Allah, maka ini istighfar yang dusta. Seorang mengatakan astaghfirullah, akantetapi dalam hatinya tidak ada rasa bersalah, takut kepada Allah dan kesadaran bahwa yang dilakukan adalah dosa. Maka istighfar seperti ini tidak bermanfaat sama sekali.

Oleh karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah– ketika menjawab permohonan Abul Qosim al Maghribi –rahimahullah-, untuk menuliskan wasiat untuknya yang kemudian tulisan tersebut dikenal dengan Al Wasiyyah As Sughro, menyatakan,

فإن الله قد يغفر له إجابة عن دعائه، وإن لم يتب، فإذا اجتمعت الاستغفار و التوبة فهو الكمال

Allah bisa jadi mengampuninya sebagai pengabulan atas doanya, meski ia belum bertaubat. Namun bila berkumpul antara istighfar dan taubat maka itulah yang sempurna” (Al Wasiyyah As Sughro, hal. 31. Tahqiq Sobri bin Salamah Sāhin).

Bila seorang dapat mengumpulkan istighfar dan taubat, maka itulah yang sempurna dan diharapkan. Sebagaimana Allah mengumpulkan kedua hal ini dalam firmanNya,

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah. Lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka (beristighfar), siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?! Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu (bertaubat), sedang mereka mengetahui” (QS. Ali Imron : 135).

Seperti yang dilakukan Nabi kita shallallahu’alaihi wasallam, “Demi Allah, sungguh diriku beristighfar dan bertaubat dalam sehari lebih dari 70 kali” (Muttafaqun’alaih).

Wallahua’lam bis showab…

[Tulisan ini adalah rangkuman faidah kajian Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili –hafizhahullah– di Masjid Nabawi, saat mengkaji buku Al Wasiyyah As Sughro, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah-]

***

Penulis : Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29214-perbedaan-istighfar-dan-taubat.html

Pengertian Taubat Nasuha

Di antara perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah perintah untuk taubat. Taubat ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh Allah Ta’ala sebagai sarana agar para hamba-Nya memperbaiki diri atas dosa, maksiat, dan kesalahan yang telah mereka perbuat. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim [66]: 8).

Oleh karena itu, taubat merupakan ibadah yang sangat agung dan memiliki banyak keutamaan. [1] Lalu, apa maksud taubat nasuha sebagaimana yang Allah Ta’ala perintahkan dalam ayat di atas?

Makna Pertama: Taubat yang Murni (Ikhlas) dan Jujur

Secara bahasa, نصح (na-sha-kha) artinya sesuatu yang bersih atau murni (tidak bercampur dengan sesuatu yang lain). Sesuatu disebut (الناصح) (an-naashikh), jika sesuatu tersebut tidak bercampur atau tidak terkontaminasi dengan sesuatu yang lain, misalnya madu murni atau sejenisnya. Di antara turunan kata نصح adalah  النصيحة(an-nashiihah). (Lihat Lisaanul ‘Arab, 2/615-617).

Berdasarkan makna bahasa ini, taubat disebut dengan taubat nasuha jika pelaku taubat tersebut memurnikan, ikhlas (hanya semata-mata untuk Allah), dan jujur dalam taubatnya. Dia mencurahkan segala daya dan kekuatannya untuk menyesali dosa-dosa yang telah diperbuat dengan taubat yang benar (jujur).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

أَيْ تَوْبَةً صَادِقَةً جَازِمَةً تَمْحُو مَا قَبْلَهَا مِنَ السَّيِّئَاتِ، وَتَلُمُّ شَعَثَ التَّائِبِ وَتَجْمَعُهُ وَتَكُفُّهُ عَمَّا كَانَ يَتَعَاطَاهُ مِنَ الدَّنَاءَاتِ.

Yaitu taubat yang jujur, yang didasari atas tekad yang kuat, yang menghapus kejelekan-kejelekan di masa silam, yang menghimpun dan mengentaskan pelakunya dari kehinaan” (Tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim, 4/191).

Ketika menjelaskan ayat di atas, penulis kitab Tafsir Jalalain berkata,

صَادِقَة بِأَنْ لَا يُعَاد إلَى الذَّنْب وَلَا يُرَاد الْعَوْد إلَيْهِ

Taubat yang jujur, yaitu dia tidak kembali (melakukan) dosa dan tidak bermaksud mengulanginya.” (Tafsir Jalalain, 1/753).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

فَالنُّصْحُ فِي التَّوْبَةِ وَالْعِبَادَةِ وَالْمَشُورَةِ تَخْلِيصُهَا مِنْ كُلِّ غِشٍّ وَنَقْصٍ وَفَسَادٍ، وَإِيقَاعُهَا عَلَى أَكْمَلِ الْوُجُوهِ

An-nush-khu dalam taubat, ibadah, dan nasihat artinya memurnikan perkara-perkara tersebut dari semua kotoran, kekurangan, dan kerusakan. Seseorang melaksanakannya dalam bentuk yang paling sempurna.” (Madaarijus Saalikiin, 1/309-310).

Taubat nasuha ini akan terasa pengaruhnya bagi pelakunya, yaitu orang lain kemudian mendoakan kebaikan untuknya.

Al-Alusi rahimahullah berkata,

وجوز أن يراد توبة تنصح الناس أي تدعوهم إلى مثلها لظهور أثرها في صاحبها، واستعمال الجد والعزيمة في العمل بمقتضياتها

Taubat nasuha boleh juga dimaknai dengan taubat yang mendatangkan doa dari manusia. Artinya, manusia mendoakannya untuk bertaubat, sehingga tampaklah pengaruh taubat tersebut bagi pelakunya. Pelakunya pun mencurahkan kesungguhan dan tekad untuk melaksanakan konsekuensi dari taubatnya.“ (Ruuhul Ma’aani, 28/158).

Terdapat beberapa syarat agar taubat nasuha diterima, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama rahimahumullah. [2]

Makna Ke dua: Taubat yang Memperbaiki Kerusakan dalam Agama akibat Perbuatan Maksiat

Penulis ‘Umdatul Qari menjelaskan,

وأصل النَّصِيحَة مَأْخُوذ من نصح الرجل ثَوْبه إِذا خاطه بالمنصح

Adapun makna asal dari ‘nashihah’ diambil dari seseorang yang menjahit pakaiannya, ketika dia menyulam pakaiannya dengan jarum.” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 1/321)

Beliau rahimahullah kemudian melanjutkan,

وَمِنْه التَّوْبَة النصوح، كَأَن الذَّنب يمزق الدّين وَالتَّوْبَة تخيطه

(Dari kata nashihah tersebut) muncullah istilah ‘taubat nasuha’. Seakan-akan dosa (maksiat) telah merobek agama (seseorang), dan taubatlah yang menjahit kembali (robekan tersebut).” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 1/321).

Al-Qurthubi rahimahullah berkata,

وقيل: هي مأخوذة من النصاحة وهي الخياطة. وفي أخذها منها وجهان: أحدهما- لأنها توبة قد أحكمت طاعته وأوثقتها كما يحكم الخياط الثوب بخياطته ويوثقه

Dikatakan, (taubat nasuha) diambil dari kata ‘an-nashahah’, yaitu ‘jahitan’. Berdasarkan asal kata tersebut, terdapat dua sisi (makna) dari taubat nasuha. Pertama, karena taubat tersebut telah memperbaiki ketaatan dan menguatkannya. Sebagaimana jahitan yang memperbaiki pakaian dan menguatkannya.” (Al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, 18/199).

Berdasarkan makna secara bahasa di atas, maka pelaku taubat nasuha telah menyempurnakan taubatnya dan memperkuat taubatnya dengan melaksanakan berbagai macam amal ketaatan. Hal ini sebagaimana jahitan yang menyempurnakan (memperbaiki) pakaian, menguatkan, dan merapikannya.

Al-Alusi rahimahullah berkata,

وسميت التوبة نصوحا : أي توبة ترفو خروقك في دينك وترم خللك

Disebut dengan taubat nasuha, yaitu taubat yang memperbaiki robekan (lubang) dalam agamamu dan memperbaiki keburukanmu.” (Ruuhul Ma’aani, 28/157-158).

Abu Ishaq rahimahullah berkata,

بَالِغَة فِي النصح وَهِي الْخياطَة كَانَ الْعِصْيَان يخرق وَالتَّوْبَة ترفع

Taubat nasuha adalah taubat yang mencapai puncak kesempurnaan (yang dilaksanakan semaksimal mungkin, pen.). Taubat ini (sejenis dengan) pekerjaan menjahit. Seakan-akan maksiat telah merobek (agama), dan taubatlah yang menambal (menjahit atau memperbaikinya).” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 22/280).

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan sisi yang lain istilah taubat nasuha sesuai dengan makna bahasa di atas. Beliau rahimahullah berkata,

والثاني- لأنها قد جمعت بينه وبين أولياء الله وألصقته بهم، كما يجمع الخياط الثوب ويلصق بعضه ببعض.

Sisi yang ke dua, karena taubat nasuha mengumpulkan antara pelakunya dengan wali-wali Allah, dan merekatkannya. Hal ini sebagaimana jahitan yang merekatkan pakaian dan menyambung antara sisi (kain) yang satu dengan sisi lainnya.” (Al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, 18/199).

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam hamba-hambaNya yang gemar untuk bertaubat. [3]

***

Selesai disusun menjelang maghrib, Sint-Jobskade Rotterdam NL, 11 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/7359-pengertian-taubat-nasuha.html