Pengertian Kaidah Fiqih “al-Dhararu Yuzalu”

Pengertian Kaidah Fiqih “al-Dhararu Yuzalu”

Kaidah al-dhararu yuzalu merupakan salah satu kaidah pokok (qaidah kubra) dalam kaidah fikih. Yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna; “setiap dharar harus dihilangkan”.

Kaidah ini mencerminkan maqhasid al-syari’ah al-‘ammah (tujuan umum syariat), yakni mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Sebab, jika dharar tidak ada maka dalam waktu yang sama maslahat akan hadir.

Kaidah ini berpijak kepada sabda Rasulullah Saw;

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh ada dharar dan juga dhirar”. (HR. Bukhari)

Pengertian hadis ini adalah tidak boleh ada dharar dalam bentuk apapun baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain dan tidak boleh membalas dharar kepada orang lain dengan melakukan dharar yang sama.

Hal ini sebagaimana keterangan Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadzair halaman 7;

الثَّالِثَة: الضَّرَر يُزَال. وَأَصْلُهَا قَوْله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Kaidah kubra yang ketiga adalah al-dhararu yuzalu. Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah Saw; “tidak boleh ada dharar maupun dhirar”

Namun menurut Imam al-Zarqa redaksi hadis di atas oleh sebagian ulama dijadikan sebagai redaksi dari salah satu kaidah kubra sedangkan kaidah al-dhararu yuzalu dijadikan kaidah turunannya.

Meski demikian, perbedaan ini tidak berarti apa-apa. Perbedaan ini hanya soal sistematika saja, yang paling penting adalah bahwa esensi dari kaidah tersebut tetap sama yaitu menghilangkan setiap dharar yang ada.

Sebagai contoh, jika seseorang membeli suatu barang lalu ternyata terdapat cacat pada barang tersebut maka ia diperbolehkan mengembalikan barang tersebut dan meminta untuk diganti dengan yang baru. Sebab, cacat pada barang adalah ‘dharar’ dan dharar harus dihilangkan.

Contoh lain, jika seorang suami mendapati istrinya mengalami gangguan jiwa (gila) maka ia diberi pemilihan antara melanjutkan pernikahannya atau melapor kepada  hakim lalu memfasakh nikahnya. Sebab, gila merupakan aib sedangkan aib adalah dharar dan dharar harus dihilangkan.

Jadi, kaidah ini sesungguhnya ingin menjaga setiap mukallaf dari hal-hal yang dapat merugikan atau bahkan dapat mencelakakan dirinya. Setiap kali ada sesuatu yang dapat merugikan atau mencelakakan, sebisa mungkin sesuatu itu dihilangkan dengan cara apapun. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH