Pentingnya Tabayyun

DI tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi dewasa ini, satu persoalan yang sering menjadi biang munculnya berbagai persoalan umat manusia dewasa ini adalah terkait dengan bagaimana menerima dan mengeluarkan informasi. Perkembangan teknologi informasi membuat setiap informasi menyebar ke seluruh penjuru dunia dalam hitungan detik, dengan berbagai latar belakang dan tujuan pihak yang menyampaikannya.

Di sini, kita menyaksikan banyak konflik muncul karena manajemen menerima dan memberi informasi ini tidak dikelola secara baik oleh umat Islam, sesuai ajaran Islam. Baik dari di kalangan masyarakat awam, dari pelosok desa hingga kaum terdidik di perkotaan. Maka di tengah berbagai persoalan dan konflik di masyarakat Muslim dan dunia dewasa ini, kebutuhan bagi kita untuk kembali berperilaku sesuai dengan ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan sehingga cahaya Islam betul-betul muncul dari masyarakat Muslim, bukan justru tertutupi.

Oleh sebab itu, tugas kita adalah memastikan setiap informasi yang kita keluarkan atau informasi yang kita terima telah memenuhi kriteria “penyampaian-penerimaan” informasi yang ditegaskan Islam. Islam adalah agama yang secara jelas memiliki orientasi untuk menciptakan kedamaian dan kenyamanan bagi masyarakat, karena sebuah dunia yang damai akan lahir dari masyarakat yang damai pula. Sementara tatanan masyarakat yang damai lahir dari individu-individu yang berhati dan memiliki visi damai pula.

Komunikasi ideal
Oleh sebab itu banyak ayat-ayat dan hadis yang menyinggung tentang pola komunikasi yang ideal yang harus diperagakan umat Islam. Bahkan, secara jelas Islam memberikan rumus-rumus menuju kehidupan yang tenteram, aman dan penuh dengan nuansa baik sangka (husnudhan). Misalnya, firman Allah Swt yang menyeru kita untuk tabayyun: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujarat: 6)

video_syiar_islam

Ayat tersebut menjelaskan tentang rumus dalam menerima suatu informasi, agar informasi itu baik bagi kita dan masyarakat, di dunia hingga akhirat, baik informasi mengenai benda atau orang, mengenai agama, ilmu maupun perisitiwa yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menentukan sikapnya.

Oleh sebab itu, karena mengingat begitu esensinya sebuah informasi bagi seseorang, maka hendaknya jangan sampai informasi tersebut salah, palsu, kurang akurat, tidak valid agar penerima informasi ini (publik) tidak salah dalam mengambil sikap dan keputusan. Informasi yang tidak valid, salah, tidak akurat sesungguhnya adalah menggunjing.

Lalu bagaimana Islam memandang perbuatan menggunjing ini? Mari perhatikan ayat Allah Swt dalam Alquran: “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujarat: 12).

Terhadap menggunjing ini, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan menggunjing?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Dikatakan, “Bagaimana pendapatmu apabila apa yang aku katakan memang ada pada dirinya?” Beliau menjawab: “Apabila apa yang kamu katakan itu memang ada pada dirinya berarti engkau telah menggunjingnya dan apabila apa yang katakan itu tidak benar berarti kamu telah memfitnahnya.” (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat agar mengucapkan yang baik-baik atau diam.” (HR. Bukhari).

Dalam hadis di atas, Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk berbicara hal-hal yang baik saja. Dan jika tidak mampu mengucapkan hal-hal yang baik, maka Rasulullah mengajarkan kita agar diam saja, karena diam dalam konteks ini dianggap lebih baik baginya. Maksudnya, diam lebih baik daripada ucapan itu tidak bermanfaat apalagi mengandung fitnah. Fitnah lebih berbahaya dari pada membunuh karena dengan fitnah jumlah orang yang terbunuh tak terhingga, sedangkan pembunuhan itu sendiri hanya terjadi terhadap satu orang atau beberapa orang yang dapat diketahui jumlahnya.

Allah Swt juga menjelaskan tentang fondasi sebuah masyarakat yang aman dan damai, dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sesuatu puak (dari kaum lelaki) mencemuh dan merendah-rendahkan puak lelaki yang lain, (karena) harus puak yang dicemuhkan itu lebih baik daripada mereka; dan janganlah pula sesuatu puak dari kaum perempuan mencemuh dan merendah-rendahkan puak perempuan yang lain, (karena) harus puak yang dicemuhkan itu lebih baik daripada mereka; dan janganlah setengah kamu menyatakan keaiban setengahnya yang lain; dan janganlah pula kamu panggil-memanggil antara satu dengan yang lain dengan gelaran yang buruk. (Larangan-larangan yang tersebut menyebabkan orang yang melakukannya menjadi fasik, maka) amatlah buruknya sebutan nama fasik (kepada seseorang) sesudah ia beriman. Dan (ingatlah), sesiapa yang tidak bertaubat (dari pada perbuatan fasiknya) maka merekalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujarat: 11)

Fondasi persatuan
Kita yakin, bahwa apabila ayat-ayat tersebut di atas mampu diamalkan oleh umat Islam, maka Islam akan kembali berjaya, karena memang syarat kejayaan Islam adalah adanya fondasi persatuan yang kuat di kalangan umat Islam.

Lalu bagaimana cara menentukan suatu informasi benar dan akurat? Jika merujuk kepada cara periwayatan hadis, maka kategori hadis yang paling shahih adalah jika pihak yang meriwayatkan hadis itu memenuhi lima ciri yaitu bersambung sanad-nya (jalur penyampaiannya), kuat ingatan atau catatannya, adil, tidak ada cacat dan tidak syaz (kontradiktif dengan riwayat yang lebih kuat dari padanya).

Dari lima ciri perawi hadis di atas, yang perlu dicermati adalah syarat adil. Yang dimaksud dengan adil adalah orang yang meriwayatkan hadis tersebut terpelihara agamanya secara sempurna, terhindar dari sifat fasik dan terpelihara dari sifat yang meruntuhkan marwah-nya. Yang dimaksud dengan fasik adalah orang yang melakukan maksiat dan menyimpang dari agamanya, seperti orang yang tidak terpelihara shalatnya.

Meninggalkan salah satu waktu shalat, apalagi meninggalkannya berulang kali sudah cukup untuk menggolongkannya sebagai orang fasik yang tidak boleh diterima hadis darinya. Di antara sifat orang fasik yang lain adalah berbohong. Sedangkan yang dimaksud dengan marwah adalah orang yang berakhlak mulia seperti jujur dalam ucapannya dan terpelihara dari sifat tercela seperti mencaci-maki.

Oleh sebab itu, satu cara terbaik dalam menciptakan tatanan masyarakat yang aman dan damai adalah mengikuti tuntunan ajaran Islam, sesuai dengan ayat yang telah disebutkan di atas, yaitu berhati-hati dalam menerima sebuah informasi dengan meneliti apakah orang yang menyampaikan informasi itu adil sesuai dengan definisi yang telah disebutkan.

Sementara itu, jika seseorang tidak memiliki kemampuan meneliti dan tidak mengenal sosok penyampai informasi, maka cara terbaik adalah tidak menyebarkan berita tersebut sampai ia memastikan bahwa pembawa informasi itu adalah orang yang adil. Dalam kondisi seperti itu diam lebih baik baginya dari pada berucap, namun tidak benar. Wallahu a’lam bishshawab.

* Drs. H. Ibnu Sa’dan, M.Pd., Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Provinsi Aceh

 

sumber: Aceh TribunNews