Tabayyun, jangan menuduh

Dunia sekarang ibaratnya tanpa sekat apalagi batas. Semua begitu terbuka. Segala akses informasi begitu cepat lagi mudah diakses, positif ataupun negatif, benar ataupun salah.

Semua informasi begitu cepat dan susah untuk ditutup-tutupi. Itulah zaman now, saat kita bak berada pada sebuah kampung kecil.

Jangan menuduh

Sikap kita tentu tidak membatasi informasi hanya dari satu sumber. Tidak juga menutup mata dan telinga sehingga penilaian terhadap sesuatu tetap objektif dan benar. Akibat membatasi input informasi adalahkita rentanmelakukan kesalahan dalam menarik kesimpulan.

Tabayyun atau ‘berlaku adil terhadap suatu informasi’ merupakan salah satu proses yang baik yang semestinya kita lalui sebelum menentukan sikap. Akan tetapi, disebabkan dibiarkannya doktrin penyumbat pikiran dan pembelenggu jiwa, akan terlahir sosok-sosok tidak merdeka dalam alam pikirannya.

Tidak hanya itu, hatinya keras, tutur bahasanya pun kasar. Begitu mudah tuduhan yang dimunculkan kendatipun tanpa bukti kuat. Tanpa berpikir panjang disebarkanlah tuduhan itu sehingga rusaklah citra pribadi seseorang atau kelompok.

Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan:

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiq, dan menuduhnya dengan kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan.”

(Hadis riwayat Bukhari)

Ilmu dan hikmah adalah kunci agar diri kita berlaku adil. Bertindak bijaksana karena kita memiliki ilmu dan hikmah. Karena itu, sepatutnyalah kita senantiasa membuka diri untuk menggali ilmu dan informasi.

Belajar dari yang tersurat dan tersirat. Dari siapa saja kita menimba, tanpa pilih siapa dan kelompok mana. Islam memahamkan kepada kita agar menjunjung tinggi-tinggi nilai persaudaraan. Bersaudara di dunia dan akhirat. Semoga jiwa dan diri kita merdeka.

Tabayyun adalah meneliti dan menyeleksi informasi

Tabayyun secara bahasa memiliki arti ‘mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya’. Sedangkan secara istilah, tabayyun adalah meneliti dan menyeleksi informasi; tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah, baik dalam urusan hukum, kebijakan, dan sebagainya sampai jelas benar duduk permasalahannya.

Tabayyun adalah akhlak mulia yang merupakan prinsip penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam pergaulan. Dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari, seseorang akan selamat dari salah paham, permusuhan, hingga pertumpahan darah di antara sesamanya lantaran ia melakukan tabayyun dengan baik.

Allah ta’ala berfirman:

“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata?”

(Surah an-Nur, 24 ayat 12)

Ayat ini merupakan pelajaran dari Allah SWT kepada orang-orang mukmin dalam kisah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Saat sebagian dari mereka memperbincangkan hal yang buruk dan pergunjingan mereka tentang berita bohong tersebut.

Jika kita memiliki dua pasang mata, lalu mengapa kita menilai dan menghukumi orang lain dengan telinga kita? Ya, mari perlakukanlah orang lain dari apa yang kita LIHAT tentangnya, BUKAN dari apa yang kita DENGAR.

SALAMWEB

Kisah Tabayyun Burung Hud-Hud

DALAM Al-Quran, di surah An-Naml ayat ke-22, dikisahkan bahwa burung Hud-hud menyaksikan sebuah kaum penyembah matahari di bumi Yaman—yang dahulu disebut negeri Saba’—hal itu kemudian disampaikan kepada Nabi Sulaiman as.:

“Aku datang kepadamu (Sulaiman) dengan membawa kabar yang pasti dari negeri Saba’…”

Burung Hud-hud tidak mengatakan: “Aku dengar begini…” atau berkata: “Kata orang begini…”

Namun dia membawa berita yang langsung disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri. Nabi Sulaiman juga tidak serta merta meyakini kabar tersebut, justru beliau berkata : “Kita akan melihat, apakah kamu termasuk dari golongan yang terpercaya atau golongan pendusta.”

Begitulah seharusnya cara seorang muslim dalam menginformasikan atau mengkritisi sebuah informasi. Tidak menelan mentah-mentah semua kabar yang berserakan di media, tengah-tengah publik, ataupun lainnya, namun diuji dan dilihat kebenarannya terlebih dahulu.

” …maka selidikilah kebenaran (kabarnya) agar kamu tidak menimpakan suatu kaum dengan perkara yang tidak mereka inginkan karena kecerobohanmu…” (QS. Al-Hujurat: 6).

“Cukuplah suatu dosa bagi seseorang yang gemar menceritakan semua kabar yang didengarnya,” Muhammad SAW. []

ISLAMPOS



Pentingnya Tabayyun

DI tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi dewasa ini, satu persoalan yang sering menjadi biang munculnya berbagai persoalan umat manusia dewasa ini adalah terkait dengan bagaimana menerima dan mengeluarkan informasi. Perkembangan teknologi informasi membuat setiap informasi menyebar ke seluruh penjuru dunia dalam hitungan detik, dengan berbagai latar belakang dan tujuan pihak yang menyampaikannya.

Di sini, kita menyaksikan banyak konflik muncul karena manajemen menerima dan memberi informasi ini tidak dikelola secara baik oleh umat Islam, sesuai ajaran Islam. Baik dari di kalangan masyarakat awam, dari pelosok desa hingga kaum terdidik di perkotaan. Maka di tengah berbagai persoalan dan konflik di masyarakat Muslim dan dunia dewasa ini, kebutuhan bagi kita untuk kembali berperilaku sesuai dengan ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan sehingga cahaya Islam betul-betul muncul dari masyarakat Muslim, bukan justru tertutupi.

Oleh sebab itu, tugas kita adalah memastikan setiap informasi yang kita keluarkan atau informasi yang kita terima telah memenuhi kriteria “penyampaian-penerimaan” informasi yang ditegaskan Islam. Islam adalah agama yang secara jelas memiliki orientasi untuk menciptakan kedamaian dan kenyamanan bagi masyarakat, karena sebuah dunia yang damai akan lahir dari masyarakat yang damai pula. Sementara tatanan masyarakat yang damai lahir dari individu-individu yang berhati dan memiliki visi damai pula.

Komunikasi ideal
Oleh sebab itu banyak ayat-ayat dan hadis yang menyinggung tentang pola komunikasi yang ideal yang harus diperagakan umat Islam. Bahkan, secara jelas Islam memberikan rumus-rumus menuju kehidupan yang tenteram, aman dan penuh dengan nuansa baik sangka (husnudhan). Misalnya, firman Allah Swt yang menyeru kita untuk tabayyun: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujarat: 6)

video_syiar_islam

Ayat tersebut menjelaskan tentang rumus dalam menerima suatu informasi, agar informasi itu baik bagi kita dan masyarakat, di dunia hingga akhirat, baik informasi mengenai benda atau orang, mengenai agama, ilmu maupun perisitiwa yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menentukan sikapnya.

Oleh sebab itu, karena mengingat begitu esensinya sebuah informasi bagi seseorang, maka hendaknya jangan sampai informasi tersebut salah, palsu, kurang akurat, tidak valid agar penerima informasi ini (publik) tidak salah dalam mengambil sikap dan keputusan. Informasi yang tidak valid, salah, tidak akurat sesungguhnya adalah menggunjing.

Lalu bagaimana Islam memandang perbuatan menggunjing ini? Mari perhatikan ayat Allah Swt dalam Alquran: “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujarat: 12).

Terhadap menggunjing ini, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan menggunjing?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Dikatakan, “Bagaimana pendapatmu apabila apa yang aku katakan memang ada pada dirinya?” Beliau menjawab: “Apabila apa yang kamu katakan itu memang ada pada dirinya berarti engkau telah menggunjingnya dan apabila apa yang katakan itu tidak benar berarti kamu telah memfitnahnya.” (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat agar mengucapkan yang baik-baik atau diam.” (HR. Bukhari).

Dalam hadis di atas, Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk berbicara hal-hal yang baik saja. Dan jika tidak mampu mengucapkan hal-hal yang baik, maka Rasulullah mengajarkan kita agar diam saja, karena diam dalam konteks ini dianggap lebih baik baginya. Maksudnya, diam lebih baik daripada ucapan itu tidak bermanfaat apalagi mengandung fitnah. Fitnah lebih berbahaya dari pada membunuh karena dengan fitnah jumlah orang yang terbunuh tak terhingga, sedangkan pembunuhan itu sendiri hanya terjadi terhadap satu orang atau beberapa orang yang dapat diketahui jumlahnya.

Allah Swt juga menjelaskan tentang fondasi sebuah masyarakat yang aman dan damai, dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sesuatu puak (dari kaum lelaki) mencemuh dan merendah-rendahkan puak lelaki yang lain, (karena) harus puak yang dicemuhkan itu lebih baik daripada mereka; dan janganlah pula sesuatu puak dari kaum perempuan mencemuh dan merendah-rendahkan puak perempuan yang lain, (karena) harus puak yang dicemuhkan itu lebih baik daripada mereka; dan janganlah setengah kamu menyatakan keaiban setengahnya yang lain; dan janganlah pula kamu panggil-memanggil antara satu dengan yang lain dengan gelaran yang buruk. (Larangan-larangan yang tersebut menyebabkan orang yang melakukannya menjadi fasik, maka) amatlah buruknya sebutan nama fasik (kepada seseorang) sesudah ia beriman. Dan (ingatlah), sesiapa yang tidak bertaubat (dari pada perbuatan fasiknya) maka merekalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujarat: 11)

Fondasi persatuan
Kita yakin, bahwa apabila ayat-ayat tersebut di atas mampu diamalkan oleh umat Islam, maka Islam akan kembali berjaya, karena memang syarat kejayaan Islam adalah adanya fondasi persatuan yang kuat di kalangan umat Islam.

Lalu bagaimana cara menentukan suatu informasi benar dan akurat? Jika merujuk kepada cara periwayatan hadis, maka kategori hadis yang paling shahih adalah jika pihak yang meriwayatkan hadis itu memenuhi lima ciri yaitu bersambung sanad-nya (jalur penyampaiannya), kuat ingatan atau catatannya, adil, tidak ada cacat dan tidak syaz (kontradiktif dengan riwayat yang lebih kuat dari padanya).

Dari lima ciri perawi hadis di atas, yang perlu dicermati adalah syarat adil. Yang dimaksud dengan adil adalah orang yang meriwayatkan hadis tersebut terpelihara agamanya secara sempurna, terhindar dari sifat fasik dan terpelihara dari sifat yang meruntuhkan marwah-nya. Yang dimaksud dengan fasik adalah orang yang melakukan maksiat dan menyimpang dari agamanya, seperti orang yang tidak terpelihara shalatnya.

Meninggalkan salah satu waktu shalat, apalagi meninggalkannya berulang kali sudah cukup untuk menggolongkannya sebagai orang fasik yang tidak boleh diterima hadis darinya. Di antara sifat orang fasik yang lain adalah berbohong. Sedangkan yang dimaksud dengan marwah adalah orang yang berakhlak mulia seperti jujur dalam ucapannya dan terpelihara dari sifat tercela seperti mencaci-maki.

Oleh sebab itu, satu cara terbaik dalam menciptakan tatanan masyarakat yang aman dan damai adalah mengikuti tuntunan ajaran Islam, sesuai dengan ayat yang telah disebutkan di atas, yaitu berhati-hati dalam menerima sebuah informasi dengan meneliti apakah orang yang menyampaikan informasi itu adil sesuai dengan definisi yang telah disebutkan.

Sementara itu, jika seseorang tidak memiliki kemampuan meneliti dan tidak mengenal sosok penyampai informasi, maka cara terbaik adalah tidak menyebarkan berita tersebut sampai ia memastikan bahwa pembawa informasi itu adalah orang yang adil. Dalam kondisi seperti itu diam lebih baik baginya dari pada berucap, namun tidak benar. Wallahu a’lam bishshawab.

* Drs. H. Ibnu Sa’dan, M.Pd., Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Provinsi Aceh

 

sumber: Aceh TribunNews

Sikap Tabayyun Terhadap Informasi

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat: 6)

Ayat ini –seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir- termasuk ayat yang agung karena mengandung sebuah pelajaran yang penting agar umat tidak mudah terpancing, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar berita palsu, isu murahan atau berita yang menebar fitnah. Apalagi perintah Allah ini berada di dalam surah Al-Hujurat, surah yang sarat dengan pesan etika, moralitas dan prinsip-prinsip mu’amalah sehingga Sayyid Quthb mengkategorikannya sebagai surah yang sangat agung lagi padat (surat jalilah dhakhmah), karena memang komitmen seorang muslim dengan adab dan etika agama dalam kehidupannya menunjukkan kualitas akalnya (adabul abdi unwanu aqlihi).

Peringatan dan pesan Allah dalam ayat ini tentu bukan tanpa sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi. Terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang pada kesimpulannya turun karena peristiwa berita bohong yang harus diteliti kebenarannya dari seorang Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith tatkala ia diutus oleh Rasulullah untuk mengambil dana zakat dari Suku Bani Al-Musththaliq yang dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar seperti dalam riwayat Imam Ahmad. Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya, padahal ia tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. Kontan Rasulullah murka dengan berita tersebut dan mengutus Khalid untuk mengklarifikasi kebenarannya, sehingga turunlah ayat ini mengingatkan bahaya berita palsu yang coba disebarkan oleh orang fasik yang hampir berakibat terjadinya permusuhan antar sesama umat Islam saat itu. Yang menjadi catatan disini bahwa peristiwa ini justru terjadi di zaman Rasulullah yang masih sangat kental dan dominan dengan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang semakin sukar mencari sosok yang jujur dan senantiasa beri’tikad baik dalam setiap berita dan informasi yang disampaikan?.

Secara bahasa, kata fasiq dan naba’ yang menjadi kata kunci dalam ayat di atas disebut dalam bentuk nakirah (indifinitive) sehingga menunjukkan seseorang yang dikenal dengan kefasikannya serta menunjukkan segala bentuk berita dan informasi secara umum; berita yang besar atau kecil, yang terkait dengan masalah pribadi atau sosial, apalagi berita yang besar yang melibatkan segolongan kaum atau komunitas tertentu yang berdampak sosial yang buruk.

Sayyid Thanthawi mengemukakan analisa redaksional bahwa kata “in” yang berarti “jika” dalam ayat “jika datang kepadamu orang fasik membawa berita” menunjukkan suatu keraguan sehingga secara prinsip seorang mu’min semestinya bersikap ragu dan berhati-hati terlebih dahulu terhadap segala informasi dari seorang yang fasik untuk kemudian melakukan pengecekan akan kebenaran berita tersebut sehingga tidak menerima berita itu begitu saja atas dasar kebodohan (jahalah) yang akan berujung kepada kerugian dan penyesalan. Maka berdasarkan acuan ini, sebagian ulama hadits melarang dan tidak menerima berita dari seseorang yang majhul (tidak diketahui kepribadiannya) karena kemungkinan fasiknya sangat jelas.

Berdasarkan hukumnya, As-Sa’di membagikan sumber (media) berita kepada tiga klasifikasi:
Pertama, berita dari seorang yang jujur yang secara hukum harus diterima.
Kedua, berita dari seorang pendusta yang harus ditolak.
Ketiga, berita dari seorang yang fasik yang membutuhkan klarifikasi, cek dan ricek akan kebenarannya.

video_syiar_islam

Disini, yang harus diwaspadai adalah berita dari seorang yang fasik, seorang yang masih suka melakukan kemaksiatan, tidak komit dengan nilai-nilai Islam dan cenderung mengabaikan aturannya. Lantas bagaimana jika sumber berita itu datang dari media yang cenderung memusuhi Islam dan ingin menyebar benih permusuhan dan perpecahan di tengah umat, tentu lebih prioritas untuk mendapatkan kewaspadaan dan kehati-hatian.

Selain sikap waspada dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah informasi yang datang dari seorang fasik, Allah juga mengingatkan agar tidak menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya tersebut sebelum jelas kedudukannya. Allah swt berfirman, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaaf: 18).

Sehingga sikap yang terbaik dari seorang mukmin seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat yang dipelihara oleh Allah saat tersebarnya isu yang mencemarkan nama baik Aisyah ra adalah mereka tetap berbaik sangka terhadap sesama mukmin dan senantiasa berwaspada terhadap orang yang fasik, apalagi terhadap musuh Allah yang jelas memang menginginkan perpecahan dan perselisihan di tubuh umat Islam.

“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (An-Nur: 16).

Dalam sebuah riwayat dari Qatadah disebutkan, “At-Tabayyun minaLlah wal ‘ajalatu Minasy Syaithan”, sikap tabayun merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan syaitan.

Semoga kita mampu menangkap pesan Allah yang cukup agung ini agar terhindar dari penyesalan dan kerugian. Allahu a’lam

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/02/26/413/sikap-tabayyun-terhadap-informasi/#ixzz4PClKsFVR

Mengapa Mesti Tabayyun?

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.
[al-Hujurât/49:6].

MUQADDIMAH
Kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan gosip dan `aib serta `aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip yang menyangkut diri dan keluarganya.

Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Allah Ta’ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Qur`ân:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang. [al-Hujurât/49:12].

Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Penyakit menggungjing ini tidak akan terobati selama Al-Qur`ân hanya diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca dan dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Padahal Allah Ta`ala berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan kami turunkan Al-Qur`ân sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman. [al-Isrâ`/17:82].

Allah Ta`ala juga berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al-Qur`ân ini membimbing ke jalan yang paling lurus. [al-Isrâ`/17:9]

Terapi dari Al-Qur`ân dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah Ta’ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan insyaa Allaah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi. Wallâhul- Muwaffiq.

SABABUN- NUZÛL
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberithu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata : aku diberithu ‘Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata : aku diberithu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu :

Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: ‘Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu’.”

Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku,” maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.

Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:

Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”.
Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?”
Mereka menjawab: “Kepadamu”.
Dia bertanya: “Untuk apa?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.

Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.

Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”

Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu,” maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurât: [1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

TAFSIR PER KALIMAT
1. يا أيّها الّذين آمنوا (wahai orang- orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami paparkan di atas, juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati, seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat ayat ini.

2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba`, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.

Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allaah Ta’ala dalam banyak ayat al-Qur`ân:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [at-Taubah/9:67].

Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân ialah kemunafikan i’tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir’aun dan para pengikutnya:

إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ

Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].

Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.

وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ

Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan. Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam kefasikan. [al-Baqarah/2:282].

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Maka barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji. [al-Baqarah/2:197].

Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat [2]. Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam menyampaikan berita.

Imam Al-Qurthubi[3] berkata: “Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.[4]

Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika perbuatan itu merupakan fâsiq besar.

3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya “fatabayyanû”, sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya “fatatsabbatû”.[5] Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.[6]

Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”[7]

Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.[8]

4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).
Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata “jahâlah” dimaknai kesalahan.

Imam Al-Qurthubi mengatakan, “bi jahâlah,” maksudnya ialah secara salah.[9] Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta’ala menyebut mereka dengan azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam suurat al-Fâtihah.

Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.

5. فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (kemudian kalian menyesal atas perlakuan kalian).
Allah Ta’ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif. Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.[10]

ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI
Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya).[11]

Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalil-dalil yang berlatar belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk kasus tersebut pada waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis pada masa sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama terhadap pemberlakuan ayat tersebut.

Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua pedoman.

1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah tabayyun dari Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika tidak melakukan tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.

2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada muthlak, yaitu “fâsiq”, dan “naba`”.

Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam istilah ahli hadits disebut “rijâl” atau “sanad”. Sedangkan “naba`” yang berarti masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan (substansi berita).

Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna ayat ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, maka sudah pasti benar, karena ia (ustadz itu) orang shâlih. Sebaliknya, apabila –ternyata- vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut sebagai “fâsiq”?

Tatkala Penulis bertanya tentang hal ini kepada al-‘Allâmah Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi – hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang shahâbi (sahabat Nabi)?”

Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu ‘âdil (legitimate), bahkan ta`dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah “radhiyallâhu’anhum waradhû ‘anhu”. Artinya, Allah telah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya.

Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyuruh Khâlid ibnul-Walîd agar melakukan tabayyun atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan berakibat fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada keumuman lafazh.

Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai berikut.

  1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.
  2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibaadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.
  3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.
  4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampat pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.
  5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada dengan nasihat ini. Wa âkhiru da’wânâ, ‘anil-hamdu lillâhi Rabbil ‘âlamîn.

 

Oleh Ustadz Syaikh Mudrika

sumber: AlManhaj