Rajab dan Pembebasan Individu Seorang Muslim

SANGAT luar biasa hafal seputar bulan ini. Kita tahu benar jika ditanya tentang keistimewaan bulan ke-7 dalam kalender Islam ini.

Paling tidak, kita tahu bahwa bulan Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban Bulan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, dan Ramadhan bulan kita semua. Sunah mu’akkad berpuasa di bulan ini, baik 1, 3, 7, atau 16 hari telah menandaskan bahwa bulan ini sangat luar biasa.

Dan yang terpenting, bulan ini adalah bulan pembebasan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dari kungkungan ketakutan karena intimidasi dan ancaman pembunuhan dari kaum kafir Quraisy. Pembebasan itu berupa peristiwa maha akbar, yakni Isra’ Mi’raj, dalam rangka menerima perintah shalat lima waktu.

Dalam sejarah kita ketahui bahwa peristiwa ini terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, peristiwa ini terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, antara tahun 620-621 M.

Menurut allamah al-Manshurfuri, Isra’ Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-10 dari kenabian. Namun, pendapat umum di atas dibantah oleh sejarawan Muslim India, Syeikh Shafiurrahman al-Mubarakfuri, dengan alasan bahwa Khadijah ra., istri nabi, meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 dari masa kenabian, yakni dua bulan setelah bulan Rajab, dan saat itu belum ada kewajiban shalat lima waktu.

Al-Mubarakfuri menyebutkan enam pendapat seputar peristiwa ini, tetapi semua tak ada satu pun yang pasti. Dengan demikian, tak diketahui secara jelas kapan kejadian Isra’ Mi’raj berlangsung. Hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang Maha Tahu.

Paling tidak, disepakati secara pasti bahwa peristiwa inilah yang telah melahirkan perintah shalat lima waktu, demi pembebasan mutlak dari segala unsur keduniaan, sebab Rasulullah terpanggil ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala di Shidratul Muntaha, suatu tempat yang maha suci, di mana segala kefanaan hengkang dan lenyap.

Dengan demikian, pembebasan Allah Subhanahu Wata’ala pada manusia pilihannya itu merupakan pembebasan terpenting selama ada manusia di dunia ini, dari Adam hingga kini. Rasulullah Subhanahu Wata’ala-lah bertemu dengan Allah Subhanahu Wata’ala.

Terlepas dari kontravensi (untuk tak menggunakan istilah ‘kontroversi’) yang ada sepanjang zaman, apakah Rasulullah Mi’raj dengan jazad atau sebaliknya, peristiwa itu memang yang maha akbar sepanjang hidup beliau.

Moment Pembebasan Hakiki

Peristiwa maha akbar itu berlalu lebih dari 1438 tahun. Sampai detik ini kita tetap mendirikan shalat lima waktu tepat waktu, dan meyakini dengan pasti akan peristiwa tersebut. Sebab mustahil kita mendirikan shalat tanpa menyakini akan peristiwa Isra’ Mi’raj-nya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam itu sendiri. Peristiwa itu dan perintah shalat merupakan sepaket.

Jika Rasulullah terbebaskan dari segala gundah-gulana karena peristiwa itu, maka umatnya terbebaskan dari segala sesutau dengan sebab adanya pendirian shalat lima waktu. Shalat inilah yang seharusnya membuat kita merdeka secara hakiki, dan tanpa takut kepada siapapun kecuali pada Allah Subhanahu Wata’ala semata. Dengan shalat kita berkomunikasi secara langsung kepada Allah Subhanahu Wata’ala , dan dengannya, kita senantiasa merasa terbebaskan dari segala bentuk tekanan, baik materi atau pun batin.

Sebegitu hebatnya shalat, ia oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dijuluki sebagai ‘tiang agama’. Barang siapa yang pendirian shalatnya baik, maka baik pulalah tiang agamanya.

Merasa bahwa hidup ini ruwet, membebani, dan bikin stress, maka tengoklah sejenak bagaimana shalat kita. Penulis tak usahlah mengutip pendapat para ahli kesehatan terkait dengan shalat dan kesehatan raga, atau mengutip ahli ilmu psikologi terkait dengan shalat dan kesehatan batin. Telah jelas, bahwa hanya shalat yang tepat dan benarlah yang dapat membebaskan manusia muslim dari kungkungan atau perbudakan kefanaan dunia.

Derajat pembebasan hakiki insan muslim dari segala keterpurukan hidup ini hanya terletak bagaimana kita bershalat. Pendirian shalat yang tepat dan benar akan mempunyai efek aura positif pada langkah panjang kehidupan ini. Efek positif inilah yang akan berdampak lebih luas dalam bentuk kesalehan sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam di depan para shahabat, atau ditunjukkan oleh para shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam di depan para tabi’in, atau ditunjukkan oleh para tabi’in di depan tabittabi’in, dan begitu seterusnya dilanjutkan oleh ulama-ulama para sholafush sholeh lainnya hingga zaman kita.

Oleh karena itulah, baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berkata ‘shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku bershalat’. Tanpa terkurang atau bertambah.

Shalat yang tepat dan benar selain berdampak untuk memupuk kesalehan sosial, ia juga sarana mencegah perbuatan keji dan mungkar. Perbuatan keji, misalnya penistaan atas prinsip-prinsip Islam, kriminalitas dengan pembunuhan, baik pembunuhan fisik atau karakter, tak akan dijumpai. Perbuatan mungkar, misalnya mengingkari adanya Tuhan (atheis), mendukung sesuatu yang jelas-jelas dilarang oleh Allah Subhanahu Wata’ala, atau membangkang kepada aturan Syariah secara luas, tak akan dijumpai pula.

Dengan shalat yang tepat dan benar kehidupan ini akan berjalan sesuai dengan kefitrahan hakiki kemanusiaan itu sendiri.

Kelastarian hidup manusia muslim untuk menuju harkat yang bermartabat, penuh bijak bestari hanya dapat ditempuh dengan shalat lima waktu, tanpa mengecilkan arti penting dari rukun-rukun Islam lainnya. Shalat bagi seorang muslim adalah standar ukuran kesalehan hidupnya. Memperbaiki shalat sesuai dengan aturan yang Rasulullah canangkan, sebenarnya memperbaiki standar hidup manusia muslim itu sendiri. Melalaikan shalat, atau bahkan menganggapnya perilaku sia-sia, sebenarnya telah menjerumuskan kita sendiri pada jurang kehancuran itu sendiri. Selamat memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Wallahu A’alam.*/Ahmad Muhli Junaidi

 

HIDAYATULLAH