Ini Landasan Bumi saat Mi’raj ke Sidratul Muntaha

AL-Aqsha adalah permukaan bumi yang dipilih Allah menjadi tempat landasan dari bumi menuju sidratul muntaha (miraj).

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dibawakan kepadaku Buraq. Ia adalah hewan tunggangan berwarna putih, lebih tinggi dari keledai dan lebih pendek dari bighal. Ada tanda di setiap ujungnya.” Beliau melanjutkan, “Aku mengikat Buraq itu di salah satu pintu Baitul Maqdis, tempat dimana para nabi mengikat hewan tunggangan mereka. Kemudian aku masuk ke dalamnya dan salat dua rakaat. Setelah itu aku keluar dari masjid, lalu Jibril mendatangiku dengan membawa bejana yang berisi khamr dan susu. Aku memilih yang berisi susu, lalu Jibril shallallahu alaihi wa sallam berkata, Engkau telah memilih fitrah. Setelah itu, kami pun miraj menuju langit.” (HR. Muslim)

Seandainya Allah menakdirkan, miraj dilakukan dari Masjid al-Haram pastilah Allah mampu melakukannya, akan tetapi Allah menetapkan agar Nabi dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam miraj dari Masjid al-Aqsha, agar kaum muslimin tahu kedudukan masjid ini dan agar masjid tersebut memiliki tempat istimewa di hati-hati umat Islam.

Masjid al-Aqsha al-Mubarak adalah di antara tiga masjid yang boleh diniatkan secara khusus untuk mengunjunginya. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh bersengaja melakukan perjalanan (untuk beribadah) kecuali ketiga masjid: Masjid al-Haram, Masjid Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan Masjid al-Aqsha.” (HR. Bukhari).

 

INILAH MOZAIK

Kalimat Luar Biasa Diajarkan pada Isra Miraj

Pada malam Isra’ Mi’raj ada suatu kalimat yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mau tahu apa itu?

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةَ أُسْرِىَ بِهِ مَرَّ عَلَى إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ مَنْ مَعَكَ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَذَا مُحَمَّدٌ.فَقَالَ لَهُ إِبْرَاهِيمُ مُرْ أُمَّتَكَ فَلْيُكْثِرُوا مِنْ غِرَاسِ الْجَنَّةِ فَإِنَّ تُرْبَتَهَا طَيِّبَةٌ وَأَرْضَهَا وَاسِعَةٌ. قَالَ « وَمَا غِرَاسُ الْجَنَّةِ ». قَالَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra’, pernah melewati Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Nabi Ibrahim ketika itu bertanya pada malaikat Jibril, “Siapa yang bersamamu wahai Jibril?” Ia menjawab, “Muhammad.” Ibrahim pun mengatakan pada Muhammad, “Perintahkanlah pada umatmu untuk membiasakan memperbanyak (bacaan dzikir) yang nantinya akan menjadi tanaman surga, tanahnya begitu subur, juga lahannya begitu luas.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa itu ghirosul jannah (tanaman surga)?” Ia menjawab, “Laa hawla wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dalam menjauhi maksiat dan tidak ada upaya menjalankan ketaatan melainkan dengan pertolongan Allah, pen.).” (HR. Ahmad, 5: 418. Hadits ini secara sanad itu dha’if. Namun kata Syaikh Al-Albani isi atau matan hadits itu shahih karena punya berbagai macam penguat. Lihat Al-Isra’ wa Al-Mi’raj karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hlm. 107-108)

 

Ada beberapa faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas:

  • Peristiwa Isra’ Mi’raj benar adanya.
  • Ketika melakukan isra’, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertemu para nabi di antaranya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
  • Nabi Muhammad ketika melakukan Isra’ Mi’raj ditemani oleh malaikat Jibril.
  • Umat Nabi Muhammad diajarkan oleh Nabi Ibrahim suatu kalimat yang menjadi tanaman di surga, menjadikan tanahnya di surga subur dan luas, yaitu kalimat Laa hawla wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dalam menjauhi maksiat dan tidak ada upaya menjalankan ketaatan melainkan dengan pertolongan Allah, pen.).
  • Makna kalimat laa hawla wa laa quwwata illa billah menunjukkan sifat pasrah dan tawakkal dalam hal menjauhi maksiat dan melakukan ketaatan, semuanya dimudahkan hanya dengan pertolongan Allah.

 

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

لاَ حَوْلَ عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ إِلاَّ بِعِصْمَتِهِ، وَلاَ قُوَّةَ عَلَى طَاعَتِهِ إِلاَّ بِمَعُوْنَتِهِ

“Tidak ada daya untuk menghindarkan diri dari maksiat selain dengan perlindungan dari Allah. Tidak ada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan selain dengan pertolongan Allah.”

Imam Nawawi menyebutkan berbagai tafsiran di atas dalam Syarh Shahih Muslim dan beliau katakan, “Semua tafsiran tersebut hampir sama maknanya.” (Syarh Shahih Muslim, 17: 26-27)

 

Catatan: Kalimat Laa hawla wa laa quwwata illa billah bukan menjadi ritual khusus pada malam Isra’ Mi’raj. Pembahasan ini juga bukan jadi dalil bagi kaum muslimin untuk merayakan Isra’ Mi’raj karena mengenai kapan peristiwa besar itu terjadi tidak diberitahukan kepada kita dalam riwayat yang shahih. Generasi terbaik dari umat ini dari para salaf pun tidak pernah merayakannya. Wallahu a’lam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

”Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isra’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isra’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isra’ tersebut.” (Zaad Al-Ma’ad, 1: 57)

Semoga jadi ilmu yang bermanfaat.

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/15640-kalimat-luar-biasa-diajarkan-pada-isra-miraj.html

Rajab, Bulan Saat Nabi Nuh dan Kaumnya Berlayar

BULAN Rajab merupakan satu di antara empat bulan yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’la. Ini termaktub dalam firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu (lauhul mahfudz). Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS at-Taubah: 36)

Ayat di atas diturunkan sebelum fathu Makkah (pembebasan kota Makkah), saat orang-orang dari Madinah takut berkunjung ke Makkah. Kemudian turunlah ayat di atas yang menjelaskan bahwa jumlah bulan dalam setahun ada 12 bulan. Empat di antaranya adalah haram (mulia). Sesuai konsensus ulama, tiga dari bulan tersebut berdampingan yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram. Sedangkan yang satu lagi berpisah sendiri, bulan Rajab.

Menurut Fakhruddin ar-Razi, maksud sebagai bulan haram atau mulia di sini adalah dalam bulan tersebut, setiap perbuatan maksiat akan mendapat siksa lebih dahsyat, dan begitu pula sebaliknya, perilaku taat kepada Allah dilipatgandakan pahalanya.

:

Artinya: “Maksud dari haram adalah sesungguhnya kemaksiatan di bulan-bulan itu memperoleh siksa yang lebih berat dan ketaatan di bulan-bulan tersebut akan mendapat pahala yang lebih banyak. (Fakhruddir ar-Razi, Tafsir al-Fakhrir Razi, Drul Fikr, Beirut, cet 1, 1981, juz 16, halaman 53)

Menurut sejarah, Ibrahim an-Nakha’i mengisahkan, Rajab merupakan bulan saat Nabi Nuh berlayar bersama kaumnya yang taat. Ia berpuasa secara pribadi serta menyuruh orang yang bersamanya untuk berpuasa juga, kemudian Allah menyelamatkan mereka dari banjir bandang dan Allah melenyapkan kemusyrikan secara total dari muka bumi.

Terkait makna Rajab secara harfiyah, ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan, rajab dari kata tarjb maknanya mengagungkan. Pendapat ini juga disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya al-Ghun-yah.

Terdapat makna lain yang cukup banyak pada kata Rajab. Dalam hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam diriwayatkan dari Abi Bakrah, Rajab itu Mudlar

Artinya: “Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana saat Allah menciptakan langit-langit dan bumi. Setahun terdapat 12 bulan. Di antaranya ada empat yang mulia. Tiga bulan berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dan Rajab Mudlar yang jatuh antara Jumadal Ula-Jumadal Akhirah dan Sya’ban.” (Sahih Bukhari: 4294)

Mudlar merupakan satu klan di Arab yang sangat mengagungkan bulan Rajab. Karena perilaku mereka ini, Rasulullah mengistilahkan keagungan Rajab dengan mengacu sebagaimana keagungan yang dilakukan oleh klan Mudlar.

Lalu mengapa ada perbedaan tingkat kemuliaan di antara bulan-bulan itu? Bukankah masing-masing dari Allah subhanahu wa ta’ala?

Iya, semua bulan mulia. Namun empat bulan tersebut kemuliannya lebih kuat dibandingkan bulan lainnya. Ia seperti kemulian Ka’bah dibandingkan dengan lokasi lain. Logikanya seperti hari Jumat lebih mulia dibanding 6 hari lain. Hari Arafah lebih mulia daripada hari-hari lain dalam setahun, Nabi Muhammad lebih mulia daripada nabi-nabi yang lain. Apakah Nabi Muhammad yang paling mulia di antara para nabi itu menjadikan nabi-nabi lain tidak mulia? Tidak. Nabi-nabi lain mulia, sedangkan Rasulullah Muhammad lebih mulia. Demikian pula bulan-bulan mulia dibanding bulan yang lain.

Dalam rangka menyambut bulan Rajab nan mulia itulah, Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w: 561) menuliskan doa ma’tsurat yang digoreskan dalam karyanya al-Ghun-yah. Doa ini juga dikutip ulang oleh Habib Muhammad Amin bin Abu Bakar bin Salim dalam kitab M Yuthlab f Rajab, serta Syekh Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-Halabi dalam bukunya Nrul Anwr wa Kanzul Abrr:

.
.

Artinya: “Ya Tuhanku, pada malam ini orang-orang yang berpaling (dari rahmat-Mu) telah berpaling, orang-orang yang mempunyai tujuan telah datang (pada-Mu), dan para pencari telah mengharap anugerah dan kebaikan-Mu.

Pada malam ini, Engkau mempunyai tiupan rahmat, piagam-piagam penghargaan, aneka macam pemberian dan anugerah. Engkau berikan semua itu terhadap hamba-hamba-Mu yang Engkau kehendaki. Dan Engkau tidak memberikannya terhadap orang yang tidak memperoleh pertolongan dari-Mu.

Inilah aku, hamba-Mu yang sangat berharap pada-Mu, berharap anugerah dan kebaikan-Mu. Apabila Engkau, wahai Tuan kami, telah mengemukakan anugerah-Mu di malam ini terhadap seseorang dari makhluk-Mu, dan Engkau berikan kebaikan padanya dengan berbagai sambungan kelembutan-Mu, maka anugerahkan rahmat atas Nabi Muhammad shalallahu aliahi wasallam beserta keluarganya. Berikanlah atasku dengan kekayaan dan kebaikan-Mu. Wahai Tuhan seru sekalian alam.” (Syekh Abdul Qadir bin Shalih al-Jilani, al-Ghun-yah, Drul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1997, juz 1, halaman 328).

Demikian semoga kita menggunakan bulan mulia Rajab sebagaimana mestinya dan sebaik-baiknya. (Ahmad Mundzir/nuol)

 

 

Rajab Bulan Mulia: Puasa Sunah Kenapa tidak?

PADA prinsipnya puasa sunah dianjurkan untuk dilaksanakan sebanyak mungkin mengingat puasa sarat keutamaan lahir dan batin. Karenanya agama Islam tidak akan menghalangi pemeluknya yang ingin mengejar banyak keutamaan melalui puasa selain pada hari-hari tertentu yang dilarang. Teristimewa pula puasa yang diperintahkan Rasulullah SAW seperti puasa Rajab, maka anjuran agama semakin kuat.

Abu Bakar bin M Al-Hishni dalam karyanya Kifayatul Akhyar menyebutkan,

. : . : . :

Dianjurkan sekali memperbanyak puasa sunah. Timbul pertanyaan, apakah makruh puasa sepanjang masa? Imam Baghowi berpendapat, makruh. Sementara Imam Ghozali mengatakan, itu justru disunahkan. Sedangkan mayoritas ulama menjelaskan, selagi khawatir akan mudharat tertentu atau melalaikan kewajiban karenanya, maka puasa sepanjang masa hukumnya makruh. Tetapi jika tidak membawa akibat-akibat tertentu, maka tidak makruh.

Di samping anjuran puasa sebanyak mungkin mengingat besarnya keutamaan ibadah jenis ini, Rasulullah SAW menekankan agar umatnya tidak melewatkan kesempatan puasa pada bulan-bulan Haram (mulia) sebagai kesempatan emas. Syekh Yahya Abu Zakariya Al-Anshori dalam Tahrir Tanqihil Lubab mengatakan sebagai berikut.

:

Perintah berpuasa di bulan mulia tertera pada hadis yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan imam lainnya. Dan yang paling utama dari semua bulan itu adalah Muharram seperti hadis riwayat Imam Muslim. Rasulullah SAW bersabda, “Puasa paling afdal setelah Ramadan itu dikerjakan pada bulan Muharram.”

Adapun perihal bulan-bulan mulia ini, ada baiknya kita mengamati keterangan Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Muin berikut ini.

. .

Bulan paling utama untuk ibadah puasa setelah Ramadan ialah bulan-bulan yang dimuliakan Allah dan Rasulnya. Yang paling utama ialah Muharram, kemudian Rajab, lalu Dzulhijjah, terus Dzulqadah, terakhir bulan Syaban.

Puasa yang lebih utama setelah puasa Ramadan, jelas puasa di bulan Muharram. Tetapi mana yang lebih utama setelah Muharram, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan bulan Syaban jatuh setelah Muharram. Sementara Imam Royani memilih Rajab berada di posisi ketiga setelah Ramadan dan Muharram. Keterangan ini dikutip dari Kifayatul Akhyar. Pendapat Imam Royani sejurus dengan keterangan sebelumnya di Fathul Muin.

Dalam Ianatut Tholibin, Sayid Bakri bin M Sayid Syatho Dimyathi mengemukakan sejumlah catatan soal Rajab sebagai salah satu bulan mulia di sisi Allah dan Rasulnya.

. . .

“Rajab” merupakan derivasi dari kata “tarjib” yang berarti memuliakan. Masyarakat Arab zaman dahulu memuliakan Rajab melebihi bulan lainnya. Rajab biasa juga disebut “Al-Ashobb” karena derasnya tetesan kebaikan pada bulan ini. Ia bisa juga dipanggil “Al-Ashomm” karena tidak terdengar gemerincing senjata untuk berkelahi pada bulan ini. Boleh jadi juga disebut “Rajam” karena musuh dan setan-setan itu dilempari sehingga mereka tidak jadi menyakiti para wali dan orang-orang saleh.

Dari uraian di atas, kita memperoleh keterangan terkait bulan-bulan terhormat yang mana kita disunahkan untuk berpuasa pada bulan yang dimuliakan Allah SWT dan Rasulnya SAW itu. Wallahu Alam. (Alhafiz K/nuol)

Ini Keutamaan dan Hukum Puasa Rajab Serta 4 Amalan Bulan Rajab

Rajab termasuk bulan Haram.1 Rajab1439 H jatuh pada Senin, 19 Maret 2018.

Allah SWT berfirman :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Artinya :
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah : 36)

Di antara dua belas bulan tersebut terdapat bulan-bulan istimewa menurut Allah yang disebut sebagai bulan-bulan haram. Bulan istimewa tersebut berjumlah empat, dan nama-namanya telah dijelaskan di dalam sabda Nabi berikut:

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

 

Hadits tentang puasa Rajab

Dilansir rumaysho.com, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits yang menunjukkan keutamaan puasa Rajab secara khusus tidaklah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.” (Latho’if Al Ma’arif, hal. 213). Ibnu Rajab menjelaskan pula, “Sebagian salaf berpuasa pada bulan haram seluruhnya (bukan hanya pada bulan Rajab saja, pen). Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu ‘Umar, Al Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Sabi’iy. Ats Tsauri berkata, “Bulan haram sangat kusuka berpuasa di dalamnya.” (Latho’if Al Ma’arif, hal. 214).

Ibnu Rajab kembali berkata, “Tidak dimakruhkan jika seseorang berpuasa Rajab namun disertai dengan puasa sunnah pada bulan lainnya. Demikian pendapat sebagian ulama Hambali. Seperti misalnya ia berpuasa Rajab disertai pula dengan puasa pada bulan haram lainnya. Atau bisa pula dia berpuasa Rajab disertai dengan puasa pada bulan Sya’ban. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar dan ulama lainnya berpuasa pada bulan haram (bukan hanya bulan Rajab saja). Ditegaskan pula oleh Imam Ahmad bahwa siapa yang berpuasa penuh pada bulan Rajab, maka saja ia telah melakukan puasa dahr yang terlarang (yaitu berpuasa setahun penuh).” (Latho’if Al Ma’arif, hal. 215).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap hadits yang membicarakan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malam (seperti shalat setelah Maghrib pada malam-malam pertama bulan Rajab, pen), itu berdasarkan hadits dusta.” (Al Manar Al Munif, hal. 49).

Penulis Fiqh Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Adapun puasa Rajab, maka ia tidak memiliki keutamaan dari bulan haram yang lain. Tidak ada hadits shahih yang menyebutkan keutamaan puasa Rajab secara khusus. Jika pun ada, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil pendukung.” (Fiqh Sunnah, 1: 401).

Sebagaimana dinukil oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah (1: 401), Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Tidak ada dalil yang menunjukkan keutamaan puasa di bulan Rajab atau menjelaskan puasa tertentu di bulan tersebut. Begitu pula tidak ada dalil yang menganjurkan shalat malam secara khusus pada bulan Rajab. Artinya, tidak ada dalil shahih yang bisa jadi pendukung.”

Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah berkata, “Adapun mengkhususkan puasa pada bulan Rajab, maka tidak ada hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya atau menunjukkan anjuran puasa saat bulan Rajab. Yang dikerjakan oleh sebagian orang dengan mengkhususkan sebagian hari di bulan Rajab untuk puasa dengan keyakinan bahwa puasa saat itu memiliki keutamaan dari yang lainnya, maka tidak ada dalil yang mendukung hal tersebut.” (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 75394)

 

Puasa Hari Tertentu dari Bulan Rajab

Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya, “Diketahui bahwa di bulan Rajab dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Apakah puasa tersebut dilakukan di awal, di tengah ataukah di akhir.”

Jawaban dari para ulama yang duduk di komisi tersebut, “Yang tepat, tidaklah ada hadits yang membicarakan puasa khusus di bulan Rajab selain hadits yang dikeluarkan oleh An Nasa-i dan Abu Daud, hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dari hadits Usamah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah pernah melihatmu berpuasa yang lebih bersemangat dari bulan Sya’ban.”

Beliau bersabda, “Bulan Sya’ban adalah waktu saat manusia itu lalai, bulan tersebut terletak antara Rajab dan Ramadhan. Bulan Sya’ban adalah saat amalan diangkat pada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karenanya, aku suka amalanku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. Ahmad 5: 201, An Nasai dalam Al Mujtaba 4: 201, Ibnu Abi Syaibah (3: 103), Abu Ya’la, Ibnu Zanjawaih, Ibnu Abi ‘Ashim, Al Barudi, Sa’id bin Manshur sebagaimana disebutkan dalam Kanzul ‘Amal 8: 655).

Yang ada hanyalah hadits yang sifatnya umum yang memotivasi untuk melakukan puasa tiga setiap bulannya dan juga dorongan untuk melakukan puasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14, 15 dari bulan hijriyah. Juga dalil yang ada sifatnya umum yang berisi motivasi untuk melakukan puasa pada bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab).

Begitu pula ada anjuran puasa pada hari Senin dan Kamis. Puasa Rajab masuk dalam keumuman anjuran puasa tadi. Jika ingin melakukan puasa di bulan Rajab, maka pilihlah hari-hari ayyamul bidh atau puasa Senin-Kamis.

Tidak ada amalan khusus di bulan Rajab yang termasuk bulan haram ini, namun ibadah yang rutin dilakukan bisa lebih baik lagi, antara lain:

1. Shalat Fardhu.

Usahakan shalat fardhu berjamaah terus di masjid. Jika sebelumnya sudah terjaga dengan baik, maka usahakan bisa berada di shaf pertama. Jika sudah terbiasa di shaf pertama, maka usahakan bisa mendapatkan takbiratul ihram dari imam. Demikian semakin meningkat dan meningkat.

2. Shalat Sunnah.

Usahakan menjaga shalat tahajud dengan witirnya di malam hari. Jika sudah terjaga, rutinkan shalat sunnah rawatib baik qobliyah maupun ba’diyahnya. Jika sudah terjaga, maka tambahi dengan shalat dhuha. Demikian seeterusnya.

3. Bacaan Al Quran.

Al Quran adalah sarana mendulang pahala yang mudah. Perbanyaklah membaca Al Quran di bulan haram ini melebihi bacaan Al Quran di bulan sebelumnya. Ingat hadits, bahwa kedudukan kita di surga adalah di ayat terakhir yang kita baca. Semakin banyak ayat yang kita baca, semikin tinggi kedudukan kita di surga dan semakin jauh kita dari jurang api neraka.

4.Sadaqah.

Selain amalan yang berkaitan hubungan kita dengan Allah, ada amalan yang berkaitan dengan hubungan kita kepada sesama. Dan justru jika mau menghitung dengan seksama, malah amalan yang berhubungan dengan sesama itu mendominasi ajaran Islam kita.

Keseharian kita jika diperhatikan sangat banyak berinteraksi dengan sesama. Maka peluang beramal shalih yang berkaitan dengan hablun minannas (hubungan dengan sesama) lebih banyak. Sadaqah adalah amal shalih yang hendaknya bisa ditingkatkan di bulan haram ini. Tambahi kuantitasnya dan kualitasnya. Sadaqah hendaknya menjadi budaya kita sebagai bekal akhirat .

Ingatlah penyesalan orang fasik di akhiratnya, yaitu mereka minta dikembalikan ke dunia supaya bisa bersadaqah. Mereka melihat betapa agung pahala sadaqah.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, “Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh.” [al-Munâfiqûn/63:10]

TRIBUN NEWS

Subhanallah, ini Keistimewaan Bulan Rajab Menurut Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Khalid Basalamah

Sebentar lagi umat Islam bakal memasuki bulan Rajab, tepatnya pada Senin (19/3/2018). Dalam kalender Hijriyah (kalender Islami), bulan ini termasuk satu dari empat bulan mulia.

Menurut Ustadz Abdul Somad dalam sebuah video ceramahnya, tak ada ketentuan khusus disebutkan dalam Alquran atau hadis Nabi Muhammad tentang amalan di bulan ini.

“Hadis Rasulullah tentang keutamaan bulan Rajab sahih, tetapi tak ada disebutkan tentang amalan khususnya. Cuma disebutkan secara umum yaitu berpuasalah di bulan-bulan haram. Haram di sini berarti mulia, berasal dari kata Bahasa Arab, yaitu hurum, berarti kehormatan, mulia. Jadi bulan-bulan haram itu artinya adalah bulan-bulan mulia,” jelasnya.

Bulan haram dalan Islam ada empat, yaitu Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.

“Sesuai hadis tersebut, disebutkan anjuran agar kita berpuasa di bulan-bulan ini. Jadi, khusus Rajab tak ada dijelaskan apa saja amalan khususnya karena di hadis ini penjelasannya secara umum tak mengkhususkan ke Rajab,” tambahnya.

 

Selama Rajab, selain berpuasa, kita bisa menghiasinya dengan amalan-amalan baik lainnya jika mau. Misalnya, berzikir, membaca Alquran, bersedekah dan sebagainya.

Selain itu, ada lagi keistimewaan lainnya dari Rajab menurut Ustadz Khalid Basalamah.

Di sebuah video ceramahnya, dia menjelaskan tentang tafsir Surah Attaubah ayat 36 yang menjelaskan tentang larangan Allah berbuat maksiat di bulan-bulan haram ini.

“Artinya, itulah ajaran agama yang lurus, janganlah kalian menzalimi diri kalian di bulan-bulan mulia ini,” ujarnya menyitir terjemahan ayat tersebut.

Imam Qurtubi dalam sebuah tafsirnya tentang ayat ini menjelaskan bahwa siapa pun yang berbuat maksiat atau menzalimi dirinya di empat bulan mulia ini akan mendapatkan dosa yang berlipat ganda.

Demikian pula jika kita berbuat baik, maka akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda pula.

“Dan ini disepakati pula oleh ulama-ulama tafsir lainnya,” tambahnya.

Di antara empat bulan istimewa ini hanya Zulhijjah dan Muharram yang ada amalan khususnya, yaitu di Zulhijjah ada puasa Arafah tanggal sembilan, tanggal sepuluhnya ada Hari Raya Iduladha dan tanggal 11,12 dan 13-nya ada hari Tasyrik.

Kemudian di Muharram ada puasa Tasua dan Asyura pada tanggal sembilan dan sepuluhnya. Nah, kalau bulan Rajab tak ada ini, hanya disuruh banyak-banyak berbuat baik dan ganjarannya akan dilipatgandakan,” jelasnya. (banjarmasinpost.co.id/yayu fathilal)

TRIBUN NEWS

 

Rajab dan Pembebasan Individu Seorang Muslim

SANGAT luar biasa hafal seputar bulan ini. Kita tahu benar jika ditanya tentang keistimewaan bulan ke-7 dalam kalender Islam ini.

Paling tidak, kita tahu bahwa bulan Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban Bulan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, dan Ramadhan bulan kita semua. Sunah mu’akkad berpuasa di bulan ini, baik 1, 3, 7, atau 16 hari telah menandaskan bahwa bulan ini sangat luar biasa.

Dan yang terpenting, bulan ini adalah bulan pembebasan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dari kungkungan ketakutan karena intimidasi dan ancaman pembunuhan dari kaum kafir Quraisy. Pembebasan itu berupa peristiwa maha akbar, yakni Isra’ Mi’raj, dalam rangka menerima perintah shalat lima waktu.

Dalam sejarah kita ketahui bahwa peristiwa ini terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, peristiwa ini terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, antara tahun 620-621 M.

Menurut allamah al-Manshurfuri, Isra’ Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-10 dari kenabian. Namun, pendapat umum di atas dibantah oleh sejarawan Muslim India, Syeikh Shafiurrahman al-Mubarakfuri, dengan alasan bahwa Khadijah ra., istri nabi, meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 dari masa kenabian, yakni dua bulan setelah bulan Rajab, dan saat itu belum ada kewajiban shalat lima waktu.

Al-Mubarakfuri menyebutkan enam pendapat seputar peristiwa ini, tetapi semua tak ada satu pun yang pasti. Dengan demikian, tak diketahui secara jelas kapan kejadian Isra’ Mi’raj berlangsung. Hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang Maha Tahu.

Paling tidak, disepakati secara pasti bahwa peristiwa inilah yang telah melahirkan perintah shalat lima waktu, demi pembebasan mutlak dari segala unsur keduniaan, sebab Rasulullah terpanggil ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala di Shidratul Muntaha, suatu tempat yang maha suci, di mana segala kefanaan hengkang dan lenyap.

Dengan demikian, pembebasan Allah Subhanahu Wata’ala pada manusia pilihannya itu merupakan pembebasan terpenting selama ada manusia di dunia ini, dari Adam hingga kini. Rasulullah Subhanahu Wata’ala-lah bertemu dengan Allah Subhanahu Wata’ala.

Terlepas dari kontravensi (untuk tak menggunakan istilah ‘kontroversi’) yang ada sepanjang zaman, apakah Rasulullah Mi’raj dengan jazad atau sebaliknya, peristiwa itu memang yang maha akbar sepanjang hidup beliau.

Moment Pembebasan Hakiki

Peristiwa maha akbar itu berlalu lebih dari 1438 tahun. Sampai detik ini kita tetap mendirikan shalat lima waktu tepat waktu, dan meyakini dengan pasti akan peristiwa tersebut. Sebab mustahil kita mendirikan shalat tanpa menyakini akan peristiwa Isra’ Mi’raj-nya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam itu sendiri. Peristiwa itu dan perintah shalat merupakan sepaket.

Jika Rasulullah terbebaskan dari segala gundah-gulana karena peristiwa itu, maka umatnya terbebaskan dari segala sesutau dengan sebab adanya pendirian shalat lima waktu. Shalat inilah yang seharusnya membuat kita merdeka secara hakiki, dan tanpa takut kepada siapapun kecuali pada Allah Subhanahu Wata’ala semata. Dengan shalat kita berkomunikasi secara langsung kepada Allah Subhanahu Wata’ala , dan dengannya, kita senantiasa merasa terbebaskan dari segala bentuk tekanan, baik materi atau pun batin.

Sebegitu hebatnya shalat, ia oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dijuluki sebagai ‘tiang agama’. Barang siapa yang pendirian shalatnya baik, maka baik pulalah tiang agamanya.

Merasa bahwa hidup ini ruwet, membebani, dan bikin stress, maka tengoklah sejenak bagaimana shalat kita. Penulis tak usahlah mengutip pendapat para ahli kesehatan terkait dengan shalat dan kesehatan raga, atau mengutip ahli ilmu psikologi terkait dengan shalat dan kesehatan batin. Telah jelas, bahwa hanya shalat yang tepat dan benarlah yang dapat membebaskan manusia muslim dari kungkungan atau perbudakan kefanaan dunia.

Derajat pembebasan hakiki insan muslim dari segala keterpurukan hidup ini hanya terletak bagaimana kita bershalat. Pendirian shalat yang tepat dan benar akan mempunyai efek aura positif pada langkah panjang kehidupan ini. Efek positif inilah yang akan berdampak lebih luas dalam bentuk kesalehan sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam di depan para shahabat, atau ditunjukkan oleh para shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam di depan para tabi’in, atau ditunjukkan oleh para tabi’in di depan tabittabi’in, dan begitu seterusnya dilanjutkan oleh ulama-ulama para sholafush sholeh lainnya hingga zaman kita.

Oleh karena itulah, baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berkata ‘shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku bershalat’. Tanpa terkurang atau bertambah.

Shalat yang tepat dan benar selain berdampak untuk memupuk kesalehan sosial, ia juga sarana mencegah perbuatan keji dan mungkar. Perbuatan keji, misalnya penistaan atas prinsip-prinsip Islam, kriminalitas dengan pembunuhan, baik pembunuhan fisik atau karakter, tak akan dijumpai. Perbuatan mungkar, misalnya mengingkari adanya Tuhan (atheis), mendukung sesuatu yang jelas-jelas dilarang oleh Allah Subhanahu Wata’ala, atau membangkang kepada aturan Syariah secara luas, tak akan dijumpai pula.

Dengan shalat yang tepat dan benar kehidupan ini akan berjalan sesuai dengan kefitrahan hakiki kemanusiaan itu sendiri.

Kelastarian hidup manusia muslim untuk menuju harkat yang bermartabat, penuh bijak bestari hanya dapat ditempuh dengan shalat lima waktu, tanpa mengecilkan arti penting dari rukun-rukun Islam lainnya. Shalat bagi seorang muslim adalah standar ukuran kesalehan hidupnya. Memperbaiki shalat sesuai dengan aturan yang Rasulullah canangkan, sebenarnya memperbaiki standar hidup manusia muslim itu sendiri. Melalaikan shalat, atau bahkan menganggapnya perilaku sia-sia, sebenarnya telah menjerumuskan kita sendiri pada jurang kehancuran itu sendiri. Selamat memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Wallahu A’alam.*/Ahmad Muhli Junaidi

 

HIDAYATULLAH

Mengenal Bulan Haram

Ada sebuah ayat yang menerangkan perihal eksistensi bulan haram. Hal ini tertuang dalam surah at-Taubah ayat 36, yang berbunyi, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Dalam ayat tersebut, Allah SWT telah menjelaskan pada kita bahwa bulan yang ada pada kehidupan manusia di dunia ini  berjumlah  12. Di antara 12 bulan tersebut, ada empat bulan yang dinyatakan oleh Allah SWT sebagai bulan-bulan haram.

Dalam kitab tafsir Ath-Thabari disebutkan terdapat empat bulan dalam bulan haram yang dimaksud ayat tersebut. Yakni Dzulkaidah, Dzulhijah, Muharram, dan Rajab.

Penafsiran tersebut sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis. “Sesungguhnya zaman ini telah berjalan (berputar), sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun ada 12 bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Dzulkaidah, Dzulhijah, dan Muharam. Kemudian Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Syaban.” (HR Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, keempat bulan itu diyakini sangat diagungkan oleh bangsa Arab. Bahkan, mereka mengharamkan diri mereka sendiri untuk berperang di bulan-bulan tersebut sebagai bentuk atau simbol penghormatan mereka.

 

sumber:RepublikaOnline

Alasan Disebut Rajab dan Nama Lain Bulan ini

Umat Islam saat ini sedang berada di salah satu bulan yang mulia, yaitu Rajab. Rajab, adalah bulan yang mulia dan memiliki kedudukan agung. Rajab termasuk salah satu dari empat bulan yang disucikan dan dilarang pertumpahan darah yakni, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam. (Larangan itu berlaku di semua bulan, hanya saja, penekanan larangan itu lebih di keempat bulan itu).

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.”(QS. at-Taubah [9]: 36).

Rajab dikenal dengan beberapa sebutan. Penamaan Rajab itu menurut Ibn Faris di Maqayis al-Lughah, berarti pengagungan. Konon, masyarakat pra-Islam menghormati Rajab. Selain kata Rajab, ada pula padanan lainnya yakni  Mudhir.

Ada sejumlah alasan, kenapa Rajab disebut Mudhir. Konon Mudhir adalah salah satu kabilah arab di masa jahiliah yang tidak mengotak-atik bulan-bulan haram tersebut, agar mereka bebas melakukkan larangan-larangan itu.

Kisah itu terabadikan di surah at-Taubah ayat ke-37. Alasan lain, karena suku ini menunjukkan penghormatan yang lebih terhadap Rajab. Ini bila dibandingkan dengan suku  yang ada saat itu.

Sedangkan sebutan Rajab berikutnya yaitu Athirah. Latarbelakang pemakaian nama Athirah, lantaran masyarakat Arab pra-Islam menyembelih hewan kurban di bulan ini. Athirah, berarti hewan kurban.

 

 

sumber: Republika Online