Sebab yang Membolehkan untuk Menjamak Shalat (Bag. 2)

Adanya masyaqqah adalah sebab yang membolehkan jamak

Sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya, sebab dan kondisi yang memperbolehkan menjamak shalat itu banyak sekali, namun semua kondisi tersebut memiliki satu karakteristik (sebab) yang sama, yaitu masyaqqah (adanya kesulitan). Maksudnya, ketika sulit atau berat atas seorang hamba untuk shalat sesuai dengan waktunya, maka diperbolehkan untuk menjamak shalat.

Berikut ini beberapa contoh adanya masyaqqah sehingga diperbolehkan untuk menjamak shalat sebagaimana yang dicontohkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala:

  • Seseorang yang kehilangan hewan ternaknya di waktu maghrib. Orang tersebut mengatakan, “Jika aku menjamak maghrib dengan isya’, aku masih mungkin mengejarnya. Akan tetapi, jika harus berhenti shalat isya’ pada waktunya (di masjid), bisa jadi aku kehilangan jejak.” Jika orang tersebut berhenti untuk shalat isya’ mencari masjid di tengah-tengah pengejaran, bisa jadi dia kehilangan jejak hewan ternaknya. Dalam hal ini, terdapat mayaqqah bagi orang tersebut, sehingga boleh jamak.
  • Seseorang masih berada di rumahnya ketika shalat dzuhur dan hendak berangkat safar bersama rombongan. Diperkirakan, ketika waktu shalat ashar habis, dia masih berada di tengah perjalanan. Orang ini boleh jamak, karena ada masyaqqah untuk shalat ashar sesuai dengan waktunya.
  • Seseorang baru saja sampai rumah di waktu dzuhur setelah dia melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Berat baginya untuk menunggu waktu ashar karena mengantuk berat. Jika dia tidur, maka diperkirakan akan kelewatan waktu ashar dan baru bangun di waktu maghrib atau bahkan isya’. Orang ini boleh menjamak shalat, karena adanya masyaqqah untuk menunggu waktu ashar.
  • Ada orang yang terkena penyakit sehingga dia terus-menerus buang angin, atau terus-menerus kencing atau terus-menerus buang air besar. Orang ini boleh jamak, karena adanya masyaqqah kalau harus berwudhu setiap kali masuk waktu shalat.
  • Seorang ibu yang menyusui, dan anaknya terus-menerus menangis dan berat baginya untuk shalat di setiap waktunya. Boleh bagi wanita tersebut untuk jamak karena adanya masyaqqah.
  • Seorang pilot yang mayoritas perjalanannya dilakukan di malam hari. Sehingga dia butuh tidur agak lama setelah shalat ashar dan baru bangun di malam hari di waktu isya’. Jika dia bangun di waktu maghrib, maka tidur belum cukup, dan dia tidak bisa tidur lagi jika bangun di waktu maghrib. Kalau hanya tidur sedikit, itu belum cukup dan akan merasa sangat lelah ketika di pesawat. Maka boleh bagi pilot ini untuk tidur dan bangun di waktu isya’, dan menjamak shalat maghrib dan isya’ di waktu isya’ (jamak ta’khir).
  • Selesai shalat maghrib di masjid, hujan turun sangat deras dan diperkirakan lama. Sehingga ada kesulitan kalau jamaah kembali lagi ke masjid untuk shalat isya’. Dalam kondisi ini, imam boleh menjamak shalat maghrib dengan isya’.

Demikian beberapa contoh adanya masyaqqah, sebagai gambaran kondisi-kondisi yang memperbolehkan untuk menjamak shalat.

 

Lalu, apa batasan masyaqqah?

Seseorang mungkin saja bertanya, “Jika setiap orang boleh meng-klaim ada masyaqqah, lalu bagaimana patokan untuk menilai bahwa benar-benar ada masyaqqah?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Tidak ada yang berhak menghisab kecuali Allah Ta’ala. Ini adalah perkara antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Jika seseorang berkata, “Saya, demi Allah, sangat lelah. Aku tidak mampu menahan tidur sampai tibanya waktu shalat berikutnya. Jika aku tidur, aku bisa terlewat mengerjakan shalat pada waktunya.” Maka kita katakan kepada orang tersebut, “Silakan jamak.”

Kondisi tersebut banyak terjadi sekarang ini. Ada orang yang sekolah di luar daerah asalnya, dia shalat dzuhur di tempat dia sekolah, lalu berkata, “Aku harus jamak, karena jika aku sampai di rumah (di daerah asal), aku sangat capek sekali.” Kita katakan kepada orang tersebut, “Silakan jamak.” Perkara ini mudah, alhamdulillah.

Wajib atas setiap orang untuk muhasabah (menilai) terhadap diri sendiri, karena dia sendiri yang bertanggung jawab atas agamanya masing-masing.” (Syarh ‘Umdatul Ahkaam, 2: 314-315)

 

Seorang musafir yang sedang singgah, bolehkah menjamak shalat?

Seseorang safar ke luar daerah karena ada acara keluarga dan sampai di tempat tujuan pukul 12.30 WIB. Dia singgah sebentar di tempat itu, dan baru akan berangkat pulang pukul 17.00 WIB. Bolehkah orang tersebut menjamak shalat dzuhur dan ashar di waktu dzuhur?

Sebagian ulama berpendapat bahwa musafir yang boleh menjamak shalat adalah ketika masih berada di tengah-tengah perjalanan (belum sampai di tempat tujuan). Akan tetapi, pendapat yang lebih tepat adalah yang mengatakan bahwa seorang musafir boleh menjamak shalat secara mutlak, baik masih di jalan atau sudah singgah di tempat tujuan. Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah sebagaimana hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

دُفِعْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِالأَبْطَحِ فِي قُبَّةٍ كَانَ بِالهَاجِرَةِ، خَرَجَ بِلاَلٌ فَنَادَى بِالصَّلاَةِ ثُمَّ دَخَلَ، فَأَخْرَجَ فَضْلَ وَضُوءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَقَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ يَأْخُذُونَ مِنْهُ، ثُمَّ دَخَلَ فَأَخْرَجَ العَنَزَةَ وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى وَبِيصِ سَاقَيْهِ، فَرَكَزَ العَنَزَةَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ، يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ الحِمَارُ وَالمَرْأَةُ

“Aku pernah bertemu tanpa sengaja dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Abthah. Ketika itu beliau di tenda saat siang hari, Bilal keluar untung mengumandangkan panggilan shalat. Bilal kemudian masuk tenda, dan keluar lagi sambil membawa sisa air wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang pun berebut mengambil sisa air wudhu tersebut. Bilal masuk tenda lagi dan keluar dengan membawa sebatang tongkat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar dan seolah-olah aku melihat cahaya pada kedua betis beliau. Beliau lalu menancapkan tongkat tersebut, kemudian shalat dzuhur dua raka’at dan shalat ‘ashar dua raka’at, sedangkan keledai dan para wanita lewat di hadapan beliau.” (HR. Bukhari no. 3566 dan Muslim no. 503)

Dzahir hadits ini menunjukkan bahwa beliau menjamak shalat dalam kondisi singgah, tidak sedang berjalan di atas kendaraan. Inilah pendapat yang -insyaa Allah- lebih tepat, yaitu musafir boleh menjamak shalat secara mutlak.

Oleh karena itu, kaitannya dengan menjamak shalat, terdapat dua keadaan bagi seorang musafir:

Pertama, masih di tengah-tengah perjalanan. Dalam kondisi ini, yang lebih utama (sunnah) adalah menjamak shalat.

Ke dua, sampai di tempat tujuan atau singgah di suatu tempat beberapa waktu lamanya. Dalam kondisi ini yang lebih utama adalah tidak menjamak shalat. Akan tetapi, diperbolehkan jika ingin menjamak shalat, karena jamak dalam kondisi ini adalah rukhshah (keringanan). Dua rincian ini sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah.

Sebagian ulama melarang seorang musafir dalam kondisi ke dua (yang sudah sampai di tempat tujuan atau singgah di suatu tempat beberapa waktu lamanya) untuk menjamak shalat, di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan termasuk ulama sekarang yang melarangnya adalah Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah.

Manakah yang lebih utama, jamak taqdim ataukah jamak ta’khir?

Jika ditanyakan, manakah yang lebih utama, jamak taqdim ataukah jamak ta’khir? Yang lebih utama (lebih afdhal) adalah manakah yang lebih sesuai, lebih nyaman, dan lebih memudahkan sesuai dengan kondisi pada saat itu.

Diriwayatkan dari Anas bin Maalik radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ العَصْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bepergian sebelum matahari condong ke barat (sebelum masuk waktu dzuhur, pent.), maka beliau mengakhirkan shalat dzuhur di waktu ashar, kemudian menjamak kedua shalat tersebut. Jika beliau bepergian setelah matahari condong ke barat (setelah masuk waktu dzuhur, pent.), beliau shalat dzuhur kemudian berangkat.” (HR. Bukhari no. 1111 dan Muslim no. 704)

 

Setiap kali boleh jamak, boleh juga qashar?

Sebagian orang memiliki kaidah:

كلما جاز الجمع، جاز القصر

“Setiap kali boleh menjamak shalat, berarti boleh juga qashar.”

Contoh, ketika kita mengunjungi seseorang yang sedang sakit. Kita tanyakan kepadanya, “Bagaimana kabarmu dan bagaimana shalatmu?” Orang tersebut menjawab, “Alhamdulillah, aku menjamak dan mengqashar shalat selama sakit lima belas hari ini.”

Padahal, orang tersebut dirawat di rumahnya sendiri, tidak safar ke daerah lain. Orang sakit tersebut keliru, karena dia menyangka bahwa jika kondisinya (sakit) membolehkan jamak, berarti kondisinya tersebut membolehkan qashar.

Sebagaimana yang telah kami singgung di seri sebelumnya, satu-satunya sebab yang membolehkan qashar shalat adalah safar. Oleh karena itu, wajib bagi orang sakit tersebut untuk mengulang shalatnya sebanyak tiga shalat setiap harinya, yaitu shalat dzuhur, shalat ashar dan shalat isya’. Cara pelaksanaannya adalah dia mengerjakan shalat-shalat tersebut di satu waktu sebanyak yang dia mampu, dan seterusnya kekurangannya dilanjutkan di waktu yang lain.

Demikian sedikit pembahasan tentang menjamak shalat, semoga bisa dipahami.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44791-sebab-yang-membolehkan-untuk-menjamak-shalat-bag-2.html