Fatwa Ulama: Bagaimana Batasan Bolehnya Menjamak Shalat Ketika Hujan?

Fatwa Syaikh Shalih bin ‘Abdillah Al Ushaimi

Soal:

Bagaimana dhabit (kaidah dan batasan) bolehnya menjamak shalat (jama’ah di masjid) ketika hujan?

Jawab:

Dhabit dalam menjamak shalat ketika hujan adalah sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbas dalam Shahih Muslim, yaitu beliau berkata:

أراد أن لا يُحْرِجَ أُمَّتَه

Rasulullah tidak ingin menyulitkan ummatnya

Maka kapan pun ada kesulitan dan kesempitan dibolehkan menjamak shalat ketika hujan. Namun tidak ada riwayat shahih bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah menjamak shalat ketika hujan, tapi amalan ini diriwayatkan dari perbuatan para sahabat radhiallahu’anhum. Maka menjamak shalat ketika hujan itu boleh dan dhabit-nya adalah adanya masyaqqah (kesulitan).

Dan masyaqqah dalam hal ini berbeda-beda batasannya (di antara para ulama). Mayoritas fuqaha mengatakan bahwa batasannya adalah basahnya baju, yaitu terkenanya baju oleh air hujan. Maka jika seseorang basah bajunya berarti ia telah mendapatkan kesulitan dari hujan. Namun ini adalah taqdir taqribiy (batasan yang dibuat agar mudah dipahami), karena hujan itu begitu sering di sebagian tempat.

Dan terkadang, umumnya orang-orang membawa payung yang melindungi dirinya dari air hujan sehingga bajunya tidak basah. Maka dalam keadaan ini patokannya pada ada-tidaknya kesulitan dan kesempitan.

Lalu kesulitannya juga diukur dari keadaan masjidnya. Terkadang di masjid yang ana ada kesulitan saat hujan, namun di masjid yang lain tidak ada kesulitan. Semisal ada masjid yang disekitarnya terdapat rawa, sehingga air akan menggenang ketika hujan. Maka ini menimbulkan kesulitan bagi orang-orang (ketika hujan). Maka boleh menjamak karena alasan ini. Sedangkan masjid yang lain tidak demikian. Maka kadar kesulitan ini berbeda-beda antara satu masjid dengan yang lain.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/22624-fatwa-ulama-bagaimana-batasan-bolehnya-menjamak-shalat-ketika-hujan.html

Bolehkah Menjamak Shalat Zhuhur dan Ashar Saat Hujan?

Apakah boleh menjamak shalat Zhuhur dan Ashar saat hujan?

Hal ini terdapat perselisihan pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bolehnya menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ bagi orang mukim (tidak bersafar) ketika hujan. Kecuali Imam Malik, ia hanya membolehkan menjama’ shalat ketika hujan untuk shalat Maghrib dan Isya’ (shalat yang dikerjakan di malam hari) saja, sedangkan shalat Zhuhur dan Ashar tidak dijama’. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 493)

Manakah pendapat yang kuat?

Yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama yang membolehkan jama’ untuk shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya ketika hujan. Dalilnya, dari Abu Az Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, beliau berkata, ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.” (HR. An Nasa-i no. 601, shahih). Yang meriwayatkan dari Abu Az Zubair adalah Imam Malik dalam Muwatho’nya. Imam Malik mengatakan, ”Aku menyangka bahwa menjama’ di sini adalah ketika hujan.”

Berikut penjelasan tambahan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ’Utsamin:

Jika ada yang mengatakan, ”Apa dalil yang mengkhususkan menjama’ shalat Maghrib-Isya ketika angin kencang, hujan, atau jalan yang licin?”

Beliau rahimahullah lalu mengatakan, ”Dalil yang digunakan oleh ulama yang mengkhususkan jama’ ketika hujan pada shalat Maghrib dan ’Isya saja adalah hadits,

أَنَّ  الرَّسُوْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : جَمَعَ بَيْنَ العِشَائَيْنِ فِي لَيْلَةٍ مَطِيْرَةٍ “

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan di waktu malam.” Namun hadits ini perlu ditinjau lagi. Hadits ini adalah riwayat An Najad dan bukan riwayat Bukhari. (Hadits ini diriwayatkan oleh An Najad dengan sanadnya. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan, sangat lemah sekali. Lihat Irwa’ul Gholil no. 581, 3: 39)

Lalu Syaikh Ibnu ’Utsaimin mengatakan, ”Walaupun dalam hadits itu dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjama’ shalat ketika hujan di malam hari (pada saat Maghrib dan Isya’, pen), bukan berarti ini adalah larangan untuk menjama’ shalat di siang hari ketika hujan (pada saat Zhuhur dan Ashar, pen). Karena illah (sebab) dari dilakukan jama’ ketika hujan adalah adanya kesulitan. Maka pendapat yang benar dari permasalahan ini adalah: bolehnya menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar karena sama-sama termasuk udzur (alasan), sebagaimana pula boleh menjama’ shalat Maghrib dan Isya’. Dan illahnya (sebabnya) adalah karena terdapat kesulitan. Jadi apabila didapatkan kesulitan baik di malam atau siang hari maka diperbolehkan menjama’ shalat ketika itu.” (Lihat Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 2: 283)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/23442-bolehkah-menjamak-shalat-zhuhur-dan-ashar-saat-hujan.html

Sebab yang Membolehkan untuk Menjamak Shalat (Bag. 2)

Adanya masyaqqah adalah sebab yang membolehkan jamak

Sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya, sebab dan kondisi yang memperbolehkan menjamak shalat itu banyak sekali, namun semua kondisi tersebut memiliki satu karakteristik (sebab) yang sama, yaitu masyaqqah (adanya kesulitan). Maksudnya, ketika sulit atau berat atas seorang hamba untuk shalat sesuai dengan waktunya, maka diperbolehkan untuk menjamak shalat.

Berikut ini beberapa contoh adanya masyaqqah sehingga diperbolehkan untuk menjamak shalat sebagaimana yang dicontohkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala:

  • Seseorang yang kehilangan hewan ternaknya di waktu maghrib. Orang tersebut mengatakan, “Jika aku menjamak maghrib dengan isya’, aku masih mungkin mengejarnya. Akan tetapi, jika harus berhenti shalat isya’ pada waktunya (di masjid), bisa jadi aku kehilangan jejak.” Jika orang tersebut berhenti untuk shalat isya’ mencari masjid di tengah-tengah pengejaran, bisa jadi dia kehilangan jejak hewan ternaknya. Dalam hal ini, terdapat mayaqqah bagi orang tersebut, sehingga boleh jamak.
  • Seseorang masih berada di rumahnya ketika shalat dzuhur dan hendak berangkat safar bersama rombongan. Diperkirakan, ketika waktu shalat ashar habis, dia masih berada di tengah perjalanan. Orang ini boleh jamak, karena ada masyaqqah untuk shalat ashar sesuai dengan waktunya.
  • Seseorang baru saja sampai rumah di waktu dzuhur setelah dia melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Berat baginya untuk menunggu waktu ashar karena mengantuk berat. Jika dia tidur, maka diperkirakan akan kelewatan waktu ashar dan baru bangun di waktu maghrib atau bahkan isya’. Orang ini boleh menjamak shalat, karena adanya masyaqqah untuk menunggu waktu ashar.
  • Ada orang yang terkena penyakit sehingga dia terus-menerus buang angin, atau terus-menerus kencing atau terus-menerus buang air besar. Orang ini boleh jamak, karena adanya masyaqqah kalau harus berwudhu setiap kali masuk waktu shalat.
  • Seorang ibu yang menyusui, dan anaknya terus-menerus menangis dan berat baginya untuk shalat di setiap waktunya. Boleh bagi wanita tersebut untuk jamak karena adanya masyaqqah.
  • Seorang pilot yang mayoritas perjalanannya dilakukan di malam hari. Sehingga dia butuh tidur agak lama setelah shalat ashar dan baru bangun di malam hari di waktu isya’. Jika dia bangun di waktu maghrib, maka tidur belum cukup, dan dia tidak bisa tidur lagi jika bangun di waktu maghrib. Kalau hanya tidur sedikit, itu belum cukup dan akan merasa sangat lelah ketika di pesawat. Maka boleh bagi pilot ini untuk tidur dan bangun di waktu isya’, dan menjamak shalat maghrib dan isya’ di waktu isya’ (jamak ta’khir).
  • Selesai shalat maghrib di masjid, hujan turun sangat deras dan diperkirakan lama. Sehingga ada kesulitan kalau jamaah kembali lagi ke masjid untuk shalat isya’. Dalam kondisi ini, imam boleh menjamak shalat maghrib dengan isya’.

Demikian beberapa contoh adanya masyaqqah, sebagai gambaran kondisi-kondisi yang memperbolehkan untuk menjamak shalat.

 

Lalu, apa batasan masyaqqah?

Seseorang mungkin saja bertanya, “Jika setiap orang boleh meng-klaim ada masyaqqah, lalu bagaimana patokan untuk menilai bahwa benar-benar ada masyaqqah?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Tidak ada yang berhak menghisab kecuali Allah Ta’ala. Ini adalah perkara antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Jika seseorang berkata, “Saya, demi Allah, sangat lelah. Aku tidak mampu menahan tidur sampai tibanya waktu shalat berikutnya. Jika aku tidur, aku bisa terlewat mengerjakan shalat pada waktunya.” Maka kita katakan kepada orang tersebut, “Silakan jamak.”

Kondisi tersebut banyak terjadi sekarang ini. Ada orang yang sekolah di luar daerah asalnya, dia shalat dzuhur di tempat dia sekolah, lalu berkata, “Aku harus jamak, karena jika aku sampai di rumah (di daerah asal), aku sangat capek sekali.” Kita katakan kepada orang tersebut, “Silakan jamak.” Perkara ini mudah, alhamdulillah.

Wajib atas setiap orang untuk muhasabah (menilai) terhadap diri sendiri, karena dia sendiri yang bertanggung jawab atas agamanya masing-masing.” (Syarh ‘Umdatul Ahkaam, 2: 314-315)

 

Seorang musafir yang sedang singgah, bolehkah menjamak shalat?

Seseorang safar ke luar daerah karena ada acara keluarga dan sampai di tempat tujuan pukul 12.30 WIB. Dia singgah sebentar di tempat itu, dan baru akan berangkat pulang pukul 17.00 WIB. Bolehkah orang tersebut menjamak shalat dzuhur dan ashar di waktu dzuhur?

Sebagian ulama berpendapat bahwa musafir yang boleh menjamak shalat adalah ketika masih berada di tengah-tengah perjalanan (belum sampai di tempat tujuan). Akan tetapi, pendapat yang lebih tepat adalah yang mengatakan bahwa seorang musafir boleh menjamak shalat secara mutlak, baik masih di jalan atau sudah singgah di tempat tujuan. Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah sebagaimana hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

دُفِعْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِالأَبْطَحِ فِي قُبَّةٍ كَانَ بِالهَاجِرَةِ، خَرَجَ بِلاَلٌ فَنَادَى بِالصَّلاَةِ ثُمَّ دَخَلَ، فَأَخْرَجَ فَضْلَ وَضُوءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَقَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ يَأْخُذُونَ مِنْهُ، ثُمَّ دَخَلَ فَأَخْرَجَ العَنَزَةَ وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى وَبِيصِ سَاقَيْهِ، فَرَكَزَ العَنَزَةَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ، يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ الحِمَارُ وَالمَرْأَةُ

“Aku pernah bertemu tanpa sengaja dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Abthah. Ketika itu beliau di tenda saat siang hari, Bilal keluar untung mengumandangkan panggilan shalat. Bilal kemudian masuk tenda, dan keluar lagi sambil membawa sisa air wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang pun berebut mengambil sisa air wudhu tersebut. Bilal masuk tenda lagi dan keluar dengan membawa sebatang tongkat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar dan seolah-olah aku melihat cahaya pada kedua betis beliau. Beliau lalu menancapkan tongkat tersebut, kemudian shalat dzuhur dua raka’at dan shalat ‘ashar dua raka’at, sedangkan keledai dan para wanita lewat di hadapan beliau.” (HR. Bukhari no. 3566 dan Muslim no. 503)

Dzahir hadits ini menunjukkan bahwa beliau menjamak shalat dalam kondisi singgah, tidak sedang berjalan di atas kendaraan. Inilah pendapat yang -insyaa Allah- lebih tepat, yaitu musafir boleh menjamak shalat secara mutlak.

Oleh karena itu, kaitannya dengan menjamak shalat, terdapat dua keadaan bagi seorang musafir:

Pertama, masih di tengah-tengah perjalanan. Dalam kondisi ini, yang lebih utama (sunnah) adalah menjamak shalat.

Ke dua, sampai di tempat tujuan atau singgah di suatu tempat beberapa waktu lamanya. Dalam kondisi ini yang lebih utama adalah tidak menjamak shalat. Akan tetapi, diperbolehkan jika ingin menjamak shalat, karena jamak dalam kondisi ini adalah rukhshah (keringanan). Dua rincian ini sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah.

Sebagian ulama melarang seorang musafir dalam kondisi ke dua (yang sudah sampai di tempat tujuan atau singgah di suatu tempat beberapa waktu lamanya) untuk menjamak shalat, di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan termasuk ulama sekarang yang melarangnya adalah Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah.

Manakah yang lebih utama, jamak taqdim ataukah jamak ta’khir?

Jika ditanyakan, manakah yang lebih utama, jamak taqdim ataukah jamak ta’khir? Yang lebih utama (lebih afdhal) adalah manakah yang lebih sesuai, lebih nyaman, dan lebih memudahkan sesuai dengan kondisi pada saat itu.

Diriwayatkan dari Anas bin Maalik radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ العَصْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bepergian sebelum matahari condong ke barat (sebelum masuk waktu dzuhur, pent.), maka beliau mengakhirkan shalat dzuhur di waktu ashar, kemudian menjamak kedua shalat tersebut. Jika beliau bepergian setelah matahari condong ke barat (setelah masuk waktu dzuhur, pent.), beliau shalat dzuhur kemudian berangkat.” (HR. Bukhari no. 1111 dan Muslim no. 704)

 

Setiap kali boleh jamak, boleh juga qashar?

Sebagian orang memiliki kaidah:

كلما جاز الجمع، جاز القصر

“Setiap kali boleh menjamak shalat, berarti boleh juga qashar.”

Contoh, ketika kita mengunjungi seseorang yang sedang sakit. Kita tanyakan kepadanya, “Bagaimana kabarmu dan bagaimana shalatmu?” Orang tersebut menjawab, “Alhamdulillah, aku menjamak dan mengqashar shalat selama sakit lima belas hari ini.”

Padahal, orang tersebut dirawat di rumahnya sendiri, tidak safar ke daerah lain. Orang sakit tersebut keliru, karena dia menyangka bahwa jika kondisinya (sakit) membolehkan jamak, berarti kondisinya tersebut membolehkan qashar.

Sebagaimana yang telah kami singgung di seri sebelumnya, satu-satunya sebab yang membolehkan qashar shalat adalah safar. Oleh karena itu, wajib bagi orang sakit tersebut untuk mengulang shalatnya sebanyak tiga shalat setiap harinya, yaitu shalat dzuhur, shalat ashar dan shalat isya’. Cara pelaksanaannya adalah dia mengerjakan shalat-shalat tersebut di satu waktu sebanyak yang dia mampu, dan seterusnya kekurangannya dilanjutkan di waktu yang lain.

Demikian sedikit pembahasan tentang menjamak shalat, semoga bisa dipahami.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44791-sebab-yang-membolehkan-untuk-menjamak-shalat-bag-2.html

Sebab yang Membolehkan untuk Menjamak Shalat (Bag. 1)

Menjamak shalat adalah menggabungkan pelaksanaan dua shalat wajib di satu waktu, yaitu shalat dzuhur digabung dengan shalat ashar; atau shalat maghrib digabung dengan shalat isya’. Dua shalat tersebut bisa digabungkan untuk dikerjakan di waktu shalat yang pertama (yaitu dzuhur atau maghrib, disebut dengan jamak taqdim), atau di waktu shalat yang ke dua (ashar atau isya’, disebut dengan jamak ta’khir). Sedangkan shalat subuh tidak diperbolehkan untuk dijamak, baik dengan shalat sebelumnya (shalat isya’) atau dengan shalat sesudahnya (shalat dzuhur).

 

Hukum asal shalat adalah dikerjakan pada waktunya masing-masing

Hukum asal ibadah shalat adalah dikerjakan sesuai dengan waktunya masing-masing, dan haram untuk dijamak. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Kemudian apabila kamu telah merasa aman, dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ [4]: 103)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ – أَوْ – يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟

“Bagaimana pendapatmu jika Engkau dipimpin oleh para penguasa yang mengakhirkan shalat sampai keluar dari waktunya? Atau meninggalkan shalat dari waktunya?”

Abu Dzarr berkata, “Lalu apa yang Engkau perintahkan kepadaku?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ، فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ

“Kerjakanlah shalat sesuai dengan waktunya. Jika Engkau menjumpai mereka shalat, maka shalatlah lagi, sebab hal itu dihitung sebagai pahala shalat sunnah bagi kalian.” (HR. Muslim no. 648)

 

Setiap shalat memiliki batasan waktu sendiri-sendiri, kapan waktu masuk dan kapan waktu shalat tersebut berakhir. Siapa saja yang shalat sebelum waktunya, atau melaksanakannya setelah waktu shalat tersebut berakhir, maka dia telah melanggar batas ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Sehingga orang tersebut telah berbuat dosa atau maksiat, shalatnya pun tidak akan Allah Ta’ala terima.

Dikecualikan dalam masalah ini adalah orang-orang yang melaksanakannya setelah waktu shalat tersebut berakhir karena ada ‘udzur tertentu, seperti ketiduran atau lupa. Disyariatkan atas orang tersebut untuk shalat ketika ‘udzurnya telah hilang. Misalnya, orang yang ketiduran sebelum waktu dzuhur dan bangun ketika waktu ashar. Ketika bangun (ketika udzur hilang), wajib atas orang tersebut untuk mendirikan shalat dzuhur meskipun di waktu ashar.

Boleh menjamak shalat jika terdapat masyaqqah

Sebab dan kondisi yang memperbolehkan menjamak shalat itu banyak sekali, namun semua kondisi tersebut memiliki satu karakteristik yang sama, yaitu masyaqqah (adanya kesulitan). Maksudnya, ketika sulit atau berat atas seorang hamba untuk shalat sesuai dengan waktunya, maka diperbolehkan untuk menjamak shalat.

Hal ini berbeda dengan sebab yang memperbolehkan untuk meng-qashar (meringkas shalat). Yaitu, melaksanakan shalat yang asalnya empat raka’at (shalat dzuhur, shalat ashar dan shalat ‘isya) menjadi dua raka’at saja. Adapun sebab qashar hanya satu, yaitu safar (melakukan perjalanan jauh). Selain dalam kondisi safar, tidak boleh meng-qashar shalat.

Diperbolehkannya menjamak shalat adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan atas kalian, dan tidak menghendaki kesulitan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

Juga firman Allah Ta’ala,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam beragama.” (QS. Al-Hajj [22]: 78)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

“Sesungguhnya agama ini mudah.” (HR. Bukhari no. 39)

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا

“Mudahkanlah, jangan dipersulit.” (HR. Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734)

Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menjamak shalat. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالعَصْرِ، إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dzuhur dan ashar ketika safar, ketika beliau berada di tengah perjalanan, dan juga menjamak antara shalat maghrib dan ‘isya.” (HR. Bukhari no. 1107)

Inilah pendapat jumhur atau mayoritas ulama, yaitu diperbolehkan menjamak shalat. Yang menyelisihi jumhur ulama dalam masalah ini adalah ulama Hanafiyyah. Ulama madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tidak boleh menjamak shalat, semua shalat harus dikerjakan sesuai dengan waktunya, kecuali di dua keadaan saja pada saat haji, selain itu tidak boleh. Keadaan pertama adalah pada saat wukuf di ‘Arafah, dimana jamaah haji menjamak antara shalat dzuhur dan ashar di waktu dzuhur (jamak taqdim). Keadaan ke dua adalah malamnya di Muzdalifah, dimana jamaah haji menjamak shalat maghrib dan isya’ di waktu isya’ (jamak ta’khir). Pendapat ulama Hanafiyyah ini tidak tepat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjamak shalat dalam safar-safar beliau yang lain, tidak hanya safar haji saja, sebagaimana hadits riwayat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu di atas.

Tidak boleh (haram) bermudah-mudah dalam menjamak shalat

Karena hukum asal shalat adalah dikerjakan pada waktunya masing-masing, maka bermudah-mudah dalam menjamak shalat hukumnya haram, tanpa ada keraguan di dalamnya. Sebagian orang ketika turun hujan gerimis (hujan tipis) di waktu maghrib, dengan mudahnya langsung menjamak shalat isya’ di waktu maghrib. Perbuatan ini tidak tepat, dan harus diingkari karena dia berarti melaksanakan shalat isya’ sebelum waktunya tanpa memiliki alasan (‘udzur) yang diperbolehkan oleh syariat. Hujan yang menyebabkan shalat maghrib dan isya’ dijamak adalah hujan lebat, sehingga terdapat masyaqqah (kesulitan) jika mendirikan shalat isya’ pada waktunya bagi jamaah laki-laki di masjid. Adapun hujan gerimis tipis, maka tidak boleh menjadi alasan untuk menjamak shalat. Hal ini karena, sekali lagi, hukum asal shalat wajib adalah dikerjakan sesuai dengan waktunya masing-masing.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44793-sebab-yang-membolehkan-untuk-menjamak-shalat-bag-1.html