Sejarah Penafsirkan al-Qur’an di Indonesia (1)

Al Qur’an, telah lama menjadi bagian dari umat Islam di Indonesia. Sedari dini, anak-anak di ajarkan dekat dan berinteraksi dengan Al Quran. Salah satu usaha mendekatkan dengan Al Qur’an adalah dengan menafsirkan Qur’an, sehingga Al Qur’an sebagai pedoman hidup mampu lebih dipahami oleh umat. Usaha-usaha menafsirkan Quran oleh para ulama di Nusantara setidaknya telah tercatat sejak abad ke 16. (Gusmian : 2002)

Sebuah naskah tafsir surat Al Kahfi setidaknya telah ditulis pada abad ke 16. Naskahnya dibawa dari Aceh ke Belanda pada awal abad ke 17, oleh seorang ahli bahasa Arab bernama Erpinus (wafat 1624). Manuskrip itu kini menjadi koleksi Cambridge University. Meskipun tidak diketahui penulisnya, namun diperkirakan tafsir ini ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), dengan muftinya adalah Syams Al Din Sumatrani. Bahkan mungkin pula sebelum masa itu, yaitu pada masa Sultan ‘Ala Al-Din Ri’ayat Syah Sayyid Al Mukammil (1537-1604), dengan mufti Hamzah Al-Fansuri. Tafsir yang bercorak sufistik ini mengacu pada tafsir Al Baydlawi dan Al-Khazin. Dari tafsir ini juga terlihat penulisnya menguasai bahasa Arab dengan baik dan keilmuan yang tinggi. (Riddel;1989)

Satu abad kemudian, masih di Aceh, ditemukan tafsir yang lebih lengkap, 30 juz, yaitu Tarjuman Al Mustafid karya Abd Al Rauf Al Sinkili (1615-1693). Diperkirakan ia menulis tafsir ini sepulangnya dari menuntut ilmu selama 19 tahun di Hijaz.

Tafsir Tarjuman Al Mustafid ini merujuk pada tafsir terkemuka seperti Jalalayn, Al Baydlawi dan Al Khazin. Namun tafsir Jalalayn-lah yang menjadi rujukan paling banyak dalam tafsir ini. Tafsir ini memang ditujukan untuk pendidikan dalam skala luas.

Bahkan, tafsir Tarjuman Al Mustafid terus dicetak berulang kali dan dipakai hingga saat ini, khususnya di Malaysia. (Riddel;1989)
Usaha-usaha penafsiran al-Quran terus dilakukan. Bahkan oleh ulama nusantara yang bermukim di Hijaz. Muhammad Al Nawawi Tanara Bantan (1813-1879) atau yang lebih dikenal dengan Syeikh Nawawi Al Bantani, turut menjejakkan ilmunya dengan menulis tafsir Munir li Ma’alim Al-Tanzil (atau disingkat menjadi Al Munir).

Menurut Snouck Hughronje, tafsir ini dicetak di Makkah pada tahun 1884. Namun baru pada tahun 1887, ketika tafsir ini dicetak di kairo, menjadi lebih dikenal luas.(Gusmian;2002)

Bagaimanapun, tafsir-tafsir yang dihasilkan ulama-ulama nusantara hingga abad ke 19 tidak bisa disebut banyak. Di pesantren-pesantren di Jawa, pelajaran tafsir al-Qur’an bukanlah pelajaran pokok. Kitab-kitab tafsir yang dipakai oleh pesantren biasanya berkisar antara tafsir Jalalayn, Al Baydawi atau Al munir di sebagian kecil tempat.(Van Bruissen : 2012) Kendala bahasa tampaknya menjadi masalah tersendiri.

Meskipun tafsir-tafsir kebanyakan ditulis dengan menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu, tetapi kuatnya pengaruh bahasa daerah di tiap wilayah menjadi salah satu rintangan. Bahasa Melayu harus bersaing dengan bahasa daerah setempat.

Tafsir Al Mustafid mungkin saja akan lebih mudah dipahami di wilayah Sumatera yang memang akrab dengan bahasa Melayu.

Namun di Jawa hal ini menjadi lain lagi. Masyarakat awam yang terbiasa dengan bahasa Jawa atau bahasa sunda mungkin tidak terbiasa untuk membaca tafsir berbahasa melayu. (Gusmian; 2002) Hal ini semakin dipersulit dengan romanisasi huruf Arab pegon yang tadinya dipakai untuk perantara tulis menulis.

Persoalan ini membawa dampak serius. Tersendatnya persebaran tafsir disebabkan kendala pencetakan. Segala pencetakan kitab-kitab harus dicetak di Mesir. Di Hindia belanda, mesin cetak yang dipakai telah dirajai oleh mesin cetak beraksara latin. Kairo memang pada akhirnya menjadi era baru pusat penyebaran informasi bagi umat Islam. Membawa pengaruh pula dalam kehidupan pemahaman keagaman di Hindia Belanda.

Pengaruh gerakan reformasi Islam yang dihembuskan oleh Muhammad Abduh di Kairo terasa hingga ke Nusantara. Murid serta pengikut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari nusantara seperti Syeikh Tahir Jalaluddin membawa gerakan reformasi Islam ke nusantara melalui penerbitan Majalah Al Imam.

Dalam terbitannya, Al Imam turut memuat Tafsir Al Manar yang ditulis oleh Muhammad Abduh dan diteruskan oleh Rashid Ridha. Pengaruh tersebut begitu kuat pada kaum muslim reformis di Hindia Belanda.

Namun fenomena kebangkitan muslim reformis ini ditanah air menyimpan sebuah kendala. Mereka, para penggerak reformasi Islam di Hindia Belanda sebagian besar adalah para didikan barat yang tak menguasai bahasa Arab.

Akses untuk mendapatkan pengajaran Islam bergantung pada sumber-sumber berhuruf latin atau buku-buku berbahasa asing. Hausnya dahaga akan tafsir Qur’an beraksara latin ini kemudian menimbulkan perkara baru.

Ahmadiyah dan The Holy Quran

Tafsir Quran oleh Maulana Muhammad Ali yang berjudul “The Holy Quran” hadir di Hindia Belanda ditengah kehausan akan tafsir beraksara latin.

Muhammad Ali adalah seorang intelektual Ahmadiyah Lahore (setelah sebelum bersama Ahmadiyah Qadiani). Ia menulis tafsir itu pada tahun 1909. Judul lengkapnya adalah “The Holy Quran Containing the Arabic Text with English Translation and Commentary”. (Ichwan; 2001) Ahmadiyah (Lahore), melalui Mirza Wali Ahmad Baig diperkirakan menjejakkan kaki di Jogjakarta pada tahun 1924.

Nama Ahmadiyah saat itu memang masih samar. Belum diketahui segala tindak tanduknya. Yang diketahui hanyalah Ahmadiyah yang menawarkan semangat yang hampir sama dengan semangat reformasi Islam yang sedang melanda tanah air.

Ahmadiyah juga saat itu dikenal sebagai penentang gigih kristenisasi. Sehingga Ahmadiyah, mulanya diterima dengan baik oleh para aktivis Islam dari kalangan reformis, terutama Muhammadiyah. Penyimpangan Ahmadiyah saat itu belum terkuak. (Beck;2005)

Kehadiran Mirza Wali Ahmad Baig yang langsung mendapatkan tempat spesial di Muhammadiyah, hingga ia, dapat berkenalan dengan berbagai aktivis Islam kala itu. Termasuk dengan HOS Tjokroaminto.

Lewat Mirza Wali Ahmad Baig inilah kemungkinan Tjokroaminoto membaca dan tertarik pada Holy Quran hingga berupaya menerjemahkan tafsir tersebut ke bahasa melayu. Apalagi Usaha penerjemahan ini mendapatkan persetujuan pribadi dari H. Fachrodin, seorang tokoh Muhammadiyah dan Sarekat Islam.  

Namun hal ini segera menjadi kontroversi, ketika kemudian Haji Rasul (ayah Buya Hamka) menentang kehadiran Ahmadiyah dan menyingkap penyimpangan Ahmadiyah. Sejak itu Muhammadiyah mulai menjauhi Ahmadiyah. Imbasnya juga berdampak pada proyek penerjemahan Tafsir Holy Quran Tjokroaminoto. Pada Kongres Ulama tahun 1928, yang berafiliasi dengan Sarekat Islam, kritik mulai berdatangan pada tafsir tersebut. Polemik ini semakin memanas, karena sebagian terjemahan tersebut telah dipublikasikan di Harian Fajar Asia pimpinan Tjokroaminoto. Kritik yang berdatangan, menyayangkan kurangnya pengetahuan Tjokroaminoto dan hanya bergantung pada Mirza Wali Ahamd Baig. (Beck:2005)*/bersambung Tafsir Depag

 

 

Oleh: Beggy Rizkiyansyah, Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Ilustrasi: Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri as-Singkili penulis Tarjuman Al Mustafid

HIDAYATULLAH