Seputar Polemik Riba

Baru-baru ini jagad media sosial diramaikan oleh diskusi mengenai lemahnya derajat hadis Nabi SAW yang mengaitkan antara dosa riba dengan dosa zina. Namun sayangnya, ada indikasi bahwa dari diskursus hadis tersebut, muncul penggiringan opini bahwa bunga bank diarahkan menjadi persoalan khilafiyah, yaitu persoalan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Dengan kata lain, apakah bunga bank itu riba atau bukan, itu dianggap sebagai persoalan perbedaan interpretasi. Pada akhirnya kesimpulan tersebut menimbulkan persepsi liar di tengah umat, terutama di antara mereka yang masih belum teredukasi dengan baik mengenai konsep riba dan upaya yang dilakukan untuk keluar dari sistim riba melalui pengembangan sistim keuangan syariah. Apalagi kemudian ditambah dengan viralnya penjelasan salah seorang ustaz pengasuh rubrik fiqh di salah satu website terkemuka, yang kemudian membahas tentang munculnya akad-akad baru yang tidak ditemukan di zaman Nabi SAW, yang memungkinkan akad pada simpanan / tabungan di bank konvensional menjadi “halal”.

Sayangnya, yang baru dibahas oleh sang pengasuh rubrik tersebut adalah bunga pada sisi tabungan saja, sementara pada sisi penyaluran, yaitu adanya suku bunga kredit maupun suku bunga bank sentral (sebagai suku bunga acuan), tidak dibahas sama sekali. Padahal, selisih antara suku bunga kredit dengan suku bunga tabungan, ditambah fee-based income, itulah yang menjadi sumber utama keuntungan pada bank konvensional. Karena itu, merespons diskursus yang muncul, saya melihat ada tiga hal pokok yang perlu disampaikan kepada publik secara jelas.

Pertama, derajat lemahnya satu atau dua hadits terkait riba, terutama yang terkait dengan zina, tidak otomatis mereduksi makna riba sebagai salah satu dosa besar yang harus kita hindari. Hal ini dikarenakan adanya dalil-dalil lain yang menunjukkan haramnya riba dan posisi riba sebagai dosa besar yang harus kita tinggalkan. Sebagai contoh adalah dalil dalam Alquran tentang riba yang diturunkan sebanyak empat tahap, yaitu : (i) tahap 1 (QS 30:39), berupa perbandingan antara riba dengan zakat; (ii) tahap 2 (QS 4 : 160-161), dimana Allah mulai mengancam pelaku dosa riba dengan siksa yang pedih; (iii) tahap 3 (QS 3 : 130), dimana Allah mengharamkan sebagian riba, yaitu riba yang berlipat ganda (adh’aafan mudhoo’afah), yang prosentasenya minimal 100 persen dan ini disebut haromul juz’i (pengharaman sebagian); dan (iv) tahap 4 (QS 2: 275-281), dimana keharaman riba, berapapun prosentasenya bersifat final.

Bahkan di dalam QS 2: 278-279, Allah SWT mengajak berperang pada para pelaku dosa riba, dimana hal yang sama, yaitu ajakan berperang secara eksplisit, tidak kita temukan secara tersurat di dalam Alquran untuk para pelaku dosa yang lain. Ini menunjukkan bahwa dosa riba tidak bisa dianggap enteng. Demikian pula banyak hadis-hadis shahih, seperti riwayat Bukhari dan Muslim, yang menggambarkan larangan riba dan siksa yang akan Allah timpakan kepada para pelaku dosa riba, baik yang memberi riba, menerima riba, mencatat riba, dan menjadi saksi atas transaksi ribawi. Karena itu, kita harus melihat dalil-dalil secara komprehensif sehingga tidak salah dalam mengambil kesimpulan.

Kedua, bahwa bunga bank adalah riba, itu sudah final dan telah menjadi kesepakatan (ijma) para ulama kontemporer. Hal ini dibuktikan oleh fatwa-fatwa majelis-majelis/dewan ulama di berbagai negara, termasuk fatwa Majelis Ulama Indonesia. Fatwa MUI No 1 Tahun 2004 secara tegas menyatakan bahwa praktik bunga dalam perbankan konvensional telah memenuhi kriteria riba an-nasiah, sehingga haram hukumnya. Kalaupun ada yang memiliki pandangan berbeda, seperti pendapat Syaikh Muhammad Sayyid Tanthawi rahimahullah, maka sebaiknya kita merujuk pada fatwa majelis ulama.

Khusus mengenai Syaikh Tanthawi rahimahullah, telah banyak artikel yang kemudian mengkritisi pendapat beliau. Ghani (2009) misalnya, menyatakan bahwa pendapat Syaikh Tanthawi mengandung sejumlah kelemahan. Sebagai contoh, Syaikh Tanthawi menyatakan bahwa riba itu hanya terkait dengan al-qurudh al-istihlakiyyah, yaitu pinjaman pada barang/komoditas yang mudah rusak, seperti makanan dan minuman. Pendapat ini kurang tepat karena pada saat ayat-ayat tentang riba diturunkan, maka itu terkait riba yang dilaksanakan paman Nabi, yaitu Abbas bin Abdul Muthallib ra.

Abbas ra mengembangkan riba istitsmar yaitu riba yang terkait dengan barang-barang investasi, yang kemudian diperdagangkan di wilayah Syam yang saat itu memerlukan waktu 2-3 bulan perjalanan dari Madinah. Dalam keterangan lain dinyatakan, dari Atho dan Ikrimah keduanya mengatakan bahwa ayat-ayat tentang riba ini diturunkan pada Abbas dan juga Utsman bin Affan. Setelah turun ayat-ayat ini, maka kedua sahabat radiyallaahu ‘anhuma itu kemudian hanya mengambil modalnya saja dan tidak mengambil ribanya.

Contoh kedua, Syaikh Tanthawi rahimullah menyatakan bahwa hubungan bank dan nasabah adalah hubungan principal-agent yang didasarkan pada akad wakalah. Nasabah (muwakkil) mewakilkan kepada bank konvensional (wakil) untuk mengelola dananya. Namun demikian, pendapat ini kurang tepat karena faktanya, praktik wakalah tidak terjadi. Tidak ada kontrak/perjanjian yang menunjukkan adanya akad wakalah (Ghani, 2009).

Misalnya, ujrah atau fee yang diterima wakil harus disebutkan secara jelas dalam kontrak. Kenyataannya, pada praktik konvensional, fee ini tidak disebutkan. Yang ada justru bank konvensional di awal menjanjikanreturn/bunga yang bersifat tetap dengan prosentase tertentu dari jumlah uang yang ditabungkan/disimpan nasabah. Padahal dalam wakalah, mestinya keuntungan dan kerugian itu menjadi domain muwakkil, dan wakil hanya menerima fee berdasarkan prosentase atau jumlah tertentu sebagai balas jasa atas pengelolaan dana yang dilakukannya.

Masih ada contoh-contoh kekurangtepatan lainnya. Meski demikian, kita tetap menghormati beliau sebagai salah seorang ulama besar abad ini. Sementara kalau kita lihat dari sisi penyaluran dana, bank konvensional jelas menyalurkan kredit dengan akad pinjaman yang disertai bunga, sebagai keuntungan yang dinikmatinya. Ini jelas riba.

Ketiga, meski bunga adalah riba, dan keharaman riba sudah final, namun dalam praktiknya kita perlu melakukan transformasi sistim ekonomi ribawi ini secara bertahap. Di sinilah indahnya ajaran Islam, dimana pelaksanaan ajaran agama kita ini harus dilakukan dengan bijak, memperhatikan kondisi yang ada, dan dilakukan secara bertahap, sistematis dan terukur. Tidak asal main ubah yang justru berpotensi menciptakan kemadharatan yang lebih besar.

Karena itu, dalam mengembangkan sistim ekonomi dan keuangan, termasuk perbankan yang bebas riba, diperlukan tahapan yang jelas, yang mencakup tiga variabel utama. Yaitu : (i) edukasi masyarakat; (ii) pengembangan kelembagaan ekonomi dan keuangan syariah; dan (iii) penguatan regulasi yang berpihak pada pengembangan sistim ekonomi dan keuangan syariah.

Pada sisi edukasi, kita perlu terus menerus mengkampanyekan peningkatan literasi ekonomi dan keuangan syariah masyarakat. Pada sisi kelembagaan, kita perlu dorong kelembagaan ekonomi dan keuangan syariah yang profesional, kompetitif, dan memiliki value proposition yang jelas, sehingga publik bisa merasakan keunikan dan kelebihan sistim berbasis syariah dibandingkan konvensional, sehingga perlahan tapi pasti, institusi ekonomi syariah ini akan menjadi market leader.

Sebagai contoh, para praktisi perbankan syariah harus bisa menampilkan proposisi nilai dan kualitas layanan yang unik dan baik kepada masyarakat, sehingga posisi perbankan syariah yang saat ini menjadi market followerbisa naik kelas menjadi market challenger, sebelum menjadi market leader.Inovasi produk yang bersifat genuine atau orisinal berbasis syariah perlu untuk terus didorong dan dikembangkan.

Sementara dari sisi regulasi, kita perlu terus menerus mendorong keberpihakan negara untuk mengeluarkan beragam kebijakan yang mendukung pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Insya Allah kalau ini bisa dilakukan dengan baik, maka peran institusi dan instrumen ekonomi dan keuangan syariah, akan semakin signifikan di Tanah Air. Semoga. Waallaahu a’lam.

Oleh: Irfan Syauqi Beik, Direktur CIBEST IPB dan Pusat Kajian Strategis Baznas

 

REPUBLIKA