Petualangan Terjerat Pinjaman Online: Pelajaran Hidup yang Menggetarkan dan Pemahaman Agama tentang Riba

Dulu, di dunia modern yang penuh dengan kemudahan teknologi, ada seorang pria bernama Alex. Alex adalah sosok yang cerdas, tetapi seperti banyak dari kita, dia pernah merasakan kesulitan keuangan dalam hidupnya. Saat krisis keuangan menimpanya, dia menemukan sebuah pintu keluar yang menggiurkan: pinjaman online.

Ketika pertama kali Alex mengetahui tentang pinjaman online, dia merasa seperti telah menemukan harta karun. Prosesnya begitu mudah dan cepat, tanpa prosedur yang rumit. Sebagai orang yang sedang dalam kebingungan keuangan, pinjaman online ini tampak seperti penyelamat yang sempurna.

Pada awalnya, semuanya berjalan dengan baik. Alex menggunakan pinjaman online untuk mengatasi krisis keuangannya, dan semuanya terlihat cerah. Namun, seperti yang sering terjadi dalam kehidupan, ketika kita terlalu terlena oleh kenyamanan, kita sering kali mengabaikan konsekuensinya.

Salah satu kesalahan terbesar yang pernah dilakukan Alex adalah dia seringkali terlambat membayar pinjamannya. Ketika tanggal jatuh tempo tiba, dia mendapati dirinya tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utangnya. Alasan-alasan terlambat ini seringkali berkaitan dengan kejadian tak terduga dalam hidup kita, seperti kesehatan yang memburuk atau kerusakan properti.

Namun, masalah sebenarnya dimulai ketika bunga cicilan mulai menumpuk. Alex terkejut saat mengetahui bahwa bunga ini tidak hanya dikenakan pada pokok utang, tetapi juga terus bertambah setiap harinya. Upaya untuk mengatasi situasi ini dengan mengambil pinjaman online dari platform lain hanya membuatnya semakin terjerat dalam jeratan hutang yang semakin kompleks.

Ketika Alex terperangkap dalam lingkaran setan ini, semakin sulit baginya untuk menemukan jalan keluar. Rasanya seperti berada dalam labirin tanpa akhir yang hanya akan membuatnya semakin bingung dan putus asa. Dia harus menghadapi tingkat bunga yang tidak masuk akal, tenggat waktu yang terus bergerak, dan ancaman dari penagih yang semakin agresif.

Namun, di tengah semua ini, Alex mendapati dirinya mendalami ajaran agamanya dengan lebih dalam. Dia menemukan pemahaman agama tentang riba yang sangat serius dan menakutkan. Dalam agamanya, dia menyadari bahwa riba adalah perbuatan haram. Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan,

“Riba terbagi menjadi enam puluh bagian. Bagian yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki yang menikahi ibu kandungnya sendiri.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menekankan betapa seriusnya riba dalam Islam dan menunjukkan bahwa riba adalah salah satu perbuatan yang paling terlarang dalam agama Islam. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam bahwa riba adalah perbuatan haram yang harus dihindari oleh umat Islam.

Tetapi, akhirnya, Alex menyadari betapa berbahayanya pinjaman online ini. Mereka bukanlah solusi jangka panjang untuk masalah keuangan. Sebaliknya, mereka adalah perangkap yang bisa merusak stabilitas keuangan Anda. Ini adalah pengalaman yang sangat pahit, dan Alex menceritakan kisahnya untuk mengingatkan semua orang bahwa kenyamanan sejenak dari pinjaman online dapat berubah menjadi penyesalan mendalam jika kita tidak berhati-hati, baik dari perspektif keuangan maupun agama. Alih-alih terjerat dalam pinjaman online yang berbahaya, Alex dan kita semua harus mencari solusi keuangan yang lebih aman dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah keuangan kita.

sumber: Maskarja.blogspot.com

Merdeka dari Jeratan Hutang

Berhutang terus menerus bisa jadi ibarat “candu” dan orang yang berhutang tentu saja hidupnya tidak merdeka

Oleh: Muhammad Iqbal, Ph.D

Dalam beberapa bulan terakhir, situasi semakin mengkhawatirkan karena semakin sering muncul kasus kekerasan dan bunuh diri yang berhubungan dengan hutang, terutama pinjaman online. Tebing hutang ini seringkali menghantui masyarakat, mendorong mereka melakukan tindakan putus asa akibat ancaman dan tekanan yang diberikan oleh perusahaan pinjaman online.

Kasus ini semakin memburuk dengan adanya tindakan kriminal, penipuan, perjudian, dan bahkan tindak kekerasan hingga pembunuhan demi memenuhi kewajiban membayar hutang. Selain dampak individual, fenomena ini juga merusak struktur keluarga dan kehidupan sosial.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2023, profesion masyarakat yang paling terdampak pinjaman online adalah guru (42%), disusul oleh korban PHK (21%), ibu rumah tangga (18%), karyawan (9%), pedagang (4%), pelajar (3%), tukang pangkas rambut (2%), dan pengemudi ojek online (1%).

Secara teori, disiplin ilmu psikologi dan ekonomi telah mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong perilaku berhutang, yang dikenal dengan istilah “the pain of paying”. Orang merasa bahagia saat membeli barang atau jasa yang diinginkan, tetapi kenyataannya, proses membayar hutang dapat menjadi beban yang sulit diatasi.

Namun, hadirnya pinjaman online mengurangi rasa sakit dari proses membayar hutang ini dan memberikan perasaan kemudahan. Kepuasan dari pembelian yang dilakukan meningkat ketika “pain of paying” berkurang (Shin et al., 2020).

Namun, pertanyaan yang muncul adalah mengapa seseorang senang berhutang? Menurut Yosephine (2021), alasan di balik perilaku ini terkait dengan dua hal: produktif dan konsumtif. Jika hutang digunakan secara produktif, artinya uang yang dipinjamkan digunakan untuk investasi yang berpotensi naik nilainya, seperti bisnis. Di sisi lain, perilaku berhutang konsumtif terjadi ketika hutang digunakan untuk membeli barang konsumsi yang nilai ekonominya cenderung menurun seiring berjalannya waktu.

Perlu dicatat bahwa riset terbaru oleh Sari (2020) menunjukkan bahwa faktor budaya adalah yang menentukan seberapa banyak seseorang suka berhutang, terutama dalam bentuk pinjaman online. Ini menunjukkan bahwa pinjaman online bukan lagi sekadar pilihan, tetapi telah menjadi bagian dari budaya yang menular dari satu individu ke individu lainnya.

Ini juga berlaku untuk kasus guru yang terjerat hutang. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan, terutama mengingat profesi guru yang begitu mulia dan penuh pengorbanan. Gaji yang rendah mungkin menjadi penyebab utamanya. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa gaji guru honorer (Non-PNS) berkisar antara 50.000 hingga 350.000 rupiah per bulan, tergantung pada sekolah masing-masing. Meskipun ada harapan dari status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tetap saja gaji ini masih belum mencukupi.

Keadaan ini berdampak tidak hanya pada keuangan personal, tetapi juga pada kualitas pengajaran. Ketika seorang guru merasa terjebak dalam lingkaran hutang dan tuntutan pinjol, hal ini pasti berpengaruh pada kondisi psikologisnya dan pada akhirnya dapat memengaruhi kualitas mengajarnya.

Survey Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan oleh OJK pada tahun 2022 menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara tingkat inklusi (lebih dari 80%) dan tingkat literasi keuangan (kurang dari 50%). Meskipun banyak yang sudah memiliki akses ke produk keuangan, tetapi pemahaman tentang keuangan yang sehat masih jauh dari optimal.

Fenomena Gaya Hidup juga memainkan peran. Tidak semua orang berhutang karena kebutuhan, banyak juga yang melakukannya sebagai bagian dari gaya hidup yang berorientasi pada konsumsi dan keinginan. Pertumbuhan e-commerce dan model pembayaran “beli sekarang bayar nanti” juga menjadi faktor penarik dalam meningkatnya kebiasaan berhutang.

Hal ini juga diperparah oleh eksistensi media sosial dan fenomena “pamer kekayaan”. Semua ini dapat berdampak signifikan terhadap individu dengan tingkat literasi keuangan yang rendah, mendorong mereka terjebak dalam perangkap pinjaman online, baik yang sah maupun ilegal.

Dalam rangka mengatasi dampak negatif ini, peran pemerintah, lembaga keuangan, organisasi masyarakat, tokoh agama, dan lembaga pendidikan sangatlah penting. Upaya edukasi keuangan harus diarahkan terutama kepada masyarakat dengan tingkat literasi keuangan yang masih rendah. Memberikan pemahaman tentang manfaat, risiko, dan strategi pengelolaan keuangan yang sehat akan membantu individu membuat keputusan yang lebih bijak dalam hal berhutang.

Adapun dari perspektif agama, penting untuk diingat bahwa berhutang yang tidak terkendali juga dapat berujung pada tindakan riba yang dilarang dalam agama. Selain itu, hidup dalam tekanan hutang juga dapat mengurangi kualitas hidup dan kebebasan individu. Oleh karena itu, perlu diingat kata bijak dari tokoh masyarakat yang menyarankan untuk hidup sederhana dan tidak memaksakan diri demi gengsi.

Di Hari Kemerdekaan ini, mari bersama-sama berkomitmen untuk merdeka dari jeratan gaya hidup konsumtif dan perilaku berhutang yang tidak terkendali. Kebebasan yang sesungguhnya adalah ketika kita mampu mengelola keuangan dengan cerdas dan bijak.

Merdeka !

Psikolog, Assoc Profesor di Universitas Paramadina, ww.muhammadiqbalphd.com

sumber: HIDAYATULLAH

Bagaimana Cara Bertaubat dari Dosa Riba?

Berikut ini bagaimana cara bertaubat dari dosa riba? Ajaran Islam menegaskan bahwa riba dikategorikan sebagai perbuatan dosa yang tentunya harus dihindari oleh umat muslim. Riba sendiri mengacu pada praktik atau perbuatan mengambil keuntungan tambahan dalam kegiatan jual beli atau bunga aktivitas utang piutang. 

Dalam Al-Qur’an pun sudah tegas menjelaskannya, bahkan Allah bukan sekadar melarangnya, namun juga memberikan ancaman azab bagi siapa saja yang terlibat dalam praktik riba. Sebagaimana dalam firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 275:

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا‌ ؕ فَمَنۡ جَآءَهٗ مَوۡعِظَةٌ مِّنۡ رَّبِّهٖ فَانۡتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَؕ وَاَمۡرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِ‌ؕ وَمَنۡ عَادَ فَاُولٰٓٮِٕكَ اَصۡحٰبُ النَّارِ‌ۚ هُمۡ فِيۡهَا خٰلِدُوۡنَ

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya Larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang Larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya (Q.S Al-Baqarah ayat 275).

Melihat penjelasan ayat di atas maka sudah jelas bahwa Allah maupun Rasul sangatlah membenci perbuatan Riba. Lantas bagaimana cara agar dosa riba puluhan tahun dapat diampuni oleh Allah SWT? Pun bagaimana cara bertaubat dari dosa riba? 

Bertaubat dengan Sungguh-sungguh dan Tidak Mengulanginya

Menurut Ustadz Adi Hidayat dosa riba dapat diampuni oleh Allah SWT meskipun sudah puluhan tahun dilakukan, yakni dengan melakukan taubatan nasuha. Lebih jelasnya beliau menegaskan, bahwa ketika ingin dosa riba yang sudah puluhan tahun dilakukan, dimaafkan oleh Allah SWT, maka syaratnya harus melakukan taubat dari dosa riba tersebut dengan sungguh-sungguh dan benar benar menyesali apa yang sudah dilakukannya, serta tidak mengulanginya lagi.

Cara Membersihkan Harta Riba

Lalu bagaimana dengan harta dari riba agar bisa dibersihkan. Atau ada keuntungan dari riba agar tidak mengganjal terhadap taubat dari dosa riba? Ketika masih ada harta atau keuntungan dari sisa riba, maka bisa dikeluarkan dalam bentuk sedekah untuk kepentingan umum. Contohnya seperti fasilitas umum layaknya bangun Sumur, WC Umum, Jalan, Masjid, dan sebagainya. 

Ustadz Adi Hidayat, juga menjelaskan dengan bertaubat dan meniatkan sisa harta riba tersebut untuk sadaqah kepentingan umum maka pokok-pokok hartamu dimaafkan oleh Allah SWT dan yang telah lalu dilupakan. “Intinya tinggal anda perbaiki kehidupannya. Isi dengan taubat dan amal sholeh. Rajin sedekah, rajin infaq, dan sebagainya,” kata Ustadz Adi Hidayat.

Jika sudah terbiasa melakukan amal sholeh, rajin sedekah, itu tandanya dosa kita sudah diampuni dan dimaafkan oleh Allah SWT. Ketika seorang hamba bertaubat, maka mustahil Allah akan menyakiti dan menyengsarakan mereka. 

Semoga setelahnya Allah menjamin surga untuk para umat muslim yang bertaqwa, amiin. Itulah cara taubat dari dosa riba yang sudah puluhan tahun dilakukan, sehingga dosa riba diampuni oleh Allah SWT.

BINCANG SYARIAH

Bahaya Memakan Harta Riba

Allah Ta’ala melarang kita dari memakan harta riba. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapatkan keberuntungan.” (QS. Ali ‘Imran: 130)

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

Jika kamu tidak mengerjakan (yaitu meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)

Seorang makhluk tidak akan pernah bisa memenangkan peperangan melawan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Hanya terdapat dua dosa yang pelakunya diancam dengan peperangan melawan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu memakan harta riba dan menyakiti wali Allah Ta’ala. [1]

Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, dia tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.’ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Allah Ta’ala mengancam dengan ancaman yang sangat keras, yaitu berada kekal di neraka, kepada seseorang yang kembali lagi memakan harta riba setelah dirinya diberi nasihat tentang haramnya memakan harta riba.

Para ulama berselisih pendapat apa makna firman Allah Ta’ala, ”Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, dia tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”

Di antara para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang yang memakan riba itu tidaklah bangkit dari kuburnya pada hari kiamat, kecuali dalam keadaan seperti orang gila. Sebagian lagi berpendapat bahwa maksudnya adalah orang yang memakan riba itu tidaklah melakukan transaksi riba, kecuali seakan-akan mereka itu orang gila yang tidak peduli dengan keadaan dan nasib orang lain karena sifat mereka yang sangat rakus.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa pendapat yang benar, jika satu ayat mengandung dua kemungkinan makna dan dua kemungkinan makna itu tidak saling bertentangan, maka ayat tersebut dimaknai dengan semua kemungkinan makna yang ada. Sehingga di dalam menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 275 di atas, beliau membenarkan dua makna yang terdapat di kalangan para ulama tersebut.

Allah Ta’ala menyiksa orang yang berbuat maksiat setelah mereka menolak bertobat dari kemaksiatannya. Hal ini juga berlaku bagi pelaku riba yang diancam dengan peperangan melawan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa yang tetap memakan harta riba, maka mereka akan menjadi penghuni neraka. Inilah hukuman bagi pelaku riba di akhirat kelak.

Sedangkan hukuman baginya di dunia, Allah Ta’ala berfirman,

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

”Allah Ta’ala hancurkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hancurnya harta riba adalah dengan:

Pertama, penghancuran yang sifatnya konkret.

Contoh penghancuran harta riba secara konkret adalah Allah Ta’ala menimpakan bencana dengan ditimpakan penyakit yang sangat parah kepada pelaku riba. Demikian pula, seluruh anggota keluarganya juga mengalami sakit yang serupa sehingga memerlukan banyak uang untuk membiayai pengobatan. Akhirnya, harta yang didapatkannya dengan riba akan habis dengan cepat. Atau Allah Ta’ala menimpakan kebakaran sehingga menghancurkan dan menghabiskan seluruh harta yang didapatkannya dengan jalan riba.

Kedua, penghancuran yang sifatnya abstrak.

Contoh penghancuran harta riba yang bersifat abstrak adalah seseorang yang mempunyai harta, akan tetapi dia pelit terhadap dirinya sendiri. Hartanya yang melimpah itu hanya disimpan sehingga dirinya bagaikan orang miskin yang tidak mempunyai harta. Keadaan orang ini lebih buruk dari keadaan orang yang benar-benar tidak memiliki harta. Dia tidak bisa merasakan manfaat harta tersebut, sehingga hancurlah hartanya. Contoh yang lain adalah dirinya menderita penyakit tertentu sehingga tidak boleh makan berbagai macam makanan yang lezat dan enak. Sehingga meskipun hartanya melimpah, dia tidak bisa memanfaatkan dan menikmati hartanya tersebut sedikit pun.

Semoga Allah Ta’ala menjaga dan melindungi kita semua. [2]

***

@Rumah Kasongan, 11 Dzulhijjah 1444/ 30 Juni 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman, ”Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan peperangan kepadanya.” (HR. Bukhari)

[2] Disarikan dari penjelasan Ustaz Dr. Aris Munandar, SS., MPI., ketika membaca kitab Al-Kabair, karya Adz-Dzahabi rahimahullah (dosa ketujuh).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85920-bahaya-memakan-harta-riba.html

Cara Menghadapi Masalah Hidup yang Berat

Berikut ini cara menghadapi masalah hidup yang berat. Hakikatnya, kadar kesulitan yang menimpa setiap orang pasti setara dengan kesanggupannya. Adanya kesulitan bukan untuk menyulitkan, tetapi untuk memelihara kelestarian hidup manuisa itu sendiri. Jangan cepat-cepat berburuk sangka kepada Allah Swt. Banyak hal yang harus kita pahami dari persoalan kesulitan ini.

Memahami karakter kesulitan dalam kacamata yang benar,  akan cukup meringankan kita dalam menyikapi kesulitan itu sendiri. Kegentaran hanya akan melahirkan pribadi-pribadi lemah yang akan digilas oleh kerasnya perputaran zaman. Semua manusia yang hidup di dunia ini pasti akan menemui kesulitan dalam hidupnya. Allah Swt. berfirman:

وَلَـنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَـوْفِ وَالْجُـوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِ ۗ  وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155).

Kita tidak perlu berangan akan dibebaskan dari kesulitan sama sekali. Sebab, kenyataannya semua orang telah memiliki jatah agenda kesulitan sendiri-sendiri. Karena kesulitan adalah sunnatullah, yaitu suatu hukum yang telah Allah tetapkan secara permanen.

Mau atau tidak mau, suka atau terpaksa, manusia pasti akan berhadapan dengan kesulitan selama masih hidup di dunia. Karena Allah Swt. telah menetapkan sebagai bagian dari liku-liku hidup manusia, dan cepat atau lambat ujian pasti akan datang.

Allah Swt tidak pernah berbuat zalim kepada hambaNya, hanya hamba sendiri yang tidak mematuhi ajaran dan petunjuk-Nya. Sehingga hamba mendapat kesulitan dalam kehidupannya. Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapatkan pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia dapatkan siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.

Cara Menghadapi Masalah Hidup yang Berat

Tentu saja, di balik setiap kesulitan ada karunia kemudahan. Semua orang tentu ingin mengejar kemudahan. Islam mengajarkan, letak kemudahan itu di balik kesulitan. Dengan demikian, jika ingin mengejar kemudahan, kita harus berani menyongsong kesulitan. Dan, bagi mereka yang mendapatkan ujian kesulitan hidup, hendaknya menjadikan kesabaran sebagai hiasan kehidupannya.

Dengan membangun sebuah keyakinan bahwa kesulitan itu akan segera berganti kemudahan, hal itu mudah bagi Allah Swt. Maka dari itu, kita harus selalu melakukan pendekatan-pendekatan terus kepada Allah melalui ibadah mahdah dan ghairu mahdah serta memperbanyak zikir dan doa kepada-Nya.

Tak hanya itu, bagi mereka yang diberi kemudahan dan kesejahteraan hidup, hendaknya mampu menunjukkan keteladanan nyata sebagaimana Rasulullah SAW dan para sahabat contohkan, yaitu kemauan untuk berbagi dengan sesama, dan kepedulian, tolong-menolong, serta membantu terhadap orang-orang sekitar yang berada di bawah garis kemiskinan.

Jangan dilupakan, kesadaran bahwa yang dimiliki sekarang dalam wujud kekayaan atau lainnya, sejatinya hanya titipan belaka. Itu artinya, jika Yang Maha Memiliki mengambilnya, tidak akan merasa kehilangan sedikitpun karena hanya titipan. Kapan saja Sang Pemilik berkehendak akan menarik dan mencabutnya. Dan, kesiapan dalam bentuk yang sedemikian ini agak sulit dipraktikkan oleh mereka yang merasa memiliki segalanya.

Sekali lagi, bahwa dibalik kesulitan pasti ada kemudahan, dan barang siapa yang melepaskan kesulitan saudaranya yang mukmin, maka Allah Swt akan melepaskan kesulitannya pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

“Barangsiapa melepaskan kesulitan orang mu’min dari kehidupannya di dunia ini, maka Allah akan melepaskan kesulitan orang tersebut pada hari kiamat.” (HR. Muslim).

Secara tidak langsung, hadits di atas telah mengingatkan bahwa begitu pentingnya berbagi kebaikan kepada sesama manusia. Karena banyak orang yang menyangka hidup sebagai orang cerdas penuh dengan kemudahan tanpa kesulitan. Padahal orang-orang cerdas juga menghadapi kesulitan kehidupannya sendiri.

Salah satu kesulitan yang dilewati oleh orang cerdas adalah kesulitan ketika berbasa basi. Ini dikarenakan orang cerdas ingin membicarakan berbagai hal besar, seperti ilmu pengetahuan, seni, dan filosofi yang jarang ditemui ketika berbasa basi.

Kebiasaan-kebiasaan ini membuat orang cerdas sering kesulitan bersosialisasi, karena hanya ingin berbicara tentang hal yang penting saja. Orang cerdas memiliki pemikiran mencari sebuah solusi, maka akan banyak proses berpikir dalam otaknya dibanding harus berbicara. Hal ini tercermin juga kebiasaan mereka yang lebih sulit berbicara.

Kenapa demikian? Karena mereka hanya ingin menyampaikan berbagai fakta yang telah didapatkan dibanding kebohongan atau perbincangan tanpa makna. Maka dari itu, perlu kita pahami bahwa hakikat kehidupan dunia hanyalah ladang akhirat untuk mempersiapkan kehidupan yang abadi dan juga hanya sekedar permainan dan senda gurau (sebagaimana sudah dijelaskan dalam al-Qur’an surah Al-Hadid [57]: 20).

Maka bisa dimengerti kenapa kita sebagai muslim yang meyakini kebenaran semua informasi yang datang dari Allah Swt. harus mengisi kehidupan ini sesuai dengan ajaran Islam. Karena hanya orang-orang yang hidup di dunia ini di bawah tuntutan dan petunjuk agama sajalah yang akan mendapat ampunan Allah Swt. dan keridhaan-Nya di akhirat kelak. Selain itu akan mendapatkan azab yang keras dari-Nya.

Oleh karena itu, setiap mukmin diperintahkan untuk beramal dan berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya semasa hidup di dunia ini. Hari demi hari yang dilalui harus semakin baik dan berguna bagi kehidupan di akhirat. 

Jika manusia hanya menyibukkan dirinya untuk kepentingan dunia semata, maka mereka benar-benar menjadi orang-orang yang rugi di hari akhirat nanti. Karena itu, dalam banyak ayat al-Qur’an, bahwa manusia diingatkan agar senantiasa mempersiapkan bekal di kehidupan dunia yang singkat ini untuk kebahagiaan hari esok.

Demikiaan penjelasan cara menghadapi masalah hidup yang berat. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hakikat Riba

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Riba secara bahasa artinya bertambah. Sedangkan secara syara’ adalah penambahan pada ra’sul maal (harta pokok) sedikit atau banyak.

Hukum Riba

Riba hukumnya haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.—-Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Al Baqarah: 278-279)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang bermu’amalah dengan riba dengan ancaman yang yang sangat berat, Dia berfirman:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (QS. Al Baqarah: 275)

Di ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa orang yang bermu’amalah dengan riba tidak dapat bangkit dari kuburnya pada hari Kiamat melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila, hal ini disebabkan mereka memakan riba ketika di dunia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengancam neraka kepada orang yang memakan riba (Lihat Al Baqarah: 275), mencabut keberkahan pada harta yang bercampur riba, yaitu pada firman-Nya “Yamhaqullahurr ribaa,” (Al Baqarah: 276) sehingga harta itu hanyalah membuat kelelahan baginya ketika di dunia, azab baginya ketika di akhirat dan ia tidak dapat mengambil manfaatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai pemakan riba sebagai “Kaffaar” (lihat surat Al Baqarah ayat 276), yang artinya sangat kufur, yakni sangat kufur terhadap nikmat Allah, karena ia tidak kasihan kepada orang yang lemah, tidak membantu orang fakir, tidak memberi tempo kepada orang yang kesusahan. Dan bisa mengeluarkannya dari Islam, jika ia menganggap halal melakukan riba. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengumumkan perang dari-Nya dan dari Rasul-Nya kepada orang-orang yang memakan riba, dan menyifati orang-orang yang memakan riba sebagai orang yang zalim (lihat Al Baqarah: 279)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaknat semua orang yang ikut serta dalam ‘akad riba, Beliau melaknat orang yang memberi pinjaman (yakni yang mengambil riba), orang yang meminjam (yakni yang akan memberikan riba), penulis yang mencatatnya dan dua saksinya. Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberinya, dua saksinya dan penulisnya. Beliau juga bersabda, “Mereka sama (dosanya).”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pengharaman riba lebih keras daripada pengharaman maisir, yaitu judi.”

Bahkan memakan riba adalah sifat orang-orang Yahudi yang mendapatkan laknat, lihat surat An Nisaa’: 161.

Hikmah Diharamkan Riba

Hikmah diharamkannya riba adalah karena di dalamnya:

–     Sama saja memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

–     Menimbulkan peremusuhan di antara sesama dan menghilangkan ruh ta’awun (tolong-menolong).

–     Memadharratkan kaum fakir’ dan orang-orang yang membutuhkan.

–     Menghilangkan kerja dan usaha.

–     Menimbulkan kemalasan bekerja.

–     Wasilah yang menjadikan suatu negeri mudah dijajah.

–     Dll.

Riba dan Pembagiannya

Riba terbagi dua; Riba Nasii’ah dan Riba Fadhl.

1. Riba Nasi’ah

Riba Nasii’ah diambil dari kata nas-’ yang berarti penundaan, yakni riba karena adanya penundaan. Riba Nasii’ah artinya tambahan yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman dari si peminjam sebagai ganti dari penundaan. Riba ini jelas haram berdasarkan Al Qur’an, sunah dan Ijma’.

Riba Nasii’ah ada dua macam:

a)  Qalbud dain ‘alal mu’sir, yaitu orang lain mempunyai hutang kepadanya dengan pembayaran ditunda, ketika tiba waktu menagih, ia (pemberi pinjaman) berkata kepada penghutang, “Anda ingin membayar atau akan ditambah hutang anda?” Jika tidak membayar, maka si pemberi pinjaman menambahkan lagi waktunya dan menambahkan pembayaran yang sebelumnya contoh 1.000.000,- menjadi 10.50.000,-  dsb. Inilah riba di zaman Jahiliyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan riba ini dengan firman-Nya:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)

Oleh karena itu, jika waktu penagihan tiba, namun si peminjam tidak mampu membayar, tidak boleh bagi si pemberi pinjaman menambahkan hutangnya, bahkan ia wajib menunggunya.

b)  Riba Nasii’ah jenis kedua, yaitu menjual barang yang terdiri dari dua jenis; yang sama dalam hal ‘illat riba fadhl dengan adanya pengaruh yang timbul jika diterima keduanya atau salah satunya. Misalnya menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam secara penundaan salah satunya.

2. Riba Fadhl

Riba Fadhl artinya terjadinya kelebihan di salah satu barang, yakni menjual uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan adanya kelebihan. Riba fadhl hukumnya haram berdasarkan sunah dan Ijma’, karena bisa mengarah kepada riba nasii’ah.

Di dalam hadits disebutkan lebih jelas pengharaman riba pada enam barang; emas, perak, bur/gandum, sya’ir, kurma dan garam. Jika barang-barang ini dijual dengan barang yang sejenis, diharamkan adanya kelebihan di antara keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ مِثْلٌ بِمِثْلٍ مَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الْآخِذُ وَالْمُعْطِي سَوَاءٌ

Emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, sya’ir dengan sya’ir, gandum dengan gandum, garam dengan garam, sama dan sebanding. Barang siapa menambah-nambah atau minta ditambah maka ia telah melakukan riba, baik yang mengambil atau yang meminta hukumnya sama.” (HR. Ahmad dan Bukhari)

Di hadits ini jelas sekali haramnya menjual emas dengan emas; apa pun macamnya, perak dengan perak apa pun macamnya kecuali secara sama di samping langsung serah terima.

Diqiaskan dengan enam barang ini adalah barang-barang yang sama illatnya dengan enam barang ini, sehingga barang-barang tersebut haram juga jika ada kelebihan di salah satunya. Namun para ulama berselisih tentang batasan ‘illat. Yang jelas bahwa enam barang tersebut merupakan asas yang dibutuhkan manusia.

Pendapat yang shahih (benar) adalah bahwa illat pada mata uang (emas dan perak) adalah “Bisa dijadikan sebagai alat pembayaran.” Oleh karena itu, masuk ke dalamnya setiap barang yang bisa dijadikan alat pembayaran. Misalnya uang kertas yang dipakai zaman sekarang, maka haram hukumnya ada kelebihan apabila salah satunya dijual dengan barang yang sama jenisnya; yakni uang tersebut dikeluarkan oleh negara yang sama.

Pendapat yang benar bahwa illat pada gandum, sya’ir, kurma dan garam adalah bisa “ditakar atau ditimbang di samping bisa dimakan”[1], sehingga setiap barang yang bisa bisa ditakar atau ditimbang yang termasuk bisa dimakan, maka haram terjadi kelebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Illat diharamkan Riba Fadhl adalah “bisa ditakar” atau “bisa ditimbang” di samping bisa dimakan, ini adalah salah satu riwayat Ahmad.”

Oleh karena itu, setiap barang yang masuk ke dalam enam barang yang disebutkan nasnya karena sama ‘illatnya; yakni bisa ditakar atau ditimbang serta bisa dimakan atau adanya ‘illat “bisa dijadikan alat pembayaran” jika berupa mata uang, maka bisa masuk riba. Jika di samping sama ‘illatnya adalah sama jenisnya; seperti jual beli gandum dengan gandum maka haram adanya kelebihan dan adanya penangguhan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ , وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ , وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ , وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ , وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ ; مَثَلًا بِمَثَلٍ , يَدًا بِيَدٍ

 “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sejenis dan langsung serah terima (sebelum berpisah).”

Kesimpulan

Dengan demikian, apabila dijual barang ribawi dengan yang sejenisnya, seperti emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka harus terpenuhi dua syarat:

1)   Sama jumlahnya, tanpa melihat kepada bagus atau jeleknya (yang ditakar dengan yang ditakar dan yang ditimbang dengan yang ditimbang)

Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id yang diriwayatkan oleh Muslim sbb.: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberi kurma.” Lalu beliau bertanya. “Apakah kurma ini dari kurma kita?” Maka laki-laki yang memberi menjawab, “Wahai Rasulullah, kami menukar dua sha’ kurma dengan satu sha’ kurma seperti ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Inilah yang dinamakan riba, kembalikanlah kurma ini kemudian jualah kurma milik kita, lalu uang hasil penjualan kurma tersebut kamu belikan kurma seperti ini.”

2)   Salah satunya tidak ditunda (serah terima di majlis akad sebelum berpisah)

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali harus sama, dan janganlah kamu melebihkan salah satunya. Janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali secara sama dan janganlah kamu melebihkan salah satunya, dan janganlah kamu menjual yang tidak di tempat dengan yang ada di tempat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id)

Namun, jika sama ‘illatnya  dan berbeda jenisnya, seperti menjual bur dengan sya’ir, maka tidak boleh terjadi penangguhan di salah satunya dan boleh adanya kelebihan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَشْيَاءُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika barang-barang ini berbeda, maka juallah semau kalian dengan syarat langsung serah terima.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Maksud “langsung serah terima” adalah langsung serah terima di majlis itu sebelum salah seorang di antara keduanya berpisah dari yang lain.

Dan jika illat dan jenisnya berbeda, maka boleh dua hal ini; adanya kelebihan dan adanya penangguhan. Misalnya emas dengan gandum dan perak dengan sya’ir.

Beberapa Contoh:

  1. Menjual 100 gram emas dengan 100 gram emas yang ditunda setelah sebulan. Hal ini riba, karena tidak langsung serah terima di majlis akad.
  2. Membeli 1 kg sya’ir (salah satu jenis gandum) dengan 1 kg bur (gandum) adalah boleh karena berbeda jenis, namun disyaratkan langsung serah terima di majlis akad.
  3. Menjual 50 kg gandum dengan seekor kambing adalah boleh secara mutlak, baik adanya serah terima di majlis maupun tidak.
  4. Tukar menukar uang dolar, misalnya 100 dolar ditukar dengan 120 dolar. Hal ini tidak boleh.
  5. Meminjamkan 1.000 dolar dengan syarat dikembalikan setelah sebulan atau lebih 1.200 dolar. Hal ini juga tidak boleh.
  6. Menukar 100 dirham perak dengan 10 junaih emas yang akan dibayarkan setelah berlalu setahun. Hal ini tidak boleh, karena harus langsung serah terima.
  7. Jual beli saham bank ribawi juga tidak boleh, karena termasuk menjual uang dengan uang tanpa ada kesamaan dan serah terima.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh: Marwan bin Musa

Maraji’: Al Fiqhul Muyassar, Al Mulakhkhash Al Fiqhiy  dll.


[1] Yang lain ada yang berpendapat bahwa ‘illat empat barang ini (gandum, sya’ir, tamar/kurma dan garam) adalah sebagai makanan pokok. Oleh karena itu jika terdapat hal yang sama illatnya (yakni sebagai bahan makanan pokok) pada barang-barang selain empat hal tersebut, maka diharamkan juga terjadi kelebihan dan haram terjadi penundaan (yakni harus langsung serah terima).

Read more https://yufidia.com/3274-hakikat-riba.html

Riba dalam Pandangan Al-Quran

Melakukan kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rezeki, dan dengan rezeki itu dia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang  Islam, al-Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang absolut. Sunnah Rasulullah saw berfungsi menjelaskan kandungan al-Qur’an.

Terdapat banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang merangsang manusia untuk rajin bekerja dan mencela orang menjadi pemalas. Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh al-Qur’an. Apabila kegiatan itu memiliki watak yang merugikan banayak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang, seperti monopoli, calo, perjudian dan riba, pasti akan ditolak.

Dalam syariat Islam, riba diartikan dengan bertambahnya harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli sehingga menjadikan hartanya itu bertambah dan berkembang dengan sistem riba. Maka setiap pinjaman yang diganti atau dibayar dengan nilai yang harganya lebih besar, atau dengan barang yang dipinjamkannya itu menjadikan keuntungan seseorang bertambah dan terus mengalir, maka perbuatan ini adalah riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala dan RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam, dan telah menjadi ijma’ kaum muslimin atas keharamannya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُهُۥ ۗ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

Artinya : “Allah menghilangkan berkah riba dan menyuburkan shadaqah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah: 270).

Barang-barang haram yang tiada terhitung banyaknya sampai menyusahkan dan memberatkan mereka ketika harus cepat-cepat berjalan pada hari Pembalasan. Setiap kali akan bangkit berdiri, mereka jatuh kembali, padahal mereka ingin berjalan bergegas-gegas bersama kumpulan manusia lainnya namun tiada sanggup melakukannya akibat maksiat dan perbuatan dosa yang mereka pikul. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Artinya : “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).

Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu berkata:

“Orang yang memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila lagi tercekik”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/40).

Imam Qatadah juga berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan gila sebagai tanda bagi mereka agar diketahui para penghuni padang mahsyar lainnya kalau orang itu adalah orang yang makan harta riba.” (Lihat Al-Kaba’ir, Imam Adz-Dzahabi, hal. 53).

Dalam Shahih Al-Bukhari dikisahkan, bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bermimpi didatangi dua orang laki-laki yang membawanya pergi sampai menjumpai sebuah sungai penuh darah yang di dalamnya ada seorang laki-laki dan di pinggir sungai tersebut ada seseorang yang di tangannya banyak bebatuan sambil menghadap kepada orang yang berada di dalam sungai tadi. Apabila orang yang berada di dalam sungai hendak keluar, maka mulutnya diisi batu oleh orang tersebut sehingga menjadikan dia kembali ke tempatnya semula di dalam sungai. Akhirnya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bertanya kepada dua orang yang membawanya pergi, maka dikatakan kepada beliau: “Orang yang engkau saksikan di dalam sungai tadi adalah orang yang memakan harta riba.” (Fathul Bari, 3/321-322).

Inilah siksa yang Allah berikan kepada orang-orang yang suka makan riba, bahkan dalam riwayat yang shahih, sahabat Jabir Radhiallaahu anhu mengatakan, “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya dan kedua orang yang memberikan persaksian, dan beliau bersabda: “Mereka itu sama”. (HR. Muslim, no. 1598).

Semaraknya praktek riba selama ini tidak lepas dari propaganda musuh-musuh Islam yang menjadikan umat Islam lebih senang untuk menyimpan uangnya di bank-bank, lebih-lebih dengan semaraknya kasus-kasus pencurian dan perampokan serta berbagai adegan kekerasan yang semakin merajalela. Bahkan sistem simpan pinjam dengan bunga pun sudah dianggap biasa dan menjadi satu hal yang mustahil bila harus dilepaskan dari perbankan. Umat tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram.

 Riba dianggap sama dengan jual beli yang diperbolehkan menurut syari’at Islam. Kini kita saksikan, gara-gara bunga berapa banyak orang yang semula hidup bahagia pada akhirnya menderita tercekik dengan bunga yang ada. Musibah dan bencana telah meresahkan masyarakat, karena Allah yang menurunkan hukumNya atas manusia telah mengizinkan malapetaka atas suatu kaum jika kemaksiatan dan kedurhakaan telah merejalela di dalamnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Ya’la dan isnadnya jayyid, bahwasannya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

مَا ظَهَرَ فِيْ قَوْمٍ الزِّنَى وَالرِّبَا إِلاَّ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللهِ.

Artinya : “Tidaklah perbuatan zina dan riba itu nampak pada suatu kaum, kecuali telah mereka halalkan sendiri siksa Allah atas diri mereka.” (Lihat Majma’Az-Zawaid, Imam Al-Haitsami, 4/131).

Sebenarnya praktek riba pada awal mulanya adalah perilaku dan tabi’at orang-orang Yahudi dalam mencari nafkah dan mata pencaharian hidup mereka. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha untuk menularkan penyakit ini ke dalam tubuh umat Islam melalui bank-bank yang telah banyak tersebar. Mereka jadikan Umat ini khawatir untuk menyimpan uang di rumahnya sendiri seiring disajikannya adegan-adegan kekerasan yang menakutkan masyarakat lewat jalur televisi dan media-media massa lainnya, sehingga umatpun bergegas mendepositokan uangnya di bank-bank milik mereka yang mengakibatkan keuntungan yang besar lagi berlipat ganda bagi mereka, menghimpun dana mendepositokan uang kita di bank-bank mereka.

Dalam firman-Nya Allah Subhannahu wa Ta’ala menegaskan:

وَأَخْذِهِمُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَقَدْ نُهُوا۟ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَٰطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَٰفِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Artinya : “Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih”. (QS. An-Nisa’: 161).

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan riba merupakan perbuatan yang diharamkan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalallaahu alaihi wasalam, dan telah menjadi ijma’ kaum muslimin atas keharamannya. Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita kepada jalan-Nya yang lurus.

ISLAM KAFFAH

Praktek Riba dalam Transaksi Online

Pembaca yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Ta’ala, kita semua telah mengetahui bahwa riba adalah salah satu dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).

Allah Ta’ala berfirman,

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ

“Allah akan menghancurkan riba dan menumbuhkan keberkahan pada sedekah” (QS. Al-Baqarah: 276).

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ  آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan harta riba, orang yang memberi riba, juru tulisnya, dan saksi-saksinya. Beliau berkata, ‘Mereka semua sama’” (HR. Muslim no. 2995).

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ

“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa saja itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, menuduh wanita baik-baik berzina’” (HR. Bukhari no. 2766, Muslim no. 89).

Begitu pun dalil-dalil yang lainnya yang sangat jelas menunjukkan keharaman riba dan besarnya dosa riba. Maka sudah semestinya kita menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari riba dan tidak terlibat sama sekali dalam transaksi riba.

Definisi riba

Syekh Shalih Al Fauzan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (hal. 272) menjelaskan, “Riba secara bahasa artinya: tambahan. Secara istilah syar’i, riba adalah adanya tambahan dalam pertukaran dua barang tertentu (yaitu komoditas ribawi).”

Sebagaimana hadis dari Ubadah bin Shamit Radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

الذَّهبُ بالذَّهبِ . والفضَّةُ بالفِضَّةِ . والبُرُّ بالبُرِّ . والشعِيرُ بالشعِيرِ . والتمْرُ بالتمْرِ . والمِلحُ بالمِلحِ . مِثْلًا بِمِثْلٍ . سوَاءً بِسَواءٍ . يدًا بِيَدٍ . فإذَا اخْتَلَفَت هذهِ الأصْنَافُ ، فبيعوا كيفَ شئْتُمْ ، إذَا كانَ يدًا بِيَدٍ

Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)” (HR. Al Bukhari, Muslim no. 1587, dan ini adalah lafaz Muslim).

Dalam riwayat lain,

الذَّهَبُ بالذَّهَبِ، والْفِضَّةُ بالفِضَّةِ، والْبُرُّ بالبُرِّ، والشَّعِيرُ بالشَّعِيرِ، والتَّمْرُ بالتَّمْرِ، والْمِلْحُ بالمِلْحِ، مِثْلًا بمِثْلٍ، يَدًا بيَدٍ، فمَن زادَ، أوِ اسْتَزادَ، فقَدْ أرْبَى

Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba” (HR. Muslim, no. 1584).

Tidak semua barang dapat terkena hukum riba. Hanya barang-barang tertentu saja yang disebut sebagai al amwal ar ribawiyah (komoditas ribawi); yakni enam komoditas yang disebutkan dalam hadis di atas. Barang tersebut diantaranya emas, perak, burr (gandum kering), sya’ir (gandum basah), garam dan kurma, serta semua barang yang di-qiyas-kan kepada enam komoditas ini.

Dengan menggunakan qiyas, para ulama mengelompokkan komoditas ribawi terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Semua yang termasuk ats-tsamaniyah (alat tukar), di-qiyas-kan kepada emas dan perak. Sehingga uang dengan secara bentukmya (kertas, logam, fiat, digital, dst.) termasuk dalam komoditas ribawi.

2. Semua yang termasuk ath thu’mu ma’al kayli (makanan yang ditakar ukurannya), di-qiyas-kan kepada burr, sya’ir, garam dan kurma. Sehingga beras yang diukur dengan ukuran liter, ini termasuk komoditas ribawi.

3. Semua yang termasuk ath thu’mu ma’al wazni (makanan yang ditimbang beratnya), yang juga di-qiyas-kan kepada burr, sya’ir, garam dan kurma. Sehingga tepung, jagung, gula ini termasuk komoditas ribawi.

Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Kaidah riba dalam hutang-piutang

Kaidah umum mengenal riba dalam hutang-piutang adalah,

كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا

“setiap hutang-piutang yang mendatangkan manfaat atau tambahan (bagi orang yang menghutangi) maka itu adalah riba.”

Kaidah ini bukanlah sebuah hadis yang sahih dari Nabi. Namun para ulama sepakat bahwa maknanya benar dan diamalkan para ulama. Syekh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “Hadis ini lemah menurut para ulama, tidak sahih. Namun maknanya benar menurut mereka. Bahwasanya hutang yang mendatangkan manfaat, maka itu terlarang berdasarkan kesepakatan para ulama” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no. 463).

Misalnya jika Fulan berhutang seratus juta rupiah kepada Alan dengan syarat pengembaliannya sebesar 120 juta. Maka 20 juta yang didapat Alan ini adalah manfaat atau tambahan yang datang dari transaksi hutang-piutang. Sehingga transaksi ini disebut riba sebagaimana kaidah di atas.

Sebagaimana juga disebutkan dalam hadis yang telah disebutkan di atas, “Emas dengan emas, perak dengan perak … siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba.” Sedangkan uang di-qiyas-kan kepada emas dan perak, sehingga pertukaran uang dengan uang dalam hutang-piutang tidak boleh ada tambahan. Jika ada tambahan maka termasuk riba.

Hadiah pun termasuk riba

Hadiah yang diberikan penghutang kepada pemberi hutang sebelum pelunasan, juga termasuk riba. Karena ini termasuk tambahan dalam hutang piutang. Sebagaimana hadis,

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

“Dari Abu Burdah, ia berkata: Suatu hari saya datang di  kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, “Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba. Jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu, lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak, jangan Anda mengambilnya, karena itu riba” (HR. Al-Bukhari no. 3814).

Asy-Syaukani Rahimahullah menjelaskan rincian hukum terkait hadiah dari penghutang,

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلًا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لِإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى مِقْدَارِ الدَّيْنِ عِنْدَ الْقَضَاءِ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَلَا إضْمَارٍ فَالظَّاهِرُ الْجَوَازُ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الزِّيَادَةِ فِي الصِّفَةِ وَالْمِقْدَارِ وَالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي رَافِعٍ وَالْعِرْبَاضِ وَجَابِرٍ، بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ

“Jika hadiah tersebut diberikan tidak untuk suatu tujuan yang diketahui, maka pendapat yang tepat adalah hal ini terlarang karena larangan dalam masalah ini sifatnya mutlak. Adapun tambahan yang diberikan ketika pelunasan yang tidak disyaratkan sebelumnya dan tanpa ada kesepakatan sebelumnya maka yang tepat ini dibolehkan, baik berupa tambahan dalam sifatnya atau kadarnya, baik tambahannya sedikit atau banyak. Berdasarkan hadis Abu Hurairah, Abu Rafi’, Al Irbadh dan Jabir (tentang melebihkan pelunasan hutang). Bahkan ini mustahab (dianjurkan)” (Nailul Authar, 5/275).

Beberapa bentuk riba dalam transaksi online

1. Kartu kredit

Sebagaimana kita ketahui kartu kredit adalah kartu yang digunakan untuk melakukan pembayaran dengan pinjaman hutang dari penerbit kartu, kemudian dilunasi di kemudian hari. Biasanya penerbit kartu adalah bank, dan biasanya ada bunga yang dikenakan atas pinjaman yang telah dilakukan oleh pemegang kartu. Maka jelas di sini ada tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Demikian juga kartu kredit yang mempromosikan bunga 0% namun pemegang kartu akan dikenai denda jika melunasi hutang lewat dari batas waktu tertentu. Dimana denda ini pada hakikatnya juga termasuk tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Para ulama dalam Majma’ Fiqhil Islami dalam muktamar ke-12 di Riyadh, pada tanggal 25 Jumadal Akhirah 1421H merilis ketetapan tentang hukum kartu kredit. Ketetapan tersebut tercantum pada ketetapan nomor 108, yang mana di dalamnya menjelaskan, “Pertama, tidak boleh menerbitkan kartu kredit dan tidak boleh menggunakannya, jika dipersyaratkan adanya tambahan riba. Walaupun pemegang kartu kredit berkomitmen untuk melunasi hutang pada jangka waktu tertentu yang bunganya 0%. Kedua, dibolehkan menerbitkan kartu kredit jika tidak mengandung ketentuan adanya tambahan ribawi terhadap pokok hutang.”

2. Pinjaman online (pinjol)

Di masa-masa belakangan ini semakin merebak adanya layanan pinjaman online (pinjol) di negeri kita. Menawarkan pinjaman dengan proses yang cepat hanya bermodalkan handphone dan foto KTP. Uang ratusan dan jutaan rupiah pun sudah di tangan. Namun jelas di sana ada bunganya. Bahkan bunga besar dan mencekik. Andaikan bunga pinjaman ini kecil, tetap termasuk riba yang diharamkan dalam agama. Apalagi jika bunganya besar.

Ulama sepakat tidak ada khilafiyah di antara mereka bahwa bunga dalam hutang-piutang adalah riba. Ibnu Munzir Rahimahullah mengatakan,

أَجْمَعَ كُلُّ مِنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى إبْطَالِ الْقِرَاضِ إذَا شَرَطَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا لِنَفْسِهِ دَرَاهِمَ مَعْلُومَةً

“Para ulama yang pendapatnya dianggap telah bersepakat tentang batilnya akad hutang, jika dipersyaratkan salah satu atau kedua pelakunya menambahkan sejumlah dirham tertentu” (Al Mughni, 5/28).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabia menegaskan, “Bunga yang diambil bank dari para penghutang, dan bunga yang diberikan kepada para nasabah wadi’ah (tabungan) di bank, maka semua bunga ini termasuk riba yang telah valid keharamannya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta, juz 13, no. 3197, hal. 349).

3. Diskon karena simpan saldo

Dr. Erwandi Tarmizi Hafizhahullah dalam buku Harta Haram Muamalat Kontemporer (hal. 279 – 281) menjelaskan bahwa saldo digital seperti OVO, DANA, Gopay, Shopeepay, dan semisalnya, hakikatnya adalah transaksi hutang-piutang. Artinya, ketika nasabah melakukan deposit saldo, hakikatnya nasabah sedang memberikan hutang kepada provider layanan. Bukan akad wadi’ah (penitipan). Karena dalam akad wadi’ah, orang yang dititipkan tidak boleh menggunakan barang titipan tanpa izin dari pemiliknya. Sedangkan sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan pembayaran digital menggunakan saldo yang terkumpul untuk investasi dan semisalnya.

Ketika yang terjadi adalah transaksi hutang-piutang, maka tidak boleh ada manfaat tambahan yang diberikan kepada nasabah, seperti cashback, diskon, hadiah dan semisalnya. Karena adanya manfaat tambahan tersebut, membuat ia menjadi transaksi riba. Sebagaimana riwayat dari Abu Burdah, ia berkata, “suatu hari saya datang di  kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam rRadhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba, jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak. Jangan Anda mengambilnya karena itu riba’” (HR. Al-Bukhari no. 3814).

Para ulama dalam Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Akad top-up Gopay adalah akad hutang seperti deposit uang di bank. Maka diskon harga bagi konsumen adalah manfaat yang didapatkan dari menghutangi dan ini adalah riba. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dan kaidah baku dalam muamalah, “Semua hutang yang menghasilkan manfaat maka itu adalah riba.” Artinya, diskon Gopay adalah riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 3).

Namun boleh saja menggunakan saldo digital selama tidak ada manfaat tambahan seperti cashback, diskon, hadiah , dan semisalnya. Karena pada prinsipnya, boleh saja melakukan transaksi hutang-piutang selama tidak ada tambahan riba. Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Hukum memakai Gopay pada asalnya adalah halal, asalkan tidak memakai atau mendapatkan potongan harga maupun manfaat tambahan lainnya, karena hal itulah yang menjadikannya riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 4).

4. Jual-beli emas secara online

Jika pembaca sekalian telah memahami hadis yang telah disebutkan di atas, disebutkan di sana “Emas dengan emas, perak dengan perak … kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (serah terima langsung)” (HR. Muslim, no. 1584). Maka jual-beli emas disyaratkan harus serah terima barang secara langsung, tidak boleh ada penundaan. Jika terjadi penundaan maka terjadi riba nasi’ah. Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ketika ditanya tentang jual-beli emas melalui telepon, mereka menjawab,

هذا العقد لا يجوز أيضا؛ لتأخر قبض العوضين عنه، الثمن والمثمن، وهما معا من الذهب أو أحدهما من الذهب والآخر من الفضة، أو ما يقوم مقامهما من الورق النقدي، وذلك يسمى بربا النسأ، وهو محرم، وإنما يستأنف البيع عند حضور الثمن بما يتفقان عليه من الثمن وقت العقد يدا بيد‏.‏

“Akad yang seperti ini tidak diperbolehkan juga. Karena adanya penundaan qabdh (serah-terima), antara dua barang yang ditukarkan, antara tsaman dengan tsaman. Sedangkan barang yang dipertukarkan adalah sama-sama emas atau salah satunya emas dan yang lainnya perak, atau juga barang-barang yang menempati posisi keduanya seperti uang kertas dan logam. Ini dinamakan riba nasi’ah, dan ini haram hukumnya. Solusinya, akad jual-belinya diulang kembali ketika menyerahkan pembayaran nominal harga yang telah disepakati dan barang diserah-terimakan secara langsung di majelis akad ketika itu” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 13/475).

Wallahu ta’ala a’lam, demikian beberapa contoh praktek riba dalam transaksi online. Hendaknya jauhkan diri kita dari model-model transaksi demikian. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/71668-praktek-riba-dalam-transaksi-online.html