Shaumnya Orang-Orang Saleh

Ketika memasuki tahun ke-2 Hijriyah, kewajiban ibadah shaum Ramadhan ditetapkan dengan ditandai turunnya surah al-Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Sebelum shaum Ramadhan diwajibkan, ternyata Nabi SAW telah melaksanakan shaum Asyura (10 Muharam) dan mewajibkannya kepada para sahabat (HR Bukhari). Shaum Asyura sudah biasa dilaksanakan Nabi Musa dan orang-orang Yahudi sebagai tanda telah terbebasnya dari kekuasaan Fir’aun.

Bahkan, umat terdahulu terbiasa melaksanakan shaum tiga hari pada setiap bulan (tafsir Ibnu Katsir). Ini menunjukkan, shaum adalah ibadah yang telah dilaksanakan oleh umat terdahulu.

Dengan adanya kewajiban shaum Ramadhan bagi Nabi SAW dan umatnya, hal ini me-mansukh (menghapus) seluruh shaum yang telah dilaksanakan oleh Nabi dan para sahabatnya menjadi shaum sunah (tafsir Mahasinut Ta’wil).

Shaum umat terdahulu selalu dihubungkan dengan tanda berkabung, tanda berduka, ataupun kalau mengalami kesulitan. Sedangkan dalam Islam, shaum merupakan merupakan simbol disiplin tingkat tinggi yang ada hubungannya dengan jasmani, akhlak, dan rohani. Tidak ada hubungannya dengan tanda kesusahan dan berduka, tetapi dengan kata “tattaqun” orang yang selalu menepati janji sebagai tujuan hakikat shaum.

Bagi orang-orang saleh, shaum tidak hanya melaksanakan dan memenuhi syariatnya. Orang-orang saleh selalu mencari hakikat shaum, seperti sabda Rasulullah, “Barang siapa yang shaum pada bulan Ramadhan dengan dasar iman dan mengharap pahala, akan diampuni semua dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari).

Karena itu, orang-orang saleh senantiasa menjaga nilai-nilai, seperti tidak berkata kotor dan bertindak bodoh, seperti dalam hadis Nabi SAW: “Shaum adalah perisai, janganlah kamu berkata kotor dan janganlah bertindak bodoh, jika seseorang memukulmu atau memakimu, maka katakanlah ‘aku sedang shaum’.” (HR Bukhari).

Hakikat shaum itu bertakwa, yakni melaksanakan segala perintah dan mencegah segala larangannya. Selain itu, takwa yang dapat dan menumbuhkan sifat sabar — menerima segala yang ditimpakan kepadanya dengan ikhlas, ridha, dan tabah, dengan niat mengharap keridhaan Allah semata-mata.

Di dalam hidup, kita sering menjumpai bermacam-macam keadaan; suka duka, bahagia derita, lega hati, dan kecewa datang silih berganti. Tenang-tenteram, gelisah-khawatir, sehat dan sakit, senyum dan derai air mata terkadang datang dan pergi. Banyak di antara kita yang pesimistis menghadapi kehidupan ini, bahkan tidak sedikit yang sampai putus asa dan stres.

Shaum mengajarkan kepada umat Islam untuk senantiasa optimistis menghadapi kehidupan. Islam juga mengajarkan apa yang disebut “roja”, yaitu berpengharapan untuk meraih masa depan yang baik. Bagi orang-orang saleh, shaum merupakan tanda perjuangan dan persaingan. Dengan ilmunya, orang-orang saleh akan mampu memenangkan persaingan duniawi.

Rasulullah menyatakan dalam suatu tamsil, bagaimana seorang Muslim harus menanamkan kebaikan guna berpartisipasi dan berlomba dalam pembinaan duniawi. “Bila tiba saatnya kiamat datang, padahal pada tangan salah seorang di antara kamu ada sebuah benih pohon kurma, sedangkan dia masih punya kesempatan untuk menanam sebelum terjadinya kiamat, hendaklah ia menanamkannya, untuk itu dia memperoleh pahala.”

 

Oleh: Irfan Safrudin

REPUBLIKA