10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 7)

SEBAB KEDELAPAN :

Menjauhkan Diri dari Penyakit Hati maupun Racunnya

Penyakit hati dan racunnya serta hal-hal yang dapat merusaknya sangatlah banyak. Sungguh hati ini bisa sakit sebagaimana anggota badan lainnya. Bahkan, penyakit-penyakit hati memiliki pengaruh buruk yang sangat besar terhadap pemiliknya, seperti hasad, iri, dan dengki, dan penyakit-penyakit lainnya yang menimpa hati. Sifat-sifat tercela dan penyakit-penyakit buruk apabila masuk ke dalam hati, maka akan merusaknya. Dan apabila telah sampai ke dalam dada, maka ia akan membuatnya gelap dan akan membuat dada menjadi sempit serta membuat keadaannya menjadi suram bahkan akan memperburuk tempat kembalinya, yaitu akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ألَا وإن في الجسد مضغةً، إذا صلَحت صلَح الجسد كلُّه، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب

“Sesungguhnya pada tubuh manusia itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka menjadi baiklah seluruh anggota badan. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh anggota badan. Sesungguhnya segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan dengan gamblang akan bahayanya hati yang rusak karena penyakit dan racun yang masuk ke dalamnya. Apabila hati ini sudah rusak, maka rusak pula anggota tubuh lainnya. Adapun orang-orang yang selamat dari penyakit-penyakit ini dan hatinya dipenuhi dengan sifat-sifat yang bertolak belakang dari penyakit-penyakit hati, seperti amanah, memenuhi janji, kejujuran, dan mengutamakan orang lain, maka sifat-sifat tersebut akan membuat pemiliknya merasa lapang dada, membuat nyaman hatinya, dan memberikan ketenangan pada jiwanya.

Di antara doa yang sering dipanjatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah meminta diberikan hati yang selamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa di dalam sebuah hadis,

أسألك قلبًا سليمًا

“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu untuk diberikan hati yang lurus dan selamat.” (HR. Nasa’i)

Yaitu hati yang selamat dari rasa ragu terhadap keesaan Allah Ta’ala dan keberadaan kehidupan setelah kematian. Karena sejatinya, hati yang telah dipenuhi keimanan pun jika setan membisikkan dan membuatnya was-was, maka sangat mungkin akan terjatuh ke dalam kesalahan dan kesesatan. Namun, jika diri kita terbiasa berdoa meminta hati yang selamat, setidaknya hati ini mudah kembali dan cepat di dalam menyadari bahwa ia telah terjatuh dalam kesalahan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitabnya (penyakit hati serta obatnya),

“Al-Qur’an adalah obat bagi penyakit-penyakit yang berada di dalam dada, baik itu penyakit syubhat maupun syahwat. Di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan mengenai kebenaran yang dapat menghapus kebatilan yang mana penyakit syubhat ini dapat terobati dengan ilmu, penjabaran, dan pengetahuan. Dan dengan berbekal semua hal itu ia dapat melihat segala hal sebagaimana mestinya.

Dan di dalam Al-Qur’an terdapat pula hikmah maupun mauizah hasanah (nasehat dengan cara yang baik) baik itu dengan iming-iming imbalan maupun dengan cara menakuti, serta terdapat juga cerita-cerita yang terkandung di dalamnya ibrah dan contoh yang memberikan dampak pada sehatnya hati. Sehingga (dengan Al-Qur’an ini) hati  mencintai hal-hal yang bermanfaat baginya, membenci apa-apa yang membahayakannya, mencintai kebenaran, dan membenci kesesatan yang sebelumnya ingin ia lakukan. Maka, Al-Quran adalah penghapus penyakit-penyakit yang membuat hati menginginkan kerusakan dan merupakan wasilah untuk memperbaiki hati. Seiring dengan semua itu, keinginan hati pun ikut membaik, dan kembali kepada fitrah penciptaannya sebagaimana kembalinya tubuh ini ke keadaan yang sehat. Hati pun tersuplai dengan keimanan yang bersumber dari Al-Qur’an yang  menyucikannya dan membantunya sebagaimana tubuh ini terpenuhi gizinya dengan apa yang membantu pertumbuhannya dan menguatkannya. Dari sini bisa kita ketahui bahwa hakikat bersihnya dan sucinya hati itu layaknya pertumbuhan badan.”

Allah Ta’ala berfirman,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(QS. Al-Isra’: 82)

Zakaah di dalam bahasa artinya adalah tumbuh dan berkembang di dalam kebaikan. Dikatakan (zakaa asy-syai) jikalau ia berkembang di dalam kebaikan. Agar hati ini tumbuh dan berkembang, maka ia membutuhkan pemeliharaan dari pemiliknya, sehingga ia tumbuh dengan sempurna dan baik layaknya tubuh kita membutuhkan gizi yang mendukung kesehatannya.

Bersama semua hal itu, hati ini tidak boleh lepas dari menghindarkan diri terhadap hal-hal yang membahayakannya. Layaknya badan yang mana tidak tumbuh, kecuali dengan memenuhi apa-apa yang bermanfaat baginya dan menghindar dari hal-hal yang membahayakannya. Begitu pula dengan hati, tidaklah ia menjadi suci, bertumbuh dan menjadi baik, kecuali jika terpenuhi semua yang bermanfaat baginya lalu diiringi dengan penolakan terhadap hal-hal yang berbahaya baginya.

SEBAB KESEMBILAN :

Meninggalkan Hal-hal yang Tidak Bermanfaat

Termasuk salah satu sebab lapangnya dada adalah menjaga lidah dari banyak bicara, menjaga telinga dari mendengarkan yang tidak bermanfaat baginya, dan menjaga mata dari melihat yang tidak berguna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmizi)

Menyibukkan jiwa dan hati dengan sesuatu yang dapat memalingkan kita dari hal-hal yang urgen, yang dapat membahagiakan, serta menyukseskan kehidupan kita di dunia dan di akhirat memiliki pengaruh buruk dalam kehidupan manusia. Di mana hal tersebut akan menyempitkan dan menyusahkan hidup. Bahkan tidak menjaga pendengaran, penglihatan dan ucapan dari hal-hal yang tidak bermanfaat merupakan sebab datangnya kesedihan dan kegalauan, serta mengakibatkan terjadinya hal-hal yang membebani. Di mana hal tersebut sangat tidak diinginkan manusia di kehidupan dunia ini maupun di akhirat kelak. Begitu pula, tidak menjaga pandangan dan pembicaraan dari hal-hal yang tidak bermanfaat akan menjerumuskan pelakunya ke dalam kesengsaraan dan kesedihan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam sebuah hadis setelah menjabarkan pintu-pintu kebaikan,

ألاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ, وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلًّمُ بِهِ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

“Maukah aku beritahu tentang sesuatu yang bisa menguatkan semua itu?” Aku menjawab, ‘Tentu, wahai Nabi Allah.’ Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memegang lisannya (lidahnya) dan bersabda, ‘Tahanlah(jagalah) ini!’ Aku bertanya, ‘Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang kita ucapkan?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Alangkah sedihnya ibumu kehilanganmu wahai Muadz, bukankah manusia itu dilemparkan ke dalam neraka dengan wajah tersungkur tidak lain disebabkan hasil panen (apa yang mereka peroleh) dari lisan-lisan mereka?’” (HR. At-Tirmdzi)

Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk bersungguh-sungguh di dalam mendisiplinkan diri dan menghiasinya dengan perilaku terpuji, menjaga adab, menjaga jiwa, dan menjauhkan diri dari apa-apa yang dapat membahayakan dan menghancurkannya.

Syekh menutup sebab kesembilan ini dengan memberikan nasehat perihal bahaya terus menerus bermain handphone, “Dan salah satu ujian yang menimpa manusia pada zaman ini, yang mana dengannya  terbuka lebar pintu-pintu masuk bagi  hal-hal yang tidak bermanfaat adalah asiknya diri kita saat melihat hape, berpindah aplikasi, berseluncur di dunia maya hanya untuk menikmati hal-hal yang tidak bermanfaat, atau bahkan kadang yang kita lakukan itu merupakan keburukan dan suatu hal yang tercela. Maka, semua itu berimbas buruk dan membahayakan agama dan akhlak kaum muslimin, menyia-menyiakan waktu mereka, membuat mereka terperosok ke dalam berbagai macam dan ragam kesedihan dan kegalauan serta rasa sempit di dalam dada.”

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

Sumber:

Asyratu Asbabin Linsyirahi As-sadr (10 Sebab Memperoleh Rasa Lapang Dada) Karya Syekh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzhohullah dengan beberapa perubahan.

Sumber: https://muslim.or.id/71107-sepuluh-kunci-meraih-rasa-lapang-dada-bag-7.html

10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya pada artikel kami yang berjudul 10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 5).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Sebab keenam, berbuat baik kepada hamba-hamba Allah

Sebab keenam di dalam meraih kelapangan dada yang diajarkan oleh syariat agama ini adalah berbuat baik kepada makhluk-makhluk Allah, baik makhluk yang berakal maupun yang tidak berakal. Baik itu yang muslim maupun non muslim.

Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman,

وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Baqarah: 195).

Berbuat baik kepada makhluk bisa dengan berbagai macam cara, baik itu secara fisik maupun maknawi; baik itu dengan jabatan ataupun dengan harta. Berbuat baik juga bisa dengan musyawarah, diskusi, dan lain-lain. Saat seorang hamba berbuat baik kepada hamba-hamba Allah Taala lainnya, Allah Taala akan memberikan pahala kepada hamba tersebut berupa kelapangan dada, kemudahan urusan, dan orang tersebut akan mendapatkan tempat kembali yang baik di akhirat kelak, yaitu surga yang penuh kenikmatan.

Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam pernah bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمَاً سَتَرَهُ اللهُ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ

Barang siapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim).

Memberikan manfaat, menolong, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang lain, termasuk salah satu sebab paling utama untuk mendapatkan lapang dada. Adapun orang yang pelit di dalam berbuat kebaikan, kikir di dalam memberikan harta kepada orang lain, maka hal tersebut merupakan salah satu faktor sempitnya dada. Orang tersebut akan banyak merasakan kesedihan, kegalauan, dan akan menjadi susah hidupnya.

Di dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, Nabi kita yang mulia Shallallahu ’alaihi wassalam memberikan contoh yang cukup jelas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الْبَخِيلِ وَالْمُنْفِقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيدٍ مِنْ ثُدِيِّهِمَا إِلَى تَرَاقِيهِمَا فَأَمَّا الْمُنْفِقُ فَلَا يُنْفِقُ إِلَّا سَبَغَتْ أَوْ وَفَرَتْ عَلَى جِلْدِهِ حَتَّى تُخْفِيَ بَنَانَهُ وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ وَأَمَّا الْبَخِيلُ فَلَا يُرِيدُ أَنْ يُنْفِقَ شَيْئًا إِلَّا لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ مَكَانَهَا فَهُوَ يُوَسِّعُهَا وَلَا تَتَّسِعُ

Perumpamaan bakhil (orang yang pelit bersedekah) dengan munfiq (orang yang suka berinfak) seperti dua orang yang masing-masing mengenakan baju jubah terbuat dari besi yang hanya menutupi buah dada hingga tulang selangka keduanya. Adapun orang yang suka berinfak, tidaklah dia berinfak melainkan bajunya akan melonggar atau menjauh dari kulitnya, hingga akhirnya menutupi seluruh badannya sampai kepada ujung kakinya. Sedangkan orang yang bakhil, setiap kali dia tidak mau berinfak dengan suatu apapun, maka baju besinya akan menyempit sehingga menempel ketat pada setiap kulitnya. Ketika dia mencoba untuk melonggarkannya, maka dia tidak dapat melonggarkannya.” (HR. Bukhari).

Pada hadis di atas, Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam memberikan permisalan antara orang yang rajin bersedekah dan orang yang pelit. Keduanya sama-sama mengenakan baju terbuat dari besi untuk melindungi diri mereka. Baju besi ini pada asalnya menutupi antara buah dada dan tulang selangka. Maksudnya, baju besi ini terletak di atas dada dan dekat dengan leher.

Orang yang rajin bersedekah, setiap kali ia berbuat baik kepada manusia dan bersedekah untuk orang-orang yang membutuhkan, maka baju besinya akan semakin memanjang, serta bertambah pula rantai-rantai besi yang ada padanya. Sehingga baju besinya akan menutupi seluruh kulitnya dan menutupi ujung-ujung jarinya. Inilah makna sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam, bahkan menutupi ujung-ujung jemarinya”. Selain itu, baju besi yang dia kenakan juga akan menghapus jejak kakinya ketika berjalan. Maksudnya, saking panjang dan banyaknya rantai-rantai yang ada, maka jejak yang ditinggalkan menghilang karena tersapu oleh rantai-rantai tersebut. Inilah makna sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam yang artinya, “dan menghapus jejaknya.

Sedangkan orang yang pelit dan kikir di dalam berbuat baik kepada manusia serta pelit di dalam mengeluarkan hartanya, maka rantai-rantai yang ada di jubahnya akan tetap berada pada tempatnya. Setiap kali ia berusaha untuk meluaskan bajunya demi melindungi badannya, maka ia tidak akan mampu melakukannya.

Syekh Abdurrazzaq Hafidzahullah menutup sebab keenam dengan memberikan kesimpulan, “Permisalan di atas adalah permisalan yang sangat jelas. Permisalan tersebut menjelaskan pengaruh bersedekah dan pelit bersedekah terhadap keadaan dan agama seorang hamba. Ringan tangan di dalam memberi, berinfak semampunya, dan berbuat baik, merupakan sebab keluasan harta, tenangnya hati, pikiran, dan merupakan sebab terhapusnya dosa-dosa yang dilakukan.

Adapun orang yang kikir dan pelit, maka kebalikan dari semua hal di atas. Setiap kali ia ingin bersedekah, jiwanya merasa sempit, dan merasa berat dalam mengeluarkan hartanya. Maka orang tersebut akan mendapati kehidupannya menjadi susah dan kesempitan di dada. Hal tersebut tergantung tingkat pelit dalam dirinya dan jauhnya ia dari kebaikan.”

Baca Juga: Berlapang Dada dalam Ikhtilaf Mu’tabar

Sebab ketujuh, keberanian

Sikap keberanian memiliki dampak yang sangat jelas di dalam kenyamanan jiwa dan ketenangan hati. Berbeda dengan sikap pengecut yang akan membawa pemiliknya kepada susahnya hidup, tergantung seberapa besar rasa pengecut, takut, lemah, atau berlebihan dalam memikirkan sesuatu tentang hal yang belum terjadi.

Keberanian adalah salah satu bukti dari kuatnya keimanan dan baiknya hubungan seorang hamba dengan Allah Subhaanahu wa ta’ala. Maka setiap kali bertambah keimanan dan hubungannya dengan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, bertambah pula kadar keberaniannya dan menjadi kuat pula hatinya. Hal tersebut akan membawanya kepada kebahagiaan dan lapang dada.

Allah Subhaanahu wa ta’ala  berfiman,

اِنَّمَا ذٰلِكُمُ الشَّيْطٰنُ يُخَوِّفُ اَوْلِيَاۤءَهٗۖ فَلَا تَخَافُوْهُمْ وَخَافُوْنِ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman” (QS. Al-Imran: 175).

Terdapat hadis sahih dari Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam, bahwasannya beliau memperbanyak meminta perlindungan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala dari rasa pengecut dan dari rasa pelit. Dimana keduanya jika berkumpul di dalam hati, maka akan mengakibatkan rasa sempit, berat, dan susah dalam menjalani kehidupan. Kedua hal tersebut merupakan akibat yang sangat fatal.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris

Referensi:

Asyartu Asbabin Linsyirahi As-sadr (10 Sebab Memperoleh Rasa Lapang Dada) Karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr Hafidzhohullah dengan beberapa perubahan.

Sumber: https://muslim.or.id/71020-sepuluh-kunci-meraih-rasa-lapang-dada-bag-6.html

10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 5)

Sebab Keempat: Kembali Kepada Allah subhaanahu wata’ala dan Menghadap Kepada-Nya dengan Sebaik-Baiknya

Termasuk dari sebab-sebab lapang dada adalah kembali kepada Allah subhanahu wata’ala dan menghadap kepada-Nya dengan sebaik-baik keadaan serta menikmati momentum di dalam beribadah kepada-Nya dan menaati-Nya.

Sejatinya, ketaatan dan ibadah bagi seorang muslim adalah pelepas lelah bagi hati dan istirahat bagi jiwa, serta merupakan sesuatu yang enak dilihat oleh mata dan membawa rasa bahagia di dalam dada.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kembali kepada Allah Ta’ala serta mencintai dan menghadap kepada-Nya dengan sepenuh hati lalu diikuti dengan menikmati ibadah kepada-Nya. Maka, tidak ada yang lebih melapangkan dada seorang hamba dari hal-hal tersebut.

Bahkan terkadang Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Jikalau kehidupanku di surga seperti keadaan ini, maka aku benar-benar berada di dalam kehidupan yang paling baik.

Contohnya adalah melaksanakan salat. Betapa banyak di dalamnya yang dapat menyejukkan mata serta mengistirahatkan pikiran dan menenangkan hati seorang mukmin. Bahkan, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

قُمْ يَا بِلَالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ

Berdirilah wahai Bilal, dan istirahatkan kami dengan salat.” (HR. Abu Dawud)

Dan beliau bersabda juga di dalam hadis lainnya,

وجُعِلت قرَّة عيني في الصلاة

Allah telah menjadikan penyejuk mataku berada pada salat.(HR. Ahmad dan Nasa’i)

Syekh Abdurrazaq hafidhzahullah mengakhiri pembahasan sebab keempat ini dengan menyebutkan perkataan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah yang menjelaskan keseharian ibadah seorang muslim yang bertakwa, “Saat seorang yang bertakwa itu terbangun dari tidurnya yang terbesit  pertama kali adalah berwudu dan bergegas untuk melaksanakan salat sebagaimana yang Allah perintahkan, lalu setelah ia melaksanakan salat pada waktunya ia menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an dan berzikir hingga terbitnya matahari, lalu ia melaksanakan salat Duha.

Kemudian ia pergi untuk mencari rezeki, lalu ketika datang waktu salat Zuhur, ia bersegera untuk bersuci dan bergegas untuk mendapatkan saf pertama di masjid. Lalu ia melaksanakan salat Zuhur sebagaimana yang diperintahkan, baik dengan menyempurnakan syarat-syaratnya serta rukun-rukunnya maupun sunah-sunahnya dan hak-hak batinnya; dari rasa khusyuk serta merasa diawasi dan juga menghadirkan diri seolah-olah ia berada di depan Rabbnya. Lalu, ia menyelesaikan salat, dan di hati, badan, serta keadaannya terdapat bekas dan pengaruh yang nampak jelas pada lisannya serta anggota tubuhnya. Lalu, ia juga mendapatkan hasilnya (buahnya) di hatinya; dari rasa condong ke alam keabadian serta mencukupkan diri dari dunia yang menipu ini dan juga mengurangi berlelah-lelah dan terlalu bersemangat untuk dunia serta masa depannya.

Dan salatnya itu mencegah dari melakukan perbuatan yang tercela serta perbuatan mungkar, membuahkan keinginan untuk berjumpa dengan Allah Ta’ala, serta membuatnya lari dari semua hal yang dapat memisahkan dirinya dari Allah subhaanahu wata’ala.

Sebab Kelima: Konsisten di dalam Mengingat (Berzikir) Kepada Allah

Berzikir dan mengingat Allah Ta’ala adalah amalan agung yang sangat berkaitan erat dengan kehidupan seorang muslim. Mudah dilakukan, namun ganjarannya sangat besar di sisi Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

“Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat di timbangan, dan disukai Ar-Rahman, yaitu “Subhanallah wabi hamdih, subhanallahil ‘azhim.” (Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung.)” (HR. Bukhari no. 6682 dan Muslim no. 2694)

Dua kalimat yang disebutkan di dalam hadis merupakan contoh dari berzikir kepada Allah Ta’ala, yang mana walaupun keduanya sangatlah mudah diucapkan oleh lisan, namun di mata Allah memiliki ganjaran yang sangat besar.

Konsistennya seorang hamba di dalam mengingat Allah merupakan salah satu sebab terbesar untuk meraih ketenangan hati, lapangnya jiwa, dan hilangnya rasa sedih serta galau. Bahkan, cobaan serta musibah tidak akan diangkat oleh Allah subhanahu wata’ala, kecuali dengan mengingat-Nya, serta bersandar kepada Allah subhanahu wata’ala dengan sebenar-benarnya. Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Sudah sepantasnya bagi seorang hamba yang sangat perhatian terhadap dirinya sendiri untuk memperbanyak berzikir mengingat Allah di semua keadaan sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱذۡكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكۡرࣰا كَثِیرࣰا ۝  وَسَبِّحُوهُ بُكۡرَةࣰ وَأَصِیلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41 – 43)

Lawan dari mengingat/berzikir adalah lalai, yaitu kegelapan yang berada di dalam hati dan keburukan yang berada di dalam dada serta kemurungan di dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

مَثلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الحَيِّ وَالمَيِّتِ

Perumpamaan orang yang mengingat Allah dan orang yang tidak mengingatnya adalah seperti orang yang hidup dan mati.

Maka, berzikir atau mengingat Allah adalah penyejuk mata bagi orang yang melakukannya, mengistirahatkan pikirannya, serta diganjar dengan pahala yang banyak dan berlipat yang akan ia peroleh pada hari kiamat kelak. Dan di dalamnya terdapat timbal balik yang sangat terpuji serta manfaat yang sangat banyak yang akan kembali kepada seorang hamba di kehidupan dunia dan akhiratnya. Adapun lalai dari berzikir, maka akan berimbas buruk pada dada kita serta akan menimbulkan kesedihan dan kegalauan.

Imam Ibnul Qayyim pernah memperinci di dalam pendahuluan kitabnya Al-Waabil Assoyyib perihal manfaat-manfaat mengingat/berzikir kepada Allah Ta’ala. Beliau menyebutkan bahwasannya berzikir memiliki 100 faedah atau keutamaan. Lalu, memperinci 70 faedah darinya.

Berzikir kepada Allah Ta’ala adalah sebaik-baik kesibukan untuk mengisi kekosongan, mengerahkan nafas, serta menghabiskan waktu. Dan dengannya hati seorang mukmin menjadi tenang, jiwa menjadi damai, menguatkan keyakinan, serta menambah keimanan.

Dan ia merupakan tanda kebahagiaan serta jalan kesuksesan seorang hamba di dunia dan di akhirat. Bahkan, semua kebaikan, kebahagiaan, kenyamanan, dan ketenangan di dunia maupun di akhirat itu tolak ukurnya adalah menjalankan zikir kepada Allah subhanahu wata’ala.

Berzikir merupakan ruh hati dan sumber kehidupannya serta merupakan sebab tumbuh dan menguatnya hati, di mana Allah akan mengganjar orang-orang yang senantiasa mengingat dan berzikir kepada-Nya dengan pahala yang sangat besar, serta kebaikan-kebaikan yang akan ia peroleh di dunia dan akhirat yang mana tidak dapat dihitung jumlahnya, kecuali oleh Allah subhanahu wata’ala.

Oleh karenanya, Allah subhanahu wata’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam,

وَلَقَدۡ نَعۡلَمُ أَنَّكَ یَضِیقُ صَدۡرُكَ بِمَا یَقُولُونَ ۝  فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ ٱلسَّـٰجِدِینَ

Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang yang bersujud (salat).” (QS. Al-Hijr: 97-98)

Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata di dalam tafsirnya, “Perbanyaklah berzikir kepada Allah dan bertasbih kepada-Nya, serta memuji-Nya dan laksanakanlah salat. Maka, semua hal itu akan meluaskan dada dan melapangkannya dan akan membantumu untuk menjalankan semua pekerjaanmu.”

[Bersambung]

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

Sumber:

Asyaratu Asbabin Linsyirahi As-sadr (10 Sebab Memperoleh Rasa Lapang Dada) Karya Syekh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzhahullah dengan beberapa perubahan.

Sumber: https://muslim.or.id/70960-sepuluh-kunci-meraih-rasa-lapang-dada-bag-5.html

10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 4)

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Sebab ketiga, menuntut ilmu yang bermanfaat

Saat syariat Islam ini turun pertama kali kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, hal pertama yang Allah perintahkan kepada Nabi-Nya adalah membaca. Membaca adalah salah satu kunci kesuksesan kita di dalam belajar dan menuntut ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS. Al-Alaq: 1).

Hal ini menunjukkan bahwa budaya membaca dan belajar sangatlah penting di dalam Islam. Kita bisa mengetahui syariat ini dengan sebenar-benarnya dengan membaca dan belajar. Bahkan Allah Ta’ala memberikan ganjaran pahala di setiap hurufnya kepada orang yang membaca Al-Qur’an walaupun tidak lancar. Ini merupakan kelebihan yang tidak dimiliki kitab-kitab lainnya.

Lalu apa itu ilmu bermanfaat yang Allah Ta’ala perintahkan umat ini untuk mempelajarinya?

Apa yang dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullaah mengatakan di dalam Majmuu’ al-Fataawaa, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi berkaitan dengan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.”

Ibnu Rajab Rahimahullaah menambahkan penjelasan mengenai definisi ilmu yang bermanfaat di dalam kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf  ‘alal Khalaf, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadis-hadis Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Sahabat, Tabiin, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka.”

Mujahid bin Jabr Rahimahullaah juga mengatakan, “Orang yang faqih adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Orang yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya banyak.”

Perkataan beliau Rahimahullaah menunjukkan bahwa ada orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat bagi orang tersebut karena tidak membawanya kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Hukum menuntut ilmu bagi seorang muslim

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”(HR. Ibnu Majah dan disahihkan Al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir).

Dalam hadis ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Penting untuk kita ketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Hal ini termasuk juga kata “ilmu” yang terdapat dalam hadis di atas.

Allah Ta’ala juga berfiman,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“ (QS. Thaaha: 114).

Mengenai ayat ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah berkata, “Firman Allah Ta’ala (yang artinya),‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Ilmu syar’i adalah ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah. Begitu juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan” (Fathul Baari, 1: 92).

Mengapa manusia wajib menuntut ilmu? Karena setiap orang dapat dibedakan dari ilmu yang dimiliki. Ilmu merupakan pembeda antara orang yang tahu dan tidak mengetahui. Kita mengetahui apa-apa yang Allah wajibkan, tata cara ibadah, rukun-rukun, dan hal lain yang berkaitan dengan hak-hak Allah dengan ilmu. Semua bisa kita ketahui dengan berilmu dan belajar. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang, mengapa sebagian di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya” (QS. At-Taubah: 122).

Kaitan antara menuntut ilmu dan kelapangan dada

Syekh Abdurrazaaq Hafidzhahullah menjelaskan bahwa semakin banyak seorang hamba memperoleh ilmu syar’i yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, semakin bertambah pula kadar kelapangan dadanya dan membaik pula keadaannya. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya ilmu syar’i itu meninggikan derajat seorang hamba, membahagiakannya, dan merupakan sebab kesuksesannya di dunia, serta di akhirat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ

Allah akan mengangkat derajat orangorang yang beriman diantara  kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah: 11).

Bersama semua hal itu, menuntut ilmu adalah surga bagi para penuntutnya. Di dalamnya terdapat taman yang penuh dengan bunga serta kebun yang penuh dengan buah-buahan. Diliputi juga di dalamnya kegembiraan dan ketenangan, di mana kita bisa memetik buah-buahan terbaik serta mengambil tangkai-tangkai bunga yang indah. Oleh karena itu, bisa kita jumpai sebagian besar ulama menamai karya mereka dibidang ilmu syar’i dengan apa yang mereka yakini menjadi salah satu sifat dari ilmu syar’i ini, seperti:

1. Rhoudhotul Uqola (Taman-Taman Pakar Ilmu);

2. Bustaanul ‘Arifin (Kebun Orang-Orang yang Berilmu);

3. Riyaadussholihin (Taman-Taman Orang-Orang Saleh);

4. Ar Roudhu Al Basim (Taman-Taman Orang-Orang yang Ceria);

5. dan lain sebagainya dari nama-nama yang menunjukkan akan makna-makna yang diyakini seorang penuntut ilmu terhadap ilmu.

Sesungguhnya menuntut ilmu adalah sebuah keutamaan yang besar, terlebih di zaman sekarang. Zaman yang dipenuhi dan disibukkan dengan hal-hal yang melalaikan. Sehingga orang yang masih Allah Ta’ala berikan kesempatan untuk menuntut ilmu itulah orang-orang orang yang mendapatkan kenikmatan yang sangat agung. Hanya segelintir orang dari umat ini yang mendapatkannya. Berdoa, berusaha, dan bersemangat adalah kunci agar kita selalu istikamah di dalam jalan ilmu ini.

Syekh menutup pembahasan ini dengan salah satu hadis yang menunjukkan keutamaan ilmu yang bermanfaat. Bahwasanya ilmu tersebut adalah jalan yang akan membawa penuntutnya kepada surga yang penuh kenikmatan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).

[Bersambung]

***


Penulis: Muhammad Idris

Referensi:

1. Asyartu Asbabin Linsyirahi As-sadr (10 Sebab Memperoleh Rasa Lapang Dada). Karya Syekh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr Hafidzhohullah dengan beberapa perubahan.

2. Kitabul Iman (Kitab Iman). Karya Imam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dengan beberapa perubahan.

Sumber: https://muslim.or.id/70760-sepuluh-kunci-meraih-rasa-lapang-dada-bag-4.html

10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya pada artikel 10 Kunci Merahi Rasa Lapang Dada (Bag. 2).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Sebab kedua, cahaya keimanan yang Allah karuniakan ke dalam hati hamba-Nya

Hakikat iman

Pembahasan mengenai iman merupakan pembahasan yang paling banyak dibicarakan oleh ulama. Bahkan banyak sekali kitab yang ditulis ulama yang dikhususkan untuk pembahasan iman ini. Di dalam hadis Jibril yang sangat panjang, Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan tentang hakikat iman ini.

الإيمان: أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خيره وشره

“Iman adalah mengimani keberadaan Allah Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, beriman pada hari akhir, dan mengimani takdir; baik yang menyenangkan maupun yang buruk.”

Syekh Ibnu Taimiyyah Rahimahullah memberikan penjelasan terkait hadis ini. Beliau menjelaskan bahwa Rasullullah pada hadis ini membagi agama Islam menjadi tiga tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi adalah ihsan, lalu tingkatan berikutnya adalah iman, dan yang terakhir adalah Islam. Maka, setiap orang yang beriman adalah seorang muslim. Tidaklah setiap orang yang mukmin itu sampai pada tahap ihsan. Begitu juga tidak setiap orang muslim itu mukmin atau beriman. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada salah satu penduduk Syam,

” أسلم تسلم “. قال: وما الإسلام؟ قال: ” أن تسلم قلبك لله، وأن يسلم المسلمون من لسانك ويدك “. قال: فأي الإسلام أفضل؟ قال: ” الإيمان “. قال: وما الإيمان؟ قال: ” أن تؤمن بالله وملائكته، وكتبه ورسله، وبالبعث بعد الموت “. قال: فأي الإيمان أفضل؟ قال: ” الهجرة “. قال: وما الهجرة؟ قال: ” أن تهجر السوء

“Masuk Islamlah! Maka kamu akan selamat. Lalu laki-laki tersebut berkata, ‘Apa itu Islam?’ Rasulullah menjawab, ‘Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala, dan kaum muslimin selamat dari lisan serta tanganmu.’ Laki-laki itu bertanya kembali, ‘Lalu bagaimana Islam yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Beriman kepada Allah Ta’ala, malaikatnya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya, serta beriman kepada hari kebangkitan setelah kematian.’ Lalu laki-laki tersebut bertanya kembali, ‘Bagaimanakah iman yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Berhijrah.’ Laki-laki tersebut bertanya kembali, ‘Hijrah itu apa?’ Rasulullah menjawab, ‘Engkau meninggalkan keburukan’” (HR. Ahmad).

Telah datang juga hadis sahih dari Nabi yang artinya, “Seseorang itu dikatakan muslim apabila kaum muslimin selamat dari lisan serta tangannya. Orang dikatakan mukmin apabila manusia merasa aman dari dirinya terhadap darah-darah dan harta-harta mereka.”

Dari sini bisa kita ketahui bahwa keimanan bukan hanya sekedar keyakinan dalam jiwa, namun harus terealisasi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang sudah disepakati ulama ahlussunnah wal jamaah saat memberikan definisi tentang iman.

اعتقاد بالقلب وقول باللسان وعمل بالجوارح، وهو يزيد وينقص، يزيد بالطاعات وينقص بالمعاصي.

“Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkannya dengan lisan, serta merealisasikannya dengan beramal menggunakan anggota badan. Bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan melakukan kemaksiatan.”

Cahaya iman sebab lapang dada

Di dalam bahasa Arab, kata iman berasal dari kata الأمن “Al-Amnu” yang artinya adalah rasa aman. Lawan katanya adalah rasa takut. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فإن خفتم فرجالا أو ركبانا، فإذا أمنتم فاذكروا الله كما علمكم ما لم تكونوا تعلمون

Jika kamu takut (ada bahaya), salatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan. Kemudian apabila telah aman, maka ingatlah Allah (salatlah), sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui(QS. Al-Baqarah: 239).

Dari sisi bahasa saja kita bisa mengetahui bahwa keimanan akan menimbulkan rasa aman dan kelapangan dada, sebagaimana juga firman Allah Ta’ala,

أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِۦ ۚ

Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk menerima agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)?” (QS. Az-Zumar: 22).

Syekh Abdurrazzaq Hafidzhahullah menjelaskan, “Maksud dari ayat ini bahwa dia berada pada cahaya yang Allah berikan kepadanya, sebagai pemberian dan keutamaan baginya. Cahaya yang dimaksud di sini adalah cahaya iman. Hal itu dikarenakan dia melapangkan dada dan meluaskannya, serta membahagiakan hati. Maka jika cahaya ini hilang dari seorang hamba, maka rasa sempit dan sesak akan menghantuinya. Begitu pun kadar kelapangan hati seorang hamba itu tergantung dari cahaya ini.”

Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Hati yang dimasuki cahaya iman akan merasa lapang dan lega sehingga ia akan mudah condong kepada kebaikan, tenang dengannya, dan menerimanya. Begitu juga dia akan lari dari kebatilan, dan membencinya, serta tidak akan menerimanya.”

Maka sudah selayaknya bagi seorang hamba untuk berambisi di dalam mendapatkan cahaya ini. Berharap kepada Allah Ta’ala untuk menjadikannya termasuk dari orang-orang yang Allah muliakan dengan cahaya iman ini; yang mana hal itu merupakan anugerah dan kemuliaan yang hanya Allah berikan kepada hamba yang Dia kehendaki. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman,

وَلٰكِنَّ اللّٰهَ حَبَّبَ اِلَيْكُمُ الْاِيْمَانَ وَزَيَّنَهٗ فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الرَّاشِدُوْنَۙ  – فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَنِعْمَةً ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana” (QS. Al-Hujurat: 7-8).

Cahaya iman itu karunia dari Allah

Merupakan kewajiban seorang hamba meminta kepada Allah untuk memperbaharui keimanan di hatinya, sehingga bertambah pula cahaya keimanan yang ia dapatkan. Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,

إِنَّ الإِيْمَانَ لَيَخْلُقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلُقُ الثَّوْبُ، فَاسْأَلُوْا اللهَ أَنْ يُجَدِّدَ الإِيْمَانَ فِي قُلُوْبِكُمْ

“Sesungguhnya iman benar-benar bisa menjadi usang di dalam tubuh seseorang dari kalian sebagaimana usangnya pakaian. Maka memohonlah kepada Allah supaya memperbarui iman di hati kalian.”

Imam Muhammad bin Aslam Atthusi Rahimahullah berkata, “Iman itu bersumber dari Allah Ta’ala, yang mana Dia berikan sebagai karunia untuk hambanya yang dikehendaki. Dimana ketika Allah meletakkan cahaya di hatinya, maka akan terang hatinya, akan lapang dadanya, dan bertambahlah keimanannya. Kemudian jika Allah Ta’ala telah menerangi hati seorang hamba, menghiasinya dengan keimanan, dan membuatnya mencintai hal tersebut, maka hatinya akan mengimani Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan keseluruhan takdir; baik itu takdir yang baik maupun yang buruk.  Begitu pun orang yang sudah Allah terangi cahaya ke dalam hatinya akan dapat mengimani hari kebangkitan, hari perhitungan, beriman dengan surga dan neraka, seolah-olah ia melihat langsung hal tersebut. Itu semua berkat karunia cahaya yang Allah tanamkan di hatinya.

Jika hati seseorang sudah beriman dan lisan sudah memberikan persaksian, maka anggota tubuh secara otomatis akan bekerja melaksanakan perintah Allah, dan menjalankan konsekuensi keimanan, serta melaksanakan semua hak-hak Allah yang ada pada dirinya. Dia juga akan menjauhi larangan-larangan yang telah Allah larang. Dia melakukan itu semua karena mengimani dan membenarkan apa yang ada di hatinya dan di lisannya. Sehingga apabila seorang muslim merealisasikan semua itu, maka dia dikatakan telah beriman.”

[Bersambung]

 ***

Penulis: Muhammad Idris

Sumber: https://muslim.or.id/70657-sepuluh-kunci-meraih-rasa-lapang-dada-bag-3.html