Spiritual dan Zuhud Imam Abu Hanifah

Spiritual dan zuhud Imam Abu Hanifah. Ada rahasia tersendiri kenapa para Imam madzhab – khususnya al-mazahib al-arba’ah – sangat masyhur kemuliaannya di mata kita semua.

Kemuliaan Imam Empat Mazhab

Fatwa-fatwa dan gagasan-gagasan mereka selalu jadi pedoman hidup. Hal itu terbukti, ketika pemikiran mereka menjadi rujukan oleh banyak orang.

Rahasia di balik kemuliaan mereka adalah karena beliau merupakan orang-orang yang tinggi derajatnya di sisi Allah Swt. Para Imam mazhab ini merupakan ulama dunia akhirat yang segala amalan ibadahnya berlandaskan ilmu yang mempuni yang mereka miliki. 

Merekalah sang zahid yang menganggap harta dunia bagaikan air di lautan sementara ia berdiri di tepi pantai, air tetap bisa terjangkau tanpa terhanyut dan tenggelam di dalamnya. Merekalah sosok figur yang patut kita teladani. Sosok yang benar-benar mengamalkan sunnah nabi dan atsar sahabat. 

Untuk tulisan kali ini, penulis mengajak pembaca bersama-sama mengintip tentang zuhud dan spiritual ibadah para Imam al-Mazahib al-Arba’ah dalam mendekatkan dan menghambakan diri terhadap Sang Khaliq. Agar kita bisa mengintropeksi diri dan menuju tahap untuk bisa meneladaninya. 

رَأَيْتُ رَجُلًا لَوْ كَلَّمْتُهُ فِى السَّارِيَةِ أَنْ يَجْعَلَهَا ذَهَبًا لَقَامَ بِحُجَّتِهِ

“Aku menjumpai seseorang yang andaikan saja aku memintanya untuk menjadikan sebuah tiang menjadi emas maka ia akan membuktikannya.” (Imam Malik bin Anas ra.)

Kutipan tersebut merupakan sebuah metafor terhadap kecerdasan Imam Abu Hanifah. Gelar imam a’dzham merupakan gelar kehormatan mereka, lantaran keluasan ilmunya dalam kajian Islam.

Betapa tidak? Kesohoran Imam Abu Hanifah telah membahana di berbagai penjuru dunia. Terutama Timur Tengah.Masyhur sebagai sosok pakar ilmu fikih (faqih), hadis, zuhud, warak, dan pendiri  mazhab Hanafiyah.

Sekilas Biografi Imam Abu Hanifah

An-Nu’man bin Tsabit bin Zūthy at-Taymi al-Kufi (80-150 H./699-767 M.) adalah nama lengkap Abu Hanifah. Ia akrab dengan sapaan Hanifah. Pasalnya, ia adalah seorang ahli ibadah, warak dan zuhud dan benar-benar bepegang teguh terhadap ajaran agama. Nama tersebut berasal dari kata hanif, sebagaimana dalam Al-Qur’an. 

Beliau lahir di Kufah, Irak pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Oleh karenanya, nama sang Imam dinisbahkan kepada negeri di mana ia lahir (al-Kufi).

Dulunya ayah Abu Hanifah merupakan budak seorang lelaki dari Bani Taimiyyah dan kemudian mendapatkan hak kemerdekaan. Karena itulah nisbah namanya  kepada Bani Taimiyyah sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih karena ayahnya terbebas dari status budak.                                                                                                    

Pendiri madzhab Hanafiyyah ini hidup di antara dua masa, yaitu penghujung Dinasti Umayyah (661-750) dan periode awal Dinasti Abbasiyah (750-1258). Abu Hanifah merupakan seorang tabi’in. Dia pernah semasa dengan pembesar sahabat Nabi. 

Di antaranya, Anas bin Malik, Abdullah bin Ubay, Sahl bin Sa’d as-Sā’idiy,Abu Thufail ‘Amir bin Wailah. Dikisahkan, saat Anas bin Malik bepergian ke Iraq, di sanalah Abu Hanifah kecil melihatnya. Tidak hanya pernah berjumpa, melainkan ia juga meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik. 

Antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dari Anas bin Malik adalah thalab al-‘ilmi faridlatun ‘ala kulli muslim (mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim).

Ada pula pendapat sebagian ulama yang mengatakan kalau Imam Abu Hanifah merupakan seorang tabi’i at-tabi’in. Meskipun ia pernah semasa dengan para pembesar sahabat Nabi Muhammad, namun ia tidak pernah bertemu dengan salah seorang dari mereka. 

Imam Abu Hanifah Seorang Pedagang

Sejak kecil beliau sudah ikut berdagang bersama ayahnya menjual kain. Beliau hidup dari keluarga yang berprofesi sebagai pedagang. Ayahnya seorang pedagang, kakeknya pun demikian. Sehingga beliau hidup dengan pendidikan profesi ini. 

Ada yang mengenalnya dengan sebutan Khazzaz, lantaran ia seorang pedagang sutera. Tidak hanya sutera, pakaian dengan model kain yang berbeda pun menjadi usaha dagangannya. Berdagang dengan jujur dan amanah merupakan prinsip dalam bisnisnya. 

Beliau sangat menjauhkan diri dari segala hal-hal yang belum jelas status halal haramnya. Tidak boleh ada praktik yang mengandung unsur penipuan maupun hal-hal yang dapat merugikan orang lain. Tidaklah heran jika ia dikatakan sebagai orang yang warak dan zuhud. 

Kisah Zuhud Imam Abu Hanifah

Dalam kitab Wa Ma adraka ma an-Nu’man,  terdapat keterangan bahwa Abu Hanifah selalu mengumpulkan laba usahanya dari tahun ke tahun. Di samping untuk memenuhi kebutuhan hidup ala kadarnya. Ia juga meng-infaq-kan kepada para syaikh dan ahli hadis. Ia sedekahkan pula kepada fakir miskin.

Memberikan beasiswa kepada para penuntut ilmu. Semua kebutuhan mereka dipenuhinya. “Semua kebutuhan-kebutuhanmu aku penuhi, Semua yang aku berikan ini bukanlah dari hartaku, melainkan ini semua adalah karunia Allah Swt,” kata Abu Hanifah.

Sejak kecil beliau sudah mulai bergelut dengan ilmu. Menuntut ilmu menjadi aktifitas dan rutinitasnya meski ia juga ikut berprofesi sebagai pedagang bersama ayahnya. Pertama kali ia belajar kepada Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman (murid dari syaikh Ibrahim an-Nakha’i) selama 18 tahun. 

Kisah Kealiman Abu Hanifah

Cukup lama kiranya dia menuntut ilmu dan berkhidmat kepada Syaikh Hammad, hingga gurunya wafat. Pernah suatu ketika sang guru berkata kepada Abu Hanifah, “Wahai Abu Hanifah, kau telah mengurasku.” 

Ucapan tesebut merupakan sebuah pujian terhadap abu hanifah terhadap apa yang telah ia raup dari sang guru. Betapa banyak ilmunya, terutama tentang fiqih  yang telah ia peroleh dari sang guru. Hingga seakan-akan ia menguras semua ilmu yang ada pada gurunya. Dan itu terbukti dengan kecerdasan Imam Abu Hanifah.

Ibnu Mubarak pernah berkata tentang Abu Hanifah, “Abu Hanifah orang yang banyak membaca al-Qur’an dan mendirikan salat sunah” ujar Ibnu Mubarak. Kata Hamad Ibn Abi Sulaiman: “Abu Hanifah adalah orang yang selalu menghidupkan seluruh malamnya, paling tidak beliau menghidupkan setengahnya”.

Suatu ketika, Abu Hanifah pernah mendapat pujian dari seseorang, namun beliau jadikan pujian sebagai sebuah beban yang harus dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Berawal ketika Imam Abu Hanifah berjalan melintasi sekumpulan orang, tanpa sengaja beliau mendengar orang mengatakan;

 “Inilah orang yang selalu menghidupkan seluruh malamnya dengan beribadah” terdengar lirih oleh Abu Hanifah. Setelah kejadian itu, beliau tidak pernah lagi meninggalkan satu malam pun kecuali untuk beribadah. 

Abu Hanifah berkata, “Aku malu terhadap Allah Swt, karena aku telah orang sangka sebagai orang yang selalu menghidupkan malamnya, padahal aku sendiri tidak.”

Tentang sifat zuhud Imam Abu Hanifah, Ibnu Mubarak berkata, “Tahukah kamu orang yang mendapatkan kekayaan berlimpah akan tetapi dia malah menolak dan lari dari harta itu? ”

Yang dimaksudkan Ibnu Mubarak tiada lain ialah Imam Abu Hanifah. Kejadian itu terjadi ketika Yazid Ibn Umar menyuruh Imam Abu Hanifah mendatangi baitul mal, akan tetapi beliau menolaknya. 

Hingga mendapatkan mendapatkan pukulan sebanyak empat puluh kali. Betapa zuhudnya beliau, sehingga lari dari kekuasaan dengan menerima resiko yang berat.

Kebiasaan Abu Hanifah sehabis mendapatkan laba dari hasil dagangnya, beliau hanya mengambil sekedar cukup untuk kebutuhannya, sementara sisanya beliau sedekahkan kepada masyayikh, para santri yang menuntut ilmu dan fakir miskin, yang ia rasa lebih membutuhkan.

Seraya berkata, “Semua yang aku berikan ini bukanlah dari hartaku, melainkan ini semua adalah karunia Allah Swt.” 

Abu Hanifah Menolak Menjadi Pejabat

Satu cerita lagi, sebagai bukti bahwa beliau benar-banar sang zahid, bahwa Abu Hanifah telah diangkat sebagai pemimpin oleh Abu Ja’far –amirul mukminin pada waktu itu, dengan mendapatkan hadiah imbalan sepuluh ribu dirham, seketika Abu Hanifah menolaknya. 

Seketika beliau langsung shalat dan berselimut dengan jubah shalatnya. Dan beliau tidak mengeluarkan sepatah kata pun ketika datang utusan yang bernama Hasan Ibn Qathbah.

Demikian penjelasan terkait spiritual dan zuhud Imam Abu Hanifah. Semoga kisah beliau ini bisa menjadi teladan kita bersama. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kenapa Abu Hanifah Enggan Diam di Tempat Teduh?

YAZID bin Harun berkata, “Saya belum pernah mendengar ada seseorang yang lebih wara daripada Imam Abu Hanifah. Saya pernah melihat beliau pada suatu hari sedang duduk di bawah terik matahari di dekat pintu rumah seseorang. Lalu saya bertanya kepadanya, “Wahai Abu Hanifah! Apa tidak sebaiknya engkau berpindah ke tempat yang teduh?”

Beliau menjawab, “Pemilik rumah ini mempunyai utang kepadaku beberapa dirham. Maka, saya tidak suka duduk di bawah naungan halaman rumahnya.”

Sikap seperti apa yang lebih wara daripada sikap ini? Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau ditanya mengapa enggan berdiam di tempat teduh, lalu Abu Abu Hanifah berkata kepadaku. “Pemilik rumah ini mempunyai sesuatu. Maka, saya tidak suka berteduh di bawah naungan dindingnya, sehingga hal tersebut menjadi upah suatu manfaat.”

Saya tidak berpendapat bahwa hal tersebut wajib bagi semua orang, akan tetapi orang alim wajib menerapkan ilmu untuk dirinya sendiri lebih banyak daripada yang dia ajarkan kepada orang lain.

Sebagaimana pula Imam Abu Hanifah radhiyallahu anhupernah meninggalkan makan daging kambing selama tujuh tahun ketika seekor kambing milik baitul mal di Kufah hilang sehingga beliau yakin kambing tersebut telah mati. Sebab, beliau menanyakan berapa waktu paling lama kambing bisa bertahan hidup?

Dikatakan kepadanya, “Tujuh tahun.” Maka beliau meninggalkan makan daging kambing selama 7 tahun karena untuk berhati-hati lantaran ada kemungkinan kambing haram itu masih hidup. Sehingga, bisa jadi kebetulan dia memakan sebagian dari kambing tersebut yang berarti menzalimi hatinya. Meskipun sebenarnya tidak berdosa karena tidak mengetahui benda itulah yang haram. [Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah]

INILAH MOZAIK