Jejak Ahli Tafsir Alquran

Perkembangan ilmu tafsir Alquran sangatlah dinamis. Pada masa kodifikasi ilmu tafsir, yang dimulai pada masa Bani Umayyah dan permulaan Dinasti Abbasiyah, pembahasan tafsir Alquran sudah mulai dipisah dari disiplin hadis dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri.

Muncullah beragam metode penafsiran Alquran dengan ragam madrasahnya, di antaranya metode tafsir Alquran bi al-ma’tsur. Metode ini fokus pada riwayat-riwayat yang sahih, baik menggunakan ayat dengan ayat, hadis, dan perkataan sahabat atau tabiin. Ada beberapa tokoh yang dikenal memomulerkan metode ini. Berikut ini jejak terakhir para imam mufasir bi al-ma’tsur:

Imam at-Thabari 

Entah Anda percaya atau tidak. Makam yang berlokasi di Al-A’dhamiyah, Baghdad, ini disebut-sebut sebagai makam Ibnu Jarir at-Thabari. Kondisi makam tokoh kelahiran Tabaristan, Persia ini, jauh dari kata layak. Bahkan memprihatinkan.

Padahal ia adalah imam besar, sejarawan, sekaligus seorang mufasir. Tokoh yang wafat pada 923 M/310 H ini mengarang kitab tafsir monumental, yaitu Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayy al-Qur’an. Tafsir yang lebih dikenal dengan Tafsir at-Thabari ini menjadi rujukan para ulama pada masa berikutnya, seperti al-Baghawi, as-Suyuthi, dan juga Ibnu Katsir.

Ibnu Katsir

Selain disebut sebagai sejarawan lewat karyanya al-Bidayah wa an-Nihayah, tokoh yang lahir di Busra 1301 M di Busro, Suriah ini dikenal juga sebagai seorang mufasir andal. Pemikir dan ulama Muslim ini mengarang kitab tafsir berjudul Tafsir al-Qurad al-Azhim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Ibn Katsir.

Makam yang berada di Damaskus, Suriah ini, sebenarnya adalah makam Ibnu Taimaiyah, guru Ibnu Katsir, tetapi makam Ibnu Katsir bersebelahan dengan makam sang guru. Ibnu Katsir wafat pada 1372 M di Damaskus Suriah.
As-Suyuthi

Imam as-Suyuthi dimakamkan tak jauh dari makam Imam as-Syafii di el-Qarafa el-Kubra. Selain dikenal sebagai pakar fikih Mazhaf Syafi’i, pemilik nama lengkap Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi’i al-Asy’ari itu dikenal pula sebagai mufasir.

Di antara karyanya di bidang tafsir adalah kitab ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur. Kitab tokoh kelahiran Kairo, pada 849 H/ 1445 M ini di bidang Alquran adalah al-Itqan fi ‘Ulum al-Alquran

 

REPUBLIKA

Ahli Tafsir Terbaik ialah Ibnu Abbas

Bacaan Alquran para sahabat berbeda dengan bacaan Alquran kebanyakan orang di zaman sekarang. Mereka memahami Alquran yang mereka baca. Salah satunya Abdullah bin Abbas ra, ia menjadi ulama besar dalam tafsir, karena ingatan yang sangat terjaga pada masa kanak-kanak.

Dikisahkan dari buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a  bahwa Abdullah bin Abbas ra bercerita, “Tanyakanlah kepadaku mengenai tafsir Alquran. Aku telah menghafalnya sejak kanak-kanak.” Di lain riwayat ia berkata, “Pada usia sepuluh tahun, aku sudah sampai juz terakhir dalam menghafal Alquran.” (HR. Bukhari – Fathul Bari).

Memang jika dibandingkan dengan para sahabat, hadits-hadits Nabi SAW tentang penafsiran Alquran yang diriwayatkan olehnya sangat sedikit. Namun Abdullah bin Mas’ud ra berkata, “Ahli tafsir terbaik ialah Ibnu Abbas.” Abu Abdurrahman berkata, “Jika para sahabat mengajar Alquran kepada kami, mereka selalu berkata, ‘Kami belajar Alquran dari Rasulullah SAW sebanyak sepuluh ayat, dan kami tidak akan menambah ayat lain, sebelum sepuluh ayat disesuaikan antara ilmu dengan amalnya.” (Muntakhab Kanz)

Ketika Rasulullah SAW meninggal dunia, Ibnu Abbas ra berusia 13 tahun. Pada usia yang sangat muda itu, jika dibandingkan dengan tafsir dan  hadits yang telah ia hasilkan, jelas itu merupakan karamah dan kenikmatan yang patut dicemburui. Sehingga ia layak menjadi imam para ahli tafsir Alquran. Para tokoh sahabat pun sering menanyakan mengenai penafsiran Alquran kepadanya.

Hal ini disebabkan doa Rasulullah SAW yaitu ketika beliau keluar buang air. Selesai beristinja, beliau menjumpai sebuah panci berisi air di luar tempat istinja. Beliau bertanya, “Siapakah yang menaruhnya di sini?” Dijawab, “Ibnu Abbas yang meletakkannya.” Mendengar hal ini, Rasulullah SAW sangat senang dengan perbuatan Ibnu Abbas tersebut. Lalu beliau mendoakannya, “Ya Allah, berilah ia kepahaman agama dan Alquran.”

Pada saat yang lain, Rasulullah SAW sedang shalat sunnah dan Ibnu Abbas ra mengikutinya di belakang. Lalu Beliau menariknya dengan tangan Beliau dan menyejajarkan, sehingga ia berdiri di sisi kanan Nabi SAW. Sebab, jika imam shalat berjamaah dengan seorang makmum saja, hendaknya berdiri sejajar, bukan di belakangnya.

Ketika Nabi SAW sibuk shalat, Ibnu Abbas mundur ke belakang. Selesai shalat Nabi SAW bertanya, “Mengapa engkau mundur ke belakang?” Jawan Ibnu Abbas ra, “Ya Rasulullah, engkau adalah seorang Rasulullah, bagaimana aku dapat berdiri sejajar denganmu.” Atas jawabannya tersebut, Nabi SAW mendoakannya agar ditambahkan ilmu dan kepahaman kepadanya.

 

REPUBLIKA