Tips Agar Tidak Salah Tafsir Ayat Al-Qur’an

 Berikut ini tips agar tidak salah tafsir ayat Al-Qur’an. Menafsirkan ayat suci Al-Qur’an bukanlah aktivitas yang bisa dilakukan secara sembarangan. Jika upaya untuk memahami kalam Ilahi ini tidak dilandasi dengan ilmu, justru berpotensi menjadi salah tafsir. Di antara beberapa penyebab kesalahan tafsir adalah asal ambil ayat dan dipahami secara harfiah atau letterlijk.

Salah Satu Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an, Dr. H. Muchlis Muhammad Hanafi menyoroti secara serius persoalan ini. Ia memberikan contoh jika seseorang asal memahami ayat dengan harfiah atau melalui terjemahan belaka, tanpa melihat konteks yang melingkupi turunnya ayat yang dipahami.

Misalnya dalam QS. At-Taubah [9]: 29 berikut ini:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ ࣖ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah diharamkan (oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang hak (Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan Nasrani) hingga mereka membayar jizyah) dengan patuh dan mereka tunduk.” (QS. At-Taubah [9]: 29)

Ayat tersebut, jika hanya mengandalkan terjemahan dan pemahaman harfiah saja maka akan ditemukan kata perintah yang sangat ekstrem, yaitu perangilah. Bagi Muchlis Hanafi, ini jika dipahami sepotong-potong bisa betul-betul terjadi peperangan tanpa pandang bulu.

Orang yang ekstrem karena salah memahami ayat tersebut bisa saja melihat orang-orang kafir (bukan muslim) sedang jalan di pasar, di tempat wisata, dan lainnya lalu dia bunuh. Ini mungkin terjadi karena memahami ayat secara parsial (secara sepotong-sepotong).

Padahal, jika mau menilik kitab tafsir ada penjelasan terkait konteksnya. Misalnya dalam Hasyiyah Al-Shawi ala Tafsir Jalalain (penjelasan atas Kitab Tafsir Jalalain oleh Syekh Shawi Al-Maliki).

Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa konteks turunnya At-Taubah ayat 29 ini merespon adanya perang Tabuk, suatu perang yang diluncurkan oleh Kekaisaran Bizantium Romawi Timur terlebih dahulu untuk membalas dendam atas kekalahan mereka saat peperangan Mu’tah awal abad ketujuh.

Ini menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para pengikutnya adalah langkah defensif (pertahanan), bukan ofensif (penyerangan).

Mengingat Kejamnya Ibnu Muljam terhadap Ali bin Abi Thalib

Muchlis Hanafi kemudian berpindah kepada QS. Al-Maidah [5]: 44 berikut:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (QS. Al-Maidah [5]: 44).

Bagi Hanafi,  ayat ini jika tidak dipahami dengan holistik dan penuh pertimbangan dengan basis keilmuan, maka akan menganggap siapapun yang tidak menerapkan hukum Allah maka mereka adalah orang kafir, dan jika kafir maka halal darahnya. Seseorang dengan pemahaman seperti ini melihat Indonesia pasti sebagai negara thaghut, dan harus diganti dengan asas Islam/ khilafah.

Pemahaman seperti ini padahal sangat parsial, secara konteks saja ayat tersebut berbicara mengenai orang Yahudi yang kafir dan tidak berpegang pada kitab suci mereka. Hal ini terdapat dalam Tafsir Al-Thabari.

Selain itu, definisi mengenai hukum Allah ini terjadi perbedaan. Ada yang menyebut bahwa hukum Allah adalah hukum yang dinisbahkan kepada firman Allah, ada juga yang menyebut ijtihad hukum yang dipegang oleh manusia untuk kemaslahatan atau maqasid syariah. Dari ragam definisi tersebut, ada kelompok yang sejak era klasik Islam menggebu dengan pemahaman mereka sendiri, mereka adalah kelompok Khawarij.

Salah satu tokoh Khawarij adalah Ibnu Muljam, sosok yang membunuh Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Ibnu Muljam dan kawannya yang lain melihat Ali bin Abi Thalib sebagai orang kafir dan halal darahnya, karena menerima arbitrase/tahkim dari Muawiyah yang ia nilai menyalahi hukum Allah.

Pemahaman yang parsial dan harfiah ini kemudian menjadikannya sosok yang penuh amarah dan kebencian. Padahal, ia dikenal sebagai orang yang hafal Al-Qur’an dan rajin beribadah. Hingga suatu saat shalat subuh pada 17 Ramadhan 40 H/661 M, Ibnu Muljam rela membunuh Ali bin Abi Thalib.

Contoh tersebut merupakan kejadian nyata yang perlu dipertimbangkan. Betapa fatalnya penafsiran seseorang atas suatu ayat yang asal ambil saja dan dipahami dengan harfiah. Semoga kita terhindar dari pemahaman yang demikian.

Demikian penjelasan terkait tips agar tidak salah tafsir ayat Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. 

BINCANG SYARIAH

Mengapa Kita Memerlukan Tafsir untuk Memahami Al-Qur’an?

Allah Swt menurunkan kitab suci al-Qur’an sebagai pedoman agar umat manusia menjadi lebih berbudi dan berbudaya. Hal ini bisa kita saksikan dari banyak ayat yang menegaskan fungsi al-Qur’an bagi perubahan sosial, misalnya firman Allah yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan sebagai cahaya (Lihat Q.S. 4:174), penyembuh (Lihat Q.S. 17:82), pengarah (Lihat Q.S. 2:185) dan solusi manusia keluar dari kebodohan (Lihat Q.S. 14:1). Mengapa kita memerlukan tafsir untuk memahami Al-Qur’an?

Al-Qur’an, sebagai kitab yang berisi tuntunan manusia, untuk mencapai tujuannya yang purna, dibutuhkan penyertaan penjelasan ulama atas ayat-ayat yang ada di dalamnya. Tak bisa dipungkiri, bahwa dalam ayat al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang samar yang membutuhkan penjelasan ahli. Hal ini baik dikarenakan keterbatasan kita memahami istilah khusus yang dipakai al-Qur’an, keterbatasan kita menyingkap makna yang terkandung dalam al-Qur’an hingga kealpaan kita atas latarbelakang turunnya ayat al-Qur’an yang sangat penting dalam menghadirkan pemahaman yang utus atas satu tafsir.

Atas dasar itu, KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi yang akrab disapa dengan Gus Awis, pakar kajian keislaman di Indonesia, membuat pembahasan menarik perihal alasan-alasan mengapa kita membutuhkan tafsir untuk menjelaskan makna al-Qur’an?

Dalam kitab karangannya berjudul Ilm al-Tafsir : Ushuluhu wa Manahijuhu, kitab yang memuat kajian ilmu tafsir yang disajikan dengan bahasa mudah guna menyesuaikan pelajar Indonesia,  KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi menyebutkan bahwa ada 4 hal yang menguatkan perlunya kita mengakses kitab tafsir al-Qur’an dalam memahami ayat-ayat al-Quran.

Pertama adalah karena dalam tafsir al-Qur’an terdapat satu perangkat jitu menghadirkan pemahaman ayat yang komprehensif berupa ilmu sabab nuzul. Ilmu Sabab Nuzul adalah cabang disiplin keillmuan al-Qur’an yang membantu seseorang memahami ayat dengan utuh. Sabab Nuzul meniscayakan seseorang melacak horizon historitas turunnya ayat al-Qur’an demi melahirkan pemahaman yang komprehensif. Jika seseorang mengalami kebuntuan dalam menganalisa makna ayat, di mana seseorang hanya dimodalkan sepenggal ayat semata, maka sabab nuzul menjadi solusi menerangi makna ayat tersebut.

Sebagai contoh adalah firman berikut :

وَّعَلَى الثَّلٰثَةِ الَّذِيْنَ خُلِّفُوْاۗ حَتّٰٓى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوْٓا اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِۗ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوْبُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ ࣖ

Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Q.S. 9:118)

Dengan merujuk kepada Sabab Nuzul, terurai makna siapakah ketiga orang yang dimaksud oleh ayat di atas dan apa sebabnya. Tidak ada kesamaran atasnya.

Quraish Shihab (2002:273) menjelaskan bahwa ketiga orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Ka’ab bin Malik, Hilla bin Umayyah, dan Mararah bin Rabi’. Ketiganya diperintahkan untuk diboikot oleh Rasulullah Saw lantaran mereka tidak mengikuti perang Tabuk pada tahun 8 H. Rasulullah Saw melarang warga dan isteri ketiga orang tersebut untuk berinteraksi dengan mereka. Namun, sering berjalannya waktu, Allah memerintahkan kepada Rasulullah agar mengampuni mereka. Informasi seperti ini didapat hanya jika kita menelaah riwayat Sabab Nuzul ayat terkait.

Kedua adalah karena dalam al-Qur’an terdapat banyak hal yang bersifat mujmal, global. Contohnya adalah mengenai seruan penegakan shalat, penunaian zakat, puasa dan lain sebagainya. Seruan yang ada di dalam al-Qur’an bersifat sangat global. Sebagai contoh, dalam al-Qur’an hanya ada seruan kewajiban mendirikan shalat, namun perihal bagaimana cara shalat, syarat dan rukun shalat, hal-hal yang membataskan shalat, tidak disebutkan dalam al-Qur’an.

Adalah lewat tafsir al-Qur’an, dengan diperbantukan dalil-dalil berupa amaliyah Nabi yang terhimpun dalam hadis-hadis, dijelaskan rincian mengenai amaliyah ibadah shalat. Hal ini yang kemudian menjadikan argumen inkarussunnah, menurut Abdul Majid Khon, cendekiawan keislaman, tidak relevan untuk diterapkan. Ajaran al-Qur’an yang bersifat global tidak bisa dipahami secara sempurna jika meninggalkan otoritas sunnah sebagai penjelasnya. (2012:72)

Ketiga adalah karena di dalam al-Qur’an terdapat ayat mutasyabihat, ayat yang masih belum jelas maknanya, yang memunculkan kemungkinan beberapa pemahaman yang terkandung di dalamnya. Hal ini, menurut Gus Awis, hanya bisa dipahami dengan menyandingkannya kepada ayat-ayat muhkamat, ayat yang terang benderang maknanya.

Allah berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ  اِلَّا اللّٰهُ

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. (Q.S. 3:7)

Keempat adalah karena proses turunnya al-Qur’an yang berangsur-angsur. Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, salah satunya, adalah untuk menguatkan dan menghibur hati Nabi Muhammad Saw.

Allah berfirman :

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (Q.S. 16:44)

Perintah Allah agar kepada Nabi Muhammad agar menjelaskan makna ayat (litubayyina) tentu lebih dari sekadar perintah-Nya untuk membacakan ayat semata (litaqra’a). Hal ini yang menjadi embrio lahirnya tafsir.

Proses turunnya al-Qur’an yang bertahap meniscayakan keterpisahan ayat-ayat tentang satu tema di beberapa surat berbeda. Hal ini bisa kita jumpai saat mufassir menjelaskan makna ayat dengan menyandingkan beberapa ayat tematis demi melahirkan pemahaman yang komprehensif. Selain itu, proses turunnya ayat al-Qur’an yang berangsur-angsur juga meniscayakan satu topik pembahasan yang terangkum di kumpulan beberapa ayat, dalam satu himpunan, yang saling berkaitan.

Terkait otoritas tafsir ulama atas ayat-ayat al-Qur’an, Musaid bin Sulayman al-Thayyar, penulis kitab Fushulun fi Ushul al-Tafsir (hal. 12) menjelaskan bahwa mempelajari dan memahami tafsir adalah wajib bagi setiap orang. Hal ini juga sebagaimana ditegaskan oleh KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi dalam Ilm al-Tafsir : Ushuluhu wa Manahijuhu (hal. 4)

Tafsir, menurut Gus Awi, jika dilihat dari sumber refrensinya, terdiri dari dua bagian. Pertama adalah tafsir yang memperbantukan ayat sebagai penjelas ayat lainnya. Kedua adalah tafsir yang memperbantukan hadis atau sunnah sebagai penjelas makna ayat. Selain keduanya, tentu ungkapan ulama, temuan sains, nalar mumpuni juga menjadi penyokong lahirnya tafsir yang bernas.

Terakhir, mengapa merujuk kepada tafsir menjadi hal penting dalam memahami al-Qur’an? Karena dengan kita merujuk kepada orang yang berkompeten dalam bidangnya, kita akan terselamatkan dari kesalahpahaman. Keragaman bentuk tafsir juga membentuk kesadaran kita untuk berlaku moderat, bagaimanapun, ragamnya penafsiran membuktikan bahwa kebenaran tidak hanya milik suatu golongan tertentu.

BINCANG SYARIAH

Tafsir Surah Al-Hadid Ayat 22-23: Hikmah dan Tujuan Musibah

Beberapa hari ini bangsa kita diuji oleh Allah berupa musibah banjir dimana-mana sehingga banyak korban dan masyarakat mengungsi ke tempat yang aman Sebetulnya apa sih tujuan musibah ini diturunkan? (Doa Imam Ibrahim bin Adham Ketika Terdapat Tanda Musibah)

Allah menciptakan makhluknya tidaklah sia-sia, namun menyimpan hikmah dan tujuan yang harus digali, dicerna oleh manusia agar mampu memahami rahasia keagungan-Nya sehingga menambah kedekatan dengan-Nya. Salah satu hikmah musibah dijelaskan dalam Surat al-Hadid ayat 22-23 yang berbunyi:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ () لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ () الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Artinya:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Menurut ar-Razi dalam tafsirnya, hakikat musibah telah ditentukan oleh Allah baik yang ada dibumi, misalnya banjir, kemarau panjang, gagalnya hasil pertanian. Musibah yang dirasakan manusia ada dua kategori. Pertama, seperti sakit, fakir, kematian keluarga. Kedua, sebagai ujian kebaikan maupun keburukan.

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa ada dua hakikat musibah yang perlu diketahui, yaitu:

Pertama, supaya manusia tak putus asa atas apa yang telah dia dapatkan. Imam al-Baidhawi menjelaskan bahwa tujuan dari musibah bertujuan agar manusia tak sedih atas hilangnya kenikmatan dunia yang ia miliki dari genggamannya.

Kedua, agar manusia tak bangga atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah. Imam Baghawi dalam tafsirnya yang berjudul Ma’alim at-Tanzil mengutip pendapat Ikrimah yang menyatakan setiap orang pasti merasakan kesenangan juga merasakan kesusahan, kesedihan, maka dari itu jadikanlah kesenangan itu untuk bersyukur atas nikmat-Nya, dan jadikan kesedihan sebagai penguat dalam menghadapi kesabaran.

Dari penjelasan di atas, manusia harus positif thingking kepada Allah, terutama musibah yang diberikan-Nya tidak lain agar manusia menyadari ketidakmampuannya atas apa yang ia perbuat, ia miliki supaya disyukuri, serta tak bangga atas apa yang ia miliki, karena semuanya hanya titipan, tak lama lagi akan kembali ke sisi-Nya.

Selengkapnya di Islami.co

BINCANG SYARIAH

Ketika Anggota Badan Kita Memberikan Persaksian (Tafsir Surat Yasin Ayat 65)

Kelak di akhirat, anggota badan kita akan memberikan persaksian terhadap apa yang telah kita lakukan di dunia. Allah ta’ala akan menjadikan anggota badan kita bisa berbicara untuk memberikan persaksian. Ketika itu kita tidak bisa lagi mengelak untuk mempertanggung-jawabkan apa yang telah kita kerjakan.

Allah ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Artinya:

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Yasin: 65)

Ada beberapa faedah yang berharga dari ayat yang mulia ini:

Faedah 1: Ngerinya kesyirikan, kekufuran dan kemunafikan

Karena ayat di atas, jika kita melihat pada ayat-ayat sebelumnya, bicara tentang keadaan orang-orang yang melakukan kesyirikan dan penyembahan kepada Selain Allah. Allah ta’ala berfirman,

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya:

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu” (QS. Yasin: 60).

Allah ta’ala juga berfirman,

هَذِهِ جَهَنَّمُ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

Artinya:

“Inilah Jahannam yang dahulu kamu diancam (dengannya)” (QS. Yasin: 63).

Oleh karena itu, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan surat yasin ayat 65 di atas dengan mengatakan:

هذا حال الكفار والمنافقين يوم القيامة حين ينكرون ما اجترموه في الدنيا ويحلفون ما فعلوه

Artinya:

“Ini adalah keadaannya orang-orang kafir dan munafik di hari Kiamat. Ketika mereka mengingkar kejahatan yang mereka lakukan di dunia, dan mereka bersumpah atas apa yang mereka lakukan” (Tafsir Ibnu Katsir).

Di sini kita dapati kengerian yang akan dirasakan orang-orang yang berbuat kekufuran, kesyirikan dan kemunafikan. Mereka tidak akan diampuni oleh Allah ta’ala, dan tidak bisa mengelak dari hukuman Allah. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Artinya:

“Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72).

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Artinya:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)

Maka jauhkanlah diri kita dari kekufuran, kesyirikan dan kemunafikan.

Faedah 2: Anggota tubuh kita akan menjadi saksi

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa anggota badan kita akan menjadi saksi atas apa yang kita kerjakan di dunia. Di sebutkan dalam ayat yang lain:

حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (20) وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (21) وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ (22)

Artinya:

“Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fushilaat: 20-22).

As Sa’di menjelaskan:

شهد عليهم كل عضو من أعضائهم، فكل عضو يقول: أنا فعلت كذا وكذا، يوم كذا وكذا. وخص هذه الأعضاء الثلاثة، لأن أكثر الذنوب، إنما تقع بها، أو بسببها

Artinya:

“Anggota badan akan bersaksi memberatkan manusia. Setiap anggota badan akan mengatakan: “saya telah melakukan ini dan itu, pada hari ini dan itu”. Dan dikhususkan tiga anggota badan dalam ayat ini (pendengaran, penglihatan dan kulit) karena mereka lah yang paling banyak berbuat dosa. Mereka yang mengerjakannya atau mereka menjadi sebab terjadinya dosa” (Tafsir As Sa’di).

Anggota badan akan bisa bicara untuk menyampaikan apa yang diperbuat oleh manusia, yang tidak disampaikan oleh lisannya. Dijelaskan dalam Tafsir Al Baghawi:

قال السدي وجماعة : المراد بالجلود الفروج . وقال مقاتل : تنطق جوارحهم بما كتمت الألسن من عملهم

Artinya:

“As Suddi dan sejumlah ulama mengatakan: yang dimaksud dengan “kulit” di sini adalah farji (kemaluan). Muqatil juga mengatakan: setiap anggota badan akan bisa bicara untuk menyampaikan apa yang disembunyikan oleh lisan”.

Adapun mengenai bagaimana anggota badan berbicara? Bagaimana bentuknya? Bagaimana sifatnya? Apakah mereka memiliki bibir dan lidah masing-masing? Kita katakan: wallahu a’lam. Ini adalah perkara gaib yang Allah rahasiakan. Yang jelas Allah Maha Kuasa untuk membuat hal tersebut terjadi. Oleh karena itu, disebutkan dalam surat Fushilat ayat 21 di atas:

قَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Artinya:

“Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan”.

Maka hendaknya kita bertakwa kepada Allah dan menjauhkan diri dari semua maksiat. Selain karena malaikat mencatat semua perbuatan kita tanpa luput sedikit pun, juga anggota badan kita akan bersaksi memberatkan kita di hari kiamat. Nas’alullah as-salamah wal-‘afiyah!

Faedah 3: Perhatikan akhirat kita!

Jika kita telah memahami hal di atas, maka hendaknya kita jadikan perkara akhirat sebagai perhatian utama kita. Kita berupaya keras bagaimana agar kita berbahagia di akhirat dan selamat dari siksaan berat di sana. Jangan sampai kita tertipu dengan kenikmatan dunia, sehingga menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Allah ta’ala berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

Artinya:

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahannam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” (QS. Al-Isra’: 18).

Allah ta’ala juga berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya:

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Hud: 15-16).

Orang yang cerdas adalah yang sibuk menyiapkan bekal untuk akhirat. Karena ia tahu, akhirat itu kekal dan dunia hanya sementara. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

يا رسولَ اللَّهِ أيُّ المؤمنينَ أفضلُ ؟ قالَ : أَحسنُهُم خُلقًا ، قالَ : فأيُّ المؤمنينَ أَكْيَسُ ؟ قالَ : أَكْثرُهُم للمَوتِ ذِكْرًا ، وأحسنُهُم لما بعدَهُ استِعدادًا ، أولئِكَ الأَكْياسُ

Artinya:

“Wahai Rasulullah, orang Mu’min mana yang paling utama? Nabi menjawab: yang paling baik akhlaknya. Orang Anshar bertanya lagi: lalu orang Mu’min mana yang paling cerdas? Nabi menjawab: yang paling banyak mengingat mati, dan yang paling baik dalam menyiapkan bekal untuk akhiratnya, itulah orang-orang yang cerdas” (HR. Ibnu Majah no. 3454, dihasankan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/63343-ketika-anggota-badan-kita-memberikan-persaksian.html

Tercelanya Menafsirkan Al-Qur’an Tanpa Ilmu

Saudaraku, menafsirkan al-Qur’anul-Karim dengan sekadar akal dan tanpa dilandasi oleh ilmu adalah perbuatan yang haram. Barangsiapa yang berkata tentang al-Qur’an dengan akalnya maka dia telah memaksakan sesuatu yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya dan tidak menapaki jalan yang telah diperintahkan untuknya. Jika tafsirnya tersebut ternyata kebetulan benar, maka dia tetap telah melakukan kesalahan, karena dia tidak memasuki perkara tafsir ini dari pintunya. Maka, bagaimana lagi jika tafsirnya tersebut ternyata salah dan justru bertentangan dengan syari’at?

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, orang yang paling mulia dari kalangan umat ini setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata,

أي أرض تُقلُّني، وأي سماء تُظلُّني، إذا قلت في كتاب الله ما لم أعلم؟

“Bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku berkata tentang Kitabullah sesuatu yang aku tidak tahu?”

Demikian pula Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Walaupun beliau adalah mufassir umat ini dan telah didoakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bisa menguasai tafsir al-Qur’an, beliau tetap menahan diri untuk berkata sesuatu tentang al-Qur’an jika hal itu tidak dilandasi oleh ilmu. Ibn Abi Mulaikah rahimahullah berkata,

سأل رجل ابن عباس عن {يوم كان مقداره ألف سنة}، فقال له ابن عباس: فما {يوم كان مقداره ألف سنة}؟ فقال الرجل: إنما سألتك لتحدِّثني، فقال ابن عباس: هما يومان ذكرهما الله في كتابه، الله أعلم بهما، وأكره أن أقول في كتاب الله بما لا أعلم.

“Seseorang bertanya kepada Ibn ‘Abbas tentang ayat, ‘Satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun.’ Maka Ibn ‘Abbas berkata kepadanya: Ada apa dengan ayat tersebut, ‘Satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun’? Orang tersebut berkata: Aku bertanya kepadamu agar kamu menjelaskan ayat tersebut kepadaku. Maka Ibn ‘Abbas berkata: Ini adalah dua hari yang Allah sebutkan di Kitab-Nya, dan Allah lebih mengetahui tentang kedua hari tersebut. Dan aku benci untuk berkata tentang Kitabullah dengan sesuatu yang aku tidak tahu.”

Adapun perkataan para salaf bahwa mereka tidak berbicara sama sekali tentang tafsir, maka yang dimaksud adalah perkataan yang tidak didasari oleh ilmu. Malik rahimahullah berkata,

عن يحيى بن سعيد، عن سعيد بن المسيب، أنه كان إذا سُئل عن تفسير آية من القرآن، قال: إنا لا نقول في القرآن شيئا.

“Dari Yahya ibn Sa’id, dari Sa’id ibn al-Musayyib, bahwa jika beliau ditanya tentang tafsir sebuah ayat al-Qur’an, maka beliau menjawab: Sesungguhnya kami tidak berbicara apapun sama sekali mengenai al-Qur’an.”

Ibn Syaudzab rahimahullah berkata,

حدَّثني يزيد بن أبي يزيد قال: كنا نسأل سعيد بن المسيب عن الحلال والحرام، وكان أعلم الناس، فإذا سألناه عن تفسير آية من القرآن سكت كأن لم يسمع.

“Yazid ibn Abi Yazid berkata kepadaku: Kami bertanya kepada Sa’id ibn al-Musayyib tentang halal dan haram, di mana beliau adalah orang yang paling berilmu. Akan tetapi ketika kami bertanya kepadanya tentang tafsir ayat al-Qur’an, maka beliau diam seolah tidak mendengar sama sekali.”

Sikap Sa’id ibn al-Musayyib rahimahullah ini adalah seolah-olah beliau tidak mau berbicara tentang al-Qur’an sama sekali secara mutlak. Akan tetapi, sebuah riwayat dari al-Laits rahimahullah menjelaskan sikap beliau dengan lebih utuh,

عن يحيى بن سعيد، عن سعيد بن المسيب، أنه كان لا يتكلم إلا في المعلوم من القرآن.

“Dari Yahya ibn Sa’id, dari Sa’id ibn al-Musayyib, bahwa beliau tidak berbicara apapun sama sekali kecuali tentang sesuatu yang telah diilmui dari al-Qur’an.”

Hal ini sejalan dengan perintah syari’at bagi kita untuk tidak menyembunyikan ilmu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَإِذ أَخَذَ اللَّـهُ ميثـٰقَ الَّذينَ أوتُوا الكِتـٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنّاسِ وَلا تَكتُمونَهُ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.” [Surat Ali ‘Imran: 187]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من سُئل عن علم فكتمه أُلجم يوم القيامة بلجام من نار.

“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian dia menyembunyikannya, maka dia akan dikekang pada hari kiamat dengan tali kekang dari neraka.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidziy]

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk bersikap pertengahan. Tidak boleh bagi kita untuk berbicara tentang al-Qur’an tanpa ilmu. Tetapi, jika kita sudah mengetahui ilmunya, maka tidak boleh bagi kita untuk menyembunyikannya. Wajib bagi kita untuk menyampaikan dan mendakwahkan ilmu tersebut, terlebih ketika umat sangat membutuhkannya di tengah banyaknya orang yang berani berbicara tentang tafsir dengan sekadar akalnya tanpa dilandasi oleh ilmu.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57003-tercelanya-menafsirkan-al-quran-tanpa-ilmu.html

Mengapa Isi Alquran tak Seluruhnya Ditafsirkan di Zaman Rasulullah?

Isi Alquran tidak seluruhnya ditafsirkan di zaman Rasulullah SAW mengapa?

Alquranul karim diturunkan dalam waktu dua puluh tiga tahun, sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia dan pelita yang menerangi bumi.

Mengenai masalah tafsir ini ada dua pendapat menurut Prof.Dr.Mutawalli asy-Sya’rawi.

Golongan pertama berpendapat bahwa tafsir Al-Qur‘an di masa Rasulullah saw. adalah yang terakhir dan tidak boleh diubah, atau ditambah dengan pendapat dan pikiran baru yang mungkin akan terbukti salah sesudah puluhan tahun.

Golongan kedua berpendapat bahwa Al-Qur‘an mengandung dua sumber atau bagian.

Yang pertama adalah soal-soal fardhu yang diwajibkan agama dan hukum-hukum. Dalam hal ini apa yang ditafsirkan di masa Rasulullah adalah pasti, tidak boleh diubah sampai hari kiamat.

Adapun yang kedua ialah mukjizat Al-Qur‘an. Bertambah maju ilmu pengetahuan dan akal manusia. Bertambah pula ungkapan kandungan Al-Qur‘an. Soal ini tidak akan berhenti dan akan terus berkembang, sehingga memungkinkan generasi mendatang menemukan mukjizat baru dari Al-Qur‘an yang belum kita ketahui sekarang.

Barangsiapa mengingkari kebenaran hukum dan syariat Al-Qur‘an, dia tergolong kafir. Adapun penafsiran-penafsiran yang berbeda terjadi pada masalah-masalah yang tidak menyangkut keimanan (akidah) dan ibadah serta hukum. Wallahua’lam

BersamaDakwah

Sejarah Tafsir Alquran dan Perkembangannya di Indonesia

Hanya dengan membaca Alquran belum tentu seseorang paham maksud dibalik setiap firman Allah. Bahkan, untuk seorang yang mengerti bahasa Arab sekalipun, tak menjamin ia memahami kandungan Alquran yang kaya makna. Apalagi, unruk sebagian besar Muslimin yang hanya membaca terjemahan. Jika tak bingung, bisa jadi ia akan sesat memahaminya.

Di sinilah fungsi tafsir sebagai penjelas Alquran. Banyak ilmu yang mesti dipahami dibalik firman Allah yang agung, di antaraya, hadis Rasulullah, asbabun nuzul, dan nasikh-mansukh ayat, Arab klasik, balaghah Arab, ilmu ma’ani, ilmu bayan, qiraah, usul fikih, dan masih banyak ilmu lain yang mustahil dipahami Muslimin awam. Karena itulah, ulama hadir untuk meramunya, kemudian menghasilkan interpretasi Alquran bernama tafsir.

Banyak karya tafsir yang dihasilkan ulama, baik ulama klasik, hingga modern. Kita mengenal Tafsir At-Tabari, Tafsir ibn Katsir, Tafsir As Suyuthi, Tafsir As-Sa’di, dan sebagainya. Karya tafsir ulama tersebut masih sering menjadi rujukan hingga kini. Tapi, mulanya tak ada tafsir pada era Rasulullah.

Mengingat, para sahabat kala itu dapat langsung bertanya pada Rasulullah terkait makna ayat. Baru, pada abad kedua atau ketiga Hijriyah, ilmu tafsir dianggap sangat penting menyusul mulai banyaknya Muslimin yang salah memahami Quran. Apalagi, saat itu bacaan Alquran pun mengalami banyak salah lisan karena tulisan yang gundul. Hingga, kemudian Abul Aswad ad-Dualy membuat kaidah i’rab Arab yang memberikan harakat pada bahasa Arab.

Setelah ditemukannya i’rab tersebut, muncul periode tafsir Quran. Kala itu, ulama membuat sebuah acuan dalam menafsirkan firman Allah, yakniUlumul Quran. Itulah sumber induk yang berisi tentang ilmu-ilmu Alquran. Ulmul Quran terus mengalami perkembangan mengingat banyaknya ilmu Alquran.

Sejak adanya Ulumul Quran, tafsir terus berkembang di tanah Arab dan wilayah kekuasaan Islam. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Meski jarak Indonesia amat jauh dari Tanah Suci, ilmu tafsir telah dikenal masyarakat Muslim nusantara sejak abad ke-17 Masehi. Hanya saja, perkembangannya amat lamban, hingga baru pesat berkembang di abad ke-20.

Kiki Muhammad Hakiki dari IAIN Raden Intan Banten dalam artikelnya “Peta Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia Sebelum Abad ke-20” dalam buku kumpulan artikel terbitan Litbang Kemenag Alquran di Era Global; antara Teks dan Realitas menuturkan, tafsir Alquran sebelum abad ke-20 masih terbilang langka, hanya beberapa saja yang ditemukan.

Hal ini sangat berbeda dengan era setelah abad ke-20 di mana perkembangan tafsir Alquran di Indonesia amat pesat. Pasalnya, di era sebelum abad 20, tafsir tak mendapat perhatian khusus dan justru menjadi materi pelajaran yang tinggi dan berat.

 

REPUBLIKA

Ahli Tafsir Terbaik ialah Ibnu Abbas

Bacaan Alquran para sahabat berbeda dengan bacaan Alquran kebanyakan orang di zaman sekarang. Mereka memahami Alquran yang mereka baca. Salah satunya Abdullah bin Abbas ra, ia menjadi ulama besar dalam tafsir, karena ingatan yang sangat terjaga pada masa kanak-kanak.

Dikisahkan dari buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a  bahwa Abdullah bin Abbas ra bercerita, “Tanyakanlah kepadaku mengenai tafsir Alquran. Aku telah menghafalnya sejak kanak-kanak.” Di lain riwayat ia berkata, “Pada usia sepuluh tahun, aku sudah sampai juz terakhir dalam menghafal Alquran.” (HR. Bukhari – Fathul Bari).

Memang jika dibandingkan dengan para sahabat, hadits-hadits Nabi SAW tentang penafsiran Alquran yang diriwayatkan olehnya sangat sedikit. Namun Abdullah bin Mas’ud ra berkata, “Ahli tafsir terbaik ialah Ibnu Abbas.” Abu Abdurrahman berkata, “Jika para sahabat mengajar Alquran kepada kami, mereka selalu berkata, ‘Kami belajar Alquran dari Rasulullah SAW sebanyak sepuluh ayat, dan kami tidak akan menambah ayat lain, sebelum sepuluh ayat disesuaikan antara ilmu dengan amalnya.” (Muntakhab Kanz)

Ketika Rasulullah SAW meninggal dunia, Ibnu Abbas ra berusia 13 tahun. Pada usia yang sangat muda itu, jika dibandingkan dengan tafsir dan  hadits yang telah ia hasilkan, jelas itu merupakan karamah dan kenikmatan yang patut dicemburui. Sehingga ia layak menjadi imam para ahli tafsir Alquran. Para tokoh sahabat pun sering menanyakan mengenai penafsiran Alquran kepadanya.

Hal ini disebabkan doa Rasulullah SAW yaitu ketika beliau keluar buang air. Selesai beristinja, beliau menjumpai sebuah panci berisi air di luar tempat istinja. Beliau bertanya, “Siapakah yang menaruhnya di sini?” Dijawab, “Ibnu Abbas yang meletakkannya.” Mendengar hal ini, Rasulullah SAW sangat senang dengan perbuatan Ibnu Abbas tersebut. Lalu beliau mendoakannya, “Ya Allah, berilah ia kepahaman agama dan Alquran.”

Pada saat yang lain, Rasulullah SAW sedang shalat sunnah dan Ibnu Abbas ra mengikutinya di belakang. Lalu Beliau menariknya dengan tangan Beliau dan menyejajarkan, sehingga ia berdiri di sisi kanan Nabi SAW. Sebab, jika imam shalat berjamaah dengan seorang makmum saja, hendaknya berdiri sejajar, bukan di belakangnya.

Ketika Nabi SAW sibuk shalat, Ibnu Abbas mundur ke belakang. Selesai shalat Nabi SAW bertanya, “Mengapa engkau mundur ke belakang?” Jawan Ibnu Abbas ra, “Ya Rasulullah, engkau adalah seorang Rasulullah, bagaimana aku dapat berdiri sejajar denganmu.” Atas jawabannya tersebut, Nabi SAW mendoakannya agar ditambahkan ilmu dan kepahaman kepadanya.

 

REPUBLIKA

Jangan Tafsirkan yang Tidak Diketahui Pasti

SALAH satu yang sering membuat tak enak hati adalah perbuatan diri sendiri yang selalu saja penasaran akan sesuatu yang dilakukan orang lain. Andai saja penasaran itu berhenti di penasaran saja mungkin tak terlalu berbahaya. Namun saat penasaran itu dilanjutkan dengan duga-duga yang negatif, maka inilah yang sangat berbahaya karena pasti merusak nuansa hati.

Kalimat di atas merupakan bahasa ulang yang lebih terang maknanya dari apa yang dikatakan oleh Syekh Anis Mansour, “Kalau Anda tak mengerti yang aku maksudkan, jangan menafsirkannya sesuai dengan Anda mau.”

Seorang lelaki yang sedang telpon seseorang berkata: “ambil saja, ambil saja.” Tetangganya yang memang sedari dulu senang iri hati menyebarkan isu bahwa lelaki yang menelpon tadi telah bersepakat dengan temannya untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Lalu dibumbuilah dengan kesimpulan penutup: “Pantas saja dia kaya.”

Dari mana penyebar isu itu mendapatkan data bahwa lelaki itu bersepakat mencuri? Ternyata dari tafsirnya sendiri atas kata “ambil saja” itu. Padahal, kata ambil saja itu kontekanya adalah penerimaan atas penawaran transaksi yang saling menguntungkan yang disarankannya agar diambil saja alias dijadikan saja transaksinya.

Ketika hati itu busuk dan pikiran itu kotor, maka biasanya tafsir yang keluar akan cenderung negatif. Maka menderita sendiri orang yang suka tafsir negatif seperti ini. Salam. AlM.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi |

INILAH MOZAIK