Amalan Lebih Baik Kontinu Walaupun Sedikit

Pada kesempatan kali ini, kami akan mengangkat pembahasan yang cukup menarik yaitu bagaimana seharusnya kita beramal. Apakah amalan kita haruslah banyak? Ataukah lebih baik amalan kita itu rutin walaupun sedikit? Itulah yang akan kami ketengahkan ke hadapan pembaca pada tulisan yang sederhana ini. Hanya Allah yang senantiasa memberi segala kemudahan.

Rajin Ibadah Janganlah Sesaat

Wahai saudaraku … Perlu diketahui bahwa ibadah tidak semestinya dilakukan hanya sesaat di suatu waktu. Seperti ini bukanlah perilaku yang baik. Para ulama pun sampai mengeluarkan kata-kata pedas terhadap orang yang rajin shalat –misalnya- hanya pada bulan Ramadhan saja. Sedangkan pada bulan-bulan lainnya amalan tersebut ditinggalkan. Para ulama kadang mengatakan,  “Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun”. Ibadah bukan hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja. Sebaik-baik ibadah adalah yang dilakukan sepanjang tahun.

Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan, sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Ramadhan saja.[1]

Begitu pula amalan suri tauladan kita –Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam- adalah amalan yang rutin dan bukan musiman pada waktu atau bulan tertentu. Itulah yang beliau contohkan kepada kita. ’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً

Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).[2]

Tanda Diterimanya Suatu Amalan

Saudaraku … Perlulah engkau ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila amalan tersebut membuahkan amalan ketaatan berikutnya. Di antara bentuknya adalah apabila amalan tersebut dilakukan secara kontinu (rutin). Sebaliknya tanda tertolaknya suatu amalan (alias tidak diterima), apabila amalan tersebut malah membuahkan kejelekan setelah itu. Cobalah kita simak ungkapan para ulama yang mendalam ilmunya mengenai hal ini.

Sebagian ulama salaf mengatakan,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.[3]

Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan membawakan perkataan salaf lainnya, ”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan, namun malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.[4]

Pentingnya Beramal Kontinu (Rutin), Walaupun Sedikit

Di antara keunggulan suatu amalan dari amalan lainnya adalah amalan yang rutin (kontinu) dilakukan. Amalan yang kontinu –walaupun sedikit- itu akan mengungguli amalan yang tidak rutin –meskipun jumlahnya banyak-. Amalan inilah yang lebih dicintai oleh Allah Ta’ala. Di antara dasar dari hal ini adalah dalil-dalil berikut.

Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [5]

Dari ’Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah. Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab,

أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.[6]

’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul Mukminin, bagaimanakah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam beramal? Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَطِيعُ

Tidak. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di antara kalian pasti mampu melakukan yang beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan.”[7]

Di antaranya lagi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam contohkan dalam amalan shalat malam. Pada amalan yang satu ini, beliau menganjurkan agar mencoba untuk merutinkannya. Dari ’Aisyah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.[8]

Keterangan Ulama Mengenai Amalan yang Kontinu

Mengenai hadits-hadits yang kami kemukakan di atas telah dijelaskan maksudnya oleh ahli ilmu sebagai berikut.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita bisa pertengahan dalam melakukan amalan dan berusaha melakukan suatu amalan sesuai dengan kemampuan. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang rutin dilakukan walaupun itu sedikit.”

Beliau pun menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah amalan yang terus menerus dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.”[9] Yaitu Ibnu ’Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” [10]

Para salaf pun mencontohkan dalam beramal agar bisa dikontinukan.

Al Qosim bin Muhammad mengatakan bahwa ’Aisyah ketika melakukan suatu amalan, beliau selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [11]

Al Hasan Al Bashri  mengatakan, ”Wahai kaum muslimin, rutinlah dalam beramal, rutinlah dalam beramal. Ingatlah! Allah tidaklah menjadikan akhir dari seseorang beramal selain kematiannya.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, ”Jika syaithon melihatmu kontinu dalam melakukan amalan ketaatan, dia pun akan menjauhimu. Namun jika syaithon melihatmu beramal kemudian engkau meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaithon pun akan semakin tamak untuk menggodamu.”[12]

Maka dari penjelasan ini menunjukkan dianjurkannya merutinkan amalan yang biasa dilakukan, jangan  sampai ditinggalkan begitu saja dan menunjukkan pula dilarangnya memutuskan suatu amalan meskipun itu amalan yang hukumnya sunnah.

Hikmah Mengapa Mesti Merutinkan Amalan

Pertama, melakukan amalan yang sedikit namun kontinu akan membuat amalan tersebut langgeng, artinya akan terus tetap ada.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun rutin dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit yang rutin dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[13]

Kedua, amalan yang kontinu akan terus mendapat pahala. Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja –meskipun jumlahnya banyak-, maka ganjarannya akan terhenti pada waktu dia beramal. Bayangkan jika amalan tersebut dilakukan terus menerus, maka pahalanya akan terus ada walaupun amalan yang dilakukan sedikit.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Sesungguhnya seorang hamba hanyalah akan diberi balasan sesuai amalan yang ia lakukan. Barangsiapa meninggalkan suatu amalan -bukan karena udzur syar’i seperti sakit, bersafar, atau dalam keadaan lemah di usia senja-, maka akan terputus darinya pahala dan ganjaran jika ia meninggalkan amalan tersebut.”[14] Namun perlu diketahui bahwa apabila seseorang meninggalkan amalan sholih yang biasa dia rutinkan karena alasan sakit, sudah tidak mampu lagi melakukannya, dalam keadaan bersafar atau udzur syar’i lainnya, maka dia akan tetap memperoleh ganjarannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.”[15]

Ketiga, amalan yang sedikit tetapi kontinu akan mencegah masuknya virus ”futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit. Kadang kita memang mengalami masa semangat dan kadang pula futur (malas) beramal. Sehingga agar amalan kita terus menerus ada pada masa-masa tersebut, maka dianjurkanlah kita beramal yang rutin walaupun itu sedikit.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ

”Setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.”[16]

Apabila seorang hamba berhenti dari amalan rutinnya, malaikat pun akan berhenti membangunkan baginya bangunan di surga disebabkan amalan yang cuma sesaat.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya bangunan di surga dibangun oleh para Malaikat disebabkan amalan dzikir yang terus dilakukan. Apabila seorang hamba mengalami rasa jenuh untuk berdzikir, maka malaikat pun akan berhenti dari pekerjaannya tadi. Lantas malaikat pun mengatakan, ”Apa yang terjadi padamu, wahai fulan?” Sebab malaikat bisa menghentikan pekerjaan mereka karena orang yang berdzikir tadi mengalami kefuturan (kemalasan) dalam beramal.”

Oleh karena itu, ingatlah perkataan Ibnu Rajab Al Hambali, ”Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara kontinu (terus menerus). Allah akan memberi ganjaran pada amalan yang dilakukan secara kontinu berbeda halnya dengan orang yang melakukan amalan sesekali saja.”[17]

Apakah Kontinuitas Perlu Ada dalam Setiap Amalan?

Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhohullah mengatakan, ”Tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, perlu kiranya kita melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hal ini.”[18]

Untuk mengetahui manakah amalan yang mesti dirutinkan, dapat kita lihat pada tiga jenis amalan berikut.

Pertama, amalan yang bisa dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian) dan ketika bersafar.

Contohnya adalah puasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H), shalat sunnah qobliyah shubuh (shalat sunnah fajar), shalat malam (tahajud), dan shalat witir. Amalan-amalan seperti ini tidaklah ditinggalkan meskipun dalam keadaan bersafar.

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H) baik dalam keadaan mukim (tidak bersafar) maupun dalam keadaan bersafar.”[19]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.”[20]

Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan qiyamul lail (shalat malam) baik ketika mukim maupun ketika bersafar.”[21]

Kedua, amalan yang dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian), bukan ketika safar.

Contohnya adalah shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah qobliyah shubuh sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim pada perkataan yang telah lewat.

Ketiga, amalan yang kadang dikerjakan pada suatu waktu dan kadang pula ditinggalkan.

Contohnya adalah puasa selain hari Senin dan Kamis. Puasa pada selain dua hari tadi boleh dilakukan kadang-kadang, misalnya saja berpuasa pada hari selasa atau rabu.

Initinya, tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, itu semua melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.

Penutup

Ketika ajal menjemput, barulah amalan seseorang berakhir.Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[22] Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[23]

Ibadah seharusnya tidak ditinggalkan ketika dalam keadaan lapang karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ

Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” [24]

Semoga Allah menganugerahi kita amalan-amalan yang selalu dicintai oleh-Nya. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Berniatlah untuk Melakukan Suatu Amalan Baik

Setiap kali kita mendengar tentang sesuatu fadhilah atau amal kebaikan, yang kita sendiri tak memiliki kemampuan atau kecakapan mengerjakannya, hendaknya meniatkan dengan tulus amalan tersebut meski Anda belum bisa mengerjakan atau terlibat di dalamnya.

SETIAP mukmin yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan Allah, mendapatkan kedudukan yang dekat kepada-Nya, dan beroleh kemuliaan dan tempat kediaman di sisi-Nya, hendaknya bersungguh-sungguh berdaya upaya meraih semua keutamaan yang bersifat keagamaan serta kebaikan-kebaikan ukhrawi yang diketahuinya. Hendaknya ia juga benar-benar mengamalkannya sejauh tidak terhambat oleh tiadanya kesempatan ataupun kemampuan.

Di antara fadha’il (fadhilah-fadhilah) dan amal-amal khair(kebaikan) ada yang dapat dikerjakan oleh setiap orang, seperti shalat-shalat sunnah, puasa-puasa sunnah, tilawah Al-Quran, zikir, dan lain sebagainya. Ada lagi yang tidak mampu atau tidak sempat mengerjakannya kecuali beberapa orang saja. Ada pula fadha’il yang sebagian dari kaum mukmin mampu mengerjakannya, tetapi terhalang karena mereka sedang sibuk mengerjakan suatu fadhilah atau amal khair yang lebih utama dan lebih wajib bagi mereka, dan di samping itu tak ada kemungkinan mengerjakan keduanya dalam saat yang bersamaan.

Oleh sebab itu, setiap kali Anda mendengar tentang sesuatu fadhilah atau amal khair apa pun, yang Anda sendiri tak memiliki kemampuan atau kecakapan untuk mengerjakannya –atau Anda mampu mengerjakannya tetapi Anda harus meninggalkan suatu amal khair lainnya yang lebih utama dan lebih baik untuk Anda– hendaknya Anda meniatkan dengan tulus amal khair tersebut meski Anda belum bisa mengerjakan atau terlibat di dalamnya.

Selanjutnya, jika Anda tak pandai atau tak sempat mengerjakan amal khair –atau Anda pandai mengerjakannya tetapi tak ada kesempatan untuk itu kecuali apabila Anda meninggalkan pekerjaan yang lebih utama dan lebih baik untuk Anda sendiri– hendaknya Anda berazam mengerjakannya segera setelah Anda beroleh kesempatan. Dengan demikian, dengan niat kuat yang baik tersebut, Anda akan termasuk dalam kelompok orang yang mengerjakannya dan memerhatikannya. Sebab, niat seorang mukmin lebih utama daripada amalnya, dan adakalanya niatnya itu akan menyampaikannya ke tingkatan yang justru tak dapat dicapai oleh amalannya.

Sebagai misal, pada suatu saat, Anda mendengar tentang keutamaan-keutamaan jihad fi sabilillah, sedangkan Anda tak mampu atau tak sempat mengerjakannya. Atau, tentang keutamaan-keutamaan (fadha’il) sedekah dan memberi makan orang miskin, sedangkan Anda tak memiliki kemampuan untuk itu disebabkan kemiskinan atau sedikitnya harta milikAnda. Atau, tentang fadha’il dalam pemerintahan yang adil atau menegakkan amr bi al-ma’ruf wa nahi ‘an al-munkar, sedangkan Anda tak mampu untuk itu karena tak memiliki jabatan kekuasaan atau kekuatan, maka dalam keadaan-keadaan seperti itu hendaknya Anda niatkan sekiranya ada kemampuan dan kesempatan, niscaya Anda mengerjakan amal-amal khair tersebut, serta akan berusaha sungguh-sungguh dan mencurahkan segala daya upaya dan kecakapan sepenuhnya untuk itu.

Selain dari itu, sudah seharusnya pula Anda memberikan bantuan kepada orang-orang yang mengerjakan fadha’il ini serta kewajiban-kewajiban keagamaan lainnya sesuai dengan kemampuan Anda walaupun –paling sedikit– dengan mendoakan mereka, juga dengan mencintai mereka mengingat tugas keagamaan yang mereka laksanakan demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sepatutnya pula Anda tak segan-segan mengajak, mengimbau, dan memberi semangat kepada mereka agar dapat melaksanakan tugas-tugas dan amal-amal saleh yang sedang mereka tangani itu dengan cara sebaik-baiknya sehingga dengan begitu, terbukalah kemungkinan bagi Anda memperoleh pahala besar seperti pahala yang mereka peroleh. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam:

Orang yang menunjukkan jalan ke arah amal khair sama seperti orang yang mengerjakannya.” (HR Al-Bazzar dari Ibn Mas’ud).

Sabda beliau pula:

Barang siapa menyeru pada jalan kebaikan, niscaya ia memperoleh pahala sebanyak pahala-pahala semua orang yang mengikutinya, sementara hal itu tidak mengurangi sedikit pun pahala-pahala untuk mereka.” (HR Ahmad dan Al-Thurmudzi dari Abu Hurairah).

Kemudian, apa saja amal-amal khair yang Anda dapat kerjakan pada waktu yang bersamaan, kerjakanlah. Apa yang tidak dapat Anda gabungkan, pilihlah yang lebih afdhal dan lebih sempurna sesuai dengan kemampuan dan kesempatan Anda sendiri. Dan, apa saja yang tidak dapat Anda kerjakan, hendaknya Anda memiliki niat baik untuk sewaktu-waktu melaksanakannya apabila keadaan telah memungkinkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Di antara amal-amal kebaikan ada yang tidak mengandung bahaya sejak awal maupun sampai akhir, misalnya mempelajari ilmu yang bermanfaat, memperbanyak shalat, puasa sunnah, dan sebagainya. Amal-amal khair seperti itu hendaknya Anda berusaha dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya dengan segala kemungkinan dan kemampuan.

Tetapi, di antara amal-amal kebaikan ada pula yang mengandung bahaya dan kekhawatiran terjerumus dalam kejahatan dan pantangan-pantangan bagi orang yang terlibat di dalamnya. Yaitu, seperti jabatan-jabatan kekuasaan pemerintahan dan yang berkaitan dengan keuangan, serta lain-lainnya yang serupa dengan itu. Seorang yang berakal dan bijaksana sebaiknya tidak melibatkan diri atau berusaha mendapatkan jabatan-jabatan seperti itu. Sebab, dikhawatirkan apabila ia memperoleh sesuatu darinya, justru akan mendatangkan kebinasaannya seperti yang telah terjadi pada banyak orang yang melibatkan diri dalam jabatan-jabatan tersebut. Sehingga, hilanglah agama dan dunia mereka, dan terjerumuslah mereka ke dalam jurang kemurkaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Oleh sebab itu, sehubungan dengan fadha’il yang mungkin diraih oleh orang-orang yang beroleh taufik Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menangani jabatan-jabatan kekuasaan dan keuangan itu dengan baik, cukupkan diri Anda dengan niat yang baik saja antara Anda dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala andaikata Anda meraih sebagian dari jabatan itu atau ditunjuk untuk menduduki posisi-posisi itu, Anda berjanji akan mengelolanya demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan melaksanakannya demi mencapai keridhaan-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya. Cukup itu saja bagimu dan mudah-mudahan Anda beroleh pahala dengan niat yang tulus dan baik itu seperti yang didapat oleh pelaksana jabatan-jabatan tersebut –yang mengelolanya demi Allah– seraya terhindar dari bahaya dan cobaan-cobaan padanya.

Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada seorang sahabatnya:

Jangan sekali-kali meminta suatu jabatan kepemimpinan. Sebab, apabila Anda mendapatkannya berdasarkan permintaan Anda, akan beratlah tanggung jawab Anda. Namun, jika hal itu diberikan tanpa permintaan dari Anda, niscaya Allah akan memberikan bantuan-Nya kepada Anda.” (HR Muslim dari ‘Abdurrahman bin Samurah)

Demikian pula kisah yang masyhur tentang Tsa’labah yang meminta Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan dirinya agar Allah memberinya banyak rezeki, harta yang berlimpah, untuk ia sedekahkan nantinya dan berbuat kebajikan dengannya. Namun, ketika hal tersebut dikabulkan, ia mengingkari janjinya sehingga ditimpa murka Allah.

Berkenaan dengan itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firman-Nya:

Dan, di antara mereka ada yang membuat perjanjian dengan Allah, ‘Jika Allah memberikan karunia-Nya kepada kami, pastilah kami memberi sedekah dan masuk golongan orangyang saleh.’ Tetapi, setelah datang kepada mereka karunia Allah, mereka menjadi kikir dengan karunia itu, berpaling dan menolak memenuhi janjinya. Maka, Allah menghukum mereka disebabkan kemunafikan dalam hati mereka, sampai hari mereka bertemu dengan Allah, karena mereka melanggar apa yang mereka janjikan kepada-Nya dan berdusta.” (QS Al-Taubah [9]: 75-77).*Al-‘Allamah ‘Abdullah Al-Hadad, dikutip dari bukunya Meraih Kebahagiaan Sejati.

 

HIDAYATULLAH