Amalan yang Paling Dicintai Allah

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan,

Abul Walid Hisyam bin Abdul Malik menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syu’bah menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-Walid bin Al-‘Aizar mengabarkan kepadaku. Dia berkata, aku mendengar Abu ‘Amr Asy-Syaibani. Dia berkata, pemilik rumah ini (beliau mengisyaratkan kepada rumah Abdullah bin Mas’ud) menuturkan kepada kami.

Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amal apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Salat tepat pada waktunya.” Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Lalu apa?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.” Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.”

Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Beliau menuturkan hal itu semuanya kepadaku. Seandainya aku menambah pertanyaan, niscaya beliau pun akan menjawabnya.” (lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari, 2: 12 tahqiq Syaibatul Hamd)

Keterangan ringkas

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan (sembari menukil pendapat ulama yang lain) bahwa yang dimaksud dengan jihad dalam hadis ini adalah jihad yang bukan fardu ‘ain. Sebab jihad yang semacam itu dipersyaratkan adanya izin dari kedua orang tua, sehingga berbakti kepada keduanya harus lebih dikedepankan di atasnya, yaitu jihad yang fardu kifayah. (lihat Fath Al-Bari, 2: 13 tahqiq Syaibatul Hamd)

Ibnu Bazizah rahimahullah berkata, “Berdasarkan pengkajian lebih dalam, kiranya bisa disimpulkan bahwa sebenarnya jihad lebih didahulukan (keutamaannya) daripada seluruh amal badan. Karena di dalam jihad seorang rela mengorbankan nyawanya. Meskipun demikian, sesungguhnya bersabar dalam menunaikan salat tepat pada waktunya secara kontinyu dan menjaga kesetiaan dalam berbakti kepada kedua orang tua merupakan suatu perkara yang wajib dan sifatnya terus-menerus (tidak temporer, pent). Tidak ada yang bisa bersabar menghadapi pengawasan perintah Allah dalam hal itu, kecuali orang-orang yang shiddiq, wallahu a’lam.” (lihat Fath Al-Bari, 2: 1 tahqiq Syaibatul Hamd)

Syekh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah menambahkan keterangan dari kesimpulan beliau terhadap kajian Imam Ibnu Rajab rahimahullah seputar amal yang paling utama. Beliau berkata, “Sesungguhnya amal yang paling utama adalah apa-apa yang diwajibkan Allah kepada segenap hamba-Nya. Sementara iman kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan amal yang paling utama secara mutlak.” (lihat Tajrid Al-Ittiba’, hal. 20)

Kemudian beliau mengatakan, “Adapun jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadis Ibnu Mas’ud bahwa amalan yang paling utama adalah salat tepat pada waktunya. Hal itu disebabkan salat adalah amal anggota badan yang paling utama. Sementara dalam kesempatan lainnya, terkadang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut iman kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai amal yang paling utama. Hal itu karena (iman) merupakan amal hati yang paling utama.” (lihat Tajrid Al-Ittiba’, hal. 20)

Kemudian, Syekh Ibrahim pun menukil kesimpulan yang diambil oleh Imam Ibnu Rajab. Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Dengan penetapan hasil pengkajian ini teranglah bahwasanya hadis-hadis itu menunjukkan bahwa amal yang paling utama ialah dua kalimat syahadat bersama dengan konsekuensi-konsekuensinya, yaitu rukun-rukun Islam setelahnya, atau salat bersama dengan ikutan-ikutannya/penyempurna atasnya (juga) yang merupakan perkara yang sifatnya fardu ‘ain dan termasuk penunaian atas hak-hak Allah ‘Azza Wajalla. Kemudian yang paling utama setelah itu adalah perkara yang sifatnya wajib ‘ain dari hak-hak sesama hamba, semisal berbakti kepada kedua orang tua. Kemudian setelah itu adalah amal-amal sunah yang semakin mendekatkan diri kepada Allah, dan yang paling utama di antara itu (amal-amal sunah) adalah jihad.” (lihat Tajrid Al-Ittiba’, hal. 21)

Syekh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah juga menambahkan kesimpulan bahwa amal-amal yang paling utama setelah amal-amal wajib ada tiga, yaitu menuntut ilmu (yang sifatnya sunah), jihad, dan zikir. Secara berurutan (berdasarkan penelitian para ulama) disimpulkan bahwa amal sunah yang paling utama adalah ilmu, setelah itu jihad, kemudian zikir. (silahkan baca lebih lengkap dalam Tajrid Al-Ittiba’, hal. 25-31)

Kontinyu alam beramal

Imam Bukhari rahimahullah menuturkan:

Muhammad bin Salam menuturkan kepada kami. Dia berkata, ‘Abdah mengabarkan kepada kami dari Hisyam, dari ayahnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memerintahkan mereka (orang-orang), maka beliau perintahkan mereka sebatas amal-amal yang mampu mereka kerjakan.

Lantas orang-orang itu berkata, “Sesungguhnya keadaan kami tidak seperti keadaan anda, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang.”

Mendengar hal itu, beliau pun marah hingga tampak kemarahan itu pada rona wajahnya. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling bertakwa dan paling berilmu tentang Allah di antara kalian adalah aku.” (lihat Sahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 89)

Keterangan ringkas

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka (para ulama) mengatakan, bahwa makna hadis ini adalah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memerintahkan suatu amalan kepada mereka, maka yang beliau perintahkan adalah apa-apa yang mudah untuk mereka kerjakan, bukan amal-amal yang memberatkan. Hal itu karena beliau khawatir mereka tidak bisa terus-menerus/ kontinyu dalam melakukannya. Beliau sendiri mengerjakan amal serupa dengan apa yang beliau perintahkan kepada mereka, yang padanya terkandung keringanan.” (lihat Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 90)

Di antara faedah dan pelajaran berharga yang bisa dipetik dari hadis di atas antara lain:

Amal-amal saleh akan bisa mengangkat kedudukan pelakunya menuju tingkatan yang mulia serta membawa dirinya semakin berpeluang dalam menghapuskan dosa-dosa.

Apabila seorang hamba bisa meraih puncak/akhir dari suatu bentuk ibadah dan bisa merasakan buah-buahnya, maka hal itu lebih mendorong dirinya untuk terus-menerus dalam mengerjakannya, sehingga hal itu lebih mempertahankan nikmat yang ada dan akan semakin mendorongnya untuk mencari tambahan nikmat dengan cara mensyukuri apa yang telah dilakukannya.

Semestinya kita selalu berhenti pada apa-apa yang telah ditetapkan oleh syariat, baik dalam perkara ‘azimah/hukum asal yang lebih utama maupun rukhshah/mengambil keringanan. Dengan disertai keyakinan bahwasanya mengambil hal-hal yang lebih lunak lagi selaras dengan syariat itu lebih utama daripada mengambil sesuatu yang lebih berat dan menyelisihi syariat.

Hal yang lebih utama untuk dicari dalam hal ibadah adalah sederhana/simpel dan mulazamah/terus-menerus dan konsisten dalam beramal. Bukan sikap berlebih-lebihan yang pada akhirnya menyeret kepada sikap meninggalkan.

Hadis di atas juga menunjukkan besarnya semangat para sahabat dalam mengerjakan ibadah dan besarnya keinginan mereka meraih tambahan kebaikan

Disyariatkannya marah ketika terjadi suatu hal yang menyelisihi perintah/ajaran syariat. Dan hendaknya melakukan pengingkaran terhadap kesalahan itu kepada orang yang cukup cerdas dan bisa menangkap pemahaman dengan baik di saat orang itu tidak berpikir jauh ke depan atau tidak merenungkan lebih dalam agar dia lebih tergerak untuk menyadari kekeliruannya.

Bolehnya menceritakan kepada seseorang mengenai keutamaan yang dimiliki orang tersebut ketika hal itu memang dibutuhkan, selama tidak menimbulkan sikap berbangga-bangga atau menonjolkan kehebatan diri sendiri.

Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencapai puncak kesempurnaan insan karena kesempurnaan sifat hikmah yang ada pada ilmu dan amal yang beliau miliki. Kesempurnaan ilmu beliau ditunjukkan dalam sabda beliau “Aku adalah orang yang paling berilmu di antara kalian.” Sedangkan kesempurnaan amalnya ditunjukkan dari sabda beliau “Dan aku juga orang yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian.” (lihat Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 90-91)

Imam Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan, “Di dalam kesungguh-sungguhan beliau (Nabi) dalam beramal dan sikap marah beliau terhadap ucapan mereka terkandung dalil yang menunjukkan bahwa seorang yang beramal tidak boleh bersandar/menggantungkan diri kepada amalnya dan hendaknya dia berada diantara perasaan harap dan takut.” (lihat Syarh Shahih Al-Bukhari li Ibni Baththal, 1: 73)

Al-Muhallab rahimahullah berkata, “Di dalam hadis ini terkandung fikih/ilmu, bahwasanya seorang yang saleh wajib untuk memiliki ketakwaan dan rasa takut yang besar sebagaimana halnya yang seharusnya ada pada seorang yang melakukan dosa dan bertobat.

Seorang yang saleh tidak boleh merasa aman dengan bersandar kepada kesalehan dirinya. Demikian juga seorang pelaku dosa juga tidak boleh menjadi berputus asa karena dosa yang dilakukannya. Bahkan, semestinya setiap orang itu berada di antara takut dan harap.” (lihat Syarh Shahih Al-Bukhari li Ibni Baththal, 1: 73)

Semoga kumpulan faidah ini bermanfaat bagi kita semuanya. Aamiin.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/80054-amalan-yang-paling-dicintai-allah.html

Perbanyak Amalan Ini dalam Kondisi Apapun

Ada  ibadah yang istimewa karena mudah dilakukan baik dalam kondisi dan waktu apapun. Dilansir di Masrawy, Kamis (11/11), Pendakwah Islam Dr. Amr Khaled menjelaskan bahwa dalam semua amalan ibadah, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa memanjatkan doa.

Ada  ibadah yang istimewa karena mudah dilakukan baik dalam kondisi dan waktu apapun. Dilansir di Masrawy, Kamis (11/11), Pendakwah Islam Dr. Amr Khaled menjelaskan bahwa dalam semua amalan ibadah, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa memanjatkan doa.

Khaled menjabarkan bahwa berdzikir dan mengingat Allah adalah satu-satunya ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya dengan sebanyak-banyaknya. Berzikir merupakan suatu amalan ibadah yang perlu dilakukan sesering mungkin.

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah Al-Ahzab penggalan ayat 35, “Wadzzakiriinallaha katsiran wadzzaakiraati a’addullahu lahum maghfiratan wa ajran azhiman,”. Yang artinya, “Dan laki-laki serta perempuan yang banyak menyebut (asma/berzikir) Allah, maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar,”.

Dan di dalam Surah Thaha ayat 33-34, Allah berfirman, “Kay nusabbihuka katsiran, wa nadzkuruka katsiran,”. Yang artinya, “Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau. Dan banyak mengingat Engkau,”.

Dia juga menambahkan, apabila seseorang telah melakukan dosa besar, atau merasa benci dengan diri sendiri, bingung membedakan mana kebenaran dan kebatilan di dalam diri, maka sebaiknya dia segera berdzikir selama 20 menit. Sebab dengan berzikir, kata dia, alam bawah sadar seseorang akan bertindak secara otomatis mengingat Allah tanpa seseorang itu perlu berusaha lebih keras.

Khaled juga menjelaskan bahwa berdzikir merupakan amalan ibadah yang sangat mudah dilakukan. Ibadah ini tidak mengharuskan pelakunya mengambil wudhu terlebih dahulu, sehingga inilah ibadah yang sangat mudah untuk dikerjakan dalam kondisi dan waktu kapanpun.

IHRAM

3 Tanda Orang Riya dan Bodoh

Diantara sifat buruk yang harus dijauhi oleh seorang Muslim adalah riya yaitu memperlihatkan suatu amal dengan tujuan memperoleh pujian dari manusia lainnya. Itu sebabnya orang yang diselimuti sifat riya akan mudah kecewa ketika orang-orang tidak memberikan pujian atau perhatian atas perbuatannya. Ia tidak ikhlas dalam beramal, atau dalan arti lain tidak menjadikan Allah sebagai tujuan utama dalam beramal. Selain sifat riya, seorang Muslim juga harus menjauhi kebodohan dalam beragama.

Rasulullah SAW telah menjelaskan tentang tiga tanda orang riya dan orang bodoh dalam beragama. Sebagaimana Rasulullah mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dalam kitab Wasiyatul Mustofa. Kitab ini disusun Syekh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Syarani Al Anshari Asy Syafi’i Asy Syadzili Al Mishri atau dikenal sebagai Imam Asy Syaran.

Tanda orang riya

يَا عَلِيُّ، وَلِلْمُرَائِي ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَسُجُوْدَهُ مَعَ النَّاسِ وَيَنْقُصُهُ إِذَا صَلَّى وَحْدَهُ وَيَنْشِطُ لِلْمَرْءِ الَّذِيْ يُثْنِيْ عَلَيْهِ وَيَذْكُرُ اللهَ فِي الْخَلَا وَالْمَلَا

Wahai Ali, bagi orang yang riya itu tiga tanda. Yaitu, dia sempurnakan ruku dan sujudnya ketika bersama orang banyak, dan dia menguranginya ketika dia sholat sendirian. Dia bersemangat kepada orang yang memuji muji dia. Dan dia mau berdzikir kepada Allah ketika banyak orang sedang tidak dalam keadaan sepi.

Tanda orang bodoh dalam agama

يَا عَلِيُّ، وَلِلْأَحْمَاقِ ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ اَلتَّهَاوُنُ فِيْ فَرَائِضِ اللهِ وَكَثْرَةُ الْكَلَامِ فِيْ غَيْرِ ذِكْرِ اللهِ وَالطَّعْنُ فِي الدِّيْنِ

Wahai Ali, bagi orang bodoh itu ada tiga tanda meremehkan tentang perkara yang wajib, dan banyak bicara selain berzikir, dan mencela Agama.

IHRAM

Amalan Agar Dimudahkan Rezeki dari Imam Nawawi Al Banteni

Setiap  manusia ingin kebutuhan finansial tercukupi. Setiap manusia juga mengiginkan diberikan kemapaman dalam ekonomi.  Untuk itu, segala usaha dilakukan agar mapan secara ekonomi dan mencukupi kebutuhan finansial. Bahkan ada yang rela kerja paruh waktu dan lembur hanya ingin mendapatkan gaji yang lebih.

Di samping itu, ada juga cara yang tak jamak dilakukan manusia untuk cepat kaya. Ada yang memakai jasa jin misalnya. Ada juga pergi kedukun, meminta harta lebih. Tak hanya itu, ada juga melakukan pesugihan di pohon kramat, hutan lebat, makam tua, dan gubugk tua. Semua ini agar memperoleh kekayaan dengan instan.

Pada sisi lain, ada juga yang mengambil jalan nekat. Misalnya menjadi penipu. Tak sedikit orang yang tega menipu saudaranya, hanya untuk memperoleh kekayaan. Pun ada yang tega hati, merampok harta orang lain demi kekayaan.

Semua orang ingin kaya pada hakikatnya, namun ada saja yang menghalangi. Terlebih dalam masa pandemi ini, banyak orang yang sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun sekadar untuk makan dan membayar sewa bulanan kontrakan. Pasalnya, kelesuan aktivitas ekonomi di beberapa sektor.

Agar tidak seperti itu—birahi ingin kaya, justru mengambil jalan yang salah—, ada beberapa amalan yang bisa rutin diamalkan orang yang ingin mudah rezeki. Pasalnya, ketika mencari rezeki, selain ikhtiyar lahiriah, sebaiknya juga dibarengi dengan ikhtiyar batin. Amalan bathin ini untuk mengetuk pintu langit, agar diberi rezeki dari Sang Yang Maha Kaya.

Adapun doa agar dimudahkan rezeki itu terdapat dalam kitab, Maraqil Ubudiyah  karya Syekh Muhammad Nawawi al-Jawiy Al Banteni.  Imam Nawawi Banten mengatakan melazimi membaca surah Asy Syams, al Lail, Al-Falaq, dan An Nas akan memudahkan rezeki. Lebih dari itu, rezekinya mengalir deras seperti air hujan yang jatuh dari langit. Simak penjelasan dalam Maraqil Ubudiyah  berikut ini;

والشمس وضحاها والليل إذا يغشى والمعوذتين} كما قاله القسطلانى فمن قرأ سورة والشمس رزقه الله الفهم  الذكى الفطنة فى جميع الأشياء ومن تلا سورة واليل حفظ من هتك الستر ومن تلا سورة الفلق وقى السوء ومن تلا سورة الناس عصم من البلايز واعيذ من الشيطان ومن دوام على قراءتها كان رزقه كالمطر

Artinya; (Surah Asy Syam, al Lail, dan Muawwizatain—an nas dan Al falaq), sebagaimana  dikatakan oleh Syekh Al Qasthalani,”barang siapa saja yang membaca surah as-syams, maka akan dianugerahkan Allah padanya kemudahan dalam kepandaian dan ketajaman berpikir pada sekalian perkara apapun.

Dan barang siapa saja yang membaca surah Al-lail maka ia akan dipelihara oleh Allah swt daripada terbuka segala aibnya. Barang siapa saja yang membaca surah al falaq, maka akan terpelihara dari keburukan,  dan barang siapa membaca an Nas, maka Allah akan melindunginya dari segala musibah dan syaitan.

Kemudian  barang siapa, senantiasa  melazimi membaca empat  surah (asy Syamsi , al lail, an nas dan al falaq) tersebut setiap hari, maka ia akan di berikan kemudahan rezeki oleh Allah. Rezeki tersebut seperti hujan turun dari langit.

Demikian amalan agar dimudahkan rezeki dari Imam Nawawi Al Banteni. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

4 Amalan yang Bisa Melapangkan Rezeki hingga tak Terhingga

Terdapat sejumlah amalan sederhana yang bisa lapangkan rezeki

Rezeki berlimpah yang berupa kekayaan hingga kesehatan adalah dambaan bagi banyak orang. 

Setiap berdoa, baik setelah sholat atau di waktu yang lain, permohonan ini jadi salah satu yang sering diminta seorang Muslim.

Lembaga fatwa Mesir, Dar Al Ifta bahkan menjelaskan beberapa cara agar rezeki seseorang bisa bertambah. Setidaknya ada empat tips amalan yang disebut dapat membuka pintu rezeki lebih banyak lagi:

Pertama, bertakwa kepada Allah SWT

Cara pertama yang dijelaskan Dar Al Ifta, bukan dengan amalan yang dikerjakan dengan peluh seperti membaca tasbih ratusan kali. Saran pertama lembaga tersebut adalah dengan menanamkan ketakwaan dalam diri. 

Ketakwaan, seperti yang disebutkan dalam Alquran akan memberikan kemudahan bagi setiap kesulitan yang dihadapi. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” (QS At Talaq 2).

Kedua, silaturahim

Amalan lain yang disebutkan Dar Al Ifta adalah dengan menjalin tali silaturahim. Silaturahim dikatakan bisa membuka pintu rezeki seseorang dan membuat mudah segara urusan. Rasulullah SAW Bersabda: 

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ  “Barang siapa yang ingin diperbanyak rezekinya dan dipermudah segala urusannya, maka jalinlah tali silaturahim,” (HR. Bukhari).

Ketiga, memperbanyak istighfar

Amalan lain yang mudah dilakukan tapi manfaatnya besar adalah dengan memperbanyak meminta ampun kepada Allah SWT atau beristighfar. Alquran sendiri telah menjelaskan khasiat dari memperbanyak istigfar. Allah SWT berfirman :

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا . يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا . وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

Artinya : “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun. niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS Nuh 10–12) 

Keempat, memperbanyak doa

Memohon kepada Allah SWT atas hajat kita terkait rezeki yang banyak tentunya adalah keharusan. Hal ini karena Allah SWT yang Maha Kaya dan Maha Pengasih dan satu-satunya tempat seorang hamba bisa menggantungkan harapan.  

Kendati demikian, ada satu doa yang dianjurkan dibaca saat menginginkan rezeki berupa harta yang banyak:

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ مُكَاتَبًا جَاءَهُ فَقَالَ إِنِّي قَدْ عَجَزْتُ عَنْ كِتَابَتِي فَأَعِنِّي قَالَ أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَيْنًا أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْكَ قَالَ قُلْ اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Artinya: “Dari Ali RA bahwa seorang budak mukatab (yang mengadakan perjanjian pembebasan dengan tuannya) datang kepadanya dan berkata; aku tidak mampu membayar pembebasanku, maka tolonglah aku! Ali berkata, “Maukah aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat yang telah Rasulullah SAW ajarkan kepadaku, yang seandainya engkau memiliki hutang sebesar gunung Shir niscaya Allah akan membayarkannya untukmu? Ali berkata, “Ucapkanlah:

Allaahummakfinii bihalaalika ‘an haraamik, wa aghninii bifadhlika ‘amman siwaak (Ya Allah, cukupkanlah aku dengan kehalalanMu sehingga tidak memerlukan keharaman-Mu, dan jadikanlah aku kaya sehingga tidak butuh kepada selain-Mu).” (HR Tirmidzi) 

Anggota Fatwa Dar Al Ifta Mesir, Syekh Muhammad Wissam juga menganjurkan untuk membiasakan membaca:

سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم

Latin: Subhanallahu wa bihamdihi, subhanallahil Adzim

أستغفر الله العظيم

Latin: Astagfirullahal Adzim

Menurutnya, dua kalimat itu dibaca sebanyak 100 kali antara adzan subuh dan iqamah. Amalan ini akan membantu membuka pintu rezeki seseorang. Alkhaledi kurnialam

Sumber:elbalad  

KHAZANAH REPUBLIKA

Amalan Tukang Sol Sepatu Kalahkan Haji Ratusan Ribu Orang

Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, ia tertidur di Masjidil Haram. Di dalam tidurnya, ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit, kemudian yang satu berkata kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang berhaji pada tahun ini?”. “Enam ratus ribu,” jawab yang lain. 

Lalu, ia bertanya lagi, “Berapa banyak yang diterima?” Jawabnya, “Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq. Dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan berkat hajinya Muwaffaq.” 

Ketika Abdullah bin Mubarak men dengar percakapannya itu, maka ter bangun lah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat menuju Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq. Ketika bertemu dengan Muwaffaq, Abdullah bin Mubarak menceritakan mimpinya dan bertanya, “Kebaikan apakah yang telah Engkau lakukan sehingga mencapai derajat yang sedemikian itu?” 

Jawab Muwaffaq, “Tadinya aku ingin berhaji, tapi tidak terlaksana karena ke adaanku, tetapi mendadak aku mendapat uang tiga ratus dirham dari pekerjaanku membuat dan menambal sepatu, lalu aku berniat haji pada tahun ini. Pada saat itu istriku sedang hamil maka suatu hari, dia mencium bau makanan dari rumah tetanggaku dan ingin mencicipi makanan itu. Aku pun pergi ke rumah tetanggaku dan menyampaikan tujuanku kepadanya.” 

Tetanggaku kemudian menjelaskan, “Aku terpaksa membuka rahasiaku, sebenarnya anak-anakku sudah tiga hari tanpa makanan, karena itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba menemukan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong bagian tubuhnya dan aku bawa pulang untuk dimasak. Adapun makanan ini halal bagi kami dan haram untukmu.” 

Ketika aku mendengar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan meng ambil uang tiga ratus dírham, dan kuserahkan kepada tetanggaku tadi seraya menyuruhnya agar membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim, yang ada dalam pemeliharaannya itu. 

“Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku,” ujar Muwaffaq menutup kisahnya. Allahu Akbar. (Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyad karya Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari).

Kisah di atas memberikan pelajaran berharga kepada kita, kaum Muslimin, bahwa sesungguhnya haji adalah amalan yang utama. Berjihad juga amalan utama, tetapi menyantuni anak yatim, orang miskin, dan orang telantar merupakan amalan yang lebih utama dan mulia. Beribadah haji itu untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberikan makan kepada fakir miskin, menjadi ibadah sosial yang manfaatnya itu lebih besar. Meskipun belum berangkat haji, hal itu menyebab kan mabrurnya semua amalan ibadah lainnya. 

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran 92).

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa membantu keperluan saudaranya maka Allah akan membantu keperluannya.” (Muttafaq ‘alaih).

Oleh Imam Nur Suharno

IHRAM

Mengerikan, Inilah Hari Ditampakkannya Amalan

Allah Subhanahu wa Taala berfirman:


“Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celakalah kami, Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya. Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhan-mu tidak menganiaya seorang pun.” (QS Al-Kahfi: 49)

Allah taala mengabarkan tentang hari ditampakkan amalan-amalan, “Dan diletakkanlah Kitab,” yaitu catatan kebaikan dan keburukan. Allah memberikan setiap orang catatannya masing-masing. Orang yang beriman mengambil Kitab tersebut dengan tangan kanannya, sedangkan orang kafir mengambilnya dengan tangan kiri.

“Lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah” pada waktu itu, “ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya” yaitu di dalam kitab tersebut yang berisi keburukan-keburukan mereka. “Dan mereka berkata, Aduhai celakalah kami,” Mereka menyesal dan merasa sedih, sehingga mereka mengatakan, bahwa mereka dalam kecelakan dan kebinasaan. “Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar,” dari dosa-dosa kami “melainkan ia mencatat semuanya.”

Kemudian Allah taala berkata di akhir penunjukan catatan-catatan tersebut, “Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis),” baik berupa kebaikan maupun keburukan, telah ditetapkan di dalam kitab mereka dan telah diperhitungkan dan mereka telah diberikan balasan atas apa yang telah mereka lakukan. “Dan Tuhan-mu tidak menganiaya seorang pun,” dengan menambah keburukan mereka dengan keburukan yang lain, atau kebaikan mereka dengan kebaikan yang lain.

Dengan demikian, penghuni surga masuk ke dalam surga dan penghuni neraka masuk ke dalam neraka.1

Beriman kepada hari akhir adalah suatu keharusan bagi setiap muslim. Seorang muslim mengimani semua yang dikabarkan oleh Allah subhanahu wa taala di dalam Alquran dan semua yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadis-hadisnya.

Termasuk yang dikabarkan oleh Allah dan Rasulnya adalah yaumul-hisab (hari dimana amalan-amalan ditampakkan dan diperhitungkan oleh Allah) akan terjadi. Pada hari itu seluruh amalan kebaikan dan keburukan manusia akan diperlihatkan kepadanya dan dia tidak akan mengingkari hal tersebut.

Di antara hal yang harus diimani pada hari tersebut adalah keberadaan suatu kitab yang mencatat seluruh amalan, baik yang baik maupun yang buruk. Tidak ada yang terluput di dalam kitab tersebut, semuanya telah tercatat. Ayat yang sedang kita bahas ini berbicara tentang kitab tersebut.

Firman Allah taala: “Dan diletakkanlah Kitab”

Para ulama berselisih pendapat dalam mengartikan Kitab pada ayat ini. Pendapat-pendapat yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut:

– Kitab tersebut adalah kitab yang berisi catatan-catatan amalan kebaikan dan keburukan manusia dan akan diberikan catatan tersebut kepada manusia dan diterima dengan tangan kanan atau tangan kiri.

– Kitab tersebut adalah kitab yang diletakkan di hadapan Allah taala.

– Kata Kitab tersebut hanyalah kiasan yang berarti al-hisab yaitu hari perhitungan amalan para hamba. 2

Pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena Allah subhanahu wa taala menyebutkan setelah potongan ayat ini:

“Lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya.”

Ini menunjukkan bahwa Kitab tersebut adalah kitab yang bisa dilihat oleh orang-orang yang bersalah pada hari tersebut. Penulisan Kitab dalam bentuk mufrad (menunjukkan sebuah kitab) pada ayat ini, tidak berarti bahwa kitab tersebut hanya satu saja. Ini hanya menunjukkan jenis kitab. Adapun kitab-kitab catatan amal sangatlah banyak. Setiap orang akan mendapatkan satu kitab catatan amalnya.

Allah subhanahu wa taala berfirman:

“Dan tiap-tiap manusia itu Telah kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. dan kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah Kitab yang dijumpainya terbuka” (QS Al-Isra: 13).

Firman Allah taala:

“Lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya.”

Perkataan kamu pada ayat tersebut bukanlah ditujukan kepada orang tertentu dan yang diajak bicara pada ayat ini bukanlah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari itu berada pada kedudukan yang tinggi dari tempat tersebut.3 Allah mengabarkan pada ayat ini bahwa mereka sangat ketakukan setelah melihat catatan keburukan yang pernah mereka lakukan, karena mereka mengetahui bahwa setelah menerima catatan amal tersebut mereka akan mendapatkan kesusahan yang lebih parah dan azab yang pedih dari Allah subhanahu wa taala. Oleh karena itu, mereka mengatakan:

Firman Allah taala:

“Dan mereka berkata, “Aduhai celakalah kami.”

Perkataan Aduhai celakalah kami, menunjukkan bahwa mereka benar-benar menyadari kesalahan yang telah mereka kerjakan karena telah menyia-nyiakan umur yang telah mereka jalani selama mereka hidup di dunia. Tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali mengumumkan kebinasaan yang akan mereka dapatkan setelah menerima kitab tersebut.

Kemudian mereka mengatakan:

“Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.”

Mereka keheranan dengan detailnya pencatatan dosa yang mereka lakukan. Allah mencatat seluruh dosa mereka dalam kitab tersebut, baik yang besar maupun yang kecil sekalipun. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma mengatakan, “Ash-Shaghiirah (yang kecil) artinya tersenyum, sedangkan Al-Kabiirah (yang besar) artinya tertawa dengan suara keras.” Said bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Ash-Shaghiirah (yang kecil) artinya dosa kecil, memegang dan mencium, sedangkan Al-Kabiirah (yang besar) artinya perbuatan zina.” 4


Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Kitab ini tidak menyisakan yang kecil dari dosa-dosa dan amalan-amalan kami, begitu pula yang besar darinya kecuali kitab ini mencatatnya.”5

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Jauhilah oleh kalian dosa-dosa kecil (yang diremehkan)! Sesungguhnya perumpamaan dosa-dosa kecil itu seperti suatu kaum yang turun di dalam wadi (sungai kering). Kemudian orang yang ini membawa satu kayu dan yang itu membawa satu kayu, sehingga mereka bisa memasak roti-roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa kecil jika dikerjakan terus-menerus oleh pelakunya maka dia akan membinasakannya.”6

Firman Allah taala:

“Dan mereka dapati apa yang telah kerjakan ada (tertulis).”

Ada dua pendapat dalam mengartikan kata () pada ayat ini. Di antara ulama ada yang mengartikan bahwa “mereka mendapatkan perhitungan atas apa yang mereka kerjakan benar-benar ada di hadapan mereka,” dan ada juga yang mengatakan bahwa “mereka mendapatkan balasan atas apa-apa yang mereka kerjakan benar-benar ada di hadapan mereka.” Allahu alam arti yang pertama lebih tepat, karena ayat ini berbicara tentang hari perhitungan (yaumul-hisaab).7

Ada beberapa ayat yang bermakna mirip dengan ayat ini, di antaranya adalah firman Allah taala:

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya. Dia ingin kalau kiranya antara dia dengan hari itu ada masa yang lama. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (QS Ali Imran: 30).

Begitu pula firman-Nya:

“Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya” (QS Al-Qiyaamah: 13).

Dan juga firman-Nya:

“Pada hari dinampakkan segala rahasia” (QS Ath-Thaariq: 9).

Firman Allah taala:

“Dan Tuhan-mu tidak menganiaya seorang pun.”

Allah subhanahu wa taala mengharamkan kezaliman pada diri-Nya dan pada makhluk-Nya. Allah tidak akan berbuat zalim kepada siapa pun. Allah subhanahu wa taala mengatakan di dalam hadits qudsi:

“Wahai hamba-hambaku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman pada diriku dan Aku jadikan kezaliman haram di antara kalian.”8

Begitu pula dalam hal pencatatan amal, Allah tidak akan menghukum seseorang kecuali sesuai dengan kesalahan yang telah dia lakukan. Allah juga tidak akan mengurangi pahala orang yang taat kepada-Nya.9

Allah subhanahu wa taala juga berfirman:

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan” (QS Al-Anbiya: 47).

Begitu pula firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” (QS An-Nisa: 40).

Ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beramal shalih. Allah tidak akan mengurangi pahala-pahala mereka, justru Allah akan melipatkangandakannya. Di antara bentuk keadilan Allah subhanahu wa taala, Allah akan mengadili hewan yang berbuat zalim karena telah menzalimi hewan lain, padahal kita ketahui bahwa hewan bukanlah makhluk yang dibebankan beban syariat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya hewan-hewan yang tidak bertanduk akan diberikan hak qishaash (membalas) kepada hewan-hewan yang bertanduk di hari kiamat.”10 [Ustaz Sa’id Yai Ardiansyah, Lc.,M.A]

INILAH MOZAIK

Amalan Setara Haji

Rasulullah SAW menunjukkan beberapa amalan yang insya Allah diganjar pahala setara berhaji.

Dalam pekan ini, masyarakat Muslim di Tanah Air menerima kabar yang kurang menyenangkan. Pada Kamis (3/6) lalu, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas telah memastikan bahwa pemerintah tidak memberangkatkan jamaah haji Indonesia untuk tahun 1442 H/2021 M.

Menurutnya, di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia, kesehatan dan keselamatan jiwa jamaah lebih utama dan harus dikedepankan.

Ada yang kecewa atau mungkin pasrah dengan keputusan pemerintah itu. Memang, haji merupakan sebuah ibadah yang selalu diidam-idamkan setiap Muslim. Setiap orang Islam ingin menjadi tamu-Nya di Baitullah. Melihat Ka’bah dari dekat sekali tentu menimbulkan perasaan haru dalam diri insan yang beriman.

Akan tetapi, Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW telah menyatakan, pergi haji adalah bagi yang mampu. Kesanggupan itu pun mencakup perkara-perkara yang luas, tidak hanya dalam aspek finansial, tetapi juga kesehatan fisik dan mental.

Untuk itu, Rasulullah SAW menunjukkan beberapa amalan yang insya Allah diganjar pahala setara berhaji. Berikut adalah kebajikan-kebajikan itu.

Anak Berbakti

Dari Anas RA, dikatakan bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW. Lelaki ini sangat ingin pergi berjihad, tetapi sayangnya tidak mampu. Nabi SAW pun bertanya kepadanya, “Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?”

“Ibuku masih ada,” jawabnya.

Rasulullah SAW pun bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dengan berbuat baik kepada ibumu. Jika engkau berbuat baik kepadanya, statusnya adalah seperti berhaji, berumrah dan berjihad.” (HR ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Ausath).

Hadis di atas menunjukkan, bakti seorang anak kepada orang tuanya adalah amalan yang mulia. Bahkan, kebajikan itu insya Allah diganjar dengan pahala setara pergi ke Baitullah.

Bagaimana dengan seorang yatim atau piatu? Bukti baktinya dapat ditunjukkan dengan kebiasaan mendoakan kebaikan bagi orang tuanya. Sebab, salah satu amalan yang tak putus mengalirkan pahala ialah doa dari anak yang saleh.

Majelis Ilmu

Dari Abu Umamah RA, diketahui bahwa Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang berangkat ke masjid, sedangkan yang diinginkannya hanyalah belajar kebaikan atau mengajarkan kebaikan, ia akan mendapatkan pahala haji yang sempurna hajinya.” (HR ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir).

Menurut hadis tersebut, seorang penuntut ilmu-ilmu agama dapat memperoleh pahala setara berhaji ke Tanah Suci. Itu insya Allah terjadi ketika dirinya menghadiri kajian-kajian keislaman di masjid.

Rasulullah SAW memuji umatnya yang suka menuntut ilmu. Beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Apabila kalian berjalan melewati taman-taman surga, perbanyaklah berzikir.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman surga itu?” Nabi SAW menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah zikir (majelis ilmu).”

Berzikir

Ada kaum miskin menghadap Nabi SAW. Mereka berkata, “Orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat, seperti kami shalat. Mereka puasa, seperti kami berpuasa. Namun, mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad serta bersedekah.”

Rasulullah bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengannya kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian itu dan dengannya pula dapat terdepan dari mereka? Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir shalat sebanyak 33 kali.”

Seorang sahabat bertanya tentang bacaan zikir. Nabi menjelaskan, “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai 33 kali.” (HR Bukhari).

OLEH HASANUL RIZQA

KHAZANAH REPUBLIKA

Amalan di Bulan Rajab

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada lagi faro’ dan  ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.

‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama  bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang  yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:

  1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
  2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
  3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Perayaan Isro’ Mi’roj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”

Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang tidak mengerti agama dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)

Catatan penting:

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]”.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallim.

Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H

***
Penulis: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc.

MUSLIMorid

Amalan Lebih Baik Kontinu Walaupun Sedikit

Pada kesempatan kali ini, kami akan mengangkat pembahasan yang cukup menarik yaitu bagaimana seharusnya kita beramal. Apakah amalan kita haruslah banyak? Ataukah lebih baik amalan kita itu rutin walaupun sedikit? Itulah yang akan kami ketengahkan ke hadapan pembaca pada tulisan yang sederhana ini. Hanya Allah yang senantiasa memberi segala kemudahan.

Rajin Ibadah Janganlah Sesaat

Wahai saudaraku … Perlu diketahui bahwa ibadah tidak semestinya dilakukan hanya sesaat di suatu waktu. Seperti ini bukanlah perilaku yang baik. Para ulama pun sampai mengeluarkan kata-kata pedas terhadap orang yang rajin shalat –misalnya- hanya pada bulan Ramadhan saja. Sedangkan pada bulan-bulan lainnya amalan tersebut ditinggalkan. Para ulama kadang mengatakan,  “Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun”. Ibadah bukan hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja. Sebaik-baik ibadah adalah yang dilakukan sepanjang tahun.

Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan, sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Ramadhan saja.[1]

Begitu pula amalan suri tauladan kita –Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam- adalah amalan yang rutin dan bukan musiman pada waktu atau bulan tertentu. Itulah yang beliau contohkan kepada kita. ’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً

Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).[2]

Tanda Diterimanya Suatu Amalan

Saudaraku … Perlulah engkau ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila amalan tersebut membuahkan amalan ketaatan berikutnya. Di antara bentuknya adalah apabila amalan tersebut dilakukan secara kontinu (rutin). Sebaliknya tanda tertolaknya suatu amalan (alias tidak diterima), apabila amalan tersebut malah membuahkan kejelekan setelah itu. Cobalah kita simak ungkapan para ulama yang mendalam ilmunya mengenai hal ini.

Sebagian ulama salaf mengatakan,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.[3]

Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan membawakan perkataan salaf lainnya, ”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan, namun malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.[4]

Pentingnya Beramal Kontinu (Rutin), Walaupun Sedikit

Di antara keunggulan suatu amalan dari amalan lainnya adalah amalan yang rutin (kontinu) dilakukan. Amalan yang kontinu –walaupun sedikit- itu akan mengungguli amalan yang tidak rutin –meskipun jumlahnya banyak-. Amalan inilah yang lebih dicintai oleh Allah Ta’ala. Di antara dasar dari hal ini adalah dalil-dalil berikut.

Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [5]

Dari ’Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah. Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab,

أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.[6]

’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul Mukminin, bagaimanakah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam beramal? Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَطِيعُ

Tidak. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di antara kalian pasti mampu melakukan yang beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan.”[7]

Di antaranya lagi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam contohkan dalam amalan shalat malam. Pada amalan yang satu ini, beliau menganjurkan agar mencoba untuk merutinkannya. Dari ’Aisyah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.[8]

Keterangan Ulama Mengenai Amalan yang Kontinu

Mengenai hadits-hadits yang kami kemukakan di atas telah dijelaskan maksudnya oleh ahli ilmu sebagai berikut.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita bisa pertengahan dalam melakukan amalan dan berusaha melakukan suatu amalan sesuai dengan kemampuan. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang rutin dilakukan walaupun itu sedikit.”

Beliau pun menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah amalan yang terus menerus dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.”[9] Yaitu Ibnu ’Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” [10]

Para salaf pun mencontohkan dalam beramal agar bisa dikontinukan.

Al Qosim bin Muhammad mengatakan bahwa ’Aisyah ketika melakukan suatu amalan, beliau selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [11]

Al Hasan Al Bashri  mengatakan, ”Wahai kaum muslimin, rutinlah dalam beramal, rutinlah dalam beramal. Ingatlah! Allah tidaklah menjadikan akhir dari seseorang beramal selain kematiannya.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, ”Jika syaithon melihatmu kontinu dalam melakukan amalan ketaatan, dia pun akan menjauhimu. Namun jika syaithon melihatmu beramal kemudian engkau meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaithon pun akan semakin tamak untuk menggodamu.”[12]

Maka dari penjelasan ini menunjukkan dianjurkannya merutinkan amalan yang biasa dilakukan, jangan  sampai ditinggalkan begitu saja dan menunjukkan pula dilarangnya memutuskan suatu amalan meskipun itu amalan yang hukumnya sunnah.

Hikmah Mengapa Mesti Merutinkan Amalan

Pertama, melakukan amalan yang sedikit namun kontinu akan membuat amalan tersebut langgeng, artinya akan terus tetap ada.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun rutin dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit yang rutin dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[13]

Kedua, amalan yang kontinu akan terus mendapat pahala. Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja –meskipun jumlahnya banyak-, maka ganjarannya akan terhenti pada waktu dia beramal. Bayangkan jika amalan tersebut dilakukan terus menerus, maka pahalanya akan terus ada walaupun amalan yang dilakukan sedikit.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Sesungguhnya seorang hamba hanyalah akan diberi balasan sesuai amalan yang ia lakukan. Barangsiapa meninggalkan suatu amalan -bukan karena udzur syar’i seperti sakit, bersafar, atau dalam keadaan lemah di usia senja-, maka akan terputus darinya pahala dan ganjaran jika ia meninggalkan amalan tersebut.”[14] Namun perlu diketahui bahwa apabila seseorang meninggalkan amalan sholih yang biasa dia rutinkan karena alasan sakit, sudah tidak mampu lagi melakukannya, dalam keadaan bersafar atau udzur syar’i lainnya, maka dia akan tetap memperoleh ganjarannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.”[15]

Ketiga, amalan yang sedikit tetapi kontinu akan mencegah masuknya virus ”futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit. Kadang kita memang mengalami masa semangat dan kadang pula futur (malas) beramal. Sehingga agar amalan kita terus menerus ada pada masa-masa tersebut, maka dianjurkanlah kita beramal yang rutin walaupun itu sedikit.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ

”Setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.”[16]

Apabila seorang hamba berhenti dari amalan rutinnya, malaikat pun akan berhenti membangunkan baginya bangunan di surga disebabkan amalan yang cuma sesaat.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya bangunan di surga dibangun oleh para Malaikat disebabkan amalan dzikir yang terus dilakukan. Apabila seorang hamba mengalami rasa jenuh untuk berdzikir, maka malaikat pun akan berhenti dari pekerjaannya tadi. Lantas malaikat pun mengatakan, ”Apa yang terjadi padamu, wahai fulan?” Sebab malaikat bisa menghentikan pekerjaan mereka karena orang yang berdzikir tadi mengalami kefuturan (kemalasan) dalam beramal.”

Oleh karena itu, ingatlah perkataan Ibnu Rajab Al Hambali, ”Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara kontinu (terus menerus). Allah akan memberi ganjaran pada amalan yang dilakukan secara kontinu berbeda halnya dengan orang yang melakukan amalan sesekali saja.”[17]

Apakah Kontinuitas Perlu Ada dalam Setiap Amalan?

Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhohullah mengatakan, ”Tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, perlu kiranya kita melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hal ini.”[18]

Untuk mengetahui manakah amalan yang mesti dirutinkan, dapat kita lihat pada tiga jenis amalan berikut.

Pertama, amalan yang bisa dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian) dan ketika bersafar.

Contohnya adalah puasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H), shalat sunnah qobliyah shubuh (shalat sunnah fajar), shalat malam (tahajud), dan shalat witir. Amalan-amalan seperti ini tidaklah ditinggalkan meskipun dalam keadaan bersafar.

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H) baik dalam keadaan mukim (tidak bersafar) maupun dalam keadaan bersafar.”[19]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.”[20]

Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan qiyamul lail (shalat malam) baik ketika mukim maupun ketika bersafar.”[21]

Kedua, amalan yang dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian), bukan ketika safar.

Contohnya adalah shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah qobliyah shubuh sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim pada perkataan yang telah lewat.

Ketiga, amalan yang kadang dikerjakan pada suatu waktu dan kadang pula ditinggalkan.

Contohnya adalah puasa selain hari Senin dan Kamis. Puasa pada selain dua hari tadi boleh dilakukan kadang-kadang, misalnya saja berpuasa pada hari selasa atau rabu.

Initinya, tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, itu semua melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.

Penutup

Ketika ajal menjemput, barulah amalan seseorang berakhir.Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[22] Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[23]

Ibadah seharusnya tidak ditinggalkan ketika dalam keadaan lapang karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ

Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” [24]

Semoga Allah menganugerahi kita amalan-amalan yang selalu dicintai oleh-Nya. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id