Kesempurnaan Di Atas Kesempurnaan Dalam Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allâh

Allâh Azza wa Jalla menyifati nama-nama-Nya dalam al-Qur’ân dengan al-husna (maha indah) yang berarti kemahaindahan yang mencapai puncak kesempurnaan. Karena nama-nama tersebut mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada celaan atau kekurangannya sedikitpun dari semua sisi.[1]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allâh-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan [al-A’râf/7:180]

Demikian pula sifat-sifat-Nya adalah maha sempurna yang mencapai puncak kesempurnaan serta tidak ada cela dan kekurangan sedikitpun.[2]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ ۖ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allâh mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [an-Nahl/16:60]

Artinya: Allâh Azza wa Jalla mempunyai sifat kesempurnaan mutlak (yang tidak terbatas) dari semua segi [3].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “(Sifat-sifat) maha sempurna adalah milik Allâh, bahkan Dia memiliki (sifat-sifat) yang kesempurnaannya mencapai puncak yang paling tinggi, sehingga tidak ada satu kesempurnaanpun yang tanpa cela kecuali Allâh Azza wa Jalla berhak memilikinya untuk diri-Nya yang maha suci.”[4]

KESEMPURNAAN DI ATAS KESEMPURNAAN
Kemahasempurnaan yang paling tinggi ini ada pada masing-masing dari nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala secara tersendiri atau terpisah, sehingga jika dua dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya digabungkan atau digandengkan, sebagaimana yang banyak terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, tentu ini menunjukkan kemahasempurnaan lain dari penggandengan dua nama dan dua sifat tersebut. Inilah yang dinamakan oleh sebagian para Ulama dengan “al-kamâlu fauqal kamâl” (kesempurnaan di atas kesempurnaan) [5] .

Tidak diragukan lagi bahwa penggandengan dua nama dan dua sifat Allâh Azza wa Jalla ini mengandung hikmah yang agung dan faidah yang besar dalam mengenal kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ini menunjukkan kemahasempurnaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang disertai dengan sanjungan dan pujian yang agung bagi-Nya. Karena masing-masing dari nama-nama-Nya mengandung sifat kesempurnaan bagi-Nya, maka jika dua nama-Nya digandengkan, ini mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya ditinjau dari masing-masing nama tersebut, serta mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya ditinjau dari penggandengan keduanya.[6]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Demikianlah keumuman sifat-sifat Allâh yang digandengkan (satu sama lain) dan nama-nama-Nya yang digabungkan dalam al-Qur’an.

Sesungguhnya (sifat Allâh) al-Ginâ (maha kaya) adalah sifat kesempurnaan, demikian pula al-Hamdu (maha terpuji), ketika keduanya digabungkan [7] maka (menunjukkan) kesempurnaan lain. Bagi-Nya sanjungan dalam (sifat) maha kaya-Nya, juga sanjungan dalam (sifat) maha terpuji-Nya serta sanjungan dalam penggabungan keduanya.

Demikian pula (penggabungan dua nama-Nya) al-‘Afuw al-Qadîr” (Yang Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu), “al-Hamîd al-Majîd” (Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia), dan “al-‘Azîz al-Hakîm” (Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana). Renungkanlah semua ini, karena ini termasuk pengetahuan yang paling agung (dalam Islam).”[8]

CONTOH-CONTOH PENGGABUNGAN DUA NAMA ALLAH AZZA WA JALLA DALAM AL-QUR’AN
1. Nama Allâh “al-‘Azîz” (Yang Maha Perkasa) dan “al-Hakîm” (Yang Maha Memiliki hukum dan hikmah[9] yang sempurna).

Kedua nama ini disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an, misalnya: al-Baqarah/2, ayat ke-129, Ali ‘Imrân/3 ayat ke-62, al-Mâidah/5 ayat ke-38 dan ke-118.

Masing-masing dari kedua nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya, yaitu al-‘izzah (maha perkasa) pada nama-Nya “al-‘Azîz” dan hukum serta hikmah yang sempurna pada nama-Nya “al-Hakîm”.

Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa kemahaperkasaan Allâh Azza wa Jalla selalu bersama sifat hikmah-Nya, sehingga kemahaperkasaan-Nya tidak mengandung kezhaliman atau aniaya, ketidakadilan dan keburukan, karena ditempatkan tepat pada tempatnya. Ini berbeda dengan makhluk, di antara mereka ada yang mungkin memiliki keperkasaan, akan tetapi karena tidak disertai hikmah, sehingga keperkasaan itu justru menjadikannya berbuat aniaya, tidak adil dan berperilaku buruk.

Demikian pula hukum dan hikmah Allâh Subhanahu wa Ta’ala selalu bersama kemahaperkasaan-Nya yang sempurna, sehingga mampu diberlakukan-Nya pada semua makhluk-Nya tanpa ada satu makhlukpun yang bisa menghalangi. Ini berbeda dengan hukum dan hikmah pada makhluk atau manusia yang penuh dengan kekurangan dan tidak selalu disertai dengan keperkasaan, sehingga sering tidak bisa diberlakukan.[10]

2. Nama Allâh “al-Ganiyyu” (Yang Maha Kaya) dan “al-Hamîd” (Yang Maha Terpuji).
Kedua nama ini juga disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an, misalnya: Fâthir/35 ayat ke-15, Luqmân/31 ayat ke-12 dan 26.

Masing-masing dari kedua nama Allâh Azza wa Jalla ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya, yaitu al-ginâ (maha kaya) pada nama-Nya “al-Ganiyyu” dan al-hamdu (maha terpuji) pada nama-Nya “al-Hamîd”.

Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa barangsiapa memuji Allâh Azza wa Jalla dan bersyukur kepada-Nya atas semua limpahan nikmat dan karunia-Nya maka sesungguhnya Dia k memang berhak untuk dipuji dan disyukuri atas segala nikmat-Nya. Namun segala pujian dan sanjungan kepada-Nya tidak menambah kemuliaan dan kekuasaan-Nya sedikitpun. Karena Dia Maha Kaya sehingga Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh kepada pujian dan sanjungan makhluk-Nya, sebagaimana ketaatan makhluk-Nya tidak bermanfaat bagi-Nya dan perbuatan maksiat mereka tidak merugikan dan membahayakan-Nya sedikitpun.

Maka semua ketaatan manusia adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri, sebagaimana perbuatan maksiat mereka akan merugikan diri mereka sendiri. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Barangsiapa bersyukur (kepada Allâh) maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur) maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji [Luqmân/31:12] [11] .

Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allâh Azza wa Jalla berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan mampu mencelakai-Ku dan kalian tidak akan mampu memberikan kemanfaatan bagi-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya manusia dan jin dari yang pertama (ada di dunia) sampai yang terakhir semuanya (keadaannya seperti) orang yang paling bertakwa hatinya di antara kalian, maka hal itu tidak menambah kekuasaan-Ku sedikitpun, dan (sebaliknya) seandainya manusia dan jin dari yang pertama (ada di dunia) sampai yang terakhir semuanya (keadaannya seperti) orang yang paling buruk hatinya di antara kalian, maka hal itu tidak mengurangi kekuasaan-Ku sedikitpun …”[12] .

3. Nama Allâh Azza wa Jalla “al-‘Azîz” (Yang Maha Perkasa) dan ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang).
Kedua nama ini disebutkan berulangkali dalam surah asy-Syu’arâ’/26 di akhir ayat-ayat yang menceritakan kisah-kisah para Nabi dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta umat yang mendustakan seruan dakwah mereka. Misalnya dalam ayat ke-9, 68, 104, 122 dan 140 Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ

“Dan sesungguhnya Rabb-mu (Allâh Azza wa Jalla) benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang”.

Masing-masing dari kedua nama Allâh Azza wa Jalla ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya. Sifat maha perkasa adalah sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat maha penyayang adalah sifat kesempurnaan.

Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa semua yang Allâh Azza wa Jalla berlakukan kepada para Nabi-Nya Azza wa Jalla berupa pertolongan dalam menghadapi musuh-musuh mereka, keteguhan iman dan ketinggian derajat mereka adalah bukti dari sifat rahmat (maha penyayang) Allâh Azza wa Jalla yang dilimpahkan dan dikhususkan-Nya kepada para Nabi-Nya. Dialah yang menjaga, melindungi dan menolong mereka dari tipu daya musuh-musuh mereka. Sebaliknya, semua yang diberlakukan-Nya kepada musuh-musuh para Nabi-Nya k berupa siksaan dan kebinasaan merupakan bukti sifat maha perkasa-Nya. Maka Dia Subhanahu wa Ta’ala menolong para Rasul-Nya Azza wa Jalla dengan rahmat-Nya dan membinasakan musuh-musuh mereka dengan keperkasaan-Nya, sehingga penyebutan kedua nama ini di ayat-ayat tersebut di atas sangat sesuai dan tepat.[13]

4. Nama Allâh dan al-Gafûr (Yang Maha Pengampun) dan al-Wadûd (Yang Maha Mencintai)
Kedua nama ini digandengkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ﴿١٣﴾وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ

Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya [al-Burûj/85:13-14]

Masing-masing dari kedua nama Allâh Azza wa Jalla ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya. Sifat maha pengampun adalah sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat maha mencintai adalah sifat kesempurnaan.

Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa Allâh Azza wa Jalla mencintai hamba-hamba-Nya yang selalu bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya. Maka perbuatan dosa yang mereka lakukan tidaklah menghalangi mereka untuk meraih kecintaan Allâh Azza wa Jalla selama mereka bersungguh-sungguh dalam bertaubat dan kembali kepada-Nya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat rahasia (hikmah) yang halus, yaitu bahwa Allâh mencintai para hamba-Nya yang bertaubat dan Dia mencintai hamba-Nya setelah (mendapat) pengampunan-Nya. Maka Allâh mengampuni-Nya kemudian mencintai-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya :

ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri [al-Baqarah/2:222]

Maka orang yang bertaubat adalah kekasih Allâh [14].

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat rahasia (hikmah) yang halus, di mana Allâh menggandengkan (nama-Nya) al-Wadûd (Yang Maha Mencintai) dengan (nama-Nya) al-Ghafûr (Yang Maha Pengampun). Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berbuat dosa, jika mereka (sungguh-sungguh) bertaubat dan kembali kepada Allâh, maka Dia akan mengampuni dosa-dosa mereka dan mencintai mereka. Maka tidak (benar jika) dikatakan bahwa dosa-dosa mereka diampuni akan tetapi kecintaan Allâh tidak akan mereka raih kembali.”[15]

CATATAN DAN FAIDAH PENTING
Di antara nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasûlullâh n ada yang selalu disebutkan secara bergandengan satu sama lain, maka kedua nama ini tidak boleh disebutkan secara terpisah, karena kedua nama ini hanya mengandung pujian dan sanjungan bagi Allâh Azza wa Jalla jika digandengakan dan tidak dipisahkan. Misalnya: “al-Qâbidh al-Bâsith”[16] (Yang Maha Menyempitkan dan Melapangkan rizki bagi hamba-hamba-Nya) dan “al-Muqaddim al-Muakhkhir”[17] (Yang Maha Mendahulukan dan Mengakhirkan).

Oleh karena itu, kedua nama ini meskipun secara makna adalah terdiri dari dua nama, karena masing-masingnya membawa makna yang berbeda dengan yang lain, akan tetapi kedudukannya seperti satu nama, karena tidak boleh disebutkan kecuali bergandengan satu sama lain, agar menunjukkan kesempurnaan dan pujian bagi Allâh Azza wa Jalla [18] .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Di antara nama-nama Allâh Azza wa Jalla ada yang tidak boleh disebutkan secara terpisah, tapi (harus) digandengkan dengan (nama Allâh Subhanahu wa Ta’alaain) yang merupakan kebalikannya, seperti: al-Mâni’ (yang maha mencegah/tidak memberi), adh-Dhârr (yang maha mendatangkan bahaya) dan al-Muntaqim (yang maha membalas dendam/memberi siksaan). Nama-nama ini tidak boleh dipisahkan dari (nama-nama Allâh Azza wa Jalla ) yang merupakan kebalikannya, karena nama-nama tersebut bergandengan dengan nama-Nya al-Mu’thi (yang maha memberi), an-Nâfi’ (yang maha memberi manfaat) dan al-‘Afuw (yang maha pemaaf). Maka Dialah “Yang Maha Memberi lagi maha mencegah atau tidak memberi”, “Yang Maha Memberi manfaat lagi Maha mendatangkan bahaya”, “Yang Maha Memberi siksaan lagi Maha Pemaaf” dan “Yang Maha Memuliakan dan Maha Menghinakan”.

Kemahasempurnaan (bagi Allâh Azza wa Jalla ) adalah dengan menggandengkan nama-nama ini dengan (nama-nama Allâh Azza wa Jalla lainnya) yang merupakan kebalikannya, karena ini berarti bahwa Allâh Maha Tunggal atau Esa dalam sifat rububiyah-Nya, mengatur (urusan) makhluk-Nya dan memberlakukan pada mereka (apa yang dikehendaki-Nya) dalam memberi, mencegah, memberi manfaat, mendatangkan bahaya, memaafkan dan memberi siksaan.

Adapun memuji Allâh Azza wa Jalla dengan hanya (menyebutkan) yang maha mencegah atau tidak memberi, maha membalas dendam atau memberi siksaan dan maha mendatangkan bahaya maka ini tidak diperbolehkan.

Maka inilah nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang selalu bergandengan satu sama lainnya, kedudukannya seperti satu nama yang tidak boleh dipisahkan huruf-hurufnya satu dari yang lain. Meskipun nama-nama ini lebih dari satu tapi kedudukannya seperti satu nama. Oleh karena itu, nama-nama ini tidak pernah disebutkan dan dimutlakkan kecuali bergandengan (satu sama lainnya), maka pahamilah ini!”[19]

PENUTUP
Demikianlah pemaparan ringkas tentang “kesempurnaan di atas kesempurnaan” dalam nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Meskipun kita beriman secara pasti bahwa keindahan dan kesempurnaan dalam kandungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya tidak terbatas dan melebihi dari semua keindahan dan kesempurnaan yang mampu digambarkan oleh akal pikiran manusia.

Benarlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengungkapkan keindahan dan kesempurnaan yang tanpa batas ini dalam doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang populer:

لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu[20]

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia memudahkan kita untuk memahami dengan benar keindahan dan kesempurnaan dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, yang dengan itu kita bisa mencintai-Nnya dan menyempurnakan penghambaan diri kita kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa.

 

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

sumber: Almanhaj

Keindahan Asmaul Husna

Berbicara tentang keindahan Asmâ-ul Husnâ (nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah) berarti membicarakan suatu kemahaindahan yang sempurna dan di atas semua keindahan yang mampu digambarkan dan terbetik oleh akal pikiran manusia.

Betapa tidak, Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah dzat maha indah dan sempurna dalam semua nama dan sifat-Nya, yang karena kemahaindahan dan kemahasempurnaan inilah maka tidak ada seorang makhluk pun yang mampu membatasi pujian dan sanjungan yang pantas bagi kemuliaan-Nya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam sebuah doa beliau yang terkenal:

لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu[1]

Maka, sebagaimana kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang tidak terbatas, demikian pula pujian dan sanjungan bagi-Nya pun tidak terbatas, karena pujian dan sanjungan itu sesuai dengan dzat yang dipuji. Oleh karena itu, semua pujian dan sanjungan yang ditujukan kepada-Nya bagaimanapun banyaknya, panjang lafazhnya dan disampaikan dengan penuh kesungguhan, maka kemuliaan Allâh Jalla Jalaluhu lebih agung (dari pujian dan sanjungan tersebut), kekuasaan-Nya lebih mulia, sifat-sifat kesempurnaan-Nya lebih besar dan banyak, serta karunia dan kebaikan-Nya (kepada makhluk-Nya) lebih luas dan sempurna[2] .

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dalam al-Qur`ân bahwa tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang mampu membatasi dan menuliskan dengan tuntas semua bentuk keagungan dan keindahan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, bagaimanapun besar dan luasnya makhluk tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) [al-Kahfi/18:109]

Dalam ayat lain, Allâh Jalla Jalaluhu juga berfirman:

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [Luqmân/31:27]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini), Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan tentang keagungan, kebesaran dan kemuliaan-Nya, serta nama-nama-Nya yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan kalimat-kalimat-Nya yang maha sempurna, yang tidak mampu diliputi oleh siapapun (dari makhluk-Nya), serta tidak ada seorang pun yang mengetahui hakekat dan mampu membatasi (menghitung)nya, sebagaimana disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam…Kemudian Ibnu Katsîr rahimahullah menyebutkan hadits di atas…Arti ayat ini adalah seandainya semua pohon (yang ada di) bumi dijadikan pena dan lautan (di bumi) dijadikan tinta dan ditambahkan lagi tujuh lautan (yang seperti itu) bersamanya, untuk menuliskan kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan-Nya, serta (kesempurnaan) sifat-sifat-Nya, maka (niscaya) akan hancur pena-pena tersebut dan habis air lautan (tinta) tersebut (sedangkan kalimat-kalimat keagungan dan kemuliaan-Nya tidak akan habis)”[3] .

ARTI KEMAHAINDAHAN DALAM ASMA-UL HUSNA
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allâh-lah asmâ-ul husnâ (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan [al-A’râf/7:180]

Pengertian al-Husnâ (maha indah) dalam ayat ini adalah yang kemahaindahannya mencapai puncak kesempurnaan, karena nama-nama tersebut mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada padanya celaan (kekurangan) sedikit pun dari semua sisi [4] .

Misalnya, nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala “al-Hayyu” (Yang Maha Hidup), nama ini mengandung sifat kesempurnaan hidup yang tidak berpermulaan dan tidak akan berakhir. Sifat hidup yang sempurna ini mengandung konsekwensi kesempurnaan sifat-sifat lainnya, seperti al-‘ilmu (maha mengetahui), al-qudrah (maha kuasa/mampu), as-sam’u (maha mendengar) dan al-basharu (maha melihat).

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Dan bertawakallah kepada Allâh Yang Maha Hidup (Kekal) dan tidak akan mati [al-Furqân/25:58]

Demikian pula nama Allâh Jalla Jalaluhu “al-‘Alîmu” (Yang Maha Mengetahui), nama ini mengandung sifat kesempurnaan ilmu (pengetahuan) yang tidak didahului dengan kebodohan dan tidak akan diliputi kelupaan sedikit pun, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي فِي كِتَابٍ ۖ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى

Musa berkata: “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku di dalam sebuah kitab, Rabbku (Allâh) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thâhâ/20:52]

Pengetahuan-Nya maha luas dan meliputi segala sesuatu secara garis besar maupun terperinci, sebagaimana firman-Nya:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan pada sisi Allâh-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) [al-An’âm/6:59]

Juga nama-Nya “ar-Rahmân” (Yang Maha Penyayang), nama ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) yang maha luas dan sempurna, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Sungguh Allâh lebih penyayang terhadap hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap anak bayinya”[5][6] .

SEGI-SEGI KEMAHAINDAHAN ASAMA-UL HUSNA
Dîbawakan keterangan beliau di sini beserta keterangan tambahan dari para ulama lainnya.

1. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena semuanya mengandung pujian bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada satu pun dari nama-nama tersebut yang tidak mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama-nama Allâh Azza wa Jalla seluruhnya maha indah, tidak ada sama sekali satu nama pun yang tidak (menunjukkan) kemahaindahan. Telah berlalu penjelasan bahwa di antara nama-nama-Nya ada yang dimutlakkan (ditetapkan) bagi-Nya ditinjau dari perbuatan-Nya, seperti ‘al-Khâliq’ (Maha Pencipta), ‘ar-Razzâq’ (Maha Pemberi rezki), ‘al-Muhyî’ (Maha menghidupkan) dan ‘al-Mumît’ (Maha Mematikan), ini menunjukkan bahwa semua perbuatan-Nya adalah kebaikan semata-mata dan tidak ada keburukan sama sekali padanya…”[7] .

2. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena semua nama tersebut bukanlah sekedar nama semata, tapi juga mengandung sifat-sifat kesempurnaan bagi Allâh Jalla Jalaluhu. Maka nama-nama tersebut semuanya menunjukkan dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, dan masing-masing mengandung sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya[8] .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah adalah a’lâm (nama-nama yang menunjukkan dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala) dan (sekaligus) aushâf (sifat-sifat kesempurnaan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang dikandung nama-nama tersebut). Sifat-Nya tidak bertentangan dengan nama-Nya, berbeda dengan sifat makhluk-Nya yang (kebanyakan) bertentangan dengan nama mereka…”[9] .

3. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ , semua nama tersebut menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan dan semua sifat itu pada dzat Allâh Azza wa Jalla merupakan sifat paling sempurna, paling luas dan paling agung.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ ۖ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allâh mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [an-Nahl/16:60]

Artinya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mempunyai sifat kesempurnaan yang mutlak (tidak terbatas) dari semua segi[10] .

4. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dengan nama-nama tersebut dan itu merupakan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada-Nya, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai nama-nama-Nya, dan Dia k mencintai orang yang mencintai nama-nama tersebut, serta orang yang menghafalnya, mendalami kandungan maknanya dan beribadah kepada-Nya dengan konsekwensi yang dikandung nama-nama tersebut.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah-lah Asmâul Husnâ (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu [al-A’râf/7:180]

Yang dimaksud dengan berdoa dalam ayat ini adalah mencakup dua jenis doa, yaitu doa permintaan dan permohonan, serta doa ibadah dan sanjungan [11] .

Pengertian doa permohonan (du’âut thalab) adalah berdoa dengan menyebutkan nama Allâh Jalla Jalaluhu yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya. Contohnya, kita berdoa: “Ya Allâh, ampunilah dosa-dosaku dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau adalah al-Ghafûr (Maha Pengampun) dan ar-Rahîm (Maha Penyayang)”; “Ya Allâh, terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau adalah at-Tawwâb (Maha Penerima taubat)”. “Ya Allâh, limpahkanlah rezeki yang halal kepadaku, sesungguhnya Engkau adalah ar-Razzâq (Maha Pemberi rezki)”.

Adapun doa ibadah adalah dengan kita beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kandungan nama-nama-Nya yang maha indah. Konkretnya, kita bertaubat kepada-Nya karena kita mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah at-Tawwâb (Maha Penerima taubat), kita berdzikir kepada-Nya dengan lisan kita karena kita mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah as-Samî’ (Maha Mendengar), kita melakukan amal shaleh dengan anggota badan kita karena mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah al-Bashîr (Maha Melihat), dan demikian seterusnya[12] .

PENUTUP
Demikianlah penjelasan singkat tentang keindahan Asmâul Husnâ, dan tentu saja hakikat keindahannya jauh di atas apa yang mampu digambarkan oleh manusia.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum Muslimin untuk membantu mereka memahami keindahan dan kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, yang dengan itulah mereka bisa mewujudkan peribadahan kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, karena landasan utama ibadah, yaitu kecintaan kepada-Nya, dan tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan baik dan benar.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka dia pasti akan mencintai-Nya”[13] .

Akhirnya, kami tutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan kandungan dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

 

 

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A

sumber: Almanhaj