Dr Syamsuddin Arif: Tempatkan Ibnu Sina dengan Benar

Di mana kedudukan ilmu dan peran kita dibandingkan seorang Ibnu Sina terhadap umat Islam dan manusia keseluruhan?

Sejak beberapa tahun silam beredar kabar berantai melalui media sosial yang menyatakan bahwasanya Ibnu Sina merupakan penganut Syiah, dan kabar lainnya mendakwa Ibnu Sina telah keluar dari Islam karena menghalalkan khamr bagi dirinya.

Atas dasar dua tuduhan tadi, kabar berantai tersebut yang tidak dikenali penulisnya memberi arahan kepada umat Islam untuk menolak peran dan capaian keilmuan Ibnu Sina dalam sejarah Peradaban Islam.

Selain itu juga mendorong umat Islam untuk menanggalkan nama Ibnu Sina pada sekolah, rumah sakit, hingga masjid karena tidak mencerminkan Islam dan mewakili umat Islam.

Salah satu dari sekian banyak kabar berantai yang beredar terkesan lebih moderat dengan menyatakan pengakuannya terhadap capaian keilmuan Ibnu Sina, terutama di bidang kedokteran, sambil menolak capaiannya di bidang filsafat yang dinilai bertentangan dengan Islam.

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Dr. Syamsuddin Arif sebagai ahli filsafat Ibnu Sina yang telah diakui otoritasnya di dunia internasional, diluruskan kesalahpahaman maupun ketidaktahuan terhadap dua persoalan yang dinisbatkan kepada Ibnu Sina. Yakni tentang beraqidah Syiah Ismailiyah dan tentang peminum khamr.

Dalam Kuliah Sehari bertempat di Ruang Sidang 1, Masjid Kampus UGM Yogyakarta, Ahad (29/12/2019), dijelaskan, untuk mengetahui dengan tepat kedua persoalan tadi, maka harus diketahui sejarah hidup Ibnu Sina yang benar, yakni merujuk pada referensi yang otoritatif.

Dr Syamsuddin Arif pada kesempatan bertajuk “Ibn Sina: His Life, Thought, and Legacies” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara itu menjelaskan, referensi yang otoritatif untuk mengetahui sejarah kehidupan Ibnu Sina ialah autobiografi yang ditulis olehnya sendiri dan dikumpulkan oleh murid beliau bernama Al-Juzjani.

Naskah ini telah diperiksa, diberi komentar, dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh William E. Gohlman dengan judul The Life Ibn Sina: A Critical Edition and Annotated Translation yang menampilkan teks berbahasa Arab dan terjemahnya dalam Bahasa Inggris.

Melalui teks yang dirujuk oleh Dr. Syamsuddin Arif, diketahui ketidakbenaran dua tuduhan yang dialamatkan kepada Ibnu Sina. Pertama, dalam autobiografinya, Ibnu Sina menyatakan sebagai berikut:

“My father was one of those who responded to the propagandist of the Egyptians (Fathimiyah – penjelas dari Dr. Syams) and was reckoned among the Ismailiyya. From them, he, as well as my brother, heard the account of the soul and the intellect in the special manner in which they speak about it and know it. Sometimes they used to discuss this among themselves while I was listening to them and understanding what they were saying, but my soul would not accept it, and so they began appealing to me to do it (to accept the Ismaili doctrines)”.

Berdasarkan pengakuan Ibnu Sina dalam autobiografinya, Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan bahwa menyatakan Ibnu Sina sebagai penganut Ismailiyah hanya karena keluarganya menganut paham tersebut adalah penalaran yang salah. Contoh saja, belum tentu seorang anak yang dilahirkan di keluarga yang aktif dalam kepengurusan NU akan bergabung pula dalam NU, bahkan bisa jadi justru terlibat secara aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah. Kasus yang lain dapat dengan mudah ditemukan hingga titik ekstremnya, seperti seorang kawan saya yang tidak tergabung dalam afiliasi apapun padahal ayahnya seorang pengurus Muhammadiyah dan ibunya pengurus partai politik PKS.

Selain itu, menyatakan bahwa Ibnu Sina adalah penganut Ismailiyah tidak sesuai dengan pernyataan Ibnu Sina yang menolak ajakan untuk menganut paham Ismailiyah. Dalam kondisi seperti ini, pernyataan Ibnu Sina lebih kuat untuk dipegang dibandingkan penilaian yang dilandasi anggapan-anggapan atau pengandaian.

Kedua, tersebarnya kabar bahwasanya Ibnu Sina merupakan peminum khamr dapat dilacak asal usulnya dari teks berikut,

“…..or I became conscious of weakening, I would turn aside to drink a cup of wine, so that my strength would return to me”.

Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan, teks di atas merupakan terjemahan yang salah oleh Gohlman karena menerjemahkan ‘sharab’ dengan ‘wine’. Terjemahan yang keliru tersebut, menurut Dr. Syamsuddin bisa jadi dikarenakan latar belakang kehidupan Gohlman di negeri Barat yang lazim meminum wine untuk mengembalikan vitalitas tubuh yang lemah atau lesu.

Sementara itu istilah ‘sharab’, sebagaimana tertulis dalam autobiografi Ibnu Sina seharusnya diterjemahkan dengan minuman secara umum, yang bisa jadi jus atau minumen penyegar tubuh lainnya yang familiar digunakan oleh masyarakat pada ruang dan waktu kehidupan Ibnu Sina untuk menjaga ketahanan tubuh. Sehingga dakwaan bahwasanya Ibnu Sina gemar meminum khamr, bahkan menghalalkan khamr bagi dirinya, mendapatkan rujukannya pada terjemahan yang salah dari kalangan Orientalis, yang tidak sesuai dengan teks yang ditulis oleh Ibnu Sina. Dengan demikian, sudah jelas lebih kuat memegang teks yang berasal dari Ibnu Sina daripada terjemahan yang salah dari Gohlman.

Berangkat dari berbagai tuduhan tidak berdasar yang dialamatkan kepada Ibnu Sina karena tidak dapat diverifikasi kebenarannya, bahkan bertentangan dengan autobiografi yang ditulisnya sendiri, pada akhir perkuliahan, Dr. Syamsuddin Arif menegaskan bahwa kita sebagai umat Islam harus mampu menempatkan Ibnu Sina dengan benar. Ibnu Sina bukanlah Nabi dan Rasul, ia adalah manusia sebagaimana diri kita, hanya saja Ibnu Sina diberi Allah kelebihan ilmu dibandingkan kita.

Oleh karena itu, Ibnu Sina bukanlah pribadi yang maksum, dan sudah pasti memiliki kesalahan-kesalahan, termasuk dalam aspek pemikirannya. Sehingga untuk membandingkan Ibnu Sina bukanlah dengan sosok Nabi dan Rasul yang maksum, tetapi dengan diri kita sendiri. Singkatnya di mana kedudukan ilmu dan peran kita dibandingkan seorang Ibnu Sina terhadap umat Islam dan manusia keseluruhan?* (Andika Saputra)

HIDAYATULLAH

Belajar dari Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Dunia

Tak diragukan lagi, riwayat hidup terbaik yang mungkin akan terus dibaca dan diperbincangkan banyak orang adalah riwayat tokoh-tokoh besar dan para ilmuwan, salah satunya Ibnu Sina (908-1037), as-Syaikh ar-Rais. Banyak orang mungkin belum mengetahui guncangan-guncangan ringan dan sentakan kecil dalam kehidupan sehari-hari Ibnu Sina, yang boleh jadi juga menimpa setiap orang, terutama orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual, kebersahajaan, dan kesabaran yang tinggi.

Ibnu Sina (Avicenna), dokter filsuf muslim yang dikenal dengan sebutan as-syaikh ar-rais (syekh tertinggi). Setelah melewati masa kecil yang luar biasa, Ibnu Sina belajar pada sejumlah ilmuwan besar dan mempelajari berbagai disiplin ilmu.

Singkat cerita, sejak berumur 10 tahun Ibnu Sina telah hafal Al-Quran dan menguasai dasar agama, tata bahasa arab (nahwu-sharaf), manthig (logika), dan bayan (ilmu tentang gaya bahasa). Ibnu Sina juga seorang matematikawan, ia ahli dalam hitung-hitungan, hansadah, dan aljabar. Ilmu manthig, filsafat, hikmah pun tuntas dipelajari dalam hitungan hari. Dikarenakan sudah tidak ada guru lagi yang bisa mengajarinya, maka Ibnu Sina memutuskan untuk mempelajari ilmu kedokteran dan membaca buku-buku tentang dunia kedokteran secara otodidak. Ia terus membaca dan membaca. Hal inilah yang harusnya bisa kita tiru. Ketika semua orang telah terlelap, Ibnu Sina masih terjaga. Ia masih menaruh lampu minyak di sampingnya, lampu cahaya redupnya bisa menerangi lembar-lembar buku yamg sedang ia baca. Berkat kepandaian dan kebersahajaannya, ia menjadi dokter bagi kaum miskin. Tangannya bagai obat yang menyembuhkan berbagai penyakit.

Sejak kanak-kanak, Ibnu Sina bergaul dengan kalangan ulama dan ilmuwan. Ia menghabiskan banyak waktu untuk menggeluti berbagai bidang keilmuan dan menulis buku. Inilah yang kemudian membuat orang-orang di lingkaran kekuasaan terus berupaya menyingkirkan Ibnu Sina, karena merasa dengki melihat kemampuan dan kharisma pemikir hebat itu. Namun dalam kekalutan dan ketidaknyamanan itulah Ibnu Sina dapat melahirkan magnum opus Al-Qanun fi at-Thibb dan as-Syifa’ yang telah menggemparkan khazanah keilmuan-khususnya kedokteran-diseluruh belahan dunia.

Dalam buku maha karyanya, as-Syifa’, buku yang menitikberatkan pengkajian pada filsafat. As-syifa’ terdiri dari 18 jilid dan merupakan salah satu karya terpenting Ibnu Sina. Dalam buku ini, ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga; metafisika, fisika, dan matematika. Sedangkan dalam bukunya Al-Qanun, Ibnu Sina membagi dalam beberapa risalah. Risalah pertama terkait dengan definisi ilmu kedokteran dan penjelasan terperinci tentang organ tubuh manusia. Risalah kedua menjelaskan jenis-jenis obat dan beberapa hal yang dihasilkan dari obat-obatan. Dalam bukunya Ibnu Sina mencatat ada 785 jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan sebagai obat. Risalah ketiga berisi tentang penjelasan penyakit yang diderita oleh penduduk lokal Khawarizm, sebab-sebabnya, tanda-tandanya, dan cara pengobatannya. Risalah keempat membahas semua jenis penyakit yang dikenal hingga kini. Risalah kelima juga terkait dengan obat-obatan dan peracikannya.

Ibnu Sina hidup pada masa pergolakan politik yang panjang, situasi yang kemudian berakibat kurang baik bagi peribadinya. Permainan politik ibarat buah paling pahit yang pernah diciptakan Allah. Sejarah telah menzaliminya. Namun, setelah itu, sunatullah menunjukan kenyataan yang berbeda. Ibnu Sina dimuliakan dengan kematiannya.

Dari kisah hidup Ibnu Sina tersebut, ada dua hal menarik yang bisa diambil hikmah yaitu pentingnya membaca dan menulis. Pertama, membaca membukakan cakrawala pemikiran kita sehingga membentuk pola pikir  yang kritis. Membaca menjadikan manusia berintelektual tinggi. Kedua menulis, bisa kita lihat sekarang, karya Ibnu Sina sampai sekarang masih menjadi rujukan dalam dunia kedokteran. Meskipun sudah wafat, beliau masih bisa memberikan manfaat bagi banyak orang. Jadi begitu banyak pahala yang bisa kita dapatkan melalui goresan pena yang ditorehkan, tak terkecuali ketika kita sudah berada di alam kubur sekalipun.

 

Bersama Dakwah

Di Usia 10 Tahun, Ibnu Sina Sudah Hafal Alquran

— Ibnu Sina atau Avicenna memiliki nama lengkap Abu Ali al Huseyn bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina. Ilmuwan berdarah Persia ini menulis karya ilmiah pertamanya di usia 21 tahun. Al-Majmu demikian judul karya ilmiah tersebut, yang mengulas beragam ilmu pengetahuan. 

Ibnu Sina lahir pada 980 M atau 370 H di Afsyanah, sebuah kota kecil di dekat Bukhara, Uzbekistan. Sepanjang hidupnya, Muslim jenius ini telah menghasilkan 450 karya ilmiah. Namun dari jumlah itu, hanya sekitar 240 karya yang tersisa.

Sebanyak 150 karya mengupas tentang filsafat, 40 kitab tentang kedokteran, dan karya-karya lainnya memuat beragam ilmu pengetahuan mulai dari filsafat, astronomi, kimia, geografi, matematika, geologi, psikologi, teologi, logika, fisika, hingga seni puisi.

Salah seorang temannya, Abu Ubaid al-Jurjani pernah bercerita, Ibnu Sina memiliki karakter yang cukup unik. Salah satunya, ia suka mengagumi diri sendiri. Dan faktanya, Ibnu Sina memang dikagumi banyak orang karena kejeniusannya. 

Tak hanya menguasai beragam ilmu pengetahuan, Ibnu Sina juga memiliki perhatian besar kepada ilmu keagamaan. Hal inilah yang mendorongnya untuk menghafal Alquran. Beberapa sumber menyebut, Ibnu Sina telah hafal Alquran pada usia 10 tahun. 

Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina juga dikenal sebagai sosok yang mandiri dalam pemikiran. Ayahnya yang berasal dari Balkh Khorasan adalah seorang pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniyah. 

Sejak kecil, Ibnu Sina memperlihatkan kepandaian yang luar biasa. Ilmu kedokteran dipelajarinya saat berusia 16 tahun. Tak hanya mempelajari teori kedokteran, dia juga merawat orang sakit berdasarkan pengetahuannya sendiri. 

Berkat melayani orang sakit, Ibnu Sina pun menemukan metode-metode baru dalam perawatan. Dia menjadi seorang dokter sejak usia 17 tahun. Dia semakin terkenal sebagai dokter sejak berhasil menyembuhkan Raja Dinasti Samaniah, Nuh bin Mansur. 

Tak hanya Nuh bin Mansur, ia juga berhasil menyembuhkan sejumlah penguasa lain, di antaranya Ratu Sayyidah dan Sultan Majdud dari Rayy, Syamsu Dawla dari Hamadan, dan Alaud Dawla dari Isfahan. 

Ibnu Sina baru berusia 22 tahun ketika sang ayah wafat. Sepeninggal ayahnya, dia kemudian berkelana untuk menyebarkan ilmu pengetahuan. Kota pertama yang ia tuju adalah Jurjan.

Di salah satu kota kecil di Timur Tengah ini ia bertemu dengan seorang sastrawan dan ulama besar Abu Raihan al-Biruni yang kemudian menjadi gurunya. Setelah itu, dia berkeliling ke sejumlah kota di Iran seperti Rayy dan Hamadan.

Dari 450 karyanya, yang paling dikenal adalah As-Syifa dan Al-Qanun fi At-Tibb (The Canon of Medicine). Buku yang ditulis pada 1025 itu menjadi acuan dan referensi para dokter selama berabad-abad.

Karya-karya Ibnu Sina pernah disatukan dalam satu buku besar berjudul Essai de Bibliographie Avicenna yang disusun oleh Pater Dominican di Kairo. 

Kiprah gemilang Ibnu Sina di jagat ilmu pengetahuan berakhir ketika ia wafat pada Juni 1037 di Hamadan, Iran.

sumber: Republika Online

Sejak Kecil, Ibnu Sina Belajar Menghafal Alquran

Dunia Islam memanggilnya dengan nama Ibnu Sina. Namun di kalangan orang-orang Barat, ia dikenal dengan panggilan Avicenna. Ia merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter pada abad ke-10. Selain itu, Ia juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dan sebagian besar karyanya adalah tentang filsafat dan pengobatan.

Bagi banyak orang, Ibnu Sina adalah ‘Bapak Pengobatan Modern’. Selain itu, masih banyak lagi sebutan lainnya yang ditujukan padanya, terutama berkaitan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib atau The Canon of Medicine yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H/ 980 M di Afsyanah, sebuah kota kecil di wilayah Uzbekistan saat ini. Ayahnya yang berasal dari Balkh Khorasan adalah seorang pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniah (204-395 H/819-1005 M).

Sejak kecil, Ibnu Sina sudah menunjukkan kepandaian yang luar biasa. Di usia 5 tahun, ia telah belajar menghafal Alquran. Selain menghafal Alquran, ia juga belajar mengenai ilmu-ilmu agama. Ilmu kedokteran baru ia pelajari pada usia 16 tahun. Tidak hanya belajar mengenai teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit dan melalui perhitungannya sendiri, ia juga menemukan metode-metode baru dari perawatan.

Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah. Banyak tabib dan ahli yang hidup pada masa itu tidak berhasil menyembuhkan penyakit sang raja sebelumnya.

Sebagai penghargaan, sang raja meminta Ibnu Sina menetap di istana, paling tidak untuk sementara selama sang raja dalam proses penyembuhan. Tapi Ibnu Sina menolaknya dengan halus, sebagai gantinya ia hanya meminta izin untuk mengunjungi sebuah perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Siapa sangka, dari sanalah ilmunya yang luas makin bertambah.

 

sumber: republika Online

Ibnu Sina Jadi Dokter di Usia 17 Tahun

Ibnu Sina atau Avicenna memiliki nama lengkap Abu Ali al Huseyn bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina. Ilmuwan berdarah Persia ini menulis karya ilmiah pertamanya di usia 21 tahun. Al-Majmu demikian judul karya ilmiah tersebut, yang mengulas beragam ilmu pengetahuan.

Sejak kecil, Ibnu Sina memperlihatkan kepandaian yang luar biasa. Ilmu kedokteran dipelajarinya saat berusia 16 tahun. Tak hanya mempelajari teori kedokteran, dia juga merawat orang sakit berdasarkan pengetahuannya sendiri.

Berkat melayani orang sakit, Ibnu Sina pun menemukan metode-metode baru dalam perawatan. Dia menjadi seorang dokter sejak usia 17 tahun. Dia semakin terkenal sebagai dokter sejak berhasil menyembuhkan Raja Dinasti Samaniah, Nuh bin Mansur.

Tak hanya Nuh bin Mansur, ia juga berhasil menyembuhkan sejumlah penguasa lain, di antaranya Ratu Sayyidah dan Sultan Majdud dari Rayy, Syamsu Dawla dari Hamadan, dan Alaud Dawla dari Isfahan.

Ibnu Sina baru berusia 22 tahun ketika sang ayah wafat. Sepeninggal ayahnya, dia kemudian berkelana untuk menyebarkan ilmu pengetahuan. Kota pertama yang ia tuju adalah Jurjan.

Di salah satu kota kecil di Timur Tengah ini ia bertemu dengan seorang sastrawan dan ulama besar Abu Raihan al-Biruni yang kemudian menjadi gurunya. Setelah itu, dia berkeliling ke sejumlah kota di Iran seperti Rayy dan Hamadan.

Dari 450 karyanya, yang paling dikenal adalah As-Syifa dan Al-Qanun fi At-Tibb (The Canon of Medicine). Buku yang ditulis pada 1025 itu menjadi acuan dan referensi para dokter selama berabad-abad.

Karya-karya Ibnu Sina pernah disatukan dalam satu buku besar berjudul Essai de Bibliographie Avicenna yang disusun oleh Pater Dominican di Kairo. Kiprah gemilang Ibnu Sina di jagat ilmu pengetahuan berakhir ketika ia wafat pada Juni 1037 di Hamadan, Iran.

 

Sumber: Republika ONline

Ibnu Sina Hafal Alquran di Usia 10 Tahun

Ibnu Sina atau Avicenna memiliki nama lengkap Abu Ali al Huseyn bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina. Ilmuwan berdarah Persia ini menulis karya ilmiah pertamanya di usia 21 tahun. Al-Majmu demikian judul karya ilmiah tersebut, yang mengulas beragam ilmu pengetahuan.

Ibnu Sina lahir pada 980 M atau 370 H di Afsyanah, sebuah kota kecil di dekat Bukhara, Uzbekistan. Sepanjang hidupnya, Muslim jenius ini telah menghasilkan 450 karya ilmiah. Namun dari jumlah itu, hanya sekitar 240 karya yang tersisa.

Sebanyak 150 karya mengupas tentang filsafat, 40 kitab tentang kedokteran, dan karya-karya lainnya memuat beragam ilmu pengetahuan mulai dari filsafat, astronomi, kimia, geografi, matematika, geologi, psikologi, teologi, logika, fisika, hingga seni puisi.

Salah seorang temannya, Abu Ubaid al-Jurjani pernah bercerita, Ibnu Sina memiliki karakter yang cukup unik. Salah satunya, ia suka mengagumi diri sendiri. Dan faktanya, Ibnu Sina memang dikagumi banyak orang karena kejeniusannya.

Tak hanya menguasai beragam ilmu pengetahuan, Ibnu Sina juga memiliki perhatian besar kepada ilmu keagamaan. Hal inilah yang mendorongnya untuk menghafal Alquran. Beberapa sumber menyebut, Ibnu Sina telah hafal Alquran pada usia 10 tahun.

Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina juga dikenal sebagai sosok yang mandiri dalam pemikiran. Ayahnya yang berasal dari Balkh Khorasan adalah seorang pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniyah.

 

sumber: Republika Online