Sikap Pertengahan terhadap Ibnu Sina

Abu Ali Al Husain bin Abdillah al-Balkhi (wafat 427H), lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina, adalah seorang ilmuwan ahli di bidang kedokteran, bidang filsafat, kimia dan berbagai macam ilmu lainnya. Beliau terkenal cerdas dan menguasai cukup banyak bidang ilmu. Beliau juga belajar agama, akan tetapi pelajaran agama beliau banyak terpengaruh oleh ilmu filsafat Yunani dan terpengaruh ajaran-ajaran yang menyimpang akidah Islam. Bahkan penyimpangan-penyimpangan yang ia lakukan sampai pada level mengeluarkan pelakunya dari Islam. Beliaupun ikut mendakwahkan akidah menyimpang ini, dan menulis beberapa kitab filsafat diantaranya “asy-Syifa”, “al-Isyarat”, “al-Qanun”, dan yang lainnya.

Inti dari tulisan kami adalah sikap pertengahan terhadap Ibnu Sina terkait status beliau sebagai ilmuwan dan akidah beliau yang sangat jauh keluar dari Islam. Ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan:

Pertama: Banyak ulama yang sudah menganggap beliau keluar dari Islam karena akidah yang sangat melenceng dari Islam. Mungkin ini hal ini membuat “kaget” sebagian kaum muslimin di Indonesia karena selama ini mereka mengira bahwa Ibnu Sina adalah Islam dan ilmuwan Islam. Kami akan nukilkan perkataan-perkataan ulama yang menyatakan hal ini, terutama ulama yang terkenal dari mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab mayoritas di Indonesia semisal Az-Dzahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Ibnu Katsir. Masih banyak penjelasan ulama lainnya terkait akidah Ibnu Sina ini.

Kedua: Status beliau sebagai seorang ilmuwan, maka kita pun memperlakukan beliau sebagaimana ilmuwan non-muslim lainnya. Tidak haram mengambil ilmu dunia bermanfaat dari beliau, selama hal itu tidak ada kaitannya dengan agama.

Ketiga: Ada pendapat yang lemah (karena kebenarannya belum bisa dipastikan) bahwa beliau telah bertaubat dari akidah yang menyimpang tersebut ketika akan meninggal. Tentu kita sangat berharap ini benar. Namun demikian pendapat ini lemah, dan yang terpenting bagi kita adalah tetap berlepas diri dan mengingatkan umat dari akidahnya yang sangat melenceng dari akidah Islam.

Keempat: Tidak selayaknya kaum muslimin menamakan masjid dan sarana Islami dengan nama Ibnu Sina. Masih banyak nama-nama ilmuwan lainnya di bidang kedokteran seperti Abu Qasim Az-Zahrawi dan Ibnu An-Nafis.

Mari kita bahas poin-poin ini satu-per-satu.

Para Ulama Mengkafirkan Ibnu Sina

Banyak ulama yang sudah menganggap beliau keluar dari Islam karena akidah yang sangat melenceng dari Islam.

Kami nukilkan beberapa penjelasan ulama terkait akidah Ibnu Sina yang sangat jauh keluar dari Islam.

Adz-Dzahabi setuju dengan perkataan Imam Al-Ghazali yang telah menyatakan Ibnu Sina keluar dari Islam,

“وقد كفره الغزالي في كتاب “المنقذ من الضلال

“Sungguh Al-Ghazali telah menyatakan Ibnu Sina keluar dari Islam dalam buku beliau yaitu Al-Munqiz Wad-Dhalal” (Siyar Al-A’lam An-Nubala’, 17/535).

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan beberapa akidah Ibnu Sina yang sangat melenceng dari akidah Islam, beliau berkata:

قال ابن أَبِي الدم الحموي الفقيه الشافعي، شارح الوسيط في كتابه الملل والنحل: قد اتفق العلماء على أن ابن سينا كان يقول بقدم العالم، ونفي المعاد الجسماني، ولا ينكر المعاد النفساني. ونقل عنه أنه قال: إن الله لا يعلم الجزئيات بعلم جزئي، بل بعلم كلي.

“Ibnu Abi ad-Dam Al-Hamawi, pensyarah kitab Al-Wasith dalam kitab beliau Al-Milal wan Nahl telah mengatakan: para ulama telah BERSEPAKAT bahwa Ibnu Sina memiliki pendapat bahwa alam semesta ini qadim (yaitu, bahwa alam semesta tidak diciptakan, namun sudah ada sejak dahulu, pent.), menafikan adanya kebangkitan jasad manusia (di hari akhir), walaupun beliau tidak mengingkari kebangkitan ruh di hari akhir. Juga dinukilkan dari beliau bahwa beliau berpendapat Allah itu tidak mengetahui hal-hal yang juz’iyyat (spesifik), Allah hanya tahu kejadian-kejadian secara global saja” (Lisanul Mizan 2/293).

Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan pemikiran Ibnu Sina yang jauh keluar dari Islam dan ada tiga pembahasan yang yang sangat fatal dari pemikiran Ibnu Sina, yaitu:

قوله بقدم العالم وعدم المعاد الجسماني وأن الله لا يعلم الجزئيات

“Dia berpendapat bahwa alam ini qadim, tidak adanya hari pembangkitan jasmani (hanya ruh), dan Allah tidak mengetahui hal-hal yang juz’iyyah (spesifik)” (Al-Bidayah Wan-Nihayah, 15/668).

Demikian juga ulama lainnya menjelaskan, seperti Ibnul Qayyim yang menjelaskan bahwa Ibnu Sina ini adalah mulhid. Sebutan mulhid biasanya disematkan kepada orang yang tidak beriman kepada Allah atau memiliki keyakinan yang menyimpang tentang Allah. Ibnul Qayyim berkata,

الملحد، بل رأس ملاحدة الملة

“Ibnu Sina adalah mulhid. Bahkan beliau adalah pemimpinnya orang-orang mulhid” (As-Shawaiqul Mursalah, 2/1031).

Dalam kitab yang lain, Ibnul Qayyim juga menjelaskan:

وكان ابن سينا كما أخبر عن نفسه قال: أنا وأبي من أهل دعوة الحاكم فكان من القرامطة الباطنية الذين لا يؤمنون بمبدأ ولا معاد ولا رب خالق ولا رسول مبعوث جاء من عند الله تعالى

“Ibnu Sina, sebagaimana ia ceritakan tentang dirinya sendiri, ia berkata: Saya adalah seorang juru dakwah, seorang hakim, bagian dari sekte Qaramithah Bathiniyyah (salah satu sekte Syi’ah) yang tidak beriman terhadap penciptaan alam semesta, tidak beriman tentang adanya Rabb yang menciptakan alam semesta, tidak mengimani adanya Rasul yang diutus oleh Allah Ta’ala” (Ighatsatul Lahafan, 2/266).

Dan beberapa akidah menyimpang lainnya yang disebutkan para ulama. Jika kita perhatikan beberapa akidah menyimpang yang telah disebutkan di atas, membuat kita tidak heran jika para ulama menganggapnya keluar dari Islam. Nas’alullah as salamah wal ‘afiyah.

Ibnu Sina sebagai ilmuwan

Adapun status beliau sebagai seorang ilmuwan, kita terapkan perlakuan yang sama sebagaimana ilmuwan non-Muslim lainnya. Tidak mengapa mengambil ilmu duniawi yang bermanfaat dari beliau, selama hal itu tidak ada kaitannya dengan agama. Karena hukum asal muamalah duniawi itu mubah dan halal.

Para ulama menjelaskan, boleh bermuamalah dengan orang kafir, termasuk mengambil ilmu duniawi yang bermanfaat dari mereka. Selama tidak mempengaruhi agama kita dan tidak menimbulkan wala’ (loyalitas) kepada mereka. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pun bermuamalah duniawi dengan orang non Muslim. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ وَدِرْعُهُ مَرْهُوْنَةً عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ فِي ثَلاَثِيْنَ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ

“Rasulullah wafat dalam keadaan baju besi beliau masih tergadai pada seorang Yahudi karena beliau mengambil 30 sha’ gandum” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan mengatakan,

وفي الحديث جواز معاملة الكفار فيما لم يتحقق تحريم عين المتعامل فيه

“Hadits ini merupakan dalil bolehnya bermuamalah dengan orang kafir selama belum terbukti keharamannya” (Fathul Bari, 5/14).

Sebagian ulama menyatakan Ibnu Sina sudah bertaubat

Ada pendapat yang lemah, karena kebenarannya belum bisa dipastikan, bahwa Ibnu Sina telah bertaubat dari akidah yang menyimpang di akhir hayatnya. Tentu kita sangat berharap ini benar terjadi. Kita bergembira ketika mendengar seseorang itu di atas iman, dari pada mengetahui bahwa ia keluar dari keimanan.

Namun demikian pendapat ini banyak disebutkan oleh para ulama sebagai pendapat yang lemah. Dan yang terpenting kita tetap berlepas diri dan tetap mengingatkan umat dari akidahnya yang sangat melenceng dari akidah Islam. Ketika Ibnu Katsir menyebutkan tentang Ibnu Sina dan pendapat para ulama tentang beliau, Ibnu Katsir menukil satu pendapat:

ويقال: إنه تاب عند الموت, فالله سبحانه وتعالى أعلم

“Terdapat pendapat bahwa beliau bertaubat di akhir hayatnya, sungguh Allah Ta’ala yang lebih mengetahui” (Al-Bidayah Wan-Nihayah, 15/668).

Di sini Ibnu Katsir menggunakan lafadz “yuqaalu”, yang termasuk shighah tamridh. Yaitu lafadz yang mengisyaratkan kelemahan riwayat atau pendapat. Tentang taubatnya Ibnu Sina juga disebutkan oleh Ibnu Khallikan dalam Wafayat al A’yaan (2/160).

Namun keterangan ini bertentangan dengan keterangan banyak ulama besar yang juga pakar dalam bidang tarikh (sejarah), seperti Adz-Dzahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah dan lainnya. Selain itu, Ibnu Sina banyak memiliki penyimpangan fatal dalam masalah akidah, sebagaimana sudah disebutkan. Sedangkan keterangan yang menyebutkan Ibnu Sina telah bertaubat, tidak menyebutkan ia bertaubat dari penyimpangan yang mana. Ini semakin melemahkan pendapat tersebut. Wallahu a’lam.

Penggunaan Nama Ibnu Sina oleh Kaum Muslimin

Setelah kita ketahui sikap para ulama terhadap Ibnu Sina. Bahwa mereka menganggap Ibnu Sina keluar dari Islam. Maka tidak selayaknya kaum Muslimin memberi nama masjid, sarana dakwah, aset-aset dan syiar kaum Muslimin, dengan nama Ibnu Sina. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, beliau berkata,

” لا ينبغي للمسلمين أن يسموا محلاً بأسماء “ابن سينا

“Tidak selayaknya kaum muslimin menamakan tempat dengan nama Ibnu Sina” (Al-Fawaid Al-Jaliyyah, hal. 37).

Karena melakukan hal tersebut, berarti secara tidak langsung juga memuliakan orang kafir dan merekomendasikan akidah kufurnya. Serta tidak adanya bara’ah (sikap berlepas diri) terhadap akidah-akidah yang kufur dan menyimpang. Padahal Allah Ta’ala berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’” (QS. Al Mumtahanah: 4).

Terlebih, masih banyak nama-nama ilmuwan lainnya di bidang kedokteran seperti Abu Qasim Az-Zahrawi dan Ibnu An-Nafis. Wallahu a’lam.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Artikel Muslim.or.id

Dr Syamsuddin Arif: Tempatkan Ibnu Sina dengan Benar

Di mana kedudukan ilmu dan peran kita dibandingkan seorang Ibnu Sina terhadap umat Islam dan manusia keseluruhan?

Sejak beberapa tahun silam beredar kabar berantai melalui media sosial yang menyatakan bahwasanya Ibnu Sina merupakan penganut Syiah, dan kabar lainnya mendakwa Ibnu Sina telah keluar dari Islam karena menghalalkan khamr bagi dirinya.

Atas dasar dua tuduhan tadi, kabar berantai tersebut yang tidak dikenali penulisnya memberi arahan kepada umat Islam untuk menolak peran dan capaian keilmuan Ibnu Sina dalam sejarah Peradaban Islam.

Selain itu juga mendorong umat Islam untuk menanggalkan nama Ibnu Sina pada sekolah, rumah sakit, hingga masjid karena tidak mencerminkan Islam dan mewakili umat Islam.

Salah satu dari sekian banyak kabar berantai yang beredar terkesan lebih moderat dengan menyatakan pengakuannya terhadap capaian keilmuan Ibnu Sina, terutama di bidang kedokteran, sambil menolak capaiannya di bidang filsafat yang dinilai bertentangan dengan Islam.

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Dr. Syamsuddin Arif sebagai ahli filsafat Ibnu Sina yang telah diakui otoritasnya di dunia internasional, diluruskan kesalahpahaman maupun ketidaktahuan terhadap dua persoalan yang dinisbatkan kepada Ibnu Sina. Yakni tentang beraqidah Syiah Ismailiyah dan tentang peminum khamr.

Dalam Kuliah Sehari bertempat di Ruang Sidang 1, Masjid Kampus UGM Yogyakarta, Ahad (29/12/2019), dijelaskan, untuk mengetahui dengan tepat kedua persoalan tadi, maka harus diketahui sejarah hidup Ibnu Sina yang benar, yakni merujuk pada referensi yang otoritatif.

Dr Syamsuddin Arif pada kesempatan bertajuk “Ibn Sina: His Life, Thought, and Legacies” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara itu menjelaskan, referensi yang otoritatif untuk mengetahui sejarah kehidupan Ibnu Sina ialah autobiografi yang ditulis olehnya sendiri dan dikumpulkan oleh murid beliau bernama Al-Juzjani.

Naskah ini telah diperiksa, diberi komentar, dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh William E. Gohlman dengan judul The Life Ibn Sina: A Critical Edition and Annotated Translation yang menampilkan teks berbahasa Arab dan terjemahnya dalam Bahasa Inggris.

Melalui teks yang dirujuk oleh Dr. Syamsuddin Arif, diketahui ketidakbenaran dua tuduhan yang dialamatkan kepada Ibnu Sina. Pertama, dalam autobiografinya, Ibnu Sina menyatakan sebagai berikut:

“My father was one of those who responded to the propagandist of the Egyptians (Fathimiyah – penjelas dari Dr. Syams) and was reckoned among the Ismailiyya. From them, he, as well as my brother, heard the account of the soul and the intellect in the special manner in which they speak about it and know it. Sometimes they used to discuss this among themselves while I was listening to them and understanding what they were saying, but my soul would not accept it, and so they began appealing to me to do it (to accept the Ismaili doctrines)”.

Berdasarkan pengakuan Ibnu Sina dalam autobiografinya, Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan bahwa menyatakan Ibnu Sina sebagai penganut Ismailiyah hanya karena keluarganya menganut paham tersebut adalah penalaran yang salah. Contoh saja, belum tentu seorang anak yang dilahirkan di keluarga yang aktif dalam kepengurusan NU akan bergabung pula dalam NU, bahkan bisa jadi justru terlibat secara aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah. Kasus yang lain dapat dengan mudah ditemukan hingga titik ekstremnya, seperti seorang kawan saya yang tidak tergabung dalam afiliasi apapun padahal ayahnya seorang pengurus Muhammadiyah dan ibunya pengurus partai politik PKS.

Selain itu, menyatakan bahwa Ibnu Sina adalah penganut Ismailiyah tidak sesuai dengan pernyataan Ibnu Sina yang menolak ajakan untuk menganut paham Ismailiyah. Dalam kondisi seperti ini, pernyataan Ibnu Sina lebih kuat untuk dipegang dibandingkan penilaian yang dilandasi anggapan-anggapan atau pengandaian.

Kedua, tersebarnya kabar bahwasanya Ibnu Sina merupakan peminum khamr dapat dilacak asal usulnya dari teks berikut,

“…..or I became conscious of weakening, I would turn aside to drink a cup of wine, so that my strength would return to me”.

Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan, teks di atas merupakan terjemahan yang salah oleh Gohlman karena menerjemahkan ‘sharab’ dengan ‘wine’. Terjemahan yang keliru tersebut, menurut Dr. Syamsuddin bisa jadi dikarenakan latar belakang kehidupan Gohlman di negeri Barat yang lazim meminum wine untuk mengembalikan vitalitas tubuh yang lemah atau lesu.

Sementara itu istilah ‘sharab’, sebagaimana tertulis dalam autobiografi Ibnu Sina seharusnya diterjemahkan dengan minuman secara umum, yang bisa jadi jus atau minumen penyegar tubuh lainnya yang familiar digunakan oleh masyarakat pada ruang dan waktu kehidupan Ibnu Sina untuk menjaga ketahanan tubuh. Sehingga dakwaan bahwasanya Ibnu Sina gemar meminum khamr, bahkan menghalalkan khamr bagi dirinya, mendapatkan rujukannya pada terjemahan yang salah dari kalangan Orientalis, yang tidak sesuai dengan teks yang ditulis oleh Ibnu Sina. Dengan demikian, sudah jelas lebih kuat memegang teks yang berasal dari Ibnu Sina daripada terjemahan yang salah dari Gohlman.

Berangkat dari berbagai tuduhan tidak berdasar yang dialamatkan kepada Ibnu Sina karena tidak dapat diverifikasi kebenarannya, bahkan bertentangan dengan autobiografi yang ditulisnya sendiri, pada akhir perkuliahan, Dr. Syamsuddin Arif menegaskan bahwa kita sebagai umat Islam harus mampu menempatkan Ibnu Sina dengan benar. Ibnu Sina bukanlah Nabi dan Rasul, ia adalah manusia sebagaimana diri kita, hanya saja Ibnu Sina diberi Allah kelebihan ilmu dibandingkan kita.

Oleh karena itu, Ibnu Sina bukanlah pribadi yang maksum, dan sudah pasti memiliki kesalahan-kesalahan, termasuk dalam aspek pemikirannya. Sehingga untuk membandingkan Ibnu Sina bukanlah dengan sosok Nabi dan Rasul yang maksum, tetapi dengan diri kita sendiri. Singkatnya di mana kedudukan ilmu dan peran kita dibandingkan seorang Ibnu Sina terhadap umat Islam dan manusia keseluruhan?* (Andika Saputra)

HIDAYATULLAH

Belajar dari Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Dunia

Tak diragukan lagi, riwayat hidup terbaik yang mungkin akan terus dibaca dan diperbincangkan banyak orang adalah riwayat tokoh-tokoh besar dan para ilmuwan, salah satunya Ibnu Sina (908-1037), as-Syaikh ar-Rais. Banyak orang mungkin belum mengetahui guncangan-guncangan ringan dan sentakan kecil dalam kehidupan sehari-hari Ibnu Sina, yang boleh jadi juga menimpa setiap orang, terutama orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual, kebersahajaan, dan kesabaran yang tinggi.

Ibnu Sina (Avicenna), dokter filsuf muslim yang dikenal dengan sebutan as-syaikh ar-rais (syekh tertinggi). Setelah melewati masa kecil yang luar biasa, Ibnu Sina belajar pada sejumlah ilmuwan besar dan mempelajari berbagai disiplin ilmu.

Singkat cerita, sejak berumur 10 tahun Ibnu Sina telah hafal Al-Quran dan menguasai dasar agama, tata bahasa arab (nahwu-sharaf), manthig (logika), dan bayan (ilmu tentang gaya bahasa). Ibnu Sina juga seorang matematikawan, ia ahli dalam hitung-hitungan, hansadah, dan aljabar. Ilmu manthig, filsafat, hikmah pun tuntas dipelajari dalam hitungan hari. Dikarenakan sudah tidak ada guru lagi yang bisa mengajarinya, maka Ibnu Sina memutuskan untuk mempelajari ilmu kedokteran dan membaca buku-buku tentang dunia kedokteran secara otodidak. Ia terus membaca dan membaca. Hal inilah yang harusnya bisa kita tiru. Ketika semua orang telah terlelap, Ibnu Sina masih terjaga. Ia masih menaruh lampu minyak di sampingnya, lampu cahaya redupnya bisa menerangi lembar-lembar buku yamg sedang ia baca. Berkat kepandaian dan kebersahajaannya, ia menjadi dokter bagi kaum miskin. Tangannya bagai obat yang menyembuhkan berbagai penyakit.

Sejak kanak-kanak, Ibnu Sina bergaul dengan kalangan ulama dan ilmuwan. Ia menghabiskan banyak waktu untuk menggeluti berbagai bidang keilmuan dan menulis buku. Inilah yang kemudian membuat orang-orang di lingkaran kekuasaan terus berupaya menyingkirkan Ibnu Sina, karena merasa dengki melihat kemampuan dan kharisma pemikir hebat itu. Namun dalam kekalutan dan ketidaknyamanan itulah Ibnu Sina dapat melahirkan magnum opus Al-Qanun fi at-Thibb dan as-Syifa’ yang telah menggemparkan khazanah keilmuan-khususnya kedokteran-diseluruh belahan dunia.

Dalam buku maha karyanya, as-Syifa’, buku yang menitikberatkan pengkajian pada filsafat. As-syifa’ terdiri dari 18 jilid dan merupakan salah satu karya terpenting Ibnu Sina. Dalam buku ini, ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga; metafisika, fisika, dan matematika. Sedangkan dalam bukunya Al-Qanun, Ibnu Sina membagi dalam beberapa risalah. Risalah pertama terkait dengan definisi ilmu kedokteran dan penjelasan terperinci tentang organ tubuh manusia. Risalah kedua menjelaskan jenis-jenis obat dan beberapa hal yang dihasilkan dari obat-obatan. Dalam bukunya Ibnu Sina mencatat ada 785 jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan sebagai obat. Risalah ketiga berisi tentang penjelasan penyakit yang diderita oleh penduduk lokal Khawarizm, sebab-sebabnya, tanda-tandanya, dan cara pengobatannya. Risalah keempat membahas semua jenis penyakit yang dikenal hingga kini. Risalah kelima juga terkait dengan obat-obatan dan peracikannya.

Ibnu Sina hidup pada masa pergolakan politik yang panjang, situasi yang kemudian berakibat kurang baik bagi peribadinya. Permainan politik ibarat buah paling pahit yang pernah diciptakan Allah. Sejarah telah menzaliminya. Namun, setelah itu, sunatullah menunjukan kenyataan yang berbeda. Ibnu Sina dimuliakan dengan kematiannya.

Dari kisah hidup Ibnu Sina tersebut, ada dua hal menarik yang bisa diambil hikmah yaitu pentingnya membaca dan menulis. Pertama, membaca membukakan cakrawala pemikiran kita sehingga membentuk pola pikir  yang kritis. Membaca menjadikan manusia berintelektual tinggi. Kedua menulis, bisa kita lihat sekarang, karya Ibnu Sina sampai sekarang masih menjadi rujukan dalam dunia kedokteran. Meskipun sudah wafat, beliau masih bisa memberikan manfaat bagi banyak orang. Jadi begitu banyak pahala yang bisa kita dapatkan melalui goresan pena yang ditorehkan, tak terkecuali ketika kita sudah berada di alam kubur sekalipun.

 

Bersama Dakwah

Di Usia 10 Tahun, Ibnu Sina Sudah Hafal Alquran

— Ibnu Sina atau Avicenna memiliki nama lengkap Abu Ali al Huseyn bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina. Ilmuwan berdarah Persia ini menulis karya ilmiah pertamanya di usia 21 tahun. Al-Majmu demikian judul karya ilmiah tersebut, yang mengulas beragam ilmu pengetahuan. 

Ibnu Sina lahir pada 980 M atau 370 H di Afsyanah, sebuah kota kecil di dekat Bukhara, Uzbekistan. Sepanjang hidupnya, Muslim jenius ini telah menghasilkan 450 karya ilmiah. Namun dari jumlah itu, hanya sekitar 240 karya yang tersisa.

Sebanyak 150 karya mengupas tentang filsafat, 40 kitab tentang kedokteran, dan karya-karya lainnya memuat beragam ilmu pengetahuan mulai dari filsafat, astronomi, kimia, geografi, matematika, geologi, psikologi, teologi, logika, fisika, hingga seni puisi.

Salah seorang temannya, Abu Ubaid al-Jurjani pernah bercerita, Ibnu Sina memiliki karakter yang cukup unik. Salah satunya, ia suka mengagumi diri sendiri. Dan faktanya, Ibnu Sina memang dikagumi banyak orang karena kejeniusannya. 

Tak hanya menguasai beragam ilmu pengetahuan, Ibnu Sina juga memiliki perhatian besar kepada ilmu keagamaan. Hal inilah yang mendorongnya untuk menghafal Alquran. Beberapa sumber menyebut, Ibnu Sina telah hafal Alquran pada usia 10 tahun. 

Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina juga dikenal sebagai sosok yang mandiri dalam pemikiran. Ayahnya yang berasal dari Balkh Khorasan adalah seorang pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniyah. 

Sejak kecil, Ibnu Sina memperlihatkan kepandaian yang luar biasa. Ilmu kedokteran dipelajarinya saat berusia 16 tahun. Tak hanya mempelajari teori kedokteran, dia juga merawat orang sakit berdasarkan pengetahuannya sendiri. 

Berkat melayani orang sakit, Ibnu Sina pun menemukan metode-metode baru dalam perawatan. Dia menjadi seorang dokter sejak usia 17 tahun. Dia semakin terkenal sebagai dokter sejak berhasil menyembuhkan Raja Dinasti Samaniah, Nuh bin Mansur. 

Tak hanya Nuh bin Mansur, ia juga berhasil menyembuhkan sejumlah penguasa lain, di antaranya Ratu Sayyidah dan Sultan Majdud dari Rayy, Syamsu Dawla dari Hamadan, dan Alaud Dawla dari Isfahan. 

Ibnu Sina baru berusia 22 tahun ketika sang ayah wafat. Sepeninggal ayahnya, dia kemudian berkelana untuk menyebarkan ilmu pengetahuan. Kota pertama yang ia tuju adalah Jurjan.

Di salah satu kota kecil di Timur Tengah ini ia bertemu dengan seorang sastrawan dan ulama besar Abu Raihan al-Biruni yang kemudian menjadi gurunya. Setelah itu, dia berkeliling ke sejumlah kota di Iran seperti Rayy dan Hamadan.

Dari 450 karyanya, yang paling dikenal adalah As-Syifa dan Al-Qanun fi At-Tibb (The Canon of Medicine). Buku yang ditulis pada 1025 itu menjadi acuan dan referensi para dokter selama berabad-abad.

Karya-karya Ibnu Sina pernah disatukan dalam satu buku besar berjudul Essai de Bibliographie Avicenna yang disusun oleh Pater Dominican di Kairo. 

Kiprah gemilang Ibnu Sina di jagat ilmu pengetahuan berakhir ketika ia wafat pada Juni 1037 di Hamadan, Iran.

sumber: Republika Online

Sejak Kecil, Ibnu Sina Belajar Menghafal Alquran

Dunia Islam memanggilnya dengan nama Ibnu Sina. Namun di kalangan orang-orang Barat, ia dikenal dengan panggilan Avicenna. Ia merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter pada abad ke-10. Selain itu, Ia juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dan sebagian besar karyanya adalah tentang filsafat dan pengobatan.

Bagi banyak orang, Ibnu Sina adalah ‘Bapak Pengobatan Modern’. Selain itu, masih banyak lagi sebutan lainnya yang ditujukan padanya, terutama berkaitan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib atau The Canon of Medicine yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H/ 980 M di Afsyanah, sebuah kota kecil di wilayah Uzbekistan saat ini. Ayahnya yang berasal dari Balkh Khorasan adalah seorang pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniah (204-395 H/819-1005 M).

Sejak kecil, Ibnu Sina sudah menunjukkan kepandaian yang luar biasa. Di usia 5 tahun, ia telah belajar menghafal Alquran. Selain menghafal Alquran, ia juga belajar mengenai ilmu-ilmu agama. Ilmu kedokteran baru ia pelajari pada usia 16 tahun. Tidak hanya belajar mengenai teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit dan melalui perhitungannya sendiri, ia juga menemukan metode-metode baru dari perawatan.

Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah. Banyak tabib dan ahli yang hidup pada masa itu tidak berhasil menyembuhkan penyakit sang raja sebelumnya.

Sebagai penghargaan, sang raja meminta Ibnu Sina menetap di istana, paling tidak untuk sementara selama sang raja dalam proses penyembuhan. Tapi Ibnu Sina menolaknya dengan halus, sebagai gantinya ia hanya meminta izin untuk mengunjungi sebuah perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Siapa sangka, dari sanalah ilmunya yang luas makin bertambah.

 

sumber: republika Online

Risalah Ibnu Sina

Ibnu Sina menulis tentang pengobatan patah tulang dalam dua risalah yang termuat dalam buku keempatal-Qanun. Risalah pertama berjudul, patah tulang secara keseluruhan dan yang kedua bertajuk patah tulang pada setiap bagian tulang secara terpisah.

Menurut Abdul Nasser Kaadan PhD, seorang dokter spesialis bedah tulang kelahiran Suriah, pada risalah pertama, Ibnu Sina mengupas penyebab patah tulang, jenis-jenisnya, bentuk-bentuk patah tulang, metode perawatan, dan komplikasi.

Patah atau fracture adalah hilangnya sambungan pada tulang, begitu Ibnu Sina mendefinisikan patah tulang dalam al-Qanun fi-l-Tibb.

Dalam risalah pertamanya, sang dokter legendaris itu kemudian menetapkan jenis-jenis patah tulang, seperti patah melintang, memanjang, atau campuran keduanya.

Menurut Ibnu Sina, gejala atau tanda-tanda patah biasanya berupa rasa sakit, bengkak, dan kelainan bentuk otot. Apabila tubuh mengalami tanda-tanda itu, Ibnu Sina menganjurkan agar segera dilakukan diagnosis.

Selain itu, Ibnu Sina juga memaparkan pengobatan patah tulang pada anak-anak lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Ibnu Sina juga sudah mampu menetapkan waktu penyembuhan beragam jenis patah tulang.

 

sumber: Republika Online

Ibnu Sina dan Pengobatan Tulang

Ibnu Sina sungguh luar biasa. Dokter Muslim legendaris sepanjang zaman itu terbukti menguasai berbagai macam pengobatan.

Berbagai jenis pengobatan telah ditulisnya dalam 43 kitab kedokteran, salah satunya yang paling monumental adalah Qanun fi-l-Tibb atau Canon of Medicine.

Pada abad ke-10 M dokter kelahiran Asfana, sebuah wilayah dekat Bukhara, Turkistan, itu juga telah menguasai pengobatan tulang patah.

Keahlian sang dokter dalam mengobati patah tulang diungkapkan Abdul Nasser Kaadan PhD, seorang dokter spesialis bedah tulang kelahiran Suriah dalam tulisannya bertajuk Bone Fractures in Ibn Sinas Medicine.

Penjelasan Ibnu Sina tentang pengobatan tulang patah hampir sama dengan buku-buku kedokteran modern, papar Kaadan yang juga seorang sejarawan kedokteran. Menurut Kaadan, Ibnu Sinamembahas pengobatan tulang secara runut.

Dia mengawali penjelasannya tentang patah tulang secara umum.Galen dari dunia Islam, begitu Ibnu Sina kerap dijuluki, membahaspengobatan patah tulang secara detail. Mulai dari penyebab, jenis-jenisnya, bentuk-bentuk patah tulang, metode perawatan, dan komplikasi.

Ibnu Sina telah menjelaskan beragam jenis patah tulang yang terjadi di setiap tulang, papar Kaadan yang tulisannya dimuat dimuslimheritage.com.

 

 

sumber: Republika Online

Ibnu Sina Jadi Dokter di Usia 17 Tahun

Ibnu Sina atau Avicenna memiliki nama lengkap Abu Ali al Huseyn bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina. Ilmuwan berdarah Persia ini menulis karya ilmiah pertamanya di usia 21 tahun. Al-Majmu demikian judul karya ilmiah tersebut, yang mengulas beragam ilmu pengetahuan.

Sejak kecil, Ibnu Sina memperlihatkan kepandaian yang luar biasa. Ilmu kedokteran dipelajarinya saat berusia 16 tahun. Tak hanya mempelajari teori kedokteran, dia juga merawat orang sakit berdasarkan pengetahuannya sendiri.

Berkat melayani orang sakit, Ibnu Sina pun menemukan metode-metode baru dalam perawatan. Dia menjadi seorang dokter sejak usia 17 tahun. Dia semakin terkenal sebagai dokter sejak berhasil menyembuhkan Raja Dinasti Samaniah, Nuh bin Mansur.

Tak hanya Nuh bin Mansur, ia juga berhasil menyembuhkan sejumlah penguasa lain, di antaranya Ratu Sayyidah dan Sultan Majdud dari Rayy, Syamsu Dawla dari Hamadan, dan Alaud Dawla dari Isfahan.

Ibnu Sina baru berusia 22 tahun ketika sang ayah wafat. Sepeninggal ayahnya, dia kemudian berkelana untuk menyebarkan ilmu pengetahuan. Kota pertama yang ia tuju adalah Jurjan.

Di salah satu kota kecil di Timur Tengah ini ia bertemu dengan seorang sastrawan dan ulama besar Abu Raihan al-Biruni yang kemudian menjadi gurunya. Setelah itu, dia berkeliling ke sejumlah kota di Iran seperti Rayy dan Hamadan.

Dari 450 karyanya, yang paling dikenal adalah As-Syifa dan Al-Qanun fi At-Tibb (The Canon of Medicine). Buku yang ditulis pada 1025 itu menjadi acuan dan referensi para dokter selama berabad-abad.

Karya-karya Ibnu Sina pernah disatukan dalam satu buku besar berjudul Essai de Bibliographie Avicenna yang disusun oleh Pater Dominican di Kairo. Kiprah gemilang Ibnu Sina di jagat ilmu pengetahuan berakhir ketika ia wafat pada Juni 1037 di Hamadan, Iran.

 

Sumber: Republika ONline

Ibnu Sina Hafal Alquran di Usia 10 Tahun

Ibnu Sina atau Avicenna memiliki nama lengkap Abu Ali al Huseyn bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina. Ilmuwan berdarah Persia ini menulis karya ilmiah pertamanya di usia 21 tahun. Al-Majmu demikian judul karya ilmiah tersebut, yang mengulas beragam ilmu pengetahuan.

Ibnu Sina lahir pada 980 M atau 370 H di Afsyanah, sebuah kota kecil di dekat Bukhara, Uzbekistan. Sepanjang hidupnya, Muslim jenius ini telah menghasilkan 450 karya ilmiah. Namun dari jumlah itu, hanya sekitar 240 karya yang tersisa.

Sebanyak 150 karya mengupas tentang filsafat, 40 kitab tentang kedokteran, dan karya-karya lainnya memuat beragam ilmu pengetahuan mulai dari filsafat, astronomi, kimia, geografi, matematika, geologi, psikologi, teologi, logika, fisika, hingga seni puisi.

Salah seorang temannya, Abu Ubaid al-Jurjani pernah bercerita, Ibnu Sina memiliki karakter yang cukup unik. Salah satunya, ia suka mengagumi diri sendiri. Dan faktanya, Ibnu Sina memang dikagumi banyak orang karena kejeniusannya.

Tak hanya menguasai beragam ilmu pengetahuan, Ibnu Sina juga memiliki perhatian besar kepada ilmu keagamaan. Hal inilah yang mendorongnya untuk menghafal Alquran. Beberapa sumber menyebut, Ibnu Sina telah hafal Alquran pada usia 10 tahun.

Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina juga dikenal sebagai sosok yang mandiri dalam pemikiran. Ayahnya yang berasal dari Balkh Khorasan adalah seorang pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniyah.

 

sumber: Republika Online

Pengobatan Ala Rasulullah (2-habis)

Terkait bumbu makanan, Rasulullah menyunahkan menyediakan garam mentah pendamping makanan. Karena, garam yang dicampurkan dalam makanan yang dimasak kandungan yodiumnya akan hilang.

Ustaz Tengku menjelaskan bahwa Rasulullah pun melarang umat untuk menahan buang air kecil karena dapat menganggu kinerja ginjal. Untuk itu, aturan terminal buang air kecil sebenarnya telah dibuat.

“Saat kita berwudhu, biasanya kita akan masuk ke kamar mandi. Waktu-waktu berwudhu merupakan waktu yang telah diatur sebagai terminal buang air kecil,” ujarnya.

Selain itu, ada pengobatan yang disunahkan saat telah terkena penyakit. Berbekam merupakan teknik pengobatan dengan menyedot darah beku untuk melancarkan aliran darah.

Teknik bekam ini sebenarnya telah ada sejak zaman Nabi Ayub. Dahulu pengobatan dengan menyedot darah beku, yakni dengan sengatan lebah dan hisapan lintah.

Satu pengobatan yang kurang populer dan menurut Rasulullah umatnya tidak menggunakan, yaitu meletakkan sejenak besi panas pada telapak kaki yang disebut kai. “Besi panas ini yang disentuhkan pada kaki, dua hingga tiga detik akan terasa dikejutkan untuk memperlancar aliran darah,” katanya.

Pada zaman Rasul juga mengenal rukyah, pengobatan Nabi dengan cara membaca al-Fatihah di depan air dan disiramkan kepada orang yang sakit. Rukyah ini juga dapat dilakukan dengan membaca al-Fatihah serta mencampur tanah dan air liur dan dioleskan pada bagian yang sakit.

Pengobatan modern
Ustaz Tengku Zulkarnaen mengatakan bahwa pengobatan modern boleh digunakan dan tidak masalah. Rasulullah pun tidak menolak cara-cara modern.

Pengobatan modern diperbolehkan asalkan jelas garis halal dan haramnya. Seperti Rasul yang ditawari pengobatan dengan memakan hati kodok, tetapi menolaknya karena memakan kodok merupakan hal yang haram.

Begitu juga dengan pengobatan insulin untuk penyakit diabetes. Insulin diperbolehkan asalkan bersumber dari insulin sapi, bukan insulin dari hewan yang haram seperti babi.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin mengatakan, teknologi kedokteran semakin berkembang. Namun, sejauh ini teknologi kodekteran modern masih dalam koridor Islam sesuai Alquran dan sunah Nabi.

“Pada dasarnya pengobatan tersebut telah ada sejak zaman Nabi Muhammad, tetapi tidak persis sama karena terus berkembang selama tidak membuat orang menjadi syirik atau murtad maka pengobatan diperbolehkan,” ujarnya. Menurut Zaenal, bahan pengobatan yang digunakan pun tidak boleh melanggar ketentuan syariat Islam.

Teknologi kedokteran modern pun awalnya ditemukan oleh tokoh Islam, Ibnu Sina. Ia adalah tokoh kedokteran Muslim yang terkenal mengembangkan kedokteran modern.

Zaenal mengaku dalam kedokteran modern, sebuah pengobatan yang berbeda, misalkan pengobatan tradisional perlu diteliti bahan, alat, tujuan, dan dampak pengobatan tersebut secara ilmiah.

Seperti bekam, perlu diteliti sterilnya bahan, tujuan, dan alasan penggunaan pengobatan tersebut, kemudian disesuaikan dengan ilmu kedokteran modern. Karena, kedokteran modern bersumber dari standar pendidikan, baik kompetensi dokter maupun alat dan obat yang digunakan.

Sejak zaman Ibnu Sina, telah ada pendidikan untuk mencapai kompetensi seorang dokter meskipun belum semodern saat ini. Sehingga, Ibnu Sina pun secara tegas menolak adanya dokter-dokter palsu. “Ia membentuk Dewan Kedokteran untuk menertibkan dokter-dokter palsu,” kata Zaenal.

Ibnu Sina juga tidak menerima seseorang yang mengaku dapat menyembuhkan sebagai dokter, tetapi tidak memiliki dasar pengetahuan dan teknik kedokteran.

 

 

 

Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti