Masalah-Masalah Fikih yang Berkaitan Erat dengan Akidah Ahlus-Sunnah

Pendahuluan

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berfirman di dalam al-Qur’an,

وَتَمَّت كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدقًا وَعَدلًا

“Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (yakni, al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.” [Surat al-An’am: 115]

Kalimat yang benar adalah hal-hal yang wajib untuk kita imani dan yakini, seperti perkara i’tiqadat, dan kalimat yang adil adalah hal-hal yang wajib untuk kita patuhi dan taati, seperti perkara ‘amaliyyat.

Apa yang disebutkan oleh syari’at berupa perkara i’tiqadat atau perkara akidah, seperti tentang Nama dan Sifat Allah, kehidupan akhirat dan alam kubur, kejadian dan peristiwa yang terjadi di masa lalu ataupun di masa mendatang, maka semua ini adalah perkara yang benar dan haq sehingga wajib untuk kita imani dan yakini.  Sedangkan apa yang ditetapkan oleh syari’at berupa perkara ‘amaliyyat atau perkara fikih, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan umrah, dan hukum-hukum jual-beli, maka semua ini mengandung perintah dan larangan Allah yang adil sehingga wajib untuk kita patuhi dan taati.

Sebagian besar dari perkara akidah adalah perkara yang terdapat ijma’ di dalamnya, sehingga tidak boleh bagi kita untuk menyelisihinya, walaupun terdapat sebagian kecil dari perkara akidah yang merupakan perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, seperti apakah mizan (timbangan) di akhirat kelak itu jumlahnya hanya ada satu atau jumlahnya satu untuk setiap orang atau untuk setiap amalan. Adapun sebagian besar dari perkara fikih adalah perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, walaupun terdapat sebagian kecil dari perkara fikih yang merupakan perkara ijma’, seperti tentang wajibnya shalat dan haramnya zina.

Tidak boleh bagi kita untuk memunculkan pendapat kedua dalam perkara-perkara yang telah terdapat ijma’ para ulama’ mujtahidin di dalamnya. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’ dalam masalah ini, maka dia telah keluar dari akidah ahlus-sunnah wal-jama’ah. Di antara masalah-masalah fikih yang berkaitan erat dengan akidah ahlus-sunnah, dan bahkan dijelaskan oleh para ulama’ untuk menjelaskan akidah ahlus-sunnah dalam kitab-kitab akidah mereka adalah sebagai berikut.

Masalah Pertama: Mengusap khuff

Jika seseorang mengambil wudhu’ lalu mengenakan khuff kemudian wudhu’nya tersebut batal karena hadats kecil, maka ketika berwudhu’ kembali dia tidak perlu untuk melepas khuffnya. Dia cukup untuk mengusap khuff, dengan tata cara dan ketentuan seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.

Dalil disyari’atkannya mengusap khuff adalah dari ayat Qur’an, hadits Nabi, dan bahkan ijma’. Dalil dari Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يـٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا إِذا قُمتُم إِلَى الصَّلوٰةِ فَاغسِلوا وُجوهَكُم وَأَيدِيَكُم إِلَى المَرافِقِ وَامسَحوا بِرُءوسِكُم وَأَرجُلَكُم إِلَى الكَعبَينِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [Surat al-Ma’idah: 6]

Dalam qira’ah lain, ayat ini dibaca “wa-arjulikum” yang tafsirnya adalah mengusap khuff.

Adapun dalil dari Sunnah misalnya adalah hadits dari al-Mughirah ibn Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,

كنت مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر، فأهويت لأنزع خفيه، فقال: دعهما، فإني أدخلتهما طاهرتين. فمسح عليهما.

“Aku bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebuah safar, maka aku menjulurkan tanganku untuk melepaskan kedua khuff beliau, tetapi beliau bersabda, ‘Biarkanlah keduanya, karena aku mengenakannya dalam keadaan suci.’ Maka beliau pun mengusap kedua khuff tersebut.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Bahkan hadits-hadits tentang mengusap khuff diriwayatkan oleh banyak sahabat, sehingga derajatnya mencapai derajat mutawatir. Dalam masalah ini juga terdapat ijma’, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul-Mundzir dan Ibnul-Mubarak rahimahumallah, sehingga tidak boleh bagi kita untuk mengingkari syari’at mengusap khuff ini. Akan tetapi, kaum syi’ah menolak dan mengingkari syari’at ini, padahal telah ada riwayat dari ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,

لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه، وقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح على ظاهر خفيه.

“Seandainya agama itu berdasarkan akal logika, maka bagian bawah khuff itu lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas dari kedua khuff beliau.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud]

Itu mengapa Imam ath-Thahawiy rahimahullah memasukkan permasalahan ini ke dalam kitab beliau tentang akidah ahlus-sunnah wal-jama’ah, untuk menjelaskan bahwa mengusap khuff adalah syi’ar akidah ahlus-sunnah yang membedakan dengan akidah kaum syi’ah. Beliau rahimahullah berkata,

ونرى المسح على الخفين في السفر والحضر كما جاء في الأثر.

“Kami meyakini (disyari’atkannya) mengusap khuff baik ketika safar ataupun tidak sebagaimana yang disebutkan dalam atsar.” [al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, karya Ahmad ibn Muhammad Abu Ja’far ath-Thahawiy]

Masalah Kedua: Qashar shalat saat safar

Ahlus-sunnah meyakini bahwa qashar shalat saat safar itu disyari’atkan, baik safarnya dalam kondisi aman ataupun takut terhadap serangan musuh. Akan tetapi, kaum khawarij meyakini bahwa qashar shalat itu hanya disyari’atkan ketika safarnya dalam kondisi takut. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَإِذا ضَرَبتُم فِى الأَرضِ فَلَيسَ عَلَيكُم جُناحٌ أَن تَقصُروا مِنَ الصَّلوٰةِ إِن خِفتُم أَن يَفتِنَكُمُ الَّذينَ كَفَروا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalatmu, jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.” [Surat an-Nisa’: 101]

Mereka berkata bahwa ada syarat “takut diserang oleh orang-orang kafir” pada ayat ini, sehingga qashar shalat hanya disyari’atkan jika safarnya dalam kondisi takut terhadap serangan orang-orang kafir. Adapun jika safarnya dalam kondisi aman, sebagaimana safar yang kita lakukan selama ini alhamdulillah, maka mereka berkata bahwa qashar shalat tidak disyari’atkan.

Padahal, tidak ada riwayat yang shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan bilangan raka’at shalat (yakni, tidak qashar) ketika beliau sedang safar. Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

خرجنا مع النبي صلى الله عليه وسلم من المدينة إلى مكة فكان يصلي ركعتين ركعتين حتى رجعنا إلى المدينة.

“Kami pergi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah menuju Makkah, maka beliau shalat dua raka’at dua raka’at sampai kami kembali ke Madinah.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

صحبت رسول الله صلى الله عليه وسلم فكان لا يزيد في السفر على ركعتين، وأبا بكر وعمر وعثمان كذلك، رضي الله عنهم.

“Aku membersamai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at ketika safar. Demikian pula Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Yang dimaksud tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at di sini adalah pada shalat yang jumlah raka’atnya adalah empat raka’at, yaitu shalat zhuhur, ashar, dan isya’. Adapun shalat maghrib, maka tetap dikerjakan sebanyak tiga raka’at.

Jadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melakukan qashar shalat walaupun safar beliau dalam kondisi aman, seperti safar yang terjadi setelah Fathu Makkah. Lalu, mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan syarat tambahan pada ayat di atas, yaitu syarat “jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir”?

Jawabannya adalah bahwa ini bukanlah syarat tambahan. Kalimat tersebut disebutkan dalam ayat karena itulah kondisi dominan yang terjadi pada saat ayat tersebut diturunkan. Sebagaimana kita ketahui, sebelum Fathu Makkah, maka safar yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah safar yang membahayakan, baik itu safar untuk hijrah ke Habasyah, safar untuk hijrah ke Madinah, safar untuk menuju Badar, dll. Oleh karena itu, kalimat di atas disebutkan dalam ayat bukan sebagai syarat, tetapi sebagai penegas saja. Dalam ilmu ushul fikih, hal ini dikenal dengan kaidah: “Tidak ada mafhum mukhalafah dalam kalimat atau frasa yang itu disebutkan karena terjadi secara dominan.”

Oleh karena itu, baik menggunakan dalil Qur’an ataupun Sunnah, kita simpulkan bahwa qashar shalat saat safar adalah hal yang disyari’atkan, walaupun safarnya dalam kondisi aman. Hal ini memberikan kita pelajaran bahwa tidak boleh bagi kita untuk langsung mengambil kesimpulan hukum dari sebuah dalil tanpa merujuk pada penjelasan para ulama’ tentang tafsiran dan pemahaman yang benar tentang dalil tersebut. Banyak pemahaman menyimpang yang muncul disebabkan oleh perbuatan seperti ini.

Masalah Ketiga: Bersiwak menggunakan siwak milik orang shalih

Hukum asal dari bersiwak adalah mandub atau sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السواك مطهرة للفم مرضاة للرب.

“Siwak itu membersihkan mulut dan membuat Allah ridha’.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’iy]

Akan tetapi, hukumnya bisa menjadi wajib jika mulut kita memiliki bau yang harus dihilangkan sebelum menghadiri shalat berjama’ah, atau ketika ada najis pada mulut kita yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara bersiwak, atau ketika kita bernadzar.

Bersiwak bisa menjadi haram jika kita menggunakan siwak milik orang lain tanpa izinnya dan tidak diketahui apakah dia ridha’ dengan hal tersebut. Adapun jika kita menggunakan tanpa izinnya tetapi diketahui bahwa dia ridha’ dengan hal tersebut, maka hukumnya menjadi makruh. Demikian pula, bersiwak bisa menjadi makruh jika kita melakukannya setelah waktu zawal sementara kita sedang berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك.

“Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di Sisi Allah daripada bau misik.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Adapun jika kita bersiwak menggunakan siwak milik orang lain setelah mendapatkan izin darinya, maka hukumnya adalah khilaful-aula. Akan tetapi, jika yang kita gunakan tersebut adalah siwak milik orang shalih dengan niat untuk tabarruk (mencari berkah), maka sebagian ulama’ berpendapat bahwa hukumnya menjadi sunnah.

Masalah yang terakhir ini berkaitan erat dengan hukum tabarruk dengan badan atau benda milik orang shalih. Sebagian ulama’ membolehkan hal ini dengan misalnya bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,

كان نبي الله صلى الله عليه وسلم يستاك فيعطيني السواك لأغسله فأبدأ به فأستاك ثم أغسله وأدفعه إليه.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian memberikan siwaknya kepadaku untuk aku cuci. Maka aku pun bersiwak dengan menggunakan siwak itu terlebih dahulu lalu aku cuci dan aku berikan kepada beliau.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud]

Muhammad Syamsul-Haqq al-’Azhim Abadiy rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits ini,

والحديث فيه ثبوت التبرك بآثار الصالحين والتلذذ بها، وفيه أن استعمال سواك الغير جائز، وفيه استحباب غسل السواك.

“Dalam hadits ini terdapat pelajaran bolehnya tabarruk dengan benda milik orang shalih, bolehnya menggunakan siwak milik orang lain, dan disunnahkannya mencuci siwak.” [Ghayatul-Maqshud fiy Halli Sunan Abi Dawud, karya Muhammad Syamsul-Haqq al-’Azhim Abadiy (1/213)]

Akan tetapi, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah tidak boleh bagi kita untuk tabarruk dengan menggunakan badan atau benda milik orang shalih, karena tidak ada dalilnya. Adapun hadits ‘Aisyah di atas, maka itu hanya khusus pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Jika tabarruk dengan menggunakan badan atau benda milik orang shalih selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu disyari’atkan, maka tentu para sahabat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah melakukan tabarruk kepada Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Aliy dan para sahabat yang paling utama lainnya, radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Jika hal tersebut baik, maka sudah tentu mereka lebih dulu melakukannya. Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata,

ولا يجوز أن يقاس أحد من الأمة على رسول الله صلى الله عليه وسلم، ومن ذاك الذي يبلغ شأوه؟ قد كان له صلى الله عليه وسلم في حال حياته خصائص كثيرة لا يصلح أن يشاركه فيها غيره.

“Tidak boleh diqiyaskan seorang pun di kalangan umat ini dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memangnya siapa yang bisa mencapai seperti derajat beliau? Sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidupnya memiliki banyak kekhususan yang tidak dimiliki pula oleh orang lain.” [ad-Din al-Khalish, karya Shiddiq Hasan Khan (2/250)]

Bahkan sebagian ulama’ telah menyebutkan adanya ijma’ tentang tidak bolehnya melakukan tabarruk dengan badan atau benda milik orang shalih selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara yang menyebutkan ijma’ ini adalah asy-Syathibiy dalam kitab beliau al-I’tisham dan Ibn Rajab dalam kitab beliau al-Hikam al-Jadirah bil-Idza’ahrahimahumallah.

Dari pemaparan di atas, kita simpulkan bahwa bersiwak dengan menggunakan siwak milik orang shalih dengan niat tabarruk adalah haram dilakukan dan merupakan amalan bid’ah karena tidak ada dalilnya dan tidak ada contohnya dari para generasi terdahulu. Demikian pula bentuk-bentuk lain dari tabarruk dengan badan atau benda milik orang shalih.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53837-masalah-masalah-fikih-yang-berkaitan-erat-dengan-akidah-ahlus-sunnah.html

Fikih Ketika Lupa

Pelajaran berikut penting sekali untuk yang suka lupa. Coba deh pelajari fikihnya.

Lupa secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat,

نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْۗ

Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.”(QS. At-Taubah: 67). Maksud nisyan dalam ayat ini adalah meninggalkan.

Secara istilah, Ibnu Nujaim mengatakan tentang nisyan adalah,

عَدَمُ تَذَكَّرُ الشَّيْءِ وَقْتَ حَاجَتِهِ إِلَيْهِ

“Tidak mengingat sesuatu pada waktu ia membutuhkannya.”

 

Pengaruh Lupa

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat shahih menurut mereka, orang yang lupa berarti telah bebas dari mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena mengerjakan suatu perintah harus dengan didasari ilmu.

Adapun pengaruh hukum terhadap yang lupa:

Pertama: Hukum ukhrawi

Sepakat para ulama bahwa orang yang lupa tidak dikenakan dosa sama sekali. Sebagaimana firman Allah,

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah Ta’ala,

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Lalu Allah menjawab, aku telah mengabulkannya.” (HR. Muslim, no. 125).

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini,

مَنْ فَعَلَ مَحْظُورًا مُخْطِئًا أَوْ نَاسِيًا لَمْ يُؤَاخِذْهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَحِينَئِذٍ يَكُونُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ لَمْ يَفْعَلْهُ فَلَا يَكُونُ عَلَيْهِ إثْمٌ وَمَنْ لَا إثْمَ عَلَيْهِ لَمْ يَكُنْ عَاصِيًا وَلَا مُرْتَكِبًا لِمَا نُهِيَ عَنْهُ وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ قَدْ فَعَلَ مَا أُمِرَ بِهِ وَلَمْ يَفْعَلْ مَا نُهِيَ عَنْهُ . وَمِثْلُ هَذَا لَا يُبْطِلُ عِبَادَتَهُ إنَّمَا يُبْطِلُ الْعِبَادَاتِ إذَا لَمْ يَفْعَلْ مَا أُمِرَ بِهِ أَوْ فَعَلَ مَا حُظِرَ عَلَيْهِ

“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak akan menyiksanya karena hal itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut sehingga ia tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka tidak disebut ahli maksiat dan tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah dan tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu batal jika tidak melakukan yang Allah perintahkan atau melakuakn yang dilarang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:226).

Kedua: Hukum duniawi

  • Jika itu berkaitan dengan meninggalkan perintah karena lupa, maka tidaklah gugur, bahkan harus dilakukan ketika ingat.
  • Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan pengrusakan, maka tidak dikenakan apa-apa.
  • Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan, maka tetap ada dhaman (ganti rugi).

 

Kaedah Membedakan Lupa dalam Perintah dan Larangan

Ibnul Qayyim rahimahullah  berkata, “Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.” (I’lam Al-Muwaqi’in, 2:51).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

مَنْ فَعَلَ مَحْظُورًا نَاسِيًا لَمْ يَكُنْ قَدْ فَعَلَ مَنْهِيًّا عَنْهُ

“Barangsiapa melakukan suatu yang terlarang karena lupa, maka ia tidak dikatakan melakukan suatu yang terlarang. ” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:573)

 

Beberapa Bentuk Lupa

Pertama: Lupa dengan meninggalkan perintah

1. Lupa membaca bismillah pada awal wudhu

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ

Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kalau dilihat dari hadits-hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat dikatakan bahwa haditsnya saling menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Nampak bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang membicarakan anjuran bismillah saat wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.” (Talkhish Al-Habir, 1:128).

Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat. Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena ada hadits-hadits yang membicarakan tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya. Sehingga penafian yang ada dimaknakan, tidak sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca bismillah di awal wudhu, namun tidak menunjukkan wajib.

Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca bismillah pada awal wudhu termasuk perkara sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh dibaca kapan pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika meninggalkan membaca bismillah karena lupa, maka sah wudhunya.

2. Lupa mengerjakan shalat wajib

Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang lupa shalat fardhu, wajib ia mengqadha’nya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684)

Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin,

وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا

فَإِنْ نَسِيَ أَوْ جَهِلَهُ أَوْ خَافَ فَوْتَ الصَّلاَةِ سَقَطَ التَّرْتِيْبُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الحَاضِرَةِ

 “Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.

Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah  (yang saat ini ada), maka gugurlah tartib (berurutan) antara shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang saat ini ada).”

3. Lupa salah satu bagian shalat

Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, ketentuan mengenai perkara yang tertinggal dalam shalat ada tiga yaitu: fardhu, sunnah ab’adh, dan sunnah hai’at.

  • Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak bisa digantikan dengan sujud sahwi. Akan tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu masih memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan perkara tersebut dan di akhir melakukan sujud sahwi.
  • Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal, shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, shalawat kepada keluar Nabi pada tasyahud awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam shalat, maka tidak perlu diulang apabila yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud sahwi.
  • Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu diulang setelah tertinggal dan seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.

Sebab melakukan sujud sahwi menurut ulama Syafi’iyah ada empat:

  1. Meninggalkan salah satu dari sunnah ab’adh seperti tasyahud awal.
  2. Ragu mengenai jumlah rakaat.
  3. Melakukan sesuatu yang terlarang dalam shalat karena lupa; jika dilakukan sengaja, akan membatalkan shalat seperti menambah rakaat jadi lima dalam shalat Zhuhur karena lupa.
  4. Memindahkan yang merupakan fi’il (perbuatan) shalat baik rukun shalat atau sunnah ab’adh atau memindahkan membaca surat bukan pada tempatnya seperti membaca Al-Fatihah ketika tasyahud, membaca surat pendek ketika I’tidal. (Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:173-174)

Cara melakukan sujud sahwi:

Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud seperti sujud saat shalat. Yang ingin melakukannya berniat untuk sujud sahwi. Sujud sahwi dilakukan di akhir shalat sebelum salam. Jika seseorang yang shalat mengucapkan salam sebelum sujud sahwi dengan sengaja atau lupa, dan jedanya sudah begitu lama, maka sujud sahwi jadi gugur. Jika jaraknya masih dekat, maka sujud sahwi tetap dilakukan dengan dua kali sujud dengan niatan sujud sahwi, lalu salam. Inilah penjelasan dalam madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 174.

Dalam Mughni Al-Muhtaj–salah satu kitab fiqih Syafi’iyah–disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah(bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”

4. Lupa membaca bismillah ketika makan

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: ‘BISMILLAAH AWWALAHU WA AAKHIROHU (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).’”(HR. Abu Daud, no. 3767 dan Tirmidzi, no. 1858. Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih).

Dalam lafazh lain disebutkan,

إِذَا أَكَلَ أَحَدكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّه ، فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّله فَلْيَقُلْ : بِسْمِ اللَّه فِي أَوَّله وَآخِره

Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika ia lupa untuk menyebutnya, hendaklah ia mengucapkan: BISMILLAAH FII AWWALIHI WA AAKHIRIHI (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).” (HR. Tirmidzi no. 1858, Abu Daud no. 3767 dan Ibnu Majah no. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini shahih).

 

Kedua: Lupa dengan melakukan larangan

1. Makan dan minun dalam keadaan lupa saat puasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ

Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.” (HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155).

2. Berbicara dalam shalat dalam keadaan lupa

Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku ketika itu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ada seseorang yang bersin dan ketika itu aku menjawab ‘yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu). Lantas orang-orang memalingkan pandangan kepadaku. Aku berkata ketika itu,

وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَىَّ

“Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memandangku seperti itu?” Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Lalu aku diam. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul, dan tidak memakiku. Beliau bersabda saat itu,

إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.’” (HR. Muslim, no. 537)

Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah bahwa siapa yang berbicara ketika shalat dalam keadaan lupa, shalatnya tidaklah batal asalkan kata-kata yang keluar sedikit dan nantinya ditutup kealpaan tersebut dengan sujud sahwi. Jika kata-kata yang keluar banyak, shalatnya batal.

3. Baru mengetahui adanya najis setelah shalat

Barangsiapa yang lupa membersihkan diri dari najis lalu ia shalat dalam keadaan lupa, maka shalatnya sah. Masalah najis berkaitan dengan larangan ketika shalat. Ketika dilakukan diterjang dalam keadaan lupa, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi. Hal ini menjadi pendapat Syafi’i yang qadim. Dalil dari hal ini adalah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas sandal saat shalat. Hadits lengkapnya sebagaimana berikut ini.

Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama shahabatnya, tiba-tiba dia melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika para shahabat melihatnya, mereka pun melepas sandalnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berkata, ‘Apa yang membuat kalian melepas sandal kalian?’ Mereka berkata, ‘Kami lihat engkau melepas sandalmu, maka kamipun melepas sandal kami.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwa pada kedua sandalku terdapat kotoran. Dan dia berkata, ‘Jika kalian mendatangi masjid, hendaknya memperhatikan, jika pada sandalnya terdapat najis atau kotoran hendaknya dia bersihkan, lalu shalat dengan memakai keduanya.” (HR. Abu Daud, no. 650. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

 

Referensi:

  1. Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin, Suyaikh Dr. Musthafa Al-Bugha, Syaikh ‘Ali Asy-Syabaji. Penerbit Darul Qalam.
  2. Al-Haram fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Qutb Ar Risuni, terbitan Dar Ibni Hazm.
  3. Al-Mawshu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
  4. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’.

Selesai disusun di Jogja, malam 4 Rabi’ul Akhir 1440 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/19136-fikih-ketika-lupa.html