Ghulûl, Dosa Besar

Agama Islam memerintahkan pemeluknya agar bersifat amanah dan menjauhi sifat khianat. Diantara bentuk khianat dalam masalah harta adalah ghulûl. Banyak nash yang melarangnya. Disebutkan dalam sebuah hadits:

عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ الْعِرْبَاضِ، عَنْ أَبِيهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ الْوَبَرَةَ مِنْ فَيْءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَيَقُولُ: مَا لِي مِنْ هَذَا إِلَّا مِثْلَ مَا لِأَحَدِكُمْ إِلَّا الْخُمُسَ، وَهُوَ مَرْدُودٌ فِيكُمْ، فَأَدُّوا الْخَيْطَ وَالْمَخِيطَ فَمَا فَوْقَهُمَا، وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُولَ، فَإِنَّهُ عَارٌ وَشَنَارٌ عَلَى صَاحِبِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Ummu Habîbah binti al-‘Irbâdh, dari bapaknya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil rambut dari fai pemberian Allâh (harta ghanîmah), lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya tidak memiliki hak dari harta (ghanimah) ini kecuali seperti hak salah seorang diantara kalian darinya (juga), kecuali yang seperlima. Itupun dikembalikan kepada kamu. Maka serahkanlah (ghanimah/harta rampasan, baik berupa) benang, jarum dan semua barang lainnya yang lebih besar dari keduanya. Janganlah kamu melakukan ghulûl, karena itu merupakan celaan dan aib bagi pelakunya pada hari kiamat”.  [Hadits hasan lighairihi. HR. Ahmad, no. 17154; Al-Bazzar, no. 1734; Ath-Thabrani dalam al-Ausath, no. 2443]

MAKNA GHULUL
Diantara makna ghulûl adalah khianat, adapun secara istilah, ghulûl adalah mengambil sesuatu dari ghanîmah (harta rampasan perang) sebelum pembagian. [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 31/272]

Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Orang yang melakukan ghulûl adalah orang yang menyembunyikan ghanîmah yang berhasil dia dapatkan, sehingga imam (pemimpin) tidak mengetahuinya, dan dia tidak mengumpulkannya bersama ghanîmah”. [al-Mughni, 8/470]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Asal arti ghulûl adalah khianat secara mutlak, kemudian istilah ghulûl khusus digunakan dengan arti khianat dalam urusan ghanîmah”. [Syarh Muslim, 4/216]

Termasuk ghulûl adalah seseorang mengambil sesuatu dari baitul mal kaum Muslimin, atau harta zakat dengan tanpa hak. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Dosa besar yang ke-22 adalah ghulûl dari ghanîmah, yaitu dari baitul mal kaum muslimin, atau harta zakat”. [al-Kabâ‘ir, hlm. 94, karya adz-Dzahabi]

Demikian juga hadiah-hadiah yang diberikan kepada pegawai termasuk ghulûl. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:

Kami pegawai negeri, pada bulan Ramadhân, kami diberi hadiah dan zakat dari sebagian pengusaha. Kami tidak bisa membedakan antara zakat dengan hadiah, karena kami tidak mengetahuinya. Pertanyaannya: Jika kami menerima harta tersebut, padahal kami tidak membutuhkan, lalu kami infakkan kepada para janda, anak yatim, orang miskin, apa hukumnya? Dan jika kami menggunakan sebagiannya untuk kami dan keluarga kami, apa hukumnya?

Syaikh menjawab:
Hadiah untuk pegawai itu termasuk ghulûl. Maksudnya, jika seseorang sebagai pejabat pemerintah, kemudian orang yang memiliki hubungan dengan tugas (pejabat itu) memberikan hadiah, maka itu termasuk ghulûl. Pejabat itu tidak boleh (tidak halal) mengambil hadiah itu sedikitpun, walaupun itu diberikan dengan senang hati. Misalnya: anda berdinas pada satu instansi, kemudian kepala bagian atau para pegawainya diberi hadiah, maka haram bagi mereka mengambilnya.

Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Abdullah bin al-Lutbiyyah Radhiyallahu anhu mengurusi zakat. Ketika dia kembali, dia berkata, “Ini dihadiahkan kepadaku, sedangkan yang ini untuk kamu”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berbicara kepada para sahabat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa ada orang diantara kamu yang kami serahi tugas, lalu dia datang dan berkata, ‘Ini untuk kamu, sedangkan yang ini dihadiahkan kepadaku.’ Tidakkah dia duduk di rumah kedua ibu bapaknya, lalu dia perhatikan, apakah dia akan diberi hadiah atau tidak”.

Maka tidak halal bagi seorang pegawai pada sebuah instansi pemerintahan untuk menerima hadiah terkait dengan tugas mereka pada instansi tersebut. Karena kalau kita membuka pintu ini dengan mengatakan, “Pegawai boleh menerima hadiah”, berarti kita telah membuka (melegalkan) pintu suap. [Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil al-‘Utsaimin, 18/359]

BAHAYA GHULUL
Ghulûl merupakan perbuatan khianat dan Allâh Azza wa Jalla pengkhianat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ

Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. [Al-Anfâl/8: 58]

Dan barangsiapa mengambil barang secara ghulûl, maka dia akan dihinakan pada hari kiamat dengan membawa barang tersebut dan dipersaksiakan oleh makhluk yang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Tidak mungkin seorang nabi berbuat ghulûl (berkhianat dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap jiwa akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. [Ali Imrân/3: 161]

Juga dijelaskan dalam hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

قَامَ فِينَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ الغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ، قَالَ: لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ، عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا، قَدْ أَبْلَغْتُكَ، وَعَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ، وَعَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ، أَوْ عَلَى رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا، قَدْ أَبْلَغْتُكَ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan kami, lalu menyebutkan ghulûl dan menyatakan besarnya urusan ghulûl. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai pada hari kiamat aku bertemu seseorang dari kaalian yang memikul kambing yang mengembik di lehernya, memikul kuda yang meringkik di lehernya, lalu dia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Tolonglah aku!”, lalu aku akan menjawab, “Aku tidak mampu menolongmu. Dahulu aku sudah menyampaikan kepadamu”.

Memikul harta (emas; perak; dll) di lehernya, lalu dia berkata. Wahai Rasûlullâh! Tolonglah aku!”, lalu aku akan menjawab, “Aku tidak mampu menolongmu. Dahulu aku sudah menyampaikan kepadamu”.

Memikul kain di lehernya yang bergoyang-goyang, lalu dia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Tolonglah aku!”, lalu aku akan menjawab, “Aku tidak mampu menolongmu. Dahulu aku sudah menyampaikan kepadamu”. [HR. Al-Bukhâri, no. 3073; Muslim, no. 1831]

Bahkan ghulûl termasuk penyebab masuk neraka, walaupun pelakunya seakan seorang shalih. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

افْتَتَحْنَا خَيْبَرَ، وَلَمْ نَغْنَمْ ذَهَبًا وَلاَ فِضَّةً، إِنَّمَا غَنِمْنَا البَقَرَ وَالإِبِلَ وَالمَتَاعَ وَالحَوَائِطَ، ثُمَّ انْصَرَفْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى وَادِي القُرَى، وَمَعَهُ عَبْدٌ لَهُ يُقَالُ لَهُ مِدْعَمٌ، أَهْدَاهُ لَهُ أَحَدُ بَنِي الضِّبَابِ، فَبَيْنَمَا هُوَ يَحُطُّ رَحْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ سَهْمٌ عَائِرٌ، حَتَّى أَصَابَ ذَلِكَ العَبْدَ، فَقَالَ النَّاسُ: هَنِيئًا لَهُ الشَّهَادَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ الشَّمْلَةَ الَّتِي أَصَابَهَا يَوْمَ خَيْبَرَ مِنَ المَغَانِمِ، لَمْ تُصِبْهَا المَقَاسِمُ، لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا  فَجَاءَ رَجُلٌ حِينَ سَمِعَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِرَاكٍ أَوْ بِشِرَاكَيْنِ، فَقَالَ: هَذَا شَيْءٌ كُنْتُ أَصَبْتُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: شِرَاكٌ – أَوْ شِرَاكَانِ – مِنْ نَارٍ

Kami menaklukkan Khaibar, kami tidak mendapatkan ghanimah berupa emas dan perak, tetapi kami mendapatkan ghanimah berupa sapi, onta, barang-barang dan kebun-kebun. Kemudian kami pergi bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Wadil Qura, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diikuti budaknya yang bernama Mid’am yang dihadiahkan oleh seseorang dari Bani adh-Dhibab. Ketika budak itu sedang menurunkan pelana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiba-tiba sebuah anak panah nyasar datang dan mengenainya. Orang-orangpun berkata, “Selamat! Dia meraih syahid”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak! Demi Allâh yang jiwaku di tanganNya! Sesungguhnya selimut yang dia ambil dari ghanimah Khaibar, yang belum dibagi, akan menyalakan api padanya.”

Ketika mendengar hal itu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seorang laki-laki datang membawa satu tali atau dua tali sandal, lalu berkata, “Ini barang yang aku ambil”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu tali sandal atau dua tali sandal dari neraka”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4234; Muslim, no. 115]

Seandainya seseorang bersedekah dengan barang hasil ghulûl, maka sedekah itu tertolak, karena barang ghulûl bukan barang yang baik.

Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma menyatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Shalat tanpa bersuci tidak akan diterima, demikian juga sedekah dari ghulûl (tidak akan diterima). [HR. Muslim, no. 224]

Dengan berbagai bahaya ghulûl yang demikian besar, maka hendaklah orang-orang yang mengurusi harta umat, baik itu berupa zakat, infak, sedekah, kas masjid, dan lainnya, berhati-hati agar tidak mengambil harta umat demi kepentingan pribadi. Jika dia mengambil harta umat untuk akan menjadi sebab dia celaka di akhirat nanti.

Hanya kepada Allâh Azza wa Jalla kita memohon taufik agar melaksanakan perkara yang Dia cintai dan ridhai, sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Maha Suci.

Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Read more https://almanhaj.or.id/5943-ghull-dosa-besar.html

Dalam Islam, Gratifikasi Sama dengan Mengambil Ghulul

Islam melarang pejabat dan pegawai menerima gratifikasi.

Dalam hukum bernegara, gratifikasi adalah tindakan melanggar hukum yang bisa dijerat pidana. Penerima gratifikasi bisa dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak kasus korupsi yang menjerat pejabat negara lantaran gratifikasi yang ia terima.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Deskripsi yang lebih spesifik diterangkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat satu. Dikatakan, “Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.”

Pembahasan gratifikasi di tengah-tengah masyarakat pun beragam. Ada yang menyebutnya hadiah, ucapan terima kasih, tips, dan lainnya. Menurut pakar ekonomi Islam, Syafii Antonio, pemberian hadiah dinilai haram jika kondisi pemberi dan penerima pada posisi dari “bawah” ke “atas”. Misalnya, dari bawahan ke atasan, dari wajib pajak ke petugas pajak, dari rakyat ke pejabat, dan seterusnya.

Pemberian dari bawah ke atas ini dimaksudkan untuk mengharapkan suatu imbalan, baik secara materi atau non-materi. Misalnya, memperlancar kepentingan bisnis, naik jabatan, pemberian wewenang atau keputusan dari atasan, dan semua hal yang berkaitan dalam ruang lingkup bawahan ke atasan tersebut. Ia mengharapkan ada timbal balik dari atas ke bawah.

Tetapi, jika pemberian hadiah dari atas ke bawah atau kepada sesama, hal ini diperbolehkan. Misalnya, dari orang kaya ke orang miskin, dari bos kepada karyawan, atau sesama teman. Alasannya, tidak ada “udang di balik batu” dari pemberian tersebut. Pemberian hadiah didasarkan untuk memupuk persaudaraan, persahabatan, dan kasih sayang semata.

Sebagaimana gratifikasi dilarang dalam hukum bernegara, demikian juga pandangan hukum Islam dalam bersikap. Rasulullah SAW sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya untuk menerima gratifikasi. Riwayat dari Abu Humaid as-Sa’idi mengisahkan, salah seorang dari suku Al-Azdi bernama Ibnu Lutbiah ditugaskan memungut zakat. Setelah ia pulang, ia melaporkan dan menyerahkan zakat hasil pungutannya kepada Baitul Mal.

“Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari wajib zakat kepada saya pribadi,” ujar Ibnu Lutbiah. Rasulullah SAW pun marah dan memerintahkan Ibnu Lutbiah untuk mengembalikan gratifikasi yang diterimanya. Rasulullah SAW bersabda, “Cobalah dia (Ibnu Lutbiah) duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya. Apakah akan ada yang memberikan (gratifikasi) kepadanya?” (HR Bukhari Muslim).

Rasulullah SAW dalam hadis Beliau menegaskan, menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul, yakni barang curian dari harta rampasan perang. Ancamannya sangat jelas, siapa yang memakan harta gratifikasi akan datang di Hari Kiamat dalam kondisi kesusahan. Di lehernya akan dipikulkan unta, sapi, dan kambing yang mengembik. (HR Bukhari Muslim).

Tidak bisa dimungkiri, pejabat berwenang yang menerima gratifikasi akan berpengaruh pada putusan dan kinerja apa yang diwewenanginya. Demikian juga pegawai pemerintahan. Ketika ia meminta atau menerima gratifikasi, ia akan cenderung melayani konsumen yang memberi gratifikasi.

Lama kelamaan, ia bahkan tak mau melayani orang yang tak mau memberi gratifikasi. Padahal, semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional. Pegawai tersebut sudah digaji oleh negara atau perusahaan tempatnya bekerja untuk melayani konsumen secara umum.

Demikian juga seorang hakim, pasti akan terpengaruh dengan gratifikasi. Ia akan cenderung membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya. Inilah alasannya Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu as-Sunnah secara keras mengharamkan para pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi.

Pakar fikih kontemporer, Dr Ahmad Zain An-Najah, mengatakan, masuk juga dalam kasus gratifikasi, seorang pegawai yang kongkalikong dengan pihak lain. Misalnya, pegawai pemerintahan yang ditugaskan untuk menyediakan alat-alat multimedia di kantornya. Ketika penganggaran, harga alat-alat multimedia ini di-mark-up lebih tinggi. Kemudian, saat pembelian, dia memilih membeli alat-alat tersebut di toko yang mau menawarkan harga lebih murah dari anggaran belanja yang ada. Alasannya, selisih uang pembelanjaan bisa masuk ke kantong pribadinya.

Di samping itu, pegawai pemerintahan tadi juga mendapatkan diskon dari penyedia alat-alat multimedia tadi. Diskon tersebut sebenarnya harus ia laporkan ke kantor tempatnya bekerja secara transparan. Jika ia mengambil potongan harga tersebut untuk pribadinya, hal ini juga termasuk dalam definisi gratifikasi.

Bisa juga, jika pegawai tadi meminta uang lebih kepada konsumen, katakanlah uang transport, uang jasa, atau uang lelah karena telah melayani pelanggan. Padahal, pegawai tersebut sudah digaji dan memiliki tunjangan-tunjangan atas pekerjaannya. Hal ini juga termasuk dalam gratifikasi.

Semasa Nabi Muhammad, hadiah-hadiah yang didapat para sahabat dari tugasnya di lapangan selalu dilaporkan secara transparan. Misalnya, Muaz bin Jabal RA yang pulang bertugas dari Yaman dan membawa hadiah budak-budak. Muaz sempat ditegur Allah SWT melalui mimpi karena belum melaporkan budak-budak tersebut kepada khalifah Abu Bakar RA.

Keesokan harinya, Muaz langsung menyerahkan seluruh budak tersebut kepada Abu Bakar RA. Bijaknya Abu Bakar, hadiah budak yang memang diperuntukkan bagi Muaz pun ia perintahkan untuk dikembalikan kepada Muaz. Demikian atsar yang dikisahkan Ibnu Abdul Barr dalam kitab At Tamhid (2/7).

Mungkin pada awalnya, gratifikasi bertujuan baik. Pelanggan yang puas dengan pelayanan yang prima ingin memberi hadiah sebagai penyemangat atau memotivasi. Mungkin juga sebagai tanda terima kasihnya karena puas dengan pelayanan si pegawai. Tapi, hadiah semacam ini untuk jangka panjang akan merusak mental si pegawai. Lama-lama, niatnya bekerja bisa berpaling. Ia bekerja bukan atas nama perusahaannya, tapi untuk dirinya sendiri. Ia menunggu dan mengharapkan gratifikasi, baru mau bekerja. Apalagi, meminta gratifikasi dari konsumennya yang sebenarnya bukanlah haknya.

Para ulama mengisyaratkan, jika memang ingin memberi tips atau hadiah kepada pegawai tersebut, berikanlah pada kondisi dan waktu yang tidak berkaitan dengan dunia kerjanya. Misalnya, memberikan hadiah pada waktu ia tak lagi sebagai pegawai. Wallahu’alam. 

KHAZANAH REPUBLIKA