Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 5)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 4).

Larangan berlebihan dalam memuji

Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تُطروني كما أطرت النصارى ابن مريم؛ إنما أنا عبد، فقولوا: عبد الله ورسوله

“Janganlah kalian melampaui batas dalam menyanjungku, sebagaimana kaum Nasara melampaui batas dalam menyanjung Nabi ‘Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu, katakanlah (bahwa aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Al-Bukhari & Muslim).

Penjelasan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal jelas beliau adalah utusan Allah Ta’ala yang paling mulia. Tentunya, ilmu dan amal ibadah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah paling bagus dan paling layak dipuji.

Kendati demikian, tetap saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berlebihan dalam memujinya. Karena selain melanggar syariat, juga akan menjerumuskan kepada bahaya yang besar, bahkan bisa sampai menyeret pelakunya kepada menyembah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Nasara terhadap Nabi Isa Alaihis salam, sampai mereka mengklaim bahwa Nabi Isa Alaihis salam adalah tuhan (baca surat Al-Maidah: 72) dan anak tuhan (baca surat At-Taubah: 30).

Ghuluw adalah perkara yang membinasakan umat sebelum kita

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إياكم والغلو؛ فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو

“Awas, jauhilah sikap melampaui batas (ghuluw), karena sikap melampaui batas adalah perkara yang membinasakan umat sebelum kalian” (HR. An-Nasa’i dan selainnya, disahihkan oleh Al-Albani rahimahumallah).

Penjelasan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dan melarang kita dari berbuat ghuluw (melampui batas). Larangan dari ghuluw di sini bersifat umum, mencakup berlebihan dalam masalah keyakinan maupun perbuatan. Termasuk juga larangan dari berlebihan dalam bersikap terhadap orang-orang salih yang bisa menjerumuskan mereka dalam penyembahan terhadap orang-orang salih. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan sebab larangan tersebut, yaitu sikap ghuluw adalah penyebab kebinasaan umat sebelum kita.

Dengan demikian, dalam hadis ini hakikatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindarkan umat ini dari kebinasaan dengan melarang penyebabnya, yaitu bersikap melampaui batas (ghuluw). Dan tentunya, ghuluw terhadap orang-orang salih termasuk ke dalam larangan tersebut. Hal ini disebabkan karena ghuluw terhadap orang-orang salih terbukti menyebabkan kesyirikan besar. Bahkan kesyirikan besar yang pertama kali terjadi di muka bumi adalah ghuluw terhadap orang-orang salih.

Binasalah orang-orang yang melampaui batas

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هلك المتنطعون، قالها ثلاثا

“Binasalah orang-orang yang melampaui batas (tanaththu’). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tiga kali.”

Penjelasan

Dalam hadis di atas, hakikatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang tanaththu’  itu binasa dan bahwa tanaththu’ itu sebab kebinasaan. Beliau ungkapkan makna itu dengan mengulangi sabdanya sampai 3 kali. Hal ini mengandung makna larangan yang tegas dari berbuat  tanaththu’.

Penjelasan maksud tanaththu’

Secara bahasa, tanaththu’ adalah berlebihan dalam berbicara dengan menfasih-fasihkan ucapan. Namun dalam hadis yang mulia ini, maksud tanaththu’ tidak terbatas pada berlebihan dalam berbicara, tetapi juga berlebihan dalam berdalil dan beralasan, serta berlebihan dalam beribadah. Intinya, tanaththu’ yang dimaksud dalam hadis yang mulia ini adalah berlebihan dalam ucapan maupun perbuatan [1].

Contoh bentuk tanaththu’ yang terlarang

1. Berlebihan dalam mengkritik sehingga sampai menjatuhkan kehormatan pihak yang dikritik, menghinanya dengan kata-kata kotor, tidak mengakui kebaikannya dan tidak adil terhadapnya sehingga berlaku zalim.

2. Berlebihan dalam memuji dengan meninggikan derajat seseorang yang sebenarnya belum sampai kepada kedudukan  dalam pujian tersebut, serta menggelari dengan gelar-gelar yang jauh dari fakta. Karena setiap gelar dan julukan, hakikatnya memiliki kriteria yang dipersyaratkan. Apalagi jika gelar tersebut adalah gelar ilmiah keagamaan.

3. Berlebihan dalam menuduh atau pun mengklaim sesuatu, tanpa bukti ilmiah yang mendasari. Karena sesungguhnya setiap kasus ada cara pembuktian secara ilmiah. Juga karena kehormatan seorang muslim demikian mahal, sehingga barangsiapa yang menuduh dengan sebuah tuduhan tanpa bukti ilmiah, akan berat pertanggungjawabannya di akhirat.

4. Berlebihan dalam berbicara dalam menanggapi peristiwa atau urusan tertentu. Apalagi jika terkait dengan urusan kemaslahatan kaum muslimin secara luas atau urusan yang berdampak membahayakan kaum muslimin seacara luas. Lebih-lebih lagi di masa fitnah yang penuh dengan ketidakjelasan, manakah yang benar dan manakah yang salah. Maka tentu tidak setiap orang berhak berbicara menilai, mengklaim, apalagi sampai menuduh dan memprovokasi. Hal ini karena tentunya hanya orang yang berkompeten dan memiliki kriteria khusus yang berhak menilainya.

Kesimpulan

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian)” (QS. An-Nisa: 83).

Terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Rahimahumallah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَتَكُونُ فِتَنٌ ، الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْقَائِمِ ، وَالْقَائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْمَاشِي ، وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنْ السَّاعِي ، وَمَنْ يُشْرِفْ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ ، وَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ

“Akan terjadi fitnah-fitnah, pada saat itu orang duduk lebih baik dari orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan, sedangkan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berbuat [2].

Dan barangsiapa yang mendekati fitnah [3], niscaya fitnah akan membinasakannya. Dan barangsiapa yang mendapatkan tempat membentengi diri atau tempat berlindung, maka hendaklah ia berlindung dengannya [4].”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di atas menjelaskan bahwa kelak akan terjadi fitnah, yaitu keadaan yang samar diwarnai ketidakjelasan. Hal ini karena adanya kebodohan, tidak paham kebenaran, tidak berkompeten, dan tidak memiliki otoritas namun ikut campur di dalam masalah fitnah, sehingga fitnah itu pun membahayakan kaum muslimin.

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

sumber Artikel: Muslim.or.id

Catatan Kaki:

[1] Lihat I’anatul Mustafid, Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, hal. 331 dan At-Tamhid, Syekh Shalih Alusy-Syaikh, hafizhahullah, hal. 217.

[2] Ikut andil dalam fitnah.

[3] Tidak menghindar dari fitnah.

[4] Maksudnya: menghindarlah agar selamat dari keburukan fitnah.

Penyebab Ghuluw (Ekstrem) dalam Beragama Menurut Syekh Yusuf Al-Qardawi

Melihat perkembangan isu-isu nasional dan internasional, selalu ada kelompok yang masih berpikir ghuluw (ekstrem) dalam beragama atau memandang agama, baik kanan (konservatif, tradisional, dan tekstualis) maupun kiri (liberal, progresif, dan reformis). Pikiran-pikiran tadi sering kali menuai banyak masalah misalnya tindakan makar dan teror, memicu konflik antar umat atau antar ormas dan sebagainya.

Ghuluw bukan lahir tanpa sebab, Dr. Yusuf al-Qardawi menjelaskan panjang lebar perihal faktor-faktor timbulnya pemikiran tadi dalam kitabnya, as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf. Di sini kami tampilkan 3 faktor saja, sebagiamana berikut;

Kurangnya Pengetahuan yang Memadai Tentang Hakikat Agama

Yang dimaksud dengan kurangnya pengetahuan bukan berarti tidak tahu sama sekali tentang agama melainkan kurangnya ilmu. Indikator ini misalnya ketika seseorang merasa dirinya sudah masuk dalam kategori ulama padahal masih banyak yang belum ia ketahui seperti misalnya al-Maqashid ar-Raisiyyah atau tujuan-tujuan pokok syariat Islam. Abdullah bin Umar bin al-‘Ash berkata;

قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Saya mendengar Nabi bersabda; sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari para hambanya melainkan akan mencabutnya dengan cara mencabut ulama sehingga bila tidak ada orang alim satupun niscaya masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai tokohnya. nantinya mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu akhirnya mereka tersesat dan menyesatkan.(HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, j; 1, h; 32)

Imam Malik bin Anas berkata; Robi’ah pernah menangis dengan tangisan yang sangat menyedihkan, lalu dia ditanya; apakah engkau ditimpa musibah? Dia menjawab; tidak, melainkan masyarakat sudah minta fatwa kepada orang yang tidak berilmu. Sesungguhnnya kurangnya pengetahuan yang diselimuti oleh rasa ‘ujub dan tipu daya lebih membahayakan dari pada tidak tahu sama sekali namun mengakui kebodohan itu.(as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 63)

Berpedoman pada Makna Tekstual dalam Memahami Teks-Teks Agama

Menurut Syekh Yusuf al-Qardawi sudah tidak asing lagi bahwa banyak di antara mereka (kelompok ghuluw) yang berpedoman pada makna harfiyyah dan makna eksplisit saja tanpa meninjun pada makna implisit dan maqashidnya. Model pemahaman semacam inilah yang sering mengabaikan hukum syariat yang dikaitkan dengan alasan-alasan atau ‘illat yang rasional, menolak qiyas, dan memandang bahwa syariat membedakan dua hal yang sama dan menyatukan dua yang yang berbeda.

Beliau dan para pakar hukum Islam lainnya memandang bahwa ada perbedaan antara prinsip dalam ibadah dan muamalah;

أَنَّ الْاَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ هُوَ التَّعَبُّدُ بِهَا دُوْنَ نَظَرٍ إِلَى مَافِيْهَا مِنْ مَصَالِحَ وَ مَقَاصِدَ بِخِلَافِ مَايَتَعَلَّقُ بِالْعَادَاتِ وَ الْمُعَامَلَاتِ

Sesungguhnya asas dalam ibadah adalah at-ta’abbud(penghambaan secara total) tanpa harus menalar alasan hukum baik berupa maslahat atau maqashid. Berbeda dengan hal-hal yang berkaitan dengan adat dan muamalah.(as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 64)

Berikut hadis-hadis yang berkaitan dengan muamalah di mana alasan-alasan hukum-hukum di dalamnya bisa dinalar dan dipahami.

Hadis pertama diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa;

Nabi saw melarang seseorang bepergian ke daerah orang kafir atau musuh sambil membawa al-Qur’an. (HR. Muslim, Shohih Muslim,  j; 6, h; 30)

Alasan atau ‘illat dari larangan ini ialah khawatir orang kafir menghina atau merendahkan Al-Qur’an. Dengan demikian orang muslim boleh membawa al-Quran bila alasan tadi tidak ada. Tentunya kita melihat konteks saat ini di mana kitab suci baik milik umat Islam atau nonmuslim sengaja dipublikasikan dan disebarkan ke berbagai negara dengan tujuan dakwah dan itu tidak dipermasalahkan bahkan al-Quran sendiri sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. (as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 65)

Hadis kedua diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah bersabda;

إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الْغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً.

Apabila seseorang lama pergi maka jangan pulang ke rumah keluarganya di waktu malam.(HR. Al-Bukhori, Shohih al-Bukhori, j; 7, h; 50)

Salah satu alasan kenapa dilarang pulang di malam hari sebab istri tidak tahu kapan datangnya suami sehingga tidak sempat berdandan, menyambutnya dengan ceria, bahagia, dan menyediakan makanan yang baik, dan sebagainya. Sementara dengan berkembangnya teknologi, suami bisa memberi tahu kapan dia akan datang misalnya dengan menelpon, chattingan, atau video call. (as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 66-67)

Minimnya Pengetahuan akan Sejarah, Konteks, Hukum Alam dan Kehidupan.

Tidak asing lagi dipikiran kita mengenai kelompok-kelompok ghuluw yang kadang kala melakukan aksi bunuh diri (dalam bahasa Arab dikenal dengan intihariyyah) dengan alasan jihad, membela Islam, dan meneruskan perjuangan Rasulullah, padalah sesungguhnya kalau melihat sejarah, perbuatan itu tidak patut dan tidak tepat.

Selama 13 tahun di Makkah, Nabi hanya mengajak dan mendidik di saat yang bersamaan kemusyrikan mengelilingi kanan dan kiri beliau. Ka’bah di penuhi kurang lebih 360 berhala sedangkan Nabi tetap salat dan tawaf di sana bukan malah sibuk menyingkirkan dan membuang berhala itu.  beliau tahu kalau itu dilakukan berarti sama saja dengan bunuh diri. Karena di waktu awal-awal Islam, kaum muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup besar.

Meski misalnya dibuang atau dihancurkan, orang kafir akan mengganti dengan patung yang baru. Hal ini disebabkan ajaran watsaniyyah (menyembah berhala) sudah tertanam kokok di pikiran mereka.

Akhirnya Nabi bukan sibuk menghancurkan berhala yang terlihat namun sibuk membasmi kepercayaan yang tertanam di hati dan pikiran orang kafir dengan cara mengajak untuk mengesakan Tuhan, menyucikan hati mereka dilengkapi dengan akhlakul karimah beliau yang sudah masyhur di tanah Arab saat itu. Dan hasilnya kita nikmati sampai saat ini, rahmatan lil alamin. (as-Shohwah al-Islamiyyah Baina al-Juhud wa at-Tatarruf, h; 98-99). Semoga Allah menjaga kita dari sikap ghuluw dalam beragama.

BINCANG SYARIAH