Khalifah Ini Naik Haji dengan Berjalan Kaki

Harun Ar-Rasyid tidak pernah lupa melaksanakan ritual ibadah agamanya. Setiap pagi, dia memberikan 1.000 dirham untuk amal dan melakukan shalat 100 rakaat (masing-masing disertai banyak bacaan zikir dan doa) setiap hari.

Dia berhaji ke Makkah menggunakan unta sebanyak tujuh kali. Jaraknya 1.750 mil dari Baghdad, pergi pulang. Ibadah haji itu dimulai pada tahun setelah dia naik takhta. Haji yang kedelapan dari Rakkah (di Suriah) ke Makkah dengan berjalan kaki.

“Jika kita membayangkan jarak yang dilalui dan keadaan gurun kering yang tidak ramah yang harus dia jalani, kenyataan ini saja akan memberikan gagasan mengenai tenaganya yang sulit ditaklukkan dan kegigihan karakternya,” tulis seorang sejarawan.

Dialah satu-satunya khalifah yang membebani dirinya dengan sebuah kewajiban yang sangat keras. Barang kali, dialah satu-satunya yang memaksa dirinya melaksanakan begitu banyak sujud dengan shalat hariannya.

Benson Bobrick dalam The Caliph’s Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad menuliskan, saat perjalanan haji, dia (Harun) juga memberikan harta dalam jumlah sangat besar kepada penduduk Makkah dan Madinah, dua kota paling suci dalam Islam. Tidak lupa dia juga memberi kepada para jamaah haji yang miskin di sepanjang perjalanan.

“Selalu ada sejumlah orang zuhud yang ia biayai dalam rombongannya. Ketika pada tahun tertentu ia tidak bisa berangkat haji sendiri, dia mengirimkan beberapa wakil yang berkedudukan tinggi bersama 300 pegawai. Semua biaya, ia yang menanggung,” kata Bobrick.

Stempelnya berukirkan tulisan “Harun tawakal pada Tuhan”. Dalam praktiknya, dia tampaknya menjelmakan keyakinan bahwa haji adalah salah satu dari lima pilar agama.

Pemerintahannya juga membangkitkan kembali arti penting tempat-tempat suci. Alasan-alasan politik mengubah ibadah haji ke Makkah menjadi sebuah peristiwa propaganda  yang mengesankan.

Khaizuran, sang ibunda, mengikuti jejaknya. Pada 788 M ia melakukan perjalanan hajinya sendiri sebagai ibu suri. Dalam perjalanan itu, ia memberikan sumbangan kepada rakyat dalam jumlah sangat besar. Dalam berkali-kali kesempatan, dia memerintahkan pembangunan sebuah tempat bernaung, pancuran air, atau sebuah masjid di sepanjang rute perjalanan haji.

Dia tampaknya juga merupakan orang pertama yang mengadopsi gagasan untuk melestarikan bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah. Ketika tiba di Makkah, tempat dia akan tinggal selama beberapa bulan, Khaizuran mendanai sebuah upaya untuk merestorasi rumah tempat Nabi dilahirkan.

Tidak hanya itu, dia juga memperbaiki sebuah bangunan yang dikenal sebagai Rumah Arqam tempat para pemeluk Islam awal berkumpul.

Di masa belakangan, keduanya dimuliakan sebagai tempat suci. Dengan cara ini, Khaizuran semakin meninggikan kedudukannya yang mulia sembari memberikan lebih banyak cap religius pada rezim putranya.

Harun memberinya penghormatan yang tidak diberikan Hadi, saudaranya. Ketika Khaizuran meninggal dunia di usia 50 pada tahun berikutnya, November 789 M, Harun berjalan telanjang kaki melalui lumpur di depan peti jenazahnya menuju makam.

Ketika Harun sampai di pemakaman di tepi barat Tigris, dia mencuci kakinya dan mengenakan sepasang sepatu bot baru. Sebagai ucapan selamat tinggal, dia membacakan eulogi Ibnu Nuwairah yang terkenal yang dibacakan istri Nabi Muhammad, Aisyah, di atas pusara ayahnya sekaligus khalifah pertama, Abu Bakar.

Menurut Bobrick, di masa keluarga Abbasiyah berhasil berkuasa, penaklukan Islam kurang lebih sudah menempuh jalannya. Tapi, perbatasan Bizantium masih terus berubah. Setelah serangkaian kemunduran, Kerajaan Abbasiyah sekali lagi berusaha menekan balik. “Dua serangan Harun yang spektakuler ketika masih menjadi pangeran mahkota merangsang seleranya untuk mencapai tujuan ini,” ujarnya.

Tahun demi tahun, untuk meningkatkan kedudukannya sebagai panglima orang beriman, dia terjun ke medan perang. Di perbatasan barat Kerajaan Abbasiyah kerap terjadi bentrokan. Hal itu terjadi karena kedua belah pihak menempatkan pasukan di sepanjang garis pertahanan berkubu yang membentang di seluruh Asia Kecil atau Anatolia, dari Suriah hingga perbatasan Armenia. 

IHRAM

Harun Ar-Rasyid Tegas Memberantas Korupsi

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harus Ar-Rasyid tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Tanpa ragu-ragu, ia memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).

Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,676 juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya.

Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan negara dan rakyat, Harun Ar-Rasyid memajukan ekonomi, perdagangan, dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan dalam sektor-sektor ini menjadikan Baghdad, ibu kota pemerintahan Bani Abbas, sebagai pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu. Karenanya, negara memperoleh pemasukan yang besar dari kegiatan dagang tersebut, disamping perolehan dari pajak perdagangan dan pajak penghasilan bumi.

Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk membiayai pembangunan sektor-sektor lain, seperti pembangunan Kota Baghdad dengan gedung-gedungnya yang megah, pembangunan sarana-sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan, perdagangan, serta membiayai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan penelitian.

Dari uang kas tersebut, negara juga mampu memberi gaji yang tinggi kepada para ulama dan ilmuwan. Mereka ditempatkan pada kedudukan status sosial yang tinggi. Setiap tulisan dan penemuan yang dihasilkan ulama dan ilmuwan dibayar mahal oleh negara. Dengan pendapatan negara yang melimpah ini, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan para pejabat negara juga dapat memperoleh dan menikmati segala kemewahan menurut ukuran zaman itu. Sebab, kehidupan rakyatnya juga berada dalam kemakmuran dan kesejahteraan.

Kemakmuran dan kesejahteraan yang dicapai pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid tidak terlepas dari kemampuannya dalam menjaga keutuhan wilayah yang dikuasainya. Di  masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di sebelah Timur.

Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi pada masa kekuasaannya, antara lain, pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M), pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M), serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin  Abi Taglib (792 M).

Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa kepemimpinannya, terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Pada era itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan.

 

REPUBLIKA ONLINE

Ketika Harun ar-Rasyid Ngaji ke Imam Malik

Khalifah Harun ar-Rasyid termasuk pemimpin yang sangat dihormati rakyatnya. Tentu wibawa ini tak dicapainya secara gratis. Prestasi dalam pembangunan ekonomi, politik, budaya, dan pengetahuan tergolong gemilang.

Puncak kekuasaan dan kharisma kepribadiannya membuat setiap perintah sang khalifah dipatuhi semua orang. Hanya orang-orang khusus yang berani membangkang dari keinginan-keinginannya. Selain Abu Nawas, Imam Malik adalah salah satu orang yang bernyali istimewa ini.

Khalifah suatu hari mengutus al-Barmaki menjemput Imam Malik untuk mengajar di istananya.
“Ilmu pengetahuan harus didatangi, bukan mendatangi,” jawab Imam Malik atas perintah tersebut. Utusan itu akhirnya pulang ke Iraq dan menyampaikan pesan ini kepada Khalifah.

Ketika menunaikan haji, Khalifah sempat berjumpa Imam Malik dan menyuruhnya membacakan kitab karangannya. Imam Malik tetap menolak dan memintanya hadir di majelis pengajiannya.

“Bagaimana jika di rumah Anda saja?” bujuk Khalifah.

“Rumah saya reyot, tak layak untuk seorang pemimpin besar seperti Baginda,” kata Imam Malik merendah.

Pada momen kunjungan Khalifah ke Madinah, pakar hadits ini sekali lagi dijemput untuk membacakan al-Muwaththa’ di istana. Dengan agak berat hati ia lalu memenuhi ajakannya.

“Saya berharap Baginda bukan orang pertama yang tidak menghormati ilmu. Sungguh, saya tak bermaksud menolak permintaan Baginda. Saya hanya minta Baginda menghargai ilmu agar Allah menghargai Baginda,” tutur Imam Malik.

Khalifah pun akhirnya ikut Imam Malik ke rumah. Khalifah duduk di kursi spesialnya. Ia sempat merasa terganggu dengan banyaknya peserta pengajian, namun Imam Malik berutur, “Jika orang lain tak boleh menyimak kitab ini maka Allah akan menjauhkan rahmat darinya.”

Pengajian dimulai. Imam Malik menyuruh muridnya membaca al-Muwaththa’. Sebelum kitab dibaca tiba-tiba keluar dari lisan Imam Malik: “Para pencinta ilmu sangat menghargai ilmu. Tak seorangpun dapat duduk lebih tinggi dari ilmu.”

Mendengar sindiran itu, Khalifah pun turun dari kursi dan duduk di lantai bersama peserta yang lain. (Mahbib Khoiron)

 

sumber: NU.or.id

Daulah Bani Abbasiyah: Harun Ar-Rasyid, Sang Pembangun Peradaban

Harun Ar-Rasyid (786-809 M) adalah khalifah kelima Daulah Abbasiyah. Ia dilahirkan pada Februari 763 M. Ayahnya bernama Al-Mahdi, khalifah ketiga Bani Abbasiyah, dan ibunya bernama Khaizuran.

Masa kanak-kanaknya dilewati dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu pemerintahan. Guru agamanya yang terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Khalid Al-Barmaki.

Harun Ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada September 786 M, pada usianya yang sangat muda, 23 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah saudaranya yang menjabat khalifah, Musa Al-Hadi wafat. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harun Ar-Rasyid didampingi Yahya bin Khalid dan empat putranya.

Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan.

Pada masa itu, Baghdad menjadi mercusuar kota impian 1.001 malam yang tidak ada tandingannya di dunia pada abad pertengahan. Daulah Abbasiyah pada masa itu, mempunyai wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukush, India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa.

Khalifah Harun Ar-Rasyid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuwan dan budayawan. Ia mengumpulkan mereka semua dan melibatkannya dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah. Perdana menterinya adalah seorang ulama besar di zamannya, Yahya Al-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun Ar-Rasyid, sehingga banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari Yahya. Hal ini semua membentengi Khalifah Harun Ar-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam.

Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, hidup juga seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan pada Khalifah, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Suasana negara yang aman dan damai membuat rakyat menjadi tenteram. Bahkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata. Di samping itu, banyak pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah pada masa itu.

Setiap orang merasa aman untuk keluar pada malam hari, karena tingkat kejahatan yang minim. Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan di negeri yang luas itu dengan aman. Masjid-masjid, perguruan tinggi, madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum lainnya banyak dibangun pada masa itu.

Khalifah Harun Ar-Rasyid juga sangat giat dalam penerjemahan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dewan penerjemah juga dibentuk untuk keperluan penerjemahan dan penggalian informasi yang termuat dalam buku asing. Dewan penerjemah itu diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih.

Bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M setelah menjadi khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan. Seperti ditulis Imam As-Suyuthi, ia meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di Khurasan. Saat meninggal usianya 45 tahun, bertindak sebagai imam shalat jenazahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih.

Daulah Abbasiyah dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan adil, sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai.

Sumber : Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni/Republika Online

Derai Air Mata Harun Ar-Rasyid (2-habis)

Para khalifah kerap meminta nasihat kepada para ulama.

Beberapa saat kemudian, diketuklah pintu rumah Ibnu Iyadh. “Siapa yang datang?” kata pemilik rumah. “Pemimpin umat,” jawab Ibnu ar-Rabi’.

Saya tidak ada urusan dengannya,” jawab al-Fadhil bin ‘Iyadh. “Subhanallah, apakah kau tidak menaatinya?” ujar Ibnu ar-Rabi’.

Akhirnya, Ibnu ‘Iyadh membuka pintu lantas kembali naik ke lantai atas, lalu mematikan lampu dan kembali ke sudut rumahnya untuk beribadah.

Sontak, rumah gelap gulita. Para tamu mencoba meraba-raba dan secara tak sengaja tangan Khalifah Harun ar-Rasyid menyentuh telapak tangan al-Fadhil bin ‘Iyadh.

Betapa lembutnya tangan ini, seandainya besok selamat dari siksa Allah SWT,” ujar Ibnu ‘Iyadh. Harun kaget bukan main, ia pun meminta tokoh sufi itu meneruskan petuahnya.

Ketika Umar bin Abd al-Aziz memimpin, ia merasa tanggung jawab yang diemban sangat berat, ia pun meminta asupan semangat kepada tiga ulama, yaitu yang pertama, Salim bin Abdullah. Ia berpetuah, jika Anda ingin selamat dari siksa Allah, berpuasalah dari dunia dan jadikan kematian adalah waktu berbukanya.

Kedua, Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhi berpesan hormati ayahmu, muliakan saudaramu, dan sayangi buah hatimu.

Sedangkan, ketiga, Raja’ bin Hayawih berujar, berikanlah apa yang mereka suka seperti kesukaanmu dan hindari apa yang tidak mereka senang seperti kau juga merasa tidak suka.

Silakan Anda meninggal, tetapi aku takut ketika datang waktu itu, tak seorang pun yang mengatakan ini seperti mereka berpesan kepada Umar bin Abd al-Aziz. Apakah Anda pernah mendapat pesan semacam ini?” ujar Ibnu ‘Iyadh.

Harun ar-Rasyid menangis tersedu-sedu, air matanya tak berhenti berderai. Ia jatuh pingsan. Ibnu ar-Rabi’ sempat iba dan meminta agar Ibnu ‘Iyadh jangan terlalu keras menasihati. “Kalian telah membunuh (jiwanya) dan aku harus berhalus ria?” tutur Ibnu ‘Iyadh.

Begitu sadar, Harun meminta agar nasihat itu diteruskan. Ia kembali menangis. Tangisan itu semakin kencang saat Ibnu ‘Iyadh berpesan tentang bahaya kecurangan dan kezaliman jika ia memimpin rakyat.

Ia pun tersadar dan berjanji akan menunaikan segala utang dan mengemban jabatannya dengan penuh amanat.

Rombongan pun meminta izin pulang. Harun ar-Rasyid memberikan hadiah kepada Ibnu ‘Iyad seribu dinar. Tetapi, pemberian itu ditolak.

“Aku menunjukkanmu kepada keselamatan dan engkau membayarku dengan dunia. Semoga Allah menyelamatkanmu,” ujar Ibnu ‘Iyadh.

Harun ar-Rasyid pun lalu terdiam. Rombongan memutuskan pergi dan sempat membujuk istrinya supaya menerima itu lantaran kondisi ekonomi yang mengimpit keluarga mereka. Tetapi, Ibnu ‘Iyadh bersikeras menolaknya.

 

 

Oleh: Nashih Nashrullah

Sumber: Republika Online

Derai Air Mata Harun Ar-Rasyid (1)

Para khalifah kerap meminta nasihat kepada para ulama.

Di tengah kesibukan mengurus negara, kegundahan dan kekosongan luar biasa dari dalam diri Khalifah Harun ar-Rasyid. Penguasa Dinasti Abbasiyah itu berada dalam titik nadir spiritualitas.

Hatinya gersang. Harun ar-Rasyid pun memutuskan mendatangi sejumlah ulama untuk meminta petuah dan nasihat. Apa gerangan yang merundung jiwanya?

Ditemani sejumlah ajudannya, pria kelahiran Tus, Iran, 17 Maret 763 M, itu mendatangi beberapa ulama secara diam-diam. Al-Fhadhil bin ar-Rabi’ adalah tokoh yang pertama mendapat kehormatan mengantar sang Khalifah.

Al-Fadhil tak menyangka orang yang mengetuk pintu rumahnya saat ia tertidur lelap itu adalah orang nomor wahid di Baghdad.

“Wahai, pemimpin umat, tak semestinya Anda datang kemari, jika Anda memanggilku hadir di istana, akan kupenuhi panggilan itu,” kata al-Fadhil.

“Celaka, ada persoalan yang mengganjal dalam diriku, bantu aku mencari ulama untuk berkonsultasi,” jawab Harun ar-Rasyid. Al-Fadhil akhirnya mengiyakan permintaan tersebut dan segera mendatangi beberapa nama ulama terkemuka.

Tujuan yang pertama, al-Fahdil mengajak menghadap ke Sufyan bin ‘Uyainah, salah satu pakar fikih tersohor pada masa itu. Harun menghadap tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini membuat Sufyan kaget bukan kepalang.

Dalam diskusi yang berlangsung selama sekira satu jam itu, Sufyan menanyakan apakah Pemimpin Abbasiyah yang berkuasa pada 786-809 M itu memiliki utang atau tanggungan yang belum terpenuhi. Sang Khalifah menjawab ia memang berutang. “Penuhi utangmu itu,” saran Sufyan kepada Harun.

Usai berdiskusi, khalifah yang mendirikan Bayt al-Hikma (House of Wisdom) itu beranjak pergi dan menyatakan ketidakpuasannya kepada al-Fadhil.

Kegelisahannya belum terobati. Ia meminta diantarkan ke ulama yang lain. Giliran Abd ar-Razaq al-Hamam yang mendapat kehormatan berikutnya.

Sama seperti sebelumnya, cendekiawan yang tersohor dengan kepakarannya di bidang ilmu agama itu mengaku kaget dengan kunjungan yang terkesan tiba-tiba sang Khalifah.

Singkat kata, setelah berdialog dalam kurun waktu yang sama, akhir percakapan tidak berbeda jauh dengan kesimpulan diskusi Harun dan Sufyan.

Al-Hamam menyarankan Harun agar membayar utangnya secepat mungkin. Jawaban itu tetap saja tidak menenangkan hatinya.

Putra dari al-Mahdi dan al-Khayzuran itu meminta al-Fadhil supaya mempertemukannya dengan tokoh lainnya.

Berangkatlah mereka ke al-Fadhil bin ‘Iyadh, sufi ternama pada masa itu. Tibalah rombongan ke kediaman Ibnu ‘Iyadh. Mereka mendapatinya tengah shalat dengan membaca Alquran.

 

Oleh: Nashih Nashrullah

sumber: Republika Online

Apa Gerangan yang Membuat Harun Ar-Rasyid Menangis?

Di tengah-tengah kesibukan mengurus negara, ada kegundahan dan kekosongan luar biasa dari dalam diri Khalifah Harun ar-Rasyid. Penguasa Dinasti Abbasiyah itu berada dalam titik nadir spiritualitas. Hatinya gersang. Ia pun memutuskan mendatangi sejumlah ulama untuk meminta petuah dan nasihat.

Apa gerangan yang merundung jiwanya?

Ditemani sejumlah ajudannya, pria kelahiran Tus, Iran, 17 Maret 763 M, itu mendatangi beberapa ulama secara diam-diam. Al-Fhadhil bin ar-Rabi’ adalah tokoh pertama mendapat kehormatan mengantar sang khalifah.

Al-Fadhil tak menyangka orang yang mengetuk pintu rumahnya saat ia tertidur lelap itu adalah orang nomor wahid di Baghdad. “Wahai, pemimpin umat, tak semestinya Anda datang kemari, jika Anda memanggilku hadir di istana, akan kupenuhi panggilan itu,” kata al-Fadhil.

“Celaka, ada persoalan yang mengganjal dalam diriku, bantu aku mencari ulama untuk berkonsultasi,” jawab Harun ar-Rasyid. Al-Fadhil akhirnya mengiyakan permintaan tersebut dan segera mendatangi beberapa nama ulama terkemuka.

Tujuan yang pertama, al-Fahdil mengajak menghadap ke Sufyan bin ‘Uyainah, salah satu pakar fikih tersohor pada masa itu. Harun menghadap tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini membuat Sufyan kaget bukan kepalang.

Dalam diskusi yang berlangsung selama sekira satu jam itu, Sufyan menanyakan apakah pemimpin Abbasiyah yang berkuasa pada 786-809 M itu memiliki utang atau tanggungan yang belum terpenuhi. Sang khalifah menjawab bahwa ia memang berutang.

“Penuhi utangmu itu,” saran Sufyan kepada Harun.

Usai berdiskusi, khalifah yang mendirikan Bayt al-Hikma (House of Wisdom) itu beranjak pergi dan menyatakan ketidakpuasannya kepada al-Fadhil.

 

Kegelisahan Harun ar-Rasyid

Kegelisahannya belum terobati. Ia meminta diantarkan ke ulama yang lain. Giliran Abd ar-Razaq al-Hamam yang mendapat kehormatan berikutnya.

Sama seperti sebelumnya, cendekiawan yang tersohor dengan kepakarannya di bidang ilmu agama itu mengaku kaget dengan kunjungan yang terkesan tiba-tiba dari sang khalifah. Singkat kata, setelah berdialog dalam kurun waktu yang sama, akhir percakapan tidak berbeda jauh dengan kesimpulan diskusi Harun dan Sufyan.

Al-Hamam menyarankan Harun agar membayar utangnya secepat mungkin. Jawaban itu tetap saja tidak menenangkan hatinya.

Putra dari al-Mahdi dan al-Khayzuran itu meminta al-Fadhil supaya mempertemukannya dengan tokoh lain . Berangkatlah mereka ke al-Fadhil bin ‘Iyadh, sufi ternama pada masa itu. Tibalah rombongan ke kediaman Ibnu ‘Iyadh. Mereka mendapatinya tengah shalat dengan membaca Alquran.

Beberapa saat kemudian, diketuklah pintu rumah Ibnu Iyadh. “Siapa yang datang?” kata pemilik rumah. “Pemimpin umat,” jawab Ibnu ar-Rabi’. “Saya tidak ada urusan dengannya,” jawab al-Fadhil bin ‘Iyadh. “Subhanallah, apakah kau tidak menaatinya?” ujar Ibnu ar-Rabi’.

Akhirnya, Ibnu ‘Iyadh membuka pintu lantas kembali naik ke lantai atas, lalu mematikan lampu dan kembali ke sudut rumahnya untuk beribadah. Sontak, rumah gelap gulita. Para tamu mencoba meraba-raba dan secara tak sengaja tangan Khalifah Harun ar-Rasyid menyentuh telapak tangan al-Fadhil bin ‘Iyadh.

“Betapa lembutnya tangan ini, seandainya besok selamat dari siksa Allah SWT,” ujar Ibnu ‘Iyadh. Harun kaget bukan main, ia pun meminta tokoh sufi itu meneruskan petuahnya.

“Ketika Umar bin Abd al-Aziz memimpin, ia merasa tanggung jawab yang diemban sangat berat, ia pun meminta asupan semangat kepada tiga ulama, yaitu yang pertama, Salim bin Abdullah. Ia berpetuah, jika Anda ingin selamat dari siksa Allah, berpuasalah dari dunia dan jadikan kematian adalah waktu berbukanya.

Kedua, Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhi berpesan hormati ayahmu, muliakan saudaramu, dan sayangi buah hatimu. Sedangkan, ketiga, Raja’ bin Hayawih berujar, berikanlah apa yang mereka suka seperti kesukaanmu dan hindari apa yang tidak mereka senang seperti kau juga merasa tidak suka.

Silakan Anda meninggal, tetapi aku takut ketika datang waktu itu, tak seorang pun yang mengatakan ini seperti mereka berpesan kepada Umar bin Abd al-Aziz. Apakah Anda pernah mendapat pesan semacam ini?” ujar Ibnu ‘Iyadh.

 

Harun ar-Rasyid Menangis

Harun ar-Rasyid menangis tersedu-sedu, air matanya tak berhenti berderai. Ia jatuh pingsan. Ibnu ar-Rabi’ sempat iba dan meminta agar Ibnu ‘Iyadh jangan terlalu keras menasihati. “Kalian telah membunuh (jiwanya) dan aku harus berhalus ria?” tutur Ibnu ‘Iyadh.

Begitu sadar, Harun meminta agar nasihat itu diteruskan. Ia kembali menangis.

Tangisan itu semakin kencang saat Ibnu ‘Iyadh berpesan tentang bahaya kecurangan dan kezaliman jika ia memimpin rakyat. Ia pun tersadar dan berjanji akan menunaikan segala utang dan mengemban jabatannya dengan amanah.

Rombongan pun meminta izin pulang. Harun ar-Rasyid memberikan hadiah kepada Ibnu ‘Iyad seribu dinar. Tetapi, pemberian itu ditolak. “Aku menunjukkanmu kepada keselamatan dan engkau membayarku dengan dunia. Semoga Allah menyelamatkanmu,” ujar Ibnu ‘Iyadh.

Ia pun lalu terdiam. Rombongan memutuskan pergi dan sempat membujuk istrinya supaya menerima itu lantaran kondisi ekonomi yang mengimpit keluarga mereka. Tetapi, Ibnu ‘Iyadh bersikeras menolaknya.  

 

sumber: Republika Online