Hukum Shalat Ghaib untuk Jenazah yang Menghilang

Bagaimana hukum shalat ghaib untuk jenazah yang menghilang? Pasalnya, terdapat praktik di tengah masyarakat shalat ghaib, bagi jenazah yang hilang atau belum ditemukan

Jika ada orang yang meninggal, maka orang hidup yang mengetahuinya, akan terkena taklif hukum wajib kifai (kewajiban kolektif) untuk mengurus jenazahnya. Dan jenazahnya harus diurus dalam 4 aspek, yakni dimandikan, dikafani, disholati dan dikebumikan. 

Pada umumnya, sholat ghoib dilaksanakan ketika ada yang meninggal, dan kita mendapati masa hidupnya, namun ternyata sudah dikebumikan. Lalu bagaimana hukumnya, jika kita mensholati ghaib seseorang yang hilang? 

Literatur fikih, memberikan contoh yang serupa dengan kejadian tenggelamnya Eril Muntaz (putra Pak Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat). Yakni meninggal sebab tertimbun (baik longsor maupun bangunan),  jatuh di sumur dan tenggelam di laut.

Hukum Shalat Ghaib untuk Jenazah yang Menghilang

Terkait hukum shalat ghaib untuk jenazah yang menghilang, ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat dalam hal mengurusnya.  Menurut qoul mu’tamad, jenazah tersebut tidak disholati. Sebagaimana dijelaskan oleh Minhaj al-Thalibin dalam redaksi berikut:

وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ تَقَدُّمُ غُسْلِهِ، وَتُكْرَهُ قَبْلَ تَكْفِينِهِ، فَلَوْ مَاتَ بِهَدْمٍ وَنَحْوِهِ وَتَعَذَّرَ إخْرَاجُهُ وَغُسْلُهُ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ.

Syarat sahnya sholat jenazah adalah bahwasanya jenazah telah dimandikan, hanya saja makruh mensholatinya jika ia belum dikafani. Andai ada orang meninggal sebab tertimbun atau sebagainya, dan sulit untuk mengeluarkannya dan memandikannya, maka jenazah tersebut tidak sah untuk disholati. (Imam Al-Nawawi, Minhaj Al-Thalibin, halaman 62) 

Jadi menurut kitab tersebut, jenazah yang berkriteria demikian haram untuk disholati. Hanya saja, Seluruh syurrah atau komentator dari kitab ini, menyatakan bahwa ada pendapat yang beranggapan sebaliknya. 

(فَإِنْ مَاتَ بِهَدْمٍ وَنَحْوِهِ) كَوُقُوعِهِ فِي بِئْرٍ أَوْ بَحْرٍ عَمِيقٍ (وَتَعَذَّرَ إخْرَاجُهُ وَغُسْلُهُ أَوْ تَيَمُّمُهُ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ) لِانْتِفَاءِ شَرْطِهَا، وَهَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ خِلَافًا لِجَمْعٍ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ حَيْثُ زَعَمُوا أَنَّ الشَّرْطَ إنَّمَا يُعْتَبَرُ عِنْدَ الْقُدْرَةِ لِصِحَّةِ صَلَاةِ فَاقِدِ الطَّهُورَيْنِ بَلْ وُجُوبُهَا، إذْ يُمْكِنُ رَدُّهُ بِأَنَّ ذَاكَ إنَّمَا هُوَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ الَّذِي حَدَّ الشَّارِعُ طَرَفَيْهِ وَلَا كَذَلِكَ هُنَا

“Jika ada seseorang meninggal sebab tertimbun atau jatuh di sumur dan laut, lalu sulit untuk mengekuarkannya dan memandikannya, maka ia tidak disholati. Sebab ketiadaannya syarat sah untuk mensholatinya (yakni memandikannya), dan inilah pendapat yang mu’tamad. 

Berbeda dengan golongan muta’akhhirin yang mana mereka menganggap bahwasanya syarat sah sholat itu diberlakukan ketika mampu saja (adapun jika tidak mampu, maka tidak apa-apa), syahdan orang yang tidak mampu bersesuci tetap wajib sholat. 

Namun pendapat ini ditentang, sebab dalam konteks tidak mampu bersesuci, sholatnya itu dalam rangka menghornati waktu yang telah ditentukan oleh Syari’. Sedang dalam konteks jenazah tadi, tidak demikian”. (Syamsuddin Al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz 3 halaman 25) 

Dari keterangan demikian, kita bisa mengetahui bahwa Fuqaha sangat menekankan untuk dimandikan terlebih dahulu jenazahnya, jika tidak, maka ia tidak dishalati. Lalu Kenapa seorang jenazah harus dimandikan agar bisa disholati? 

(وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ) عَلَى الْجِنَازَةِ زَائِدًا عَلَى مَا تَقَدَّمَ فِي فَصْلِ صَلَاتِهَا شَرْطَانِ أَشَارَ إلَى أَحَدِهِمَا بِقَوْلِهِ (تَقَدُّمُ غُسْلِهِ) أَوْ تَيَمُّمِهِ بِشَرْطِهِ؛ لِأَنَّهُ الْمَنْقُولُ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؛ وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ عَلَى الْمَيِّتِ كَصَلَاةِ نَفْسِهِ. 

Disyaratkan untuk sahnya sholat jenazah, yaitu ia telah dimandikan atau ditayammumi (jika tidak memungkinkan untuk dimandikan). Sebab inilah yang manqul (yang diajarkan) dari Nabi Muhammad SAW. 

Dan juga karena sholat jenazah itu seperti halnya sholatnya seorang jenazah (maka berlaku baginya hukum suci dan sebagainya)“. (Khatib al-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al-Minhaj Juz 2 halaman 50) 

Kita menemui 2 persilangan pendapat dari kalangan fuqaha syafiiyyah, lalu bagaimana sikap yang diajarkan oleh para ulama dalam menyikapi perbedaan pendapat ini. Dijelaskan:

 قَالَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ: وَلَا وَجْهَ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْمَيْسُورَ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُورِ، لِمَا صَحَّ «وَاذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» ؛ وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ هَذِهِ الصَّلَاةِ الدُّعَاءُ وَالشَّفَاعَةُ لِلْمَيِّتِ وَجَزَمَ الدَّارِمِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّ مَنْ تَعَذَّرَ غُسْلُهُ صُلِّيَ عَلَيْهِ. قَالَ الدَّارِمِيُّ: وَإِلَّا لَزِمَ أَنَّ مَنْ أُحْرِقَ فَصَارَ رَمَادًا أَوْ أَكَلَهُ سَبُعٌ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ وَلَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِنَا قَالَ بِذَلِكَ، وَبَسَطَ الْأَذْرَعِيُّ الْكَلَامَ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَالْقَلْبُ إلَى مَا قَالَهُ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ أَمْيَلُ، لَكِنَّ الَّذِي تَلَقَّيْنَاهُ عَنْ مَشَايِخِنَا مَا فِي الْمَتْنِ.

Sebagian ulama muta’akhhirin beranggapan bahwa tidak ada alasan untuk meninggalkan sholat jenazah, sebab sesuatu yang mudah itu tidak bisa ditinggal hanya karena ada sesuatu yang sulit. 

Dan juga karena Rasulullah SAW bersabda dalam hadisnya “jika aku memerintahkan kalian, maka penuhilah sebisa mungkin”, dan juga karena tujuan dari sholat jenazah itu adalah berdoa dan memintakan syafaat kepada mayyit. 

Sehingga Al-Darimi mantap menyatakan bahwa jenazah yang sulit dimandikan itu tetap harus disholati, jika tidak maka orang yang meninggal karena dibakar yang kemudian ia menjadi abu dan orang yang meninggal karena diterkam hewan buas, tidaklah disholati. 

Padahal aku tidak pernah mengetahui ada ashab kita yang berpendapat demikian, Imam al-Adzra’i telah panjang lebar membahas ini. 

Menurut opini pribadi, Saya (mushonnif) lebih condong kelada pendapat yang diusung oleh kalangan muta’akhhirin, hanya saja keterangan yang kami dapat dari penjelasan guru, pendapatnya sama seperti apa yang dinyatakan oleh kitab matan (yakni tidak disholati).

 (Khatib al-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj Juz II, halaman 50) 

Salah satu muhasyyi dari genealogi kitab ini, dengan tegas menyatakan:

 وَيَنْبَغِي تَقْلِيدُ ذَلِكَ الْجَمْعِ لَا سِيَّمَا فِي الْغَرِيقِ عَلَى مُخْتَارِ الرَّافِعِيِّ فِيهِ تَحَرُّزًا عَنْ إزْرَاءِ الْمَيِّتِ وَجَبْرًا لِخَاطِرِ أَهْلِهِ.

Seyogyanya mengikuti ulama’ muta’akhhirin, terlebih dalam konteks jenazah yang meninggal sebab tenggelam, menurut qaul mukhtarnya imam Al-Rafi’i harus disholati. Yang demikian dilakukan dalam rangka memuliakan mayyit dan juga membesarkan hati keluarganya yang ditinggal. (Al-Syarwani, Hawasyi Syarwani Ala Tuhfat Al-Muhtaj Fi Syarh Al-Minhaj juz 3 halaman 189) 

Perlu diketahui, orang yang meninggal sebab tenggelam itu distatusi sebagai syahid fi al-akhirah. Maka kita wajib mengurusnya sebagaimana jenazah pada umumya. 

Ada kisah yang unik mengenai seseorang yang tenggelam, disebutkan dalam i’anah al-thalibin:

(لطيفة) حكي أن شخصا نزل هو ومحبوبه يسبحان في البحر، فغرق محبوبه، فأشار إلى البحر وأنشد وقال:

 ياماء: لك قد أتيت بضد ما # قد قيل فيك مخبرا بعجيب؟

الله أخبر أن فيك حياتنا # فلاي شئ مات فيك حبيبي؟

 فلما قال ذلك أحياه الله تعالى، وطلع له من البحر. 

Dihikayatkan bahwa ada seorang dengan kekasihnya berenang di laut, tetiba kekasihnya ia tenggelam. Syahdan ia menunjuk ke laut seraya menyenandungkan syair yang artinya:

Wahai air, aku mendatangimu bukan untuk ini

Katanya di dalammu terdapat segenap keajaiban

Allah telah mengkabarkan bahwa di dalammu ada kehidupan kita

Lantas, mengapa kekasihku justru meninggal dalam genggamanmu

Setelah menyenandungkannya, Allah menghidupkan lagi kekasihnya, dan tetiba ia muncul dari dalam laut. (Abi Bakar Syatha’, Ianah Al-Thalibin  Juz 2 halaman 154).

Demikian hukum shalat ghaib untuk jenazah yang menghilang. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH