Hukuman Pelaku Pelecehan Seksual dalam Islam

Inilah hukuman pelaku pelecehan seksual dalam Islam. Kejahatan seksual menjadi momok yang sangat menakutkan bagi perempuan, bahkan terkadang bagi laki-laki juga.

Perlu dilakukan tindakan preventif, agar tercipta suatu generasi yang sadar akan materi edukasi seksual. Sehingga, pada akhirnya tidak akan lagi terjadi pelecehan seksual, dan para predatornya pun menjadi semakin punah. Lalu terciptalah suatu kondisi sosial yang aman dan tentram. 

Pelecehan Seksual Masa Nabi dan Sahabat

Perilaku keji ini, sudah marak sepanjang zaman. Di zaman Rasulullah Saw sendiri, juga pernah terjadi kejadian semacam ini. Ada banyak hadis yang meriwayatkannya, di antaranya adalah hadis yang ditransmisikan oleh Ali bin Hujr. Berikut redaksi hadisnya; 

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، حَدَّثَنَا مَعْمَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الرَّقِّيُّ، عَنْ الْحَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ، عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: ” اسْتُكْرِهَتِ امْرَأَةٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَرَأَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَدَّ، وَأَقَامَهُ عَلَى الَّذِي أَصَابَهَا، وَلَمْ يُذْكَرْ أَنَّهُ جَعَلَ لَهَا مَهْرًا “

Dari ‘Abdul Jabbar bin Waail bin Hujr, dari ayahnya, ia berkata : “Ada seorang wanita yang diperkosa di jaman Rasulullah Saw. Lalu beliau membebaskannya dari hadd, namun menegakkannya bagi si pelaku pemerkosaan. Beliau tidak menyebutkan bahwa laki-laki itu memberikan padanya mahar. (HR Imam Al-Tirmidzi no. 1453  Juz 4 hal. 56).

Bahkan dalam hadis sunan al-Tirmidzi yang no. 1454, diriwayatkan ada seorang perempuan yang hendak sholat di masjid, diperkosa oleh seorang laki-laki. Jadi, hatta seorang perempuan sudah menutup diri, tidak menutup kemungkinan ia aman dari pemerkosaan. 

Namun ia tetap harus mengenakannya, yang menutup diri saja riskan diperkosa, apalagi yang jelas-jelas membuka auratnya. Hanya saja, ini perlu juga usaha dari pihak lelaki. Perempuan tidak melulu memantik, jika di otaknya laki-laki sudah mesum, pemerkosaan rawan terjadi. Sehingga harus ada elaborasi, pihak laki-laki harus menjaga pandangannya, dan perempuan harus menutup auratnya. 

Kasus pemerkosaan ini juga pernah terjadi di zamannya Sahabat, tepatnya di masa kepemimpinan Amirul mukminin Sayyidina Umar bin Khattab. Berikut teksnya;

نافع مولى ابن عمر -رضي الله عنهما- «أنَّ صفِيَّة بنتَ أبي عُبيدٍ  أخبَرتهُ: أنَّ عبداً من رقيقِ الإمارةِ وَقَعَ عَلى وليدةٍ من الْخُمُسِ، فاستَكرَهها حتى اقتَضَّها فَجلَدَهُ عمر [الحدَّ ونفاه] ، ولم يَجلدْها من أجل أنه استَكرَهها».

Dari Nafi’ maulanya ibnu umar, Bahwa Shafiyyah bin Abi Ubaid mengkabarkan: asa seorang budak laki-laki memperkosa  budak perempuan, maka Khalifah Umar menghukumnya dengan cambukan, dan tidak menghukum si perempuan sebab dia di paksa “. (Ibnu al-Atsir, Jami’ al-Ushul  Juz 3 hal. 503). 

Hukuman Pelaku Pelecehan Seksual dalam Islam

Terkait hukuman atau sanksi pelaku pelecehan seksual dalam Islam seyoginya kita  menilik Madzhab Syafi’i. Menurut Syafi’iyah, lelaki pemerkosa wajib memberikan mahar (mitsil) atas apa yang diperbuatnya. Dan juga ada beberapa turunan hukum lainnya yang dikenakan bagi pelaku. 

إذا استكره الرجل المرأة على الزّنا، أقيم عليه الحد، ولايقام عليها، لأنّها مستكرهة، ولها مهر مثلها، ويثبت النسب منه إذا حملت المرأة  وعليها العدة. 

Apabila seorang laki-laki memaksa perempuan untuk berzina, maka ia dijatuhkan had.  Dan ia (perempuan) tidak dijatuhkan had karena ia dipaksa.  Perempuan yang jadi korban  pun mendapatkan mahar mitsil (yakni mahar yang nominalnya ditentukan oleh besaran mahar keluarga pihak perempuan).

Dan nasabnya ditetapkan kepada laki-laki tersebut jika perempuan itu hamil, dan masa iddah juga berlaku baginya. (Abdur Rahman Al-Jaziri, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, Juz 5 hal. 87) 

Dengan demikian, menurut Madzhab Syafi’i, seorang pemerkosa harus dihad (disanksi). Dan ini disesuaikan dengan statusnya, jika ia seorang laki-laki yang sudah berkeluarga, maka ia terkena had zina muhson, yaitu dirajam sampai mati. Jika ia laki-laki yang lajang, maka ia terkena had ghair muhson, yang mana ia akan dijilid atau dicambuk sejumlah 80 kali. 

Hanya saja, hukum fikih ini disesuaikan dengan hukum negara yang berlaku. Namun disarankan, jika laki-laki pemerkosa terkenal biadab dan nira adab, seyogyanya si perempuan tidak dinikahkan dengannya. (Baca:Habib Ali al-Jufri: Pelecehan Seksual Bukan Salah Perempuan

Sebab takutnya sudah jatuh tertimpa tangga, kasihan si perempuan. Agar terhindar dari zina atau pemerkosaan, ada amalan dari Syekh Al-Dairabi, di mana beliau terkenal dengan amalan yang mujarrab. Beliau mengijazahkan sebagaimana dalam redaksi berikut;

 فائدة : نقل عن الشيخ الديربى أنه يسن أن يقرأ فى أذن المولود اليمنى سورة إنا أنزلناه، لأن من فعل به ذلك لم يقدر الله عليه زنا طول عمره. قال هكذا أخذناه عن مشايخنا. 

Menukil dari Syaikh Ad Dairabiy bahwa sunah untuk dibacakan pada telinga anak, surat Inna Anzalnahu (al-Qadar). Sebab orang yang melakukan ini, Allah tidak akan menakdirkan dia zina sepanjang hidupnya. Al-Dairobi berkata, demikianlah yang kami dapat dari para guru kami. (Ibrahim Al-Bajuri, Juz 2, h. 572). 

Jadi, yang dihukum dalam kasus ini hanyalah laki-laki saja, sebagai pihak pemerkosa. Sedang si perempuan, sebagai pihak yang dipaksa, ia tidak dihad. Salah seorang Ulama’ Madzhab Maliki menganggapnya sebagai Konsensus para ulama’, beliau mengatakan;

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ عَلَى الْمُسْتَكْرِهِ الْمُغْتَصِبِ الْحَدَّ إِنْ شَهِدَتِ الْبَيِّنَةُ عَلَيْهِ بِمَا يُوجِبُ الْحَدَّ أَوْ أَقَرَّ بِذَلِكَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَعَلَيْهِ الْعُقُوبَةُ وَلَا عُقُوبَةَ عَلَيْهَا إِذَا صَحَّ أَنَّهُ اسْتَكْرَهَهَا وَغَلَبَهَا عَلَى نَفْسِهَا وَذَلِكَ يُعْلَمُ بِصُرَاخِهَا وَاسْتِغَاثَتِهَا وَصِيَاحِهَا وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا فِيمَا يَظْهَرُ مِنْ دَمِهَا وَنَحْوِهَا مِمَّا يُفْصِحُ بِهِ أَمْرُهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ وَظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ وَقَالَتِ اسْتُكْرِهْتُ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي ذَلِكَ وَنَذْكُرُهُ عِنْدَ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَوْ كَانَ الْحَمْلُ وَالِاعْتِرَافُ فِي كِتَابِ الرَّجْمِ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى وَلَا نَعْلَمُ خِلَافًا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْمُسْتَكْرَهَةَ لَا حَدَّ عَلَيْهَا إِذَا صَحَّ اسْتِكْرَاهُهَا بِمَا ذَكَرْنَا وَشَبْهَهُ.

Para ulama telah bersepakat diberlakukannya hadd bagi pelaku pemerkosaan apabila terdapat bukti yang mewajibkan baginya had atau si pelaku mengakui perbuatannya. Jika tidak memenuhi dua hal tersebut (adanya bukti atau pengakuan ), maka baginya hukuman (ta’zir, yakni diasingkan). 

Dan Tidak ada hukuman bagi pihak perempuan, apabila terbukti  ia tidak menginginkannya dan dipaksa. Yang demikian bisa diketahui dengan jerita, permintaan tolongnya, dan teriakannya. Namun jika ia merupakan wanita perawan, maka bisa diketahui dengan melihat darahnya atau aspek lainnya yang bisa mengindiksikannya. 

Sedang jika tidak ada tanda-tanda tersebut, dan ia menjadi hamil, lalu ia berkata bahwa ia diperkosa. Ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapinya, penjelasannya bisa dilihat di  statement nya Umar bin Khattab atau di bab Rajam.

Dan saya tidak menemui adanya khilaf, bahwa perempuan yang diperkosa itu tidak mendapat had, jika memang benar-benar ia tidak dipaksa. (Ibnu Abdil Barr, al-Istidzkar, Juz 7 hal. 146)

BINCANG SYARIAH