Ikhlas dalam Ibadah Seorang Mukmin

Di hari kiamat, ikhlas dan syirik berlutut di hadapan Allah. Allah mememintahkan ikhlas ke surge dan menendang syirik ke neraka

SEMUA amal kebaikan itu jasad dan ikhlas adalah ruhnya. Maka tidaklah berguna suatu jasad apabila tidak memiliki ruh.

Imam Ad-Dimyati dalam kitabnya al-Muttajjir ar-Rabih fi al-Amal As-Sholih berkata: “Ketahuilah! Syarat umum agar diterimanya semua amal kebaikan dan memperoleh pahala di sisi Allah ialah dengan adanya ikhlas. Dan setiap amal yang tidak bersumber dari keikhlasan maka amal tersebut rusak.”

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “مَنْ فَارَقَ الدُّنْيَا عَلَى الْإِخْلَاصِ لِلَّهِ وَحْدَهُ [وَعِبَادَتِهِ] لَا شَرِيكَ لَهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ مَاتَ وَاللَّهُ عَنْهُ رَاضٍ”.  رواه ابن ماجه و الحاكم

“Dari Anas bin Malik ra. ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan ikhlas kepada Allah, beribadah kepada-Nya dengan tidak menyekutukan-Nya, menegakkan salat dan menunaikan zakat, maka ia meninggal dalam keridaan Allah.” (HR: Ibnu Majah (70) dan Al-Hakim (2/332).

Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran Surah Al-Bayyinah ayat 5:

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

“Padahal mereka tidak diperintah kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS: Al-Bayyinah: 5)

Apa itu ikhlas?

Imam Nawawi ra. dalam Bustanul Arifin berkata, telah diriwayatkan kepada kami dari Hudzaifah bin al-Yaman ra. beliau berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai ikhlas, apa itu ikhlas? Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku bertanya kepada Jibril a.s. mengenai apa itu ikhlas? Lalu dijawab: “Aku bertanya kepada Tuhan Yang Mahamulia mengenai apa itu ikhlas? Lalu Allah Swt. berfirman: “Salah satu sir daripada sekian sir milikku, kutitipkan sir tersebut di hati setiap hamba yang mencintaiku.”

Imam Junaid Al-Baghdadi berkata: “Ikhlas adalah sir antara Allah dan hambanya. Tidak diketahui oleh malaikat sehingga ia mencatatnya, tidak pula setan sehingga merusaknya dan tidak pula hawa sehingga mencondongkannya.”

Sebagian arifin berkata: “Tanda ikhlas itu ialah nur yang diperoleh seorang hamba di dalam nurani yang dengannya kekurangan dalam ketaatan dapat diketahui dan nampak olehnya kecacatan dalam keiklasannya.” Karena tidaklah seorang hamba dapat terlepas dari belenggu setan kecuali dengan keikhlasan dalam beramal baik.

Nabi ﷺ bersabda: “Pada hari kiamat kelak, didatangkan ikhlas dan syirik lalu keduanya berlutut di hadapan Tuhan Yang Mahamulia. Lalu Allah Azza wa Jalla berkata kepada ikhlas: Pergilah kamu dan rombonganmu (para mukhlis) masuk ke dalam surga. Dan Allah berkata kepada syirik: Pergilah kamu dan rombonganmu (musyrikin) masuk ke dalam neraka.” kemudian Rasulullah ﷺ  membaca firman Allah Q.S An-Naml ayat 90:

وَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوْهُهُمْ فِى النَّارِۗ هَلْ تُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Dan barang siapa yang membawa kejahatan, maka disungkurkanlah wajah mereka ke dalam neraka. Tidaklah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS: An-Naml: 90)

Keberkahan ikhlas dan pengaruhnya

Syekh Ad-Damiri ra. dalam kitabnya Hayatul Hayawan menceritakan: Aku pernah melihat di dalam kitab Mukhtasor Ihya’ karangan Syeikh Syarofuddin bin Yunus di dalam Bab Ikhlas: “Sesungguhnya siapa saja yang ikhlas lillahi taala dalam beramal baik walaupun tidak diniatkan, maka akan tampak atsar (pengaruh) keberkahan dari ikhlasnya tersebut kepada dirinya dan anak cucunya hingga hari kiamat. Sebagaimana yang diceritakan, konon ketika Nabi Adam a.s. diturunkan ke bumi, datanglah segerombolan hewan liar sahara mengunjungi dan mengucapkan salam kepada Nabi Adam a.s. Pada saat itu Nabi Adam a.s. mendoakan tiap mereka.”

Lalu datang pula sekawanan kijang. Beliau mendoakan mereka dan mengusap punggung mereka lalu muncul kelenjar misik pada tubuh mereka.

Tatkala mereka kembali pulang dan dilihat oleh gerombolan hewan yang lain, mereka bertanya, “Darimana kalian mendapatkan ini (kelenjar misik)?”. “Kami baru saja mengunjungi kekasih Allah, Nabi Adam a.s., lalu beliau mendoakan dan mengusap punggung kami,” jawab sekawanan kijang tadi.

Walhasil, berangkatlah segerombolan hewan lain mengunjungi Nabi Adam a.s., lalu mereka didoakan dan diusap punggungnya juga namun tidak muncul kelenjar misik pada mereka. Sepulangnya, mereka protes sembari berkata: “Kami telah melakukan seperti yang kalian lakukan namun tidak mendapatkan seperti yang kalian dapatkan!?” Lalu dijawab: “Kalian berbuat seperti itu karena berharap mendapatkan seperti apa yang mereka dapatkan. Sedangkan mereka itu mengunjungi Nabi Adam a.s ikhlas semata karena Allah tanpa niatan lain.”

Maka kelenjar misik tadi juga Allah anugerahkan kepada anak keturunan kijang hingga hari kiamat kelak. Inilah dampak amal yang ikhlas, tak hanya orang tersebut yang mendapatkan keberkahan, namun anak keturunannya pun ikut mendapatkan keberkahan atas amal yang ikhlas.

Penerapan ikhlas dalam ibadah

Imam Fudhail bin Iyadh berkata; “Meninggalkan amal baik karena manusia itu ria. Adapun beramal baik karena manusia itu syirik. Sedangkan ikhlas itu menafikan keduanya karena Allah semata.”

Ikhlas ialah menyucikan amal dari segala niatan selain lillah dan tidak bercampur dengan segala kehendak nafsu. Hadis pertama tadi dapat menjadi motivasi untuk meraih rida Allah Swt.*/Risalah Hadramiyah, PCIM Yaman

HIDAYATULLAH

Perintah untuk Ikhlas Beribadah

Dari Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia peroleh atau perempuan yang ingin dinikahinya hijrahnya kepada apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini adalah hadis pertama yang dibawakan oleh Imam Bukhari Rahimahullah di dalam kitabnya Sahih Bukhari. Hadis ini termasuk kelompok hadis yang disebut oleh para ulama sebagai hadis-hadis yang menjadi poros ajaran agama. Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan yang lainnya menganggap hadis ini sebagai salah satu hadis pokok agama Islam (lihat keterangan Syekh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili Hafizhahullah dalam transkrip Syarh al-Arba’in, 1/5-6)

Hadis ini menunjukkan bahwa niat adalah syarat diterimanya amalan. Apabila suatu amalan tidak disertai dengan niat maka ia tidak akan diterima. Hadis ini juga menjadi dalil bahwa ikhlas adalah syarat diterimanya seluruh amalan. Niat dalam artian ikhlas inilah yang dibahas di dalam kitab-kitab akidah. Adapun niat yang dibahas dalam kitab-kitab fikih adalah niat yang berfungsi untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lain atau untuk membedakan antara ibadah dan bukan ibadah atau kebiasaan (lihat transkrip Syarh al-Arba’in, 1/6-8).

Hadis ini juga memberikan pelajaran bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah harus disertai niat untuk mencari pahala di akhirat. Apabila misalnya ada orang yang melakukan salat tanpa menyimpan niat mencari pahala di akhirat maka orang itu tidak akan mendapatkan pahala di akhirat atas perbuatannya itu (lihat keterangan Syekh Sa’ad asy-Syatsri Hafizhahullah dalam Syarh Umdatul Ahkam, 1/14)

Hadis ini merupakan fondasi agama. Ia mengandung realisasi syahadat laa ilaha illallah. Yaitu wajibnya memurnikan amal ibadah untuk Allah. Hadis ini berisi setengah dalil agama, sedangkan setengahnya lagi ada di dalam hadis, “Barang siapa yang mengada-adakan di dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak termasuk ajarannya maka ia tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam hadis ini terkandung makna syahadat Muhammad Rasulullah. Oleh sebab itu amal yang diterima adalah yang ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam (lihat keterangan Syekh Abdul Aziz ar-Rajihi Hafizhahullah dalam Minhatul Malik, 1/26)

Hadis ini juga menunjukkan bahwa amalan yang dilakukan orang musyrik tidak diterima oleh Allah disebabkan mereka membersekutukan Allah dalam hal ibadah. Allah berfirman,

لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu berbuat syirik niscaya akan lenyap seluruh amalmu” (QS. az-Zumar : 65).

Allah juga berfirman,

وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Seandainya mereka berbuat syirik pastilah akan terhapus semua amal yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Al-An’am: 88).

Demikian pula orang yang murtad maka semua amalnya akan terhapus (lihat at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 73-74).

Semua bentuk ibadah baik lahir maupun batin harus memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mutaba’ah/sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga setiap amalan yang tidak ikhlas untuk mencari wajah Allah maka itu adalah batil. Demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam maka tertolak. Amalan yang memenuhi kedua syarat inilah yang diterima di sisi Allah (lihat ad-Durrah al-Fakhirah fit Ta’liq ‘ala Manzhumah as-Sair ila Allah wad Daril Akhirah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 15).

***

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/67463-perintah-untuk-ikhlas-beribadah.html