Ikhlas: Pintu Kesejukan Jiwa dan Karunia yang Mulia

Ikhlas, sebuah kata yang simpel tapi membawa makna yang dalam dan kuat dalam perjalanan hidup kita. Kata ini berasal dari bahasa Arab, diterjemahkan sebagai “ketulusan” atau “kesucian hati”. Ikhlas adalah sebuah konsep penting dalam agama, filsafat, dan nilai yang dihargai di berbagai budaya di seluruh dunia. Tapi, apakah sebenarnya ikhlas itu dan mengapa ia memiliki begitu banyak arti dalam hidup kita?

Ikhlas adalah suatu keadaan hati di mana seseorang bertindak atau berbuat dengan niat yang tulus dan murni, tanpa memikirkan keuntungan pribadi atau rasa puji dari orang lain. Ini adalah tindakan yang dilakukan semata-mata karena cinta atau tanggung jawab yang tulus, tanpa mengharapkan imbalan apa pun.

Dalam al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan tulus ikhlas kepada-Nya.” (Q.S. Al-Bayyinah, 98:5).

Ikhlas adalah inti dari kebaikan moral dan spiritual. Ia adalah sifat yang mendorong seseorang untuk berbuat baik, bahkan ketika tak ada yang melihat atau memberikan pujian. Ikhlas adalah tindakan yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa hanya Tuhan yang menyaksikan dan menghargai usaha tersebut. Dengan kata lain, ikhlas adalah hubungan yang penuh cinta dan tulus antara individu dan Tuhan.

Ikhlas juga memiliki keistimewaan yang tinggi dalam Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Allah SWT berfirman, ‘Aku adalah Yang paling merdeka dari kesyirikan. Barangsiapa yang beramal untuk selain-Ku bersama-Ku dalam suatu perbuatan, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya.’”

Ketika seseorang hidup dengan ikhlas, hatinya menjadi ringan dan damai. Ikhlas membantu kita melepaskan ego dan keserakahan. Ia memungkinkan kita merasakan kedamaian dalam tindakan kita, karena kita tak lagi terpaku pada keinginan untuk mendapatkan pengakuan atau materi. Sebaliknya, kita berusaha untuk memberikan yang terbaik tanpa menuntut imbalan.

Namun, mencapai ikhlas bukanlah hal yang mudah. Ego dan nafsu sering menghalangi kita untuk bertindak dengan tulus. Namun, dengan usaha dan kesadaran diri, kita dapat mengembangkan sifat ikhlas dalam hidup kita. Di sini beberapa langkah yang dapat membantu:

Introspeksi: Renungkan niat dan motivasi di balik tindakan kita. Apakah kita melakukan sesuatu hanya untuk mencari penghargaan atau keuntungan pribadi, ataukah kita melakukannya karena keyakinan dan cinta yang tulus?

Praktik Kebaikan: Cobalah untuk melakukan tindakan-tindakan kecil yang tulus untuk orang lain, tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Ini dapat membantu memperkuat ikhlas dalam diri kita.

Doa dan Meditasi: Berbicara kepada Tuhan atau merenungkan kebijaksanaan dalam ketenangan dapat memperkuat hubungan ikhlas kita.

Ikhlas adalah kunci menuju kesejahteraan jiwa. Ketika kita hidup dengan niat yang tulus, kita merasa lebih bahagia dan puas dengan hidup kita. Kita tidak lagi terbebani oleh perasaan ketidakpuasan dan ketidakmampuan untuk mencapai apa yang kita inginkan. Ikhlas adalah jalan menuju kedamaian batin, dan ketika kita menemukan ikhlas dalam hidup kita, kita mendekati tujuan sejati kehidupan manusia: mencapai kedamaian dan kesejahteraan sejati.

ISLAMKAFFAH

Ikhlas dalam Ibadah Seorang Mukmin

Di hari kiamat, ikhlas dan syirik berlutut di hadapan Allah. Allah mememintahkan ikhlas ke surge dan menendang syirik ke neraka

SEMUA amal kebaikan itu jasad dan ikhlas adalah ruhnya. Maka tidaklah berguna suatu jasad apabila tidak memiliki ruh.

Imam Ad-Dimyati dalam kitabnya al-Muttajjir ar-Rabih fi al-Amal As-Sholih berkata: “Ketahuilah! Syarat umum agar diterimanya semua amal kebaikan dan memperoleh pahala di sisi Allah ialah dengan adanya ikhlas. Dan setiap amal yang tidak bersumber dari keikhlasan maka amal tersebut rusak.”

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “مَنْ فَارَقَ الدُّنْيَا عَلَى الْإِخْلَاصِ لِلَّهِ وَحْدَهُ [وَعِبَادَتِهِ] لَا شَرِيكَ لَهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ مَاتَ وَاللَّهُ عَنْهُ رَاضٍ”.  رواه ابن ماجه و الحاكم

“Dari Anas bin Malik ra. ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan ikhlas kepada Allah, beribadah kepada-Nya dengan tidak menyekutukan-Nya, menegakkan salat dan menunaikan zakat, maka ia meninggal dalam keridaan Allah.” (HR: Ibnu Majah (70) dan Al-Hakim (2/332).

Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran Surah Al-Bayyinah ayat 5:

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

“Padahal mereka tidak diperintah kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS: Al-Bayyinah: 5)

Apa itu ikhlas?

Imam Nawawi ra. dalam Bustanul Arifin berkata, telah diriwayatkan kepada kami dari Hudzaifah bin al-Yaman ra. beliau berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai ikhlas, apa itu ikhlas? Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku bertanya kepada Jibril a.s. mengenai apa itu ikhlas? Lalu dijawab: “Aku bertanya kepada Tuhan Yang Mahamulia mengenai apa itu ikhlas? Lalu Allah Swt. berfirman: “Salah satu sir daripada sekian sir milikku, kutitipkan sir tersebut di hati setiap hamba yang mencintaiku.”

Imam Junaid Al-Baghdadi berkata: “Ikhlas adalah sir antara Allah dan hambanya. Tidak diketahui oleh malaikat sehingga ia mencatatnya, tidak pula setan sehingga merusaknya dan tidak pula hawa sehingga mencondongkannya.”

Sebagian arifin berkata: “Tanda ikhlas itu ialah nur yang diperoleh seorang hamba di dalam nurani yang dengannya kekurangan dalam ketaatan dapat diketahui dan nampak olehnya kecacatan dalam keiklasannya.” Karena tidaklah seorang hamba dapat terlepas dari belenggu setan kecuali dengan keikhlasan dalam beramal baik.

Nabi ﷺ bersabda: “Pada hari kiamat kelak, didatangkan ikhlas dan syirik lalu keduanya berlutut di hadapan Tuhan Yang Mahamulia. Lalu Allah Azza wa Jalla berkata kepada ikhlas: Pergilah kamu dan rombonganmu (para mukhlis) masuk ke dalam surga. Dan Allah berkata kepada syirik: Pergilah kamu dan rombonganmu (musyrikin) masuk ke dalam neraka.” kemudian Rasulullah ﷺ  membaca firman Allah Q.S An-Naml ayat 90:

وَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوْهُهُمْ فِى النَّارِۗ هَلْ تُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Dan barang siapa yang membawa kejahatan, maka disungkurkanlah wajah mereka ke dalam neraka. Tidaklah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS: An-Naml: 90)

Keberkahan ikhlas dan pengaruhnya

Syekh Ad-Damiri ra. dalam kitabnya Hayatul Hayawan menceritakan: Aku pernah melihat di dalam kitab Mukhtasor Ihya’ karangan Syeikh Syarofuddin bin Yunus di dalam Bab Ikhlas: “Sesungguhnya siapa saja yang ikhlas lillahi taala dalam beramal baik walaupun tidak diniatkan, maka akan tampak atsar (pengaruh) keberkahan dari ikhlasnya tersebut kepada dirinya dan anak cucunya hingga hari kiamat. Sebagaimana yang diceritakan, konon ketika Nabi Adam a.s. diturunkan ke bumi, datanglah segerombolan hewan liar sahara mengunjungi dan mengucapkan salam kepada Nabi Adam a.s. Pada saat itu Nabi Adam a.s. mendoakan tiap mereka.”

Lalu datang pula sekawanan kijang. Beliau mendoakan mereka dan mengusap punggung mereka lalu muncul kelenjar misik pada tubuh mereka.

Tatkala mereka kembali pulang dan dilihat oleh gerombolan hewan yang lain, mereka bertanya, “Darimana kalian mendapatkan ini (kelenjar misik)?”. “Kami baru saja mengunjungi kekasih Allah, Nabi Adam a.s., lalu beliau mendoakan dan mengusap punggung kami,” jawab sekawanan kijang tadi.

Walhasil, berangkatlah segerombolan hewan lain mengunjungi Nabi Adam a.s., lalu mereka didoakan dan diusap punggungnya juga namun tidak muncul kelenjar misik pada mereka. Sepulangnya, mereka protes sembari berkata: “Kami telah melakukan seperti yang kalian lakukan namun tidak mendapatkan seperti yang kalian dapatkan!?” Lalu dijawab: “Kalian berbuat seperti itu karena berharap mendapatkan seperti apa yang mereka dapatkan. Sedangkan mereka itu mengunjungi Nabi Adam a.s ikhlas semata karena Allah tanpa niatan lain.”

Maka kelenjar misik tadi juga Allah anugerahkan kepada anak keturunan kijang hingga hari kiamat kelak. Inilah dampak amal yang ikhlas, tak hanya orang tersebut yang mendapatkan keberkahan, namun anak keturunannya pun ikut mendapatkan keberkahan atas amal yang ikhlas.

Penerapan ikhlas dalam ibadah

Imam Fudhail bin Iyadh berkata; “Meninggalkan amal baik karena manusia itu ria. Adapun beramal baik karena manusia itu syirik. Sedangkan ikhlas itu menafikan keduanya karena Allah semata.”

Ikhlas ialah menyucikan amal dari segala niatan selain lillah dan tidak bercampur dengan segala kehendak nafsu. Hadis pertama tadi dapat menjadi motivasi untuk meraih rida Allah Swt.*/Risalah Hadramiyah, PCIM Yaman

HIDAYATULLAH

Ikhlas

Al-Quran mendorong umat Islam untuk bersikap ikhlas, menyerahkan diri pada Allah. Ayat al-Quran juga berisi anjuran terhadap kaum muslimin mengedepankan sikap ikhlas dalam segala hal

SECARA etimologis, kata ikhlas berasal dari bahasa Arab اخلاص, yang sudah diserap dalam bahasa Indonesia dengan penulisan: ikhlas – tanpa h. Kata ikhlas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: bersih hati; tulus hati.

Di dalam bahasa Arab, kata ikhlas (إِخْلاَصٌ) adalah bentuk masdar (dasar dari kata kerja) akhlasha (أَخْلَصَ) dan yukhlishu (يُخْلِصُ). Kata ini memiliki banyak makna seperti: mengerjakan sesuatu dengan hati yang bersih, memurnikan, mengambil intisari sesuatu, dan memilih.

Kata ikhlas itu sendiri terambil dari kata dasar خَ لَ صَ/ kha – la – sha: يَخْلُصُ/ yakhlushu, خُلُوْصًا/ khulushan. Yang memiliki beberapa arti. Yaitu: Murni, tidak bercampur dengan sesuatu yang lain, bersih, jernih dan bebas dari sesuatu.

Bentuk kata إخلاص tidak ditemukan di dalam Al Quran. Yang ada hanyalah bentuk-bentuk yang lain yang merupakan derivasinya, seperti خلصوا/ kholashu, خالص/ khoolish, أخلصوا/ akhlashuu, مخلص/ mukhlish dan مخلصون/ mukhlishuun.

Bentukan-bentukan (derivasi) dari kata إخلاص yang terdapat di dalam Al Quran terulang sebanyak 31X yang terulang dalam berbagai ayat dalam berbagai surah. Jadi makna kata al-khalish hampir serupa dengan kata ash-shofi.

Hanya saja kata al-khalish (suci atau bersih) mengandung makna bahwa kesucian tersebut memiliki campuran tertentu. Sementara itu kata ash-shofi dipergunakan sebagai sesuatu yang ‘telah’ menjadi suci dan bersih tanpa campuran apapun.

Di dalam Mufrodad Ar-Roghib, Ibnu Manzhur mengatakan bahwa khalasha asy-syay’u disebutkan sesuatu yang pernah memiliki campuran di dalamnya kemudian campuran tersebut dipisahkan hingga benar-benar bersih.  Kalimat akhlasha lillahi dinahu bermakna hanya menjadikan agama Allah sebagai agama yang dianut oleh seorang hamba.

Sementara, akhlasha asy-syay’a bermakna memilihnya. Menurut Ibnu Saad dalam kitabnya Ath-Thabaqat (ia meriwayatkan ‘Umar bin ‘Abdul Aziz).

Diriwayatkan jika ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berkhutbah di atas mimbar dan mulai takut untuk membanggakan diri, maka ia akan memotong khutbahnya itu. Jika ia menulis kitab dan mulai merasa takut akan ujub terhadap dirinya, maka ia akan merobek kertas itu.

Dan berdoa:

اللهم اني اعوذ بك من شر نفسي

“Yaa Allah aku berlindung kepadamu dari keburukan yang ada dalam diriku.”

Ikhlas dalam Al-Quran dan As-Sunnah

Al-Quran mendorong umat Islam untuk bersikap ikhlas. Ayat al-Quran juga berisi anjuran dan perintah terhadap kaum muslimin untuk mengedepankan sikap ikhlas dalam segala hal.

Sikap ikhlas ini menjadi penting karena sesuatu amal akan menjadi bermakna karena keikhlasan niat, dan ketulusannya. Di antara ayat-ayat yang menerangkan tentang ikhlas itu ialah ayat-ayat berikut:

QS. Al Nisa’ [4]: 146 yang menggunakan kata أخلصوا (akhlashuu):

إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ وَٱعۡتَصَمُواْ بِٱللَّهِ وَأَخۡلَصُواْ دِينَهُمۡ لِلَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ وَسَوۡفَ يُؤۡتِ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَجۡرًا عَظِيمٗا ١٤٦

“Kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan [berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.”

QS. Al Zumar [39]: 11 yang menggunakan kata مخلصا (mukhlishan):

قُلۡ إِنِّيٓ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ ١١

Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”

QS. Ghoofir [40]: 65 yang menggunakan kata مخلصين (mukhlishiin):

هُوَ ٱلۡحَيُّ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَٱدۡعُوهُ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَۗ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦٥

“Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Pendapat Tsa’lab yang dikutip Mahmud al-Mishri menyatakan bahwa al-mukhlishiin adalah orang-orang yang menyerahkan ibadah mereka kepada Allah ﷻ. Hati mereka telah disucikan dan dibersihkan oleh Allah ﷻ. Karena itu, al-mukhlishiin itu disebut juga sebagai orang-orang pilihan (terpilih).

Rasulullah ﷺ banyak menuturkan hadits yang mendorong umatnya untuk selalu mengedepankan ikhlas hanya karena Allah ﷻ dalam setiap perkataan dan perbuatan.

ٍعَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Dari ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rosul-Nya.  Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR: Bukhori, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits).*/Hariono Madari

HIDAYATULLAH

Kedudukan Vital Ikhlas dalam Beribadah, tak Terkecuali Haji

Ibadah haji adalah salah satu di antara ibadah agung yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya. Untuk mendapat pahala(mabrur) dari rukun Islam kelima ini perlu keikhlasan dalam mengerjakannya.

“Sebagaimana ibadah-ibadah yang lain, ibadah haji pun dipersyaratkan keikhlasan ketika ditunaikan agar menjadi haji mabrur yang diterima di sisi Allah SWT sebagai amal saleh,” tulis H Aswanto Muhammad, Lc dalam karyanya “Haji dan Keikhlasan” 

Menurutnya, hakikat keikhlasan adalah beribadah hanya kepada Allah tanpa mengharapkan penilaian dari orang lain dan tidak mengharapkan ganjaran kecuali dari-Nya.  

Dalam surat Al Kahfi ayat 110 Allah berfirman tentang keharusan ikhlas dalam beribadah, yaitu sebagai berikut: 

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا  

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya sembahan kalian adalah sembahan Yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”  

Berkenaan dengan ibadah haji Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 97 yaitu sebagai berikut ini:

 وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”  

Inilah yang dimaksud Rasulullah SAW, sebagai haji mabrur dalam sabdanya. Aswanto pun mengutip hadits Nabi yang berbunyi: 

المبرور ليس له جزاء إلا الجنة “Haji yang mabrur tak ada balasan yang patut bagi pelakunya kecuali surga.” (HR Bukhari).  

Makna haji yang mabrur adalah haji yang diterima di sisi Allah SWT, tidak terdapat kemaksiatan di dalamnya berupa syirik, riya’, harta haram, dan sebagainya.  Dengan demikian, untuk mendapatkan haji yang mabrur hendaknya menunaikannya dengan niat semata-mata menjalankan ketaatan kepada Allah, tanpa mengharapkan pujian dan balasan dari makhluk.

IHRAM

Buah Manis Keikhlasan

Ikhlas mengandung faedah yang luar biasa banyaknya. Apabila ikhlas benar-benar tertanam dalam hati seorang hamba, maka akan menghasilkan buah manis sebagai berikut:

Pertama: Diterimanya Amal

Dari sahabat Abu Umamah Al-Baahily radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ اللهَ لا يقبلُ من العملِ إلَّا ما كان خالصًا وابتُغي به وجهُه

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan pernah menerima amal, kecuali amal yang ikhlas mengharap wajah-Nya.“ (HR. An Nasa-i, shahih)

Kedua: Mendapatkan  Pahala

Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا 

Sesungguhnya tidaklah Engkau memberikan nafkah dengan niat ikhlas mengharap wajah-Nya, melainkan Engkau akan mendapat pahala kebaikan.“ (HR. Bukhari)

Ketiga: Amalan Kecil Bisa Menjadi Besar

Ibnul Mubarak rahimahullah mengatakan,

رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية

Betapa banyak amal yang kecil menjadi  besar nilainya karena niat. Dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil nilainya karena niat.“ (Jaami’ul ‘Uluuum wal Hikam)

Keempat: Mendapatkan Ampunan Dosa

Ikhlas adalah sebab terbesar diampuninya dosa-dosa. Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ada satu jenis amal yang apabila dilakukan oleh seorang hamba dengan penuh keikhlasan, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa besar yang pernah dilakukan dengan sebab amalan tersebut. Ini seperti yang terdapat dari hadis ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, beliau bersabda,

يُصَاحُ بِرَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ فَيُنْشَرُ لَهُ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ سِجِلاًّ كُلُّ سِجِلٍّ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَلْ تُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا فَيَقُولُ لاَ يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَظَلَمَتْكَ كَتَبَتِى الْحَافِظُونَ ثُمَّ يَقُولُ أَلَكَ عُذْرٌ أَلَكَ حَسَنَةٌ فَيُهَابُ الرَّجُلُ فَيَقُولُ لاَ. فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لاَ ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلاَّتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لاَ تُظْلَمُ. فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِى كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِى كِفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ

Ada seseorang dari umatku pada hari kiamat nanti yang dihadapkan di hadapan manusia pada hari kiamat. Lalu, dibentangkan kartu catatan amalnya yang berjumlah 99 gulungan. Setiap gulungan jika dibentangkan panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah menanyakan padanya, ‘Apakah Engkau mengingkari sesuatu dari gulungan catatanmu ini?’ Ia menjawab, ‘Tidak sama sekali wahai Rabbku.’ Allah bertanya lagi, ‘Apakah yang mencatat hal ini berbuat zalim padamu?’ Lalu ditanyakan pula, ‘Apakah Engkau punya uzur atau ada kebaikan di sisimu?’ Dipanggillah laki-laki tersebut dan ia berkata, ‘Tidak.’ Allah pun berfirman, ‘Sesungguhnya ada kebaikanmu yang masih kami catat. Dan sungguh tidak akan ada kezaliman atasmu hari ini.’

Lantas dikeluarkanlah satu bitoqoh (kartu) yang bertuliskan syahadat laa ilaha ilallah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh. Lalu ia bertanya, ‘Apalah artinya kartu ini dibanding dengan catatan-catatanku yang penuh dosa tadi?’ Allah berkata padanya, ‘Sesungguhnya Engkau tidak dizalimi.’ Lantas diletakkanlah gulungan catatan dosa di salah satu daun timbangan dan kartu ‘laa ilaha illallah’ di daun timbangan lainnya. Ternyata daun timbangan penuh dosa tersebut terkalahkan dengan beratnya kartu ‘laa ilaha illalah’ tadi. ” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, shahih)

Demikianlah kondisi orang yang mengucapkan kalimat tauhid dengan ikhlas dan jujur, seperti yang dialami orang dalam hadis ini. Meskipun demikian, pelaku dosa yang masuk neraka dan mereka mengucapkan laa ilaaha illallah tidak otomatis akan mengalami seperti yang didapatkan oleh pemilik kartu yang disebutkan dalam hadis.

Disebutkan pula dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنَّ امْرَأَةً بَغِيًّا رَأَتْ كَلْبًا فِى يَوْمٍ حَارٍّ يُطِيفُ بِبِئْرٍ قَدْ أَدْلَعَ لِسَانَهُ مِنَ الْعَطَشِ فَنَزَعَتْ لَهُ بِمُوقِهَا فَغُفِرَ لَهَا

Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu, wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni karena amalnya tersebut.” (HR. Muslim)

Wanita ini menolong anjing tersebut karena iman dan keikhlasan di dalam hatinya, maka Allah Ta’ala mengampuninya. Akan tetapi, tidak setiap orang yang menolong anjing akan mendapat ampunan seperti dirinya.

Dua kisah di atas menunjukkan bahwa amalan yang dilakukan dengan jujur dan penuh ikhlas dalam hatinya bisa menghapus dosa-dosa besar yang banyak. Inilah buah manis kekuatan ikhlas.

Kelima: Tetap Mendapat Pahala Amal, Meskipun Belum Mampu Melaksanakan

Keenam: Amalan Mubah dan Adat Kebiasaan Menjadi Bernilai Ibadah

Ketujuh: Terjaganya Diri dari Gangguan Setan

Ketika setan berjanji kepada dirinya sendiri akan mengganggu seluruh hamba Allah, maka dikecualikan darinya orang-orang yang ikhlas sebagaimana ucapan iblis yang disampaikan di dalam Al-Qur’an,

إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka“ (QS. Al Hijr: 40)

Setan tidak akan mampu menyesatkan orang-orang yang dirinya telah dijaga dengan keikhlasan.

Kedelapan: Terhindar dari Was-Was dan Terjauhkan dari Riya’

Abu Sulaiman Ad-Daarany rahimahullah  berkata,

إذا أخلص العبد انقطعت عنه كثرة الوساوس والرياء

Jika seorang hamba ikhlas, maka akan hilang dari dirinya berbagai sikap was-was dan riya’.”

Kesembilan: Selamat dari Fitnah

Seseorang akan selamat dari fitnah dengan sebab ikhlas. Selain itu juga akan mendapat penjagaan dari terjerumus pada godaan syahwat dan terjatuh dalam gangguan orang fasik. Dengan sebab ikhlas, maka Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Yusuf dari fitnah istri raja sehingga tidak terjerumus dalam godaannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَن رَّأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاء إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu. Andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas.“ (QS. Yusuf :24)

Kesepuluh: Hilangnya Kegalauan dan Mendapat Banyak Rezeki

Dari sahabat Anas bin Malik , bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi  wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ ، وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلا مَا قُدِّرَ لَهُ 

Barangsiapa akhirat menjadi tujuan utamanya, maka Allah menjadikan kecukupan pada hatinya, mengumpulkan urusannya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan terhina. Namun, barangsiapa dunia menjadi tujuan utamanya, maka Allah menjadikan kefakiran di depan matanya, menjadikan urusannya bercerai-berai, dan tidaklah dunia datang kepadanya, kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan baginya.” (HR Tirmidzi, shahih)

Kesebelas: Terhindar dari Kesulitan

Hal ini seperti kisah yang dialami oleh tiga orang yang terjebak dalam gua. Masing-masing berdoa kepada Allah degan berwasilah meyebut amalan kebaikannya. Orang pertama menyebut tentang kebaikannya berbakti kepada kedua orang tua. Orang kedua menyebut mengenai amalnya menjaga diri dari zina. Orang ketiga menyebut amalnya menjaga amanah yang dititipkan kepadanya. Ketiganya melakukannya dengan ikhlas karena Allah Ta’ala. Maka, dengan sebab amalan ikhlas ketiga orang tersebut, Allah Ta’ala pun membuka pintu gua dan meyelamatkan mereka bertiga. Hadis tentang kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Kedua Belas: Mendapat Pahala Meskipun Keliru

Orang yang berijtihad dengan sungguh-sungguh berdasarkan ilmu yang dimilikinya, jika dia niatkan karena Allah Ta’ala, maka meskipun salah, dia akan tetap mendapatkan pahala atas usahanya tersebut.

Ketiga Belas: Ikhlas Mencakup Seluruh Kebaikan

Dawud Ath-Thaa’i rahimahullah mengatakan,

رأيت الخير كله إنما يجمعه حسن النية ، وكفاك بها خيراً وإن لم تنصب

Aku melihat seluruh kebaikan semuanya terkumpul dalam niat yang benar dalam hati. Cukuplah dengan ini, maka Engkau akan mendapat kebaikan, meskipun Engkau belum mampu melakukannya.“

Semoga Allah mejadikan kita semua temasuk hamba-hamba yang senantiasa ikhlas kepada-Nya.

***

Penulis: dr. Adika Mianoki, SpS.

Sumber: https://muslim.or.id/72916-buah-manis-keikhlasan.html

Ikhlas Kunci Utama Perbuatan Diterima Allah

Ikhlas; kata Imam Qusyairi, mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja. Ibadah yang dilaksanakan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada tendensi lain. Dalam Risalah al Qusyairiyah menyebutkan ibadah yang dikerjakan murni dari perbuatan dari pandangan makhluk.

الإخلاصُ إفرادُ الحقِ سبحانه في الطاعة بالقصدِ، وهو أن يريدَ بطاعته التقرّبَ إلى الله تعالى دون شيء آخرَ، مِن تَصنُّعٍ لمخلوق. وقال: ويصحُّ أن يقالَ: الإخلاصُ تصفيةُ الفعلِ عن ملاحظةِ المخلوقين.

Artinya; Ikhlas adalah engkau mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja. Melakukan pelbagai ketaatan semata untuk mendekatkan kepada Allah tidak ada tendensi lain,  misalnya karena berpura-pura kepada perbuatan makhluk. Dan ia berkata; Ikhlas adalah memurnikan diri kepada Allah dari pandangan makhluk.

Ada anekdot bersumber dari ahli hikmah; “Ikhlas itu seperti kotoran. Ia keluar dari dubul orang yang buang air besar,”.  Tak dapat dipungkiri, setelah buang hajat, tak pernah ada yang menoleh kebelakangan. Tak pernah terbesit dalam hati merasa iba kotorannya keluar. Tak juga ada rasa bangga terhadap tahinya.

Ia pasrah melepas “tahi” yang keluar. Ia bersyukur pencernaanya lancar. Tak ada rasa iba. Tak juga menyesal melihat kotorannya hanyut di bawa air. Nah, manusia ikhlas hendaknya begitu. Pasrah. Tak ada tendensi terhadap pujian makhluk. Tak ada juga rasa bangga akan perbuatan.

Ikhlas itu tersembunyi. Letaknya dalam hati. Tak perlu diumbar. Imam Junaid Bagdadi berkata, “Ikhlas adalah rahasia antara hamba dan Tuhan,”. Lebih lanjut, rahasia orang ikhlas harus dijaga betul. Tak boleh bocor. Sehingga malaikat pun tak perlu tahu—untuk mencatat kebaikan manusia.

Begitu pun iblis, tak perlu tahu tentang ibadah manusia ikhlas. Pasalnya, bila iblis tahu, ia akan berusah menggoda manusia. Nafsu pun juga tak perlu mengetahui ibadah manusia, agar ia tak memalingkan manusia dari keikhlasan. Ikhlas itu rahasia di atas rahasia.

الإخلاصُ سِرٌّ بينَ الله وبينَ العبدِ، لَا يَعْلَمُهُ مَلَكٌ فَيَكتُبَه، ولَا شَيْطَانٌ فَيُفْسِدَهُ ولَا هَوى فيميلَه

Artinya: Ikhlas itu rahasia antara Allah dan hamba. Tak perlu malaikat tahu untuk mencatatnya, tak perlu setan tahu, sehingga ia akan membinasakan (amal manusia, dan tak perlu pula diketahui hawa nafsu, sehingga ia memalingkan manusia.

Pandangan lain terkait ikhlas dituangkan oleh Zakaria al Anhsari, sebagaimana dicatat dalam buku Hakekat tasawuf,  Anshari berkata,”Seorang benar-benar disebut sebagai orang yang ikhlas apabilaia tidak melihat keikhlasannya dan tidak tenang terhadapnya. Jika ia menyalahi itu, maka ikhlasnya dianggap belum sempurna. Sebagian kalangan menyebutnya hal itu sebagai riya.

Pendek kata, ikhlas adalah perbuatan yang murni. Ia bermuara dalam satu tujuan, yakni hendaklah hawa nafsu tidak ada ambil bagian dalam amal ibadah. Antara amal dan hawa nafsu tak bisa digabungkan. Pasalnya, akan membawa pada kerusakan amal kebajikan.

Dalam Al-Qura’an dijelaskan amal ibadah merupakan kunci utama diterimanya ibadah seseorang. Amal seorang hamba itu tergantung keikhlasannya. Untuk itu, Allah memerintahkan Rasul dan para orang beriman untuk beribadah tanpa pamrih.  Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S az Zumar ayat 11 dan 14;

قُلْ اِنِّيْٓ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ

Artinya; Katakanlah; “Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”.

قُلِ اللّٰهَ اَعْبُدُ مُخْلِصًا لَّهٗ دِيْنِيْۚ

Artinya: Katakanlah, “Hanya Allah yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.”

Di samping itu, dalam Al-Qur’an juga Allah menjelaskan bahwa ikhlas adalah sarana untuk berjumpa Allah kelak di akhirat. Pasalnya, amal kebajikan yang dikerjakan tanpa pamrih, akan mendapatkan ridha dan rahmat Allah. Allah berfirman dalam Q.S Al Kahfi ayat 110;

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Artinya: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.

Demikian penjelasan terkait ikhlas kunci utama perbuatan diterima Allah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

6 Langkah Menjaga Keikhlasan

Amal kebaikan yang tidak didasari keikhlasan hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka

Hidayatullah.com–Keikhlasan dalam beramal merupakan perbuatan yang teramat penting dan akan membuat hidup seseorang menjadi lebih mudah, indah dan jauh lebih bermakna. Amal kebaikan yang tidak didasari keikhlasan hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Bahkan ia bisa mendatangkan azab Allah. Sebuah amal yang dilakukan bukan karena-Nya termasuk perbuatan syirik yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia segera bertaubat.  Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)

Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui hal-hal yang dapat membantu kita agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kepada Allah semata. Di antara hal-hal tersebut adalah:

Pertama, Banyak Berdoa

Rasulullah SAW sering memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan. Padahal beliau orang yang paling jauh dari kesyirikan.

Di antara doa yang sering dipanjatkan:  “Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” (Riwayat Ahmad)

Kedua, Menyembunyikan Amal Kebaikan

Menyembunyikan amal dapat mendorong seseorang berbuat ikhlas. Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain hasilnya lebih ikhlas, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah SWT semata. Rasulullah SAW bersabda:

“Tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya senantiasa terikat dengan masjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena-Nya, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang cantik dan memiliki kedudukan, namun ia berkata: ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga meneteslah air matanya.” (Riwayat Bukhari Muslim).

Ketiga, Memandang Rendah Amal Kebaikan

Memandang rendah amal kebaikan dapat mendorong kita berbuat ikhlas. Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan.

Semakin ujub dalam beramal, akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal tersebut. Bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia.

Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Beliau menjawab, “Seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah SWT dan Allah SWT pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut. Maka ia pun bertemu Allah SWT dalam keadaan demikian, maka Allah SWT pun memasukkannya ke dalam neraka.”

Keempat, Takut Tidak Diterima Amalnya

Allah berfirman,  “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun: 60)

Menurut  Ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah senang memberi, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan mereka tersebut.

Kelima, Tidak Terpengaruh Perkataan Orang Lain

Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah SAW pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya.

Beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (Riwayat Muslim)
Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak disukai manusia.

Namun yang perlu disadari bahwa pujian atau celaan yang menyebabkan seseorang beramal shaleh, bukanlah termasuk perbuatan ikhlas. Seorang mukmin yang ikhlas tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan ketika beramal shaleh. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal shaleh, tidaklah pujian tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah diri) kepada Allah SWT.

Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. Tidak ada pujian yang dapat bermanfaat bagi seseorang, demikian pula celaan tidak dapat membahayakan seseorang karena kesemuanya itu berasal dari Allah.

Keenam, Menyadari Pemilik Surga dan Neraka Adalah Allah SWT

Sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari bahwa orang-orang yang dia jadikan sebagai tujuan amalnya itu (baik karena ingin pujian maupun kedudukan yang tinggi di antara mereka), akan sama-sama dihisab oleh Allah.

Mereka juga sama-sama berdiri di padang mahsyar dalam keadaan takut dan telanjang. Sama-sama akan menunggu keputusan untuk dimasukkan ke dalam surga atau neraka. Karena tidak ada satu pun dari mereka yang dapat menolong lainnya untuk masuk surga ataupun menyelamatkannyadari neraka. Karena itu tidak layak kita bersusah-payah melakukan amal untuk manusia.

Seorang sahabat bertanya pada Rasulullah SAW, “Ya kekasih Allah, bantulah aku mengetahui perihal kebodohanku ini. Kiranya engkau dapat menjelaskan kepadaku, apa yang dimaksud ikhlas itu?“

Nabi bersabda, “Berkaitan dengan ikhlas, aku bertanya kepada Jibril, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril berkata, “Aku bertanya kepada Tuhan yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah ikhlas itu sebenarnya?“ Allah SWT yang Mahaluas Pengetahuannya menjawab, “Ikhlas adalah suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai.“ (Riwayat Al-Qazwini)

Dari hadits di atas nampaklah bahwa rahasia ikhlas itu diketahui oleh hamba-hamba Allah yang dicintai-Nya. Untuk mengetahui rahasia ikhlas kita bisa menggalinya dari kaum arif, salafus shaalih dan para ulama kekasih Allah./ Bahrul Ulum/Hidayatullah.com

HIDAYATULLAH

Mengenal Ikhlas, Dasar dari Semua Ibadah

Orang ikhlas akan merasa senang apabila melihat orang lain lebih baik.

Ikhlas (berakar kata khalasha) berarti jernih, bersih, murni, dan suci dari campuran dan pencemaran. Dalam konteks amal ibadah, orang ikhlas (mukhlis) adalah orang yang beramal karena Allah semata, menghindari pujian dan perhatian makhluk, dan membersihkan amal dari setiap yang mencemarkannya.

Orang yang mukhlis ialah orang yang tidak peduli, seandainya hilang seluruh penghormatan kepadanya di dalam hati manusia, untuk kebaikan hatinya bersama Allah SWT. Keharusan ikhlas dalam beramal karena perintah Allah berikut

ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus” (Qs Al-Bayyinah/98:5).

Kata (حُنَفَاءَ ) yang berarti “agama yang lurus” pada ayat di atas maksudnya adalah terjauhkan dari hal-hal syirik dan menuju kepada tauhid. Di sinilah pentingnya ikhlash dalam selurus amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia dan tidak mendapat adzab dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

KH. Ahmad Dahlan dalam pengajian-pengajiannya sering kali menyebutkan mahfudhad (kata-kata bijak) berikut: Manusia itu semua mati kecuali para orang yang berilmu, semua ornag berilmu dalam kebingungan kecuali mereka yang beramal, mereka yang beramal semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas.

Sikap ikhlas, niat tulus kepada Allah, menjadi syarat dan dasar semua amal ibadah. Amal yang dilakukan dengan ikhlas pasti akan mendapat ridha dan balasan dari Allah dan sekaligus berdampak baik bagi diri dan lingkungan sosilanya.

Sebaliknya, amal yang tidak ikhlas atau pamer mengharap pujian orang lain, meski bisa berdampak baik bagi orang lain, tetapi akan berdampak buruk bagi diri sendiri dan tidak memperoleh ridha Allah. Setiap amal yang diterima Allah adalah amal yang dilaksanakan berdasarkan kebenaran dan keikhlasan.

Benar maksudnya sesuai dengan syariat, berdasarkan tuntunan, dan mengandung kemaslahatan. Sedangkan yang dimaksud amal yang ikhlas adalah amal yang ditujukan kepada Allah semata.

Diantara ciri penting dari keikhlasan adalah tidak terjebak dalam fanatisme golongan, suku, keluarga, atau kubu. Karena bagi orang yang berjuang membesarkan agama di jalan Allah selalu berlapang dada, luas pergaulannya, dan memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk bersama-sama beramal.

Orang ikhlas akan merasa senang apabila melihat orang lain lebih baik, lebih pandai, lebih mulia akhlaknya dalam beramal. Bukan sebaliknya, iri dan dengki melihat kesuksesan yang dicapai orang lain.

Sifat dan sikap ikhlas dapat dipraktikkan baik untuk diri sendiri maupun dalam berorganisasi. Dalam konteks beramal dan berjuang di Muhammadiyah, orang yang ikhlas tidak pernah terjebak membela kelompoknya sendiri atau memperturutkan pendapatnya sendiri untuk dipaksakan menjadi keputusan organisasi atau orang lai.

Tentu tidak mudah mencapai derajat keilkhlasan yang sempurna dalam seluruh amal perbuatan, tetapi setiap orang harus melatih diri dan berusaha mencapai keikhlasan itu. Melatihkan diri dalam balutan keikhlasan merupakan sikapyang sangat diperlukan dalam memperbaiki kehidupan manusia yang sebenarnya. Sifat ikhlas dapat mengikis sikap hipokrit (kemunafikan) yang sering kali menjadi sumber petaka dalam hidup berorganisasi dan bermasyarakat.

*Mutohharun Jinan, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2017

KHAZANAH REPUBLIKA

Ciri-ciri Orang Ikhlas

JIKA ikhlas ialah rahasia, bagaimanakah kita bisa mengenalinya? Bagaimanakah ciri-cirinya?

Syekh al-Anquri menguaknya dalam salah satu abab pada kitab Munyat al-Waizhin wa Ghunyat al- Muttaizhzhin.

Diriwayatkan dari seorang ahli hikmah: sesungguhnya perumpamaan orang yang beramal karena ria dan sumah adalah seperti orang yang pergi ke pasar, namun memenuhi saku bajunya dengan kerikil.

Orangorang mengatakan, kerikil itu tak dapat memenuhi kebutuhan orang itu. Ia tak dapat apa-apa selain ocehan dari orang lain. Jika ia ingin membeli sesuatu, maka ia tidak bisa membelinya dengan kerikil.

Demikian pula halnya dengan amalan yang dilakukan karena ria dan sumah; tidak ada manfaat amalnya, kecuali sanjungan dari manusia, dan tidak ada pahala sedikit pun baginya di akhirat nanti. Ini ditegaskan dalam firman Allah.

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Allah swt akan menggugurkan pahala amalan-amalan mereka yang bukan karena mengharapkan rida Allah. Lalu Allah jadikan amalan-amalan itu seperti debu yang beterbangan.

Seorang ahli hikmah pernah ditanya, “Siapakah orang yang ikhlas itu?” Jawabnya, Orang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan amal kebaikannya sebagaimana ia menutupi amal keburukannya.

Ali ibn Abi Thalib berkata, “Ada empat tanda orang yang ria dalam beramal, yaitu malas beramal jika sendirian, rajin beramal jika banyak orang, semakin rajin beramal jika mendapat pujian, dan semakin malas jika mendapat celaan.”

Seorang ahli hikmah berpendapat, orang yang beramal hendaknya meniru adab beramal yang dipraktikkan penggembala kambing. Jika si penggembala melakukan salat di samping gembalaannya, maka salatnya tak akan pernah dipuji oleh kambing-kambingnya. Demikian pula beramal, hendaknya tidak pernah memerhatikan pandangan manusia terhadap amalnya. Sebaliknya, ia harus mampu beramal secara konsisten, baik dikala ramai maupun sepi-beramal tanpa mengharapkan pujian manusia. [Chairunnisa Dhiee]

Sumber buku ” Ikhlas Tanpa Batas”

INILAH MOZAIK

Ikhlaskan Niat Selamatkan Diri

IBARAT perjalanan, tidak selamanya yang dilewati itu jalan yang lurus. Di tengah jalan kadang ada belokan atau menanjak dan sedikit terjal.

Bahkan mungkin adakalanya  melewati tikungan tajam yang butuh konsentrasi dan kehati-hatian dalam berkendara.

Demikian pula seorang Mukmin dalam meniti satu kebaikan. Orang itu dituntut mampu mengemudi dan menata hatinya. Ada rambu-rambu yang harus awas diperhatikan mulai dari awal hingga akhir perbuatan. Apakah sudah sejalan dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya?

Bagaimana menata hati agar tidak mengembang sembari menganggap orang lain lebih kecil hanya karena ia sudah  berprestasi.

Karena amal yang diterima Allah sejatinya hanya yang memang diperuntukkan untuk-Nya semata.

Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuh serta kemolekan wajahmu, tetapi Allah melihat keikhlasan hatimu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Rasa bangga dan senang ketika bertabur pujian adalah rasa manusiawi yang kadang hadir dan dianggap wajar, tetapi menjaga hati adalah sesuatu yang mutlak.

Bercermin pada orang-orang shaleh terdahulu, sebisa mungkin mereka menyembunyikan amalan-amalan baiknya dari pandangan manusia agar terjaga keikhlasannya.

Jakfar ash-Shadiq berkata:  Mereka yang menyembunyikan amalan baiknya sebagaimana dia bersemangat menyembunyikan aib dan kekurangannya.

Jakfar juga pernah berpesan, tidak sempurna suatu amal baik kecuali dengan tiga perkara. Yakni menyegerakan, menganggapnya kecil dan menyembunyikannya.

Ikhlas adalah amalan yang diusahakan sekaligus pemberian dari Allah. Beruntunglah orang beriman yang setiap aktifitasnya bernilai ibadah dan bisa menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena disertai dengan niat ikhlas.

Tersebab niat itu pula Allah menimbang amalan manusia, diterima atau tertolak kelak.

Al-Baidhawi  berkata: Amal ibadah tidak akan sah kecuali diiringi dengan niat. Karena niat tanpa amal diberi pahala, sedangkan amal tanpa niat adalah sia-sia.

Perumpamaan niat bagi amal itu seperti ruh  bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tidak ada ruh dan ruh pun tidak akan tampak tanpa jasad.

Lebih jauh, Ibnu Hajar al-Atsqalani  menyebutkan dalam kitabnya ”Nashaihul Ibad” bahwa amal itu harus disertai dengan niat yang ikhlas. Tanpa niat yang ikhlas, amal seseorang tidak akan diterima meskipun banyak. Tapi dengan ikhlash, kendatipun sedikit akan besar timbangannya dihadapan Allah.

Terkadang ada sebagian orang mengatakan akan berinfak atau mendermakan hartanya ketika sudah merasa ikhlas, menghitung dan mengurangi kembali karena merasa belum ikhlas.

Padahal ikhlas itu tidak hadir serta merta tetapi  karena diusahakan dari awal yang dimulai dengan niat di hati, ketika menjalani proses dan sesudahnya.

Meminjam perkataan Salim A Fillah, bahwa menjadi ikhlas itu adalah runtutan perjalanan yang tak kenal henti dan terus mengaca diri serta berbenah hingga maut menjemput.

Kekhawatiran akan rasa ketidakikhlasan itu mestinya menambah semangat untuk berbuat lebih dan lebih baik lagi, karena keikhlasan itu adalah refleksi dari bersitan niat yang dapat diusahakan.

Firman Allah:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka memurnikan peribadatan hanya kepada Allah semata, yaitu agamanya yang lurus. Supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, itulah agama yang lurus.” (QS: Al-Bayyinah: 5).

Terkait ayat di atas, Imam al-Qurthubi menyatakan wajibnya mengikhlaskan niat karena Allah dalam semua ibadah. Karena ini adalah amalan hati yang hanya ditujukan kepada Allah bukan kepada selainnya.

Pahalamu sesuai dengan kadar lelahmu. Demikian pesan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam kepada Ummu al-Mukminan, Aisyah.

Bahwa sebaik apa pun dan sebanyak apa pun amal shaleh yang kita lakukan bila tidak diniatkan karena Allah maka hanya kerugian saja yang didapatkan nanti.

Seperti halnya orang yang berpuasa bukan karena Allah maka lapar dan haus saja yang bakal diterima orang tersebut.

Alih-alih mendapat untung berupa pahala berlipat, ia justru bisa celaka karena perbuatannya sendiri. Hati yang ikhlas adalah sebab diri bisa selamat.

*/ SholehahPengajar STIS Balikpapan, anggota komunitas menulis PENA

HIDAYATULLAH