al-Ghazali: Kebahagiaan di Akhirat takkan Bisa Tanpa Takwa

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir di Tus, Persia, pada 450 Hijriyah (1058 Masehi). Pada masa mudanya, al-Ghazali belajar pada imam Masjid al-Haram, al-Juwayni. Kemudian, bakat al-Ghazali menarik perhatian Nizam al-Mulk, yakni wazir Kesultanan Seljuk sekaligus pendiri sekolah Nizamiyyah.

Nizam al-Mulk menunjuk al-Ghazali untuk menjadi kepala sekolah Nizamiyyah di Baghdad. Memasuki usia 33 tahun, al-Ghazali sudah menjadi cendekiawan yang terhormat di ibu kota kerajaan.

Demikian disarikan dari Pembukaan buku The Faith and Practice of al-Ghazali karya Montgomery Watt. Empat tahun kemudian, al-Ghazali mengalami kegelisahan intelektual. Dia meninggalkan Baghdad untuk melakukan pencarian spiritual. Ia wafat di Tus pada 505 Hijriyah.

Imam Ghazali digelari Hujjatul Islam karena taraf keilmuannya yang tinggi. Pendidikan dini Ghazali muda dimulai dari guru-guru sekitar rumahnya. Ia kemudian pindah ke Jurjan dan berada di bawah bimbingan Imam Abu Nasr Ismaili.

Metode pengajarannya ialah guru menerangkan, sementara para murid mencatat apa yang disimaknya. Ghazali muda merupakan murid yang unggul dan dapat memahami apa yang diajarkan gurunya dengan mudah.

Saat itu, pusat-pusat pendidikan Islam tersebar merata ke seluruh negeri. Tetapi, hanya Nishapur dan Baghdad yang paling terkemuka. Imam Ghazali memutuskan hijrah belajar ke Nishapur lantaran itulah yang paling dekat dengan daerah asal.

Di Nishapur, Imam Ghazali belajar pada Imam Masjidil Haram, al-Juwayni. Selain guru besar, Imam al-Juwayni juga dekat dengan raja. Reputasinya diakui hampir semua kalangan.

Di antara para murid Imam al-Juwayni, al-Ghazali termasuk yang paling brilian. Kemudian, Imam Ghazali ditunjuk menjadi asisten Imam al-Juwayni. Saat itulah Imam Ghazali mulai menulis sejumlah karya atas dorongan gurunya.

Imam al-Juwayni wafat pada 475 Hijriyah (1086 Masehi). Karena itu, Imam Ghazali memutuskan meninggalkan Nishapur dan bertolak menuju Baghdad.

Saat itu, Baghdad merupakan pusat peradaban Islam yang paling unggul. Di Baghdad, Imam Ghazali belajar di bawah bimbingan Nizam al-Mulk, yang tersohor sebagai pendiri sekolah Nizamiyyah.

Tak membutuhkan waktu lama, Imam Ghazali ditunjuk menjadi guru di institusi terhormat itu. Sosok yang bernama lengkap Abu Ali Hasan ibn Ali Tusi ini merupakan pakar hukum Islam yang disegani. Ruang kerjanya lebih mirip wahana debat antarsarjana hukum Islam. Para pemula begitu bersemangat mengasah kemampuan dan ilmunya dalam lingkungan demikian. Demikian pula dengan Imam Ghazali. Sisi geniusnya mulai tampak dari ajang ini.

Pada usia 33 tahun, Imam Ghazali diamanahi sebagai kepala Universitas Nizamiyya di Baghdad. Dia menjadi sosok yang berpengaruh. Bahkan, kalangan kerajaan banyak meminta saran darinya. Inilah puncak karier Imam Ghazali berkat kerja kerasnya menuntut ilmu. Filsafat merupakan salah satu kajian favoritnya. Tetapi, posisinya yang dalam puncak kemapanan justru memunculkan kegelisahan batin. Ia lantas memutuskan meninggalkan Baghdad dan berkelana mencari ketenangan spiritual.

Imam Ghazali menulis, “Dalam enam bulan saya dalam keadaan yang dirundung cemas luar biasa, sampai-sampai saya tak bisa bicara, makan, atau mengajar.”

“Saya sampai pada kesimpulan bahwa kebahagiaan di akhirat takkan bisa tanpa takwa, mengendalikan hawa nafsu. Dan semua ini hanya bisa tercapai bila kecintaan terhadap dunia disudahi. Sampai kita mengabaikan dunia dan merindukan akhirat. Saat memikirkan diri sendiri, saya merasa begitu dekat dengan dunia. Saat saya mempelajari alasan saya mengajar, saya merasa itu semata-mata karena saya mengejar status. Saya yakin berada di pinggir jurang bahaya.”

Imam Ghazali meninggalkan Baghdad dan menuju Suriah pada 488 Hijriyah (1096 Masehi). Dari keputusan itulah, perjalanan spiritual dan intelektualnya kian terasah.

Di Damaskus, Imam Ghazali hidup sendirian dan menghabiskan hari-hari dengan beribadah. Dia akan menyusuri tangga naik di menara MasjidAgung Umawiyah. Di sana, ia seharian merenung dan beribadah.

Di masjid yang sama, ia juga mengajar beberapa murid. Dua tahun kemudian, Imam Ghazali bertolak ke Yerussalem dan tinggal di Kubah Batu. Lantas, ia berjalan ke Kota Khaleef di Tepi Barat.

 

sumber: Republika Online