Inilah Isi Khutbah Wada’ Nabi Muhammad ﷺ di Padang Arafah

Di Arafah Nabi ﷺ menyampaikan khutbah Wada’, menegaskan semua manusia sama di hadapan Allah SWT, dilarang membunuh dan riba juga perlindungan pada wanita, inilah isi khutbah wada’ Nabi

HARI Selasa (27/6/2023) ini, jamaah haji di Arab Saudi akan segera memasuki waktu puncak ibadah haji pada dengan melaksanakan ibadah wukuf. Waktu wukuf diperkirakan sekitar jam 12.30 siang waktu Indonesia.

Secara makna dan hakekat, wukuf artinya berhenti. Ini mengisyaratkan, segala yang semula bergerak, suatu saat akan berhenti.

Semua yang hidup akan mati. Arafah menjadi lambang Padang Mahsyar, saat manusia menghadap Allah dengan status yang sama.

Manusia diam, cemas, dan penuh harap saat menunggu keputusan Allah Swt, surga atau neraka. Arafah adalah lambang maqam ma’rifah billah. Semua perbedaan sirna.

Semua berstatus sama, sebagai hamba Allah. Wukuf juga bermakna pengenalan.

Di Arafah inilah umat Islam diminta untuk berdiam, merenung, berintrospeksi dan bertaubat kepada Allah Swt. Di Arafah, seorang Muslim diharapkan bisa lebih mengenali dirinya dan Allah Swt sebagai Tuhannya.

Wukuf mengisyaratkan pentingnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan duniawi, agar dapat berpikir, menimbang, dan merencanakan agenda kehidupan jangka panjang.

Menurut sejarah, di Arafah, Nabi Muhammad tinggal di sebuah tenda kecil di lembah Arnah. Pada sore hari, beliau mengendarai unta betinya menyusuri setengah bagian lembah Arafah.

Di sini, beliau menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbah Haji Wada’‘. Sekarang di tempat ini berdiri sebuah masjid yang bernama Nimrah atau Namirah, yang dibangun pada pertengahan abad ke-2 H oleh penguasa Abbasiyah.

Di atas gunung, di ketinggian 200 kaki (61 m), Jabal Rahmah, Nabi Muhammad duduk di atas punggung unta. Beliau menyampaikan khutbah kepada sekumpulan orang yang jumlahnya diperkirakan mencapai 140 orang pada 632 M.

Ada banyak versi khotbah Wada’ Baginda Nabi, tetapi umumnya inti khutbah-nya sarma. Berikut adalah pesan Rasullullah dalam khotbah Wada’‘ tersebut yang penulis kutip dari Ash-Shiddiqie (2005);

"Sesungguhnya darahmu dan hartamu adalah haram atasmu seperti haramnya harimu, di bulan ini. Ketahuilah, segala sesuatu yang berasal dari ajaran jahiliah diletakkan di bawah telapak kakiku. Segala darah yang tumpah di masa jahiliah tidak dituntut bela lagi. Permulaan darah yang aku bebaskan dari darah-darah kamu ialah darah lbnu Rabiah ibn Haris. Dia bersusu dalam kalangan Bani Saad, lalu ia dibunuh oleh Khuzaimah.
Riba yang dilakukan di masa jahiliah dipandang tidak berlaku lagi. Permulaan riba yang kubebaskan ialah riba yang dibuat oleb Abbas ibn Abdul Muthalib. Ribanya semua menjadi batal.
Takutlah kepada Allah mengenai perihal wanita, karena kamu mengambilnya dengan amanah Allah dan kamu memperoleh kehalalan terhadap diri mereka dengan kalimat Allah. Hakmu terhadap diri mereka, ialah mereka tidak memberikan seseorang duduk di tempat tidurmu yang kamu tidak menyenanginya.
Jika mereka berbuat demikian, maka kamu boleh memukulnya dengan pu kulan yang tidak merusakkan (tidak sampai cedera), kamu wajib memberi rezeki dan pakaian kepada mereka dengan makruf.
Aku telah tinggalkan untukmu suatu pegangan yang kamu sekali-kai tidak akan sesat selamanya, jika kamu berpegang kepadanya, yaitu  Kitabullah. Dan apabila ditanyakan tentang diriku, maka apa yang akan aku jawab?" Para jamaah menjawab, "Kami bersaksi, bahwa engkau telah menunaikan dan telah berlaku jujur:
Kemudian Nabi mengisyaratkan dengan telunjuknya, yang diangkatnya, sambil berisyarat kepada mereka, "Wahai Tuhanku, saksikanlah. Wabai Tuhanku, saksikanlah. Wabai Tuhanku, saksikanlah." (HR. Muslim dan Jabir)

Isi khutbah Wada’‘ Nabi Muhammad ﷺ di Padang Arafah pada Haji Wada’ sangat penting dan memberikan pengajaran yang sangat berharga bagi umat Islam. Khutbah tersebut menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, menjaga kebersihan hati, memperhatikan hak-hak wanita, melarang riba, melarang perpecahan dan tumpah darah dan memperhatikan hak-hak Allah SWT serta makhluk-Nya.

Khutbah tersebut juga menegaskan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah SWT dan tidak ada perbedaan antara Arab dan non-Arab, kecuali dalam hal ketaqwaan.

Setelah khotbah ini, Allah Ta’ala menurunkan ayat:

اليَومَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3).

Saat ayat ini turun, Umar bin Khattab pun menangis. Lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”

Umar menjawab, “Sesungguhnya tidak ada setelah kesempurnaan kecuali kekurangan.”

Dari ayat tersebut, Umar merasakan bahwa ajal Nabi ﷺ telah dekat. Ketika syariat telah sempurna, maka wahyu pun akan terputus.

Jika wahyu telah terputus, maka tiba saatnya Rasulullah ﷺ kembali ke haribaan Rab-Nya. Dan itulah kekurangan yang dimaksud Umar, yakni kehilangan Nabi ﷺ.*

HIDAYATULLAH