Korupsi Menurut Perspektif Ekonomi Islam

Berikut ini penjelasan terkait korupsi menurut perspektif ekonomi Islam. Tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara. Tindakan korupsi dinilai sangat buruk karena merugikan banyak orang, melambatnya pertumbuhan ekonomi negara. Korupsi juga dapat meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan.

Dilansir dari Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa potensi kerugian keuangan negara akibat korupsi di Indonesia pada 2021. ICW menilai kerugian negara sebesar Rp 62,93 triliun pada tahun lalu.

Angka tersebut meningkat 10,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka tersebut juga merupakan yang terbesar dalam 5 tahun terakhir. Kerugian negara yang ditangani Kejaksaan sebesar Rp 62,1 triliun ,sementara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya Rp 802 miliar

Korupsi memiliki banyak objek, tetapi objek yang lebih dominan dijadikan sebagai objek korupsi adalah uang. Seakan uang bukan lagi sebagai sarana, melainkan tujuan. Demi uang, apapun akan dilakukan sekalipun melewati batasan moral. Tentu, pandangan ini sangat bertentangan dengan Islam yang menganggap harta hanyalah sebagai sarana dan bukan tujuan.

Ahmad Muhammad Mahmud Nasshar dalam kitabnya Mabadi’ al-Iqtishad al-Islami menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam harta bukanlah menjadi tujuan akhir, sebagai berikut:

هذه النظرة الدينية هي الأساس في اعتبار المال وسيلة وليس غاية, وأنه هناك أهداف سامية للتملك, وهذه النظرة ليست من صنع اجتهاد فقهي أو فكري وإنما هي في صميم التشريع السماوي وجاءت به النصوص الصريحة في القرآن والسنة

“Pandangan agama adalah dasar untuk menganggap uang sebagai sarana dan bukan tujuan, dan harta merupakan tujuan yang mulia untuk suatu kepemilikan. Pandangan ini bukanlah karya fikih atau penalaran intelektual (pakar ekonomi Islam semata), melainkan merupakan inti dari undang-undang agama yang dibawa oleh nash-nash yang tersurat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Di antara dalil bahwa harta bukanlah sebagai tujuan adalah Al-Quran Surat Al-Hadid Ayat 7:

ءَامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُوا۟ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ ۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَأَنفَقُوا۟ لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.

Syaikh Wahbah az-Zuhaili, dalam tafsirnya Al-Wajiz menjelaskan bahwa, pada hakikatnya, harta itu adalah milik Allah. Allah menitipkannya kepada manusia. Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka baginya itu pahala yang sangat besar, yaitu surga.

Kepemilikan atas uang terikat pada suatu tujuan dan dibatasi oleh syarat-syarat yang sudah ditetapkan dalam Islam. Terkait dengan cara memperolehnya, penggunaan, dan pendistribusian, harus sesuai dengan cara yang sudah ditetapkan oleh syariat. Di antara ketetapan itu adalah tidak melupakan hak Tuhan di dalamnya dan kepentingan utamanya terfokus pada kemaslahatan manusia.

Korupsi dalam Perspektif Ekonomi Islam

Dalam konteks persoalan korupsi yang sangat merugikan banyak pihak dan negara, tentunya perilaku ini timbul karena keserakahan dan anggapan bahwa uang adalah tujuan akhir yang harus dicapai. Mereka lupa bahwa harta hanyalah sebuah titipan dari Allah semata.

Tindakan korupsi juga menyebabkan kemiskinan semakin merajalela, dan menambah penderitaan yang lebih parah di tengah masyarakat.  Hal tersebut dikarenakan para koruptor bertujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri maupun pihak tertentu tanpa memikirkan orang lain.

Dalam Ekonomi Islam tidak memisahkan antara ekonomi dengan sistem agama dan sosial. Selain memperhatikan faktor material, dalam Ekonomi Islam juga tidak mengabaikan aspek spiritual dan kemaslahatan manusia. Sehingga sistem dalam Ekonomi Islam saling melengkapi serta bisa memberikan solusi yang komprehensif untuk kehidupan.

Konsep ini tentu berbeda dengan ekonomi kapitalis yang fokusnya adalah menciptakan keuntungan material sebesar-besarnya bagi setiap individu. Dalam ekonomi Islam, untuk mewujudkan kegiatan ekonomi yang maksimal harus melibatkan agama, terkait dengan kepemilikan keuangan dan pendistribusiannya, di mana hal tersebut merupakan faktor utama dalam kegiatan ekonomi.

Karena ruh dari ekonomi Islam adalah penghambaan kepada Tuhan dan kemaslahatan manusia secara umum. Untuk mencapai tujuan yang luhur ini haruslah dimulai dengan kesadaran setiap individu sebagai hamba Tuhan, kerja sama, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan.

Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah Ayat 188;

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Dalam ayat di atas, terdapat seruan kepada umat manusia untuk memperoleh harta dari sumber yang halal. Oleh karena itu, ekonomi harus dijalankan sesuai dengan apa yang Allah perintahkan, dengan cara-cara yang jauh dari penipuan, riba, korupsi, pencucian uang, pencurian, penipuan, dll.
Kesimpulan 

Korupsi sangatlah tidak dibenarkan apa pun alasannya. Untuk itulah pemberantasan korupsi dalam negeri adalah sesuatu yang harus diupayakan dan harus dilakukan secara sistematis demi mencapai kemaslahatan, kesejahteraan dan keadilan sosial.

Ekonomi Islam memiliki peran untuk merealisasikan tujuan mulia ini. Islam menempatkan ekonomi dalam kerangka yang benar, dan membuat ikatan yang erat antara ekonomi dan aturan nilai spiritual yang harus dijalankan oleh setiap individu dan masyarakat Islam secara umum.

Demikian penjelasan terkait korupsi menurut perspektif ekonomi Islam. Semoga bermanfaat.

*Editor: Zainuddin Lubis

BINCANG SYARIAH