Pasangan dari Sukabumi Gagal Menikah karena Pengantin Wanita Meminta Mahar Sertifikat Rumah, Lalu Bagaimana Pandangan Islam Mengenai Mahar?

Beberapa hari lalu muncul berita Viral di sosial media, pasangan dari Sukabumi, Jawa Barat, gagal menikah karena pengantin wanita meminta mahar sertifikat rumah. Kisah ini mendapat perhatian nasional, setelah pengantin pria menceritakan kronologinya di televisi. Pria bernama Ryan Dono tersebut mengaku awalnya persiapan pernikahan berjalan lancar. Hingga tetiba pada H-3 jelang pernikahan, pengantin wanita yang bernama Yessy mengirimkan pesan terkait permintaan sertifikat rumah sebagai mahar alias mas kawin.

Permintaan ini tidak bisa dituruti oleh Ryan Dono, mengingat rumah yang akan mereka tempati setelah menikah adalah pemberian ibunya. Karena tidak bisa menyanggupi permintaan Yessy, Ryan dan keluarga pun membatalkan pernikahannya. Yessy pun mengunggah kisah pembatalan nikah di akun tiktoknya, @kayeeesss_ dan menyebut Ryan menikah dengan perempuan lain. Sementara Ryan Dono lewat akun TikTok @hokcay22 mengunggah bukti permintaan mahar sertifikat rumah sebagai alasan gagal nikah.

Melihat fenomena sosial ini, Pro dan kontra muncul lewat netizen yang mengutarakan pendapatnya. Ada yang menyebut permintaan mahar memang hak calon pengantin wanita yang wajib dipenuhi calon suami. Lalu bagaimana dengan pandangan hukum Islam? Maka dari permasalahan ini, penulis akan menjelaskan seputar mahar dengan detail, agar dapat memberikan pemahaman yang dalam mengenai mahar ini.

Pengertian Mahar

Mahar secara etimologi adalah Maskawin. Secara terminogi adalah pemberian wajib dari calon suami kepada istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istri, baik berbentuk benda ataupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan sebagainya).

Mahar hanya diberikan calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lain atau siapapun, walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak akan boleh mengambilnya, bahkan suaminya sendiripun tidak boleh mengambilnya kecuali atas izin istrinya. Akan tetapi bila dibolehkan istrinya tidak ada halangan baginya untuk memakainya. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran: Dan berikanlah kepada perempuan itu maskawin mereka sebagai pemberian, maka apabila mereka berbaik hati kepadamu (rela hatinya) tentang suatu yang kamu berikan itu, makanlah olehmu harta itu secara senang hati pula. (Q.S. an-Nisa [4]: 4).

Iman Syafi’i juga mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia meberikan maharnya, maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi jika istri dalam memberikan maharnya karena malu atau takut maka tidak halal menerimanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambil dengan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”. (Q.S. an-Nisa [4]: 20).

Dasar Hukum Mahar

Nabi SAW bersabda: Maskawin yang paling baik adalah yang mudah. Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: Padukanlah wanita-wanita itu pada para lelaki, dan janganlah berlebihan dalam maskawin.

Dimakruhkan bagi laki-laki untuk memberi maskawin kepada istri-istrinya suatu maskawin yang pembayarannya menyusahkannya, atau sulit untuk dilunasi jika itu berupa pinjaman. Dalam pelaksanaan pembayaran mahar ini juga tidak bisa dipaksakan dengan kekerasan, maka ketika tidak mampu untuk membayar maka dilakukan perundingan. Alquran menjelaskan tentang maskawin pada surah an-Nisa’ ayat 4: Dan berikanlah kepada perempuan itu maskawin mereka sebagai pemberian, maka apabila mereka berbaik hati kepadamu (rela hatinya) tentang suatu yang kamu berikan itu, makanlah olehmu harta itu secara senang hati pula. (Q.S. an-Nisa [4]: 4). Ayat ini memberikan hak yang jelas kepada wanita dan hak keperdataan mengenai maskawinnya. Juga menginformasikan realitas yang terjadi dalam masyarakat jahiliyah, dimana hak itu dirampas dengan berbagai macam bentuknya. Misalnya pemegang hak maskawin itu di tangan wali dan ia berhak mengambilnya untuk dirinya, seakan-akan wanita itu objek jual beli sedangkan si wali sebagai pemiliknya.

Islam mewajibkan maskawin dan memastikannya, untuk dimiliki si wanita sebagai kewajiban dari lelaki kepadanya yang tidak boleh ditentang. Islam mewajibkan si suami memberikan maskawin sebagai “nihlah” (pemberian yang khusus kepada si wanita) dan harus dengan hati yang tulus dan lapang dada, sebagaimana memberikan hibah dan pemberian. Apabila kemudian si istri merelakan maskawinnya itu sebahagian atau seluruhnya kepada suaminya, maka si istri itu mempunyai hak penuh untuk melakukannya dengan senang hati dan rela hati, dan si suami boleh menerima dan memakan apa yang diberikan istri dengan senang hati.

Syarat Mahar

Dalam Islam tentu sudah ada aturan main yang diatur oleh hukum Islam itu sendiri baik permasalahan ibadah, jinayah, siyasah, munakahat dan lain sebagainya. Dalam fiqh munakahat telah disebutkan ada beberapa macam syarat sahnya mahar yang diberikan kepada calon istri, adapun syarat tersebut sebagai harta berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi bernilai tetap sah disebut mahar.

Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga/suci. Dan barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang ghasab tidak sah.

Macam-macam Mahar

Pertama, Mahar musamma. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang disebutkan dalam redaksi adat. Dr. H. Abd. Rahman Ghazali, MA dalam bukunya mendefenisikan bahwa mahar musamma adalah mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Ulama Fiqh sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila telah bercampur (bersenggama), dan salah satu dari suami istri meninggal. Demikian ijma’ ulama.

Kedua, Mahar mitsil (sepadan) Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum maupun ketika terjadi pernikahan, atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang telah diterima oleh keluarga terdekat, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya. Mahar mitsil ini terjadi dalam keadaan apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur (bersenggama), dan mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri ternyata nikahnya tidak sah. Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh.

Ketentuan Mahar dalam Islam

Mengenai kadar mahar ulama mazhab telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batasan tertinggi. Ulama mazhab mengambil dalil firman Allah SWT: Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambil dengan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata (Q.S. an-Nisa’ [4]: 20).

Kemudian ulama mazhab berbeda pendapat dengan rendahnya mahar tersebut. Syafi’i, Hambali, dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimalnya. Mereka mengambil dalil Hadits Rasulullah SAW. Kawinlah engkau walupun dengan maskawin cincin dari besi. (HR. al-Bukhari). Hanafi berpendapat bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad yang dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar sepuluh dirham. Maliki mengatakan jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar kurang dari hal tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi apabila belum bercampur maka suami boleh memilih antara membayar tiga dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau memfasakh akad, lalu membayar mahar musamma.

Adapun faktor penyebab perbedaan pendapat tentang kadar (ketentuan mahar) di kalangan ulama madzhab ada dua macam sebagaimana disebutkan oleh Ibn Rusyd, yaitu: pertama, Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya.

Demikian itu kalau ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu lakilaki dapat memiliki jasa wanita itu selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan ibadah. Kedua, Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mafhum hadits yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.

ISLAM KAFFAH

Istri Mau Menjual Mahar Nikah, Apakah Harus Mendapat Izin Suami?

Ketika seorang istri hendak menggunakan mahar nikah dari suaminya, seperti hendak menjualnya, biasanya dia akan minta izin dari suaminya terlebih dahulu. Seorang istri biasanya tidak berani untuk membelanjakan mahar nikah dari suaminya kecuali mendapat izin dari suaminya. Sebenarnya, apakah seorang istri harus mendapat izin dari suaminya ketika hendak menjual mahar nikah dari suaminya tersebut?

Menurut para ulama, mahar nikah yang diberikan oleh suami kepada istrinya sudah milik penuh seorang istri. Suami sudah tidak memilik hak apapun terhadap mahar yang diberikan kepada istrinya. Karena itu, seorang istri berhak menggunakan dalam bentuk apapun terhadap mahar yang diterima dari suaminya, tanpa perlu minta izin sama siapapun, termasuk kepada suami dan walinya.

Justru yang ada adalah sebaliknya, yaitu suami harus minta izin pada istrinya ketika hendak menggunakan mahar yang telah diberikan kepada istrinya. Jika suami menggunakan mahar istrinya tanpa izin dan keridhaan dari istrinya, maka ia berdosa dan telah berbuat dzalim.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla berikut;

ولا يحل لأب البكر صغيرة كانت أو كبيرة أو الثيب، ولا لغيره من سائر القرابة أو غيرهم: حكم في شيء من صداق الابنة، أو القريبة، ولا لأحد ممن ذكرنا أن يهبه، ولا شيئا منه، لا للزوج طلق أو أمسك ولا لغيره، فإن فعلوا شيئا من ذلك هو مفسوخ باطل مردود أبدا

Tidak halal bagi ayah seorang gadis, baik masih kecil maupun sudah besar, juga ayah seorang janda dan anggota keluarga lainnya, menggunakan sedikitpun dari mahar putri atau keluarganya. Dan tidak seorang pun yang kami sebutkan di atas, berhak untuk memberikan sebagian mahar itu, tidak kepada suami baik yang telah menceraikan ataupun belum (menceraikan), tidak pula kepada yang lainnya. Siapa yang melakukan demikian, maka itu adalah perbuatan yang salah dan tertolak selamanya.

Dengan demikian, boleh bagi seorang istri menjual mahar nikah dari suaminya tanpa harus mendapatkan izin dari suaminya. Ia bebas menggunakan mahar nikahnya, termasuk menjualnya, tanpa perlu mendapatkan izin dari siapapun, termasuk dari suaminya.

BINCANG SYARIAH

Mahar Berlebihan dan Membebani akan Mengurangi Keberkahan Pernikahan

Mahar adalah kewajiban yang wajib diserahkan suami kepada istrinya ketika akan menikah dan menjadi harta milik istri. Hal ini merupakan perintah Allah dalam Al-Quran. Allah berfirman,

وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa: 4)

Mahar wajib ditunaikan walaupun tidak memiliki harga yang tinggi. Sebagaimana kisah seorang sahabat yang akan menikah tapi tidak memiliki harta, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari mahar yang memiliki nilai dan harga walaupun hanya cincin besi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat tersebut,

انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ

“Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Besaran nilai mahar tidak ditetapkan oleh syariat. Mahar boleh saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan saling ridha. An-Nawawi menjelaskan,

في هذا الحديث أنه يجوز أن يكون الصداق قليلا وكثيرا مما يتمول إذا تراضى به الزوجان، لأن خاتم الحديد في نهاية من القلة، وهذا مذهب الشافعي وهو مذهب جماهير العلماء من السلف والخلف

“Hadits ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) dan boleh juga banyak (bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling ridha, karena cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan juga pendapat jumhur ulama dari salaf dan khalaf.” (Syarh Shahih Muslim 9/190)

Akan tetapi hendaknya mahar itu adalah mahar yang mudah akan membuat pernikahan berkah. Berkah itu adalah bahagia dunia-akhirat baik kaya maupun miskin. Tidak sedikit orang kaya tetapi rumah tangga tidak bahagia dan tidak berkah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺧَﻴْـﺮُ ﺍﻟﻨِّﻜَـﺎﺡِ ﺃَﻳْﺴَـﺮُﻩُ

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’ (HR. Abu Dawud)

Dalam riwayat Ahmad,

ﺇِﻥَّ ﺃَﻋْﻈَﻢَ ﺍﻟﻨَّﻜَـﺎﺡِ ﺑَﺮَﻛَﺔً ﺃَﻳَْﺴَﺮُﻩُ ﻣُﺆْﻧَﺔً

“Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.”

Amirul Mukminin, ‘Umar radhiallahu anhu pernah berkata,
“Janganlah kalian meninggikan mahar wanita. Jika mahar termasuk kemuliaan di dunia atau ketakwaan di akhirat, tentulah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam paling pertama melaksanakannya.” (HR. At-Tirmidzi, shahih Ibni Majah)

Sebaliknya apabila mahar terlalu mahal dan membebankan bagi calon suami (apalagi sampai berhutang untuk menikah karena tabungan tidak cukup), tentu akan mengurangi keberkahan pernikahan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan,

المغالاة في المهر مكروهة في النكاح وأنها من قلة بركته وعسره.

“Berlebihan-lebihan dalam mahar hukumnya makruh (dibenci) pada pernikahan. Hal ini menunjukkan sedikitnya barakah dan sulitnya pernikahan tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 5/187)

Semoga kaum muslimin memudahkan dalam urusan mahar dan tidak mematok mahar yang tinggi yang menyusahkan dan membebani calon suami.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38410-mahar-berlebihan-dan-membebani-akan-mengurangi-keberkahan-pernikahan.html

Ternyata Hafalan Alquran Bisa Jadi Mahar Nikah?

UNTUK mengatahui lebih lanjut tentang permasalahan ini, ada baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu landasan hukum syariat bagi perkara ini. Dalil untuk perkara ini adalah hadits Sahal bin Sad As-Saidi radhiyallahu anhu. Beliau mengisahkan bahwa suatu ketika ada seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa salam seraya mengatakan:

“Wahai Rasulullah, aku serahkan diriku untukmu,” maksudnya untuk dinikahi. Rasulullah shallallahu alaihi wa salam pun melihat perempuan tersebut dari atas sampai ke bawah. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa salam tunduk dan diam.

Karena melihat seolah Rasulullah tidak menginginkannya berdirilah seorang sahabat seraya mengatakan: “Wahai Rasulullah, jika engkau tidak menginginkannya, nikahkanlah ia denganku!”

Rasulullah bertanya: “apakah engkau memiliki sesuatu (untuk mahar)?”

“Tidak,” jawabnya.

“Pulanglah, cari sesuatu di rumahmu untuk dijadikan mahar!”

Ketika kembali, dia mengatakan: “Tidak ada wahai Rasulullah”.

“Kembali! Dan cari sesuatu meskipun itu adalah cincin besi!”.

Sekembalinya, dia mengatakan lagi: “Tidak ada juga wahai Rasulullah, meskipun itu berupa cincin besi. Namun ini sarungku, dia bisa memiliki setengahnya.”

Sahal radhiyallahu anhu menuturkan bahwa orang tersebut tidak memiliki rida, pakaian yang sering dikenakan orang Arab pada waktu itu adalah rida dan sarung. Pada saat ini pakaian tersebut kita kenal dengan pakaian ihram orang yang menunaikan haji. Terdiri dari dua helai kain, bagian atas dinamakan rida dan bagian bawah dinamakan izar atau sarung. Jika orang tersebut tidak memiliki rida, artinya tubuh bagian atas orang tersebut tersingkap. Ini menunjukkan bahwa orang tersebut benar-benar sangat miskin. Dan maksud perkataan “Dia bisa memiliki setengahnya” adalah hari ini dia yang memakai, dan esok istrinya yang memakai.

Rasulullah shallallahu alaihi wa salam pun mengatakan: “Apa yang bisa kau perbuat dengan sarungmu? Jika engkau memakainya istrimu tidak bisa memanfaatkannya. Namun jika istrimu nanti memakainya, kamu tidak berpakaian apa-apa.”

Setelah lama menanti dan tidak ada jawaban dari Rasulullah shallallahu alaihi wa salam. Orang tersebut pun pergi. Seolah-olah beliau telah putus asa. Ketika melihatnya telah pergi, Rasulullah pun memanggilnya kemudian bertanya: “Apa saja surah Alquran yang kamu hafal?”.

Saya hafal surah ini, ini, dan ini. Beliau pun menyebutkan beberapa surah Alquran yang dihafalnya.

Rasulullah berkata kepadanya: “Pergilah!, aku telah menjadikan wanita ini milikmu, dengan hafalan yang engkau miliki.”

Tafsir Hadits

Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam kitab Shahih mereka. Sebenarnya ada banyak faedah dan permasalahan fikih yang perlu pembahasan lebih luas dari kisah tersebut. Namun sesuai judul tulisan ini, yang kita bahas adalah apa maksud mahar dengan hafalan Alquran? Apakah benar, sebagaimana yang diyakini banyak orang bahwa mahar hafalan cukup dengan membacakannya saja untuk istri?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perhatikan kembali sabda Nabi shallallahu alaihi wa salam yang artinya “dengan hafalan yang kamu miliki”. Ada dua tafsiran untuk perkataan tersebut:

Yang pertama: dengan hafalan yang kamu ajarkan untuk istrimu.

Yang kedua: karena hafalan yang kamu miliki.

Kedua tafsiran ini dipaparkan oleh Al-Qadhi Iyadh rahimahullah sebagaimana dinukilkan Syaikhul Islam Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari. Kedua tafsiran ini masing-masing memiliki hujjah dan penguat.

Berdasarkan tafsiran yang pertama, kewajiban seorang suami untuk menunaikan maharnya adalah dengan mengajarkan Alquran yang dihafalnya kepada istrinya. Jadi, ketika seorang akhwat meminta mahar dari calon suaminya berupa hafalan surah Ar-Rahman misalkan. Suaminya harus mengajarkan surah Ar-Rahman tersebut kepada istrinya. Tajwidnya, tafsirnya, dan faedah-faddah yang terkandung di dalamnya. Jika suaminya tidak mampu, minimal suaminya mengajarkan kepada sang istri agar sang istri bisa menghafal sebagaimana suaminya menghafal surah tersebut atau bisa membaca surah tersebut. Yang jelas harus ada pengajaran di situ, meskipun pengajaran dalam bentuk yang sangat sederhana.

Adapun tafsiran yang kedua, cukup suami menghafalkan surah itu saja. Maka itu sudah menjadi mahar. Ini merupakan penghormatan bagi mereka yang menghafal Quran. Kewajiban suami adalah membuktikan bahwa dia telah menghafalnya dengan membacakannya di hadapan istrinya. Boleh ketika akad atau setelah akad. Tafsiran kedua inilah yang sering dipahami oleh masyarakat pada umumnya.

Manakah di antara kedua tafsiran tersebut yang benar? Yang paling mendekati kebenaran adalah tafsiran yang pertama. Bahwa maksudnya mahar dengan hafalan adalah pengajaran surah yang dihafalnya untuk istrinya. Bukan sekadar membacakan atau menyetorkan hafalan saja. Tafsiran inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama.

Mengapa tafsiran pertama yang lebih benar? Berikut penjelasannya:

1. Tafsiran pertama dijelaskan pada hadits Sahal bin Sad dari jalur Zaidah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Kisahnya sama, namun riwayat dari jalur Zaidah redaksinya:

“Pergilah!, telah aku nikahkan engkau dengannya, dan ajarkan dia (surah-surah yang kamu hafal) dari Alquran!”

Berdasarkan kaidah yang disepakati oleh ahli hadits bahwasanya apabila terdapat perbedaan redaksi dalam riwayat yang sama, dan sumbernya pun sama. Dan perbedaan tersebut tidak bertentangan, maka antara redaksi satu sama lain saling menafsirkan. Ditambah lagi Zaidah bin Qudamah adalah seorang perawi yang tsiqah, maka riwayatnya pun layak diterima sebagai tafsiran bagi riwayat lainnya. Inilah yang dilakukan oleh para ulama ahli hadits. Ketika memaknai sebuah hadits tidak cukup bagi mereka melihat artinya menurut bahasa saja. Namun mereka mengumpulkan seluruh riwayat yang ada. Setelah terkumpul, di situlah akan diketahui makna suatu hadits.

2. Tafsiran pertama memiliki penguat dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya, yang redaksinya:

“Berdirilah!, ajarkan dia dua puluh ayat!, dan dia telah menjadi istrimu.”

3. Berdasarkan tafsiran pertama, sang istri mendapatkan manfaat yaitu pengajaran Quran. Sang istri bisa tau tajwid yang benar, bisa mengetahui faidah dan ajaran yang terkandung di dalam hafalan suaminya. Akan lebih bersyukur lagi jika sang istri bisa menghafal sebagaimana suaminya telah menghafal ayat tersebut. Inilah mahar dengan pengajaran dimana ada manfaat yang bisa diraih sang istri.

Pendapat ini juga yang dipegang mazhab Syafiiyah [Lihat Al-Bayan fi Mazhabil Imam Asy-Syafii 9/374].

Pengajaran tersebut layaknya seperti jasa. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa alaihissalam ketika menikah dengan putri Nabi Syuaib alaihissalam. Mahar yang diberikan adalah jasa bekerja kepada Nabi Syuaib alaihissalam selama delapan tahun. Kisah ini diabadikan Allah dalam firman-Nya:

Nabi Syuaib berkata: “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua putriku ini, dengan mahar kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu melengkapi sampai sepuluh tahun, itu terserah padamu. Aku tidak ingin membebanimu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang shalih”. [Al-Qashash: 27]

4. Adapun tafsiran kedua, penguatnya adalah pemaknaan dari sisi bahasa. Pemegang pendapat ini mengatakan bahwa (Ba) di dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa salam: bima maaka minal Quran bermakna “karena” bukan bermakna “dengan”. Jadi artinya sebagaimana berikut: “aku nikahkan engkau dengannya karena hafalan yang kamu miliki” bukan “dengan hafalan yang kamu miliki”.

5. Berdasarkan tafsiran kedua, sang istri tidak mendapatkan manfaat apapun. Sang istri hanya mendengar suaminya membaca Alquran yang dihafalkannya saja. Meskipun ada yang mengatakan, mendengar bacaan Quran itu merupakan suatu manfaat. Namun, jika dibandingkan dengan pengajaran, berapa manfaat yang bisa dirah sang istri? Sang istri berhak mendapatkan itu. Karena mahar adalah hak sang istri.

6. Ada penguat lain bagi tafsiran kedua dari hadits Ummu Sulaim radhiyallahu anha yang diriwayatkan oleh Imam Nasai rahimahullah. Bahwa ketika Abu Thalhah radhiyallahu anhu meminang Ummu Sulaim, Ummu Sulaim meminta maharnya berupa keislaman Abu Thalhah. Karena pada saat itu Abu Thalhah masih kafir. Di sini Ummu Sulaim tidak mendapat manfaat apa-apa. Jawabannya adalah bahkan Ummu Sulaim mendapat manfaat dengan keislaman Abu Thalhah. Karena dengan keislamannya dia bisa menikahi Ummu Sulaim. Hal ini karena seorang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah. Dan bagi mereka yang menafsirkan kisah Sahal dengan kisah Ummu Sulaim sanggahannya adalah penafsiran tersebut kurang tepat. Untuk apa mereka jauh-jauh mencari penafsiran dari kisah yang berbeda? Sedangkan dalam kisah yang sama sudah ditafsirkan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Kesimpulannya, tafsiran pertamalah yang lebih benar. Maka bagi ikhwan yang belum menikah, apabila calon istrinya nanti meminta mahar berupa hafalan surah tertentu. Jelaskan pada mereka bahwa yang dimaksud dengan mahar hafalan adalah mengajarkannya bukan menyetorkan hafalan. Wal Ilmu inda Allah. []

 

INILAH MOZAIK

Adakah Ambang Batas Maksimal Nilai Mahar?

HARTA mahar telah ditetapkan dalam syariat bahwa 100% menjadi hak seorang wanita. Maka besar dan kecilnya nilai mahar, juga 100% terletak di tangan seorang wanita. Kalau dia mau mahar dengan nilai tertentu, maka suami harus memenuhinya. Sebaliknya, kalau dia minta dengan nilai yang jauh lebih rendah, juga tetap merupakan haknya.

Di masa khalifah Umar, ada sedikit permintaan dari para laki-laki yang mengeluhkan betapa mahalnya tarif mahar para wanita di masa itu. Maka Umar berinisiatif untuk memberikan plafon atau angka tertinggi, yaitu 400 dirham. Sekedar perbandingan saja, harga seekor ayam di masa itu kurang lebih satu dirham. Jadi misalnya harga ayam di zaman kita 25 ribu, maka kira-kira 10 juta rupiah. Ini cuma angka kira-kira saja, sekedar bisa dibayangkan nilainya.

Maka para wanita tidak boleh memasang tarif mahar melebihi ambang batas maksimal. Tujuannya tentu baik, yaitu agar para pemuda dimudahkan untuk bisa segera menikah. Tetapi kebijakan sang Khalifah langsung diprotes mentah-mentah oleh para wanita, ketika Umar masih di atas mimbar dan belum selesai berpidato. Dalam salah satu riwayat disebutan bahwa wanita itu bernama Asy-Syifa’ binti Abdillah radhiyallahuanha, beliau mengingatkan sang Khalifah dengan dalil sebuah ayat Al-Quran:

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata? (QS. An-Nisa’ : 20)

Seketika Umar pun tersentak kaget dan berkata,”Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar”. Kemudian Umar meralat ketetapannya dan berkata, “Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak Anda”.

 

INILAH MOZAIK

Adakah Ambang Batas Minimal Nilai Mahar?

HARTA mahar telah ditetapkan dalam syariat bahwa 100% menjadi hak seorang wanita. Maka besar dan kecilnya nilai mahar, juga 100% terletak di tangan seorang wanita. Kalau dia mau mahar dengan nilai tertentu, maka suami harus memenuhinya. Sebaliknya, kalau dia minta dengan nilai yang jauh lebih rendah, juga tetap merupakan haknya.

Kebanyakan ulama juga tidak menetapkan batas minimal mahar, sehingga ada wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang rela tidak mendapatkan mahar dalam bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu waita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahar untuknya.

Dari Anas bahwa Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata,” Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya”. Maka jadilah keislaman Abu Thalhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa’i).

Hadist ini menunjukkan bahwa boleh hukumnya bila seorang wanita tidak meminta mahar sedikit pun. Walalhu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

INILAH MOZAIK

Dua Mahar Terbaik di Bulan Ramadhan

Menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Perintah puasa adalah seruan bagi orang-orang yang beriman agar menuju taraf Taqwa

HINGGA saat ini umat Islam sedang merayakan hari-hari terbaiknya bersama bulan Ramadhan.

Sebuah bulan dalam penanggalan Hijriyah yang ditetapkan sebagai bulan penuh ampunan, sarat berkah dan pahala yang dilipatgandakan.

Dalam bulan Ramadhan juga terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Layaknya kado pernikahan, seorang beriman bisa memanfaatkan bulan Ramadhan untuk menyiapkan dua mahar terbaik sekaligus.

Yaitu menghiasi Ramadhan di siang hari dengan berpuasa dan amal shaleh lainnya serta menghidupkan malam dengan shalat malam (shalat Tahajud).

Disadari, meski Allah menjanjikan keutamaan dan derajat terpuji, rupanya tak semua kaum Muslimin punya kesadaran dan kesempatan untuk melaksanakan shalat malam tersebut.

Allah berfirman;

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَّحْمُوداً

Dan pada sebahagian malam, lakukanlah shalat Tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”. (QS. Al-Isra [17]: 79).

Disebutkan, tempat yang terpuji adalah suatu tempat yang prestisius. Tempat yang hanya bisa dicapai oleh orang yang senantiasa bangun shaat Tahajud atau shalat malam.

Di saat kebanyakan orang menikmati kenyamanan tidur, orang tersebut bangun atas kesadaran iman dan takwa.

Jika dijalani secara ikhlas, semata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) niscaya terjalin kemesraan antara hamba dengan Rabb-nya.

Dengan doa-doa yang dipanjatkan, luruh semua beban kesempitan dunia yang menghimpit dada manusia beriman selama ini.

Dengan untaian doa yang dilandasi kepasrahan dan harapan tersebut, menguatkan keyakinan, bahwa tanpa rahmat dan bantuan Allah, seluruh urusan hidup menjadi susah dijalani manusia.

Sebab kekuatan ruhani dan kelapangan jiwa manusia hanya bisa disadap melalui ibadah shalat malam atau tahajjud.

Terlebih ketika orang itu ingin memenangkan pertarungan ideologi dan benturan peradaban saat ini.

Untuk itu selayaknya seorang Muslim memanfaatkan secara maksimal waktu di malam hari sebagai upaya meraih mahar terbaik di bulan Ramadhan.

Kedua, menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Perintah puasa adalah seruan bagi orang-orang yang beriman agar menuju taraf Taqwa.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

Bagi orang beriman, esensi dari berpuasa adalah meraih nilai ketakwaan sebagaimana ibadah dan syariat lainnya.

Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim menyebutkan dalam kitabnya Shahih Fiqh Sunnah, setidaknya ada dua keutamaan berpuasa.

Pertama, puasa merupakan bentuk ketaatan yang terbesar untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Seorang mukmin memperoleh pahala yang tiada batasnya atas puasa yang dilakukannya.

Dengannya dosa-dosa yang lalu diampuni, Allah, tubuhnya dijauhkan dari api neraka, jaminan memasuki surga dari pintu Ar-Rayyan, khusus disiapkan bagi orang-orang berpuasa.

Serta kelapangan hati ketika berbuka puasa dan kegembiraan jiwa saat berjumpa dengan Rabb Sang Pencipta.

Kedua, puasa menjadi pusat pembinaan akhlak terbesar. Puasa juga menjadi jihad melawan hawa nafsu dan berbagai gangguan setan.

Dengannya manusia diantar senantiasa bersabar dari hal-hal yang diharamkan atasnya. Bersabar menghadapi kesulitan, mengajarkan disiplin dan menaati peraturan, serta menumbuhkan kasih sayang, empati, dan tolong menolong yang mempererat ukhuwah sesama kaum muslimin.

Semoga setiap orang beriman senantiasa diberi kekuatan untuk menyiapkan dan meraih dua mahar terbaik tersebut selama bulan Ramadhan.*/Sri Hartati, pegiat komunitas penulis PENA Balikpapan

 

HIDAYATULAH