Mencari Jejak Utsmani di Menara Zam-zam

“Aku shalat di Lantai 10 Menara Zam-zam, sembari nunggu cowok-cowok shalat Jumat di al-Haram,” ujar Risbiani Fardaniah, wartawan Kantor Berita Antara, kepada saya Jumat (21/8) pekan lalu.

Kala itu, sudah hampir masuk waktu shalat Dzuhur. Cowok-cowok yang dimaksud, yaitu teman wartawan laki-laki yang juga tergabung dalam tim Media Center Haji (MCH) Daerah Kerja Makkah.

Menara Zam-zam sangat mudah dikenali. Jam besar menara ini dapat dilihat hampir dari seluruh penjuru Kota Makkah yang dikelilingi bukit bebatuan. ‎

Sebelum lift mengangkut kami ke lantai 10, Mbak Riris, begitu saya menyapanya–mengambil air wudhu di lantai 3 Menara Zam-zam. Saya sedang berhalangan pekan lalu, sehingga tidak ikut mengambil air wudhu untuk shalat.

Ruangan beribadah itu terletak di salah satu sudut lantai 10 Menara Zam-zam. Ruangan itu memiliki luas hampir sama dengan dua kali lapangan futsal itu. Ketika berdiri dengan posisi menghadap kiblat, semua perempuan yang shalat akan langsung melihat Kakbah beserta jamaah yang sedang tawaf.

Masuk ke ruangan ‎beribadah itu, saya bisa melihat beberapa perempuan sudah duduk menunggu waktu shalat Jumat. Sebagian memilih shalat sunnah dua rakaat.

Ada lebih banyak perempuan yang memilih mengisi waktu dengan melantunkan ayat Alquran dengan suara pelan. Ada pula  yang bercengkerama dengan ‎anak-anak yang masih berusia di bawah lima tahun.

Mendekati waktu shalat, semakin banyak perempuan yang masuk ke dalam ruangan. Seorang ibu berjalan masuk menggunakan tongkat untuk menyangga tubuhnya. Seorang perempuan lebih muda dengan sigap meletakan kursi di tempat dia akan shalat. Ada sekitar lima perempuan yang juga menggunakan ‎kursi untuk shalat.

Sebagian besar perempuan itu tampak mengenakan abaya hitam. Abaya adalah jubah berwarna hitam yang dipakai perempuan Arab Saudi ketika keluar rumah.

‎Ketika rakaat pertama hendak dimulai, saya memilih duduk di bagian belakang ruang beribadah. Setidaknya ada enam shaf di Lantai 10 Menara Zam-zam. Dua balita di sisi kiri saya tampak asyik bermain.

Terkadang, keduanya berada di dalam barisan shalat sehingga penjaga ruang beribadah harus mengangkat mereka.

Melihat perempuan-perempuan shalat, saya pun menganggap Lantai 10 Menara Zam-zam‎ sebagai ide yang brilian. Perempuan tetap bisa shalat sambil mendengarkan khutbah dari Masjidil Haram.

Saya melupakan bahwa Menara Zam-zam pernah disebut sebagai hinaan terhadap Makkah. Menara Zam-zam ‎termasuk dalam Kompleks Abraj al-Bait. Pembangunan Abraj al-Bait sempat memunculkan kontroversi karena menggusur Benteng Ajyad peninggalan Kerajaan Turki Utsmani.

Kritikan kencang ‎dilontarkan Direktur Pelaksana Islamic Heritage Research Foundation di London Irfan al-Alawi. Seperti dilansir the Guardian pada 14 November 2006 lalu.

Alawi menyesalkan banyaknya situs sejarah. Hingga sembilan tahun lalu, Alawi menyatakan tersisa kurang dari 20 bangunan yang sudah berdiri sejak era Nabi Muhammad pada 1.400 tahun lalu.

Yang menyedihkan, situs-situs tersebut berganti dengan bangunan komersial. ‎Benteng peninggalan Kerajaan Turki Utsmani berubah menjadi  hotel dan apartemen dengan kapasitas tiga ribu kamar, pusat perbelanjaan, dan parkir berkapasitas seribu mobil.

Kritikan mengenai sisa-sisa peninggalan sejarah di Makkah pun terlontar dalam percakapan. Sembari berkelakar, seseorang bilang, “Makam Nabi kalau bisa digusur pasti sudah digusur. Cuma rumah Rajadoang yang nggak bisa digusur.

Saya ikut menikmati ‘komersialisasi’ itu pun bingung untuk pemandangan. Ada banyak toko makanan dan oleh-oleh di Menara Zam-zam. Menara Zam-zam menjadi landmark pertama ketika jamaah masuk ke Makkah dari Jeddah.

Menara Zam-zam menjadi penunjuk arah atau penanda bagi ribuan jamaah yang masuk ke Masjidil Haram. ‎Bangunan yang ‘mencakar kesucian’ ibadah para peziarah di Makkah itu juga telah ‎tempat bekerja bagi beberapa warga negara Indonesia.

Saya pun menjadikan alasan Pemerintah Arab Saudi sebagai dalih keberadaan Menara Zam-zam. Pemerintah Arab Saudi beralasan penggusuran situs-situs bersejarah untuk menjaga ketauhidan Allah. Situs-situs bersejarah ‎dapat mendorong perbuatan syirik yang mencemari keesaan Allah.

 

sumber: Republika Online