Mengatasi Seret Rezeki dengan Bersedekah (2)

ADA kisah tentang sepasang suami istri yang termasuk keluarga fakir miskin. Saat sedang duduk-duduk berdua, sang istri berkata kepada suaminya, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala benar-benar telah menjadikan rezeki kita sempit dan kurang. Aku mendengar ada seorang laki-laki yang bernama Musa. Orang-orang menganggapnya sebagai seorang Nabi Allah dan doanya pasti terkabulkan.”

Sang istri kemudian melanjutkan dan berkata kepada suaminya, “Aku minta engkau pergi kepada beliau (Musa) dan mohonlah kepadanya agar berdoa kepada Allah agar melapangkan rezeki kita.” Suami itu pun akhirya bergegas pergi untuk bertemu Nabi Musa, kemudian dia meminta beliau agar mendoakan keluarganya diberi rezeki yang lapang.

Nabi Musa kemudian berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kemudian Allah berfirman kepada beliau, “Katakan kepadanya, keluarganya akan diberi tujuh tahun kehidupan yang serba berkelebihan dan melimpah harta bendanya, lalu tujuh tahun berikutnya keluarga itu akan hidup dalam kefakiran dan kesempitan rezeki. Tanyakan kepadanya, mana yang dipilih lebih dahulu? Apakah tujuh tahun menjadi kaya raya atau tujuh tahun sebagai orang miskin?”

Nabi Musa kemudian menemui Sang Suami dan menyampaikan jawaban Allah atas doanya. Nabi Musa memberikan pilihan itu kepada suami tersebut. Sebelum memutuskan apakah menjadi kaya dahulu atau miskin, suami itu ingin meminta pendapat istrinya. Dia pulang menemui istrinya.

Menurut suaminya, lebih baik menjadi orang yang miskin dahulu selama tujuh tahun. Sebab, menjalani hidup sebagai orang miskin, setelah merasakan hidup menjadi orang kaya nanti, akan terasa sangat berat untuk dijalani. Namun, istrinya menyarankan agar suaminya memilih menjadi orang kaya terlebih dahulu, setelah tujuh tahun baru mereka akan melihat bagaimana baiknya kemudian.

Suami itu akhirnya kembali kepada Nabi Musa a.s dan mengatakan bahwa keluarganya memilih menjadi orang kaya terlebih dahulu. Beberapa lama kemudian, Allah memberi keluarga itu rezeki harta benda yang mereka butuhkan; emas, perak, hewan ternak, dan segala yang menjadi keinginan mereka.

Akhirnya, tahun berganti tahun. Tujuh tahun itu pun sebentar lagi akan mereka lewati. Saat itulah, sewaktu sang istri sedang duduk-duduk bersama suaminya, dia berkata, “Suamiku, tujuh tahun menjadi orang kaya akan segera habis dan kita akan kembali menjadi orang miskin seperti dahulu. Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?”

Suaminya menjawab, “Bagaimana kalau kita menggali tanah dalam-dalam, lalu kita simpan harta benda yang berharga, emas, perak, dan permata. Nah, pada waktu menjadi miskin, kita akan mempergunakannya.”

Istrinya berkata, “Sesungguhnya Allah yang memberi kita semua rezeki ini, adalah Rabb yang Mahakuasa atas segala sesuatu dan mengetahui semuanya.”

“Lalu kita harus bagaimana?” tanya suaminya. Setelah beberapa saat berpikir, istrinya berkata, “Kita bangun saja sebuah gudang yang besar dengan empat pintu di empat penjuru arah, kemudian kita undang semua orang yang membutuhkan, agar mereka datang ke gudang itu dan mengambil semua yang mereka kehendaki.”

Akhirnya mereka menjalankan usulan sang istri. Mereka membangun gudang besar dengan empat pintu di empat penjuru arah. Semua orang kemudian diundang dan yang membutuhkan, maka dia boleh mengambil apa yang dia inginkan. Kabar itu pun menyebar ke seluruh penjuru kota, bahkan ke luar kota. Keempat pintu gudang itu pun tak pernah sepi dari orang yang keluar masuk.

Tujuh tahun telah terlewatkan, dan beberapa tahun kemudian ternyata rezeki harta sepasang suami istri itu masih ada. Kekayaan mereka tetap ada dan harta benda mereka justru bertambah. Ketika suatu hari Nabi Musa a.s melewati bangunan gudang itu, Nabi Musa bertanya, “Siapa pemilik gudang itu?” Kemudian Nabi Musa pun mengetahui bahwa itu milik sepasang suami istri yang dahulu pernah meminta didoakan agar menjadi orang yang kaya harta.

Nabi Musa kemudian bertanya kepada Allah tentang apa yang disaksikannya pada sepasang suami istri itu. Bukankah dahulu keluarga tersebut hanya diberi kekayaan yang melimpah selama tujuh tahun saja? Mengapa sampai sekarang, setelah melewati tujuh tahun dan bertahun-tahun lagi lamanya, keluarga itu belum menjadi orang miskin, bahkan hartanya semakin banyak?

Allah kemudian menjawab, “Wahai Musa, bagaimana mungkin Aku menutup satu pintu rezeki-Ku untuk mereka, sementara mereka telah membukakan empat pintu gudang hartanya untuk hamba-hamba-Ku.”

Subhanallah, kita pun rupanya agak kurang percaya dengan sabda baginda Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasalam yang berbunyi:

“Tidak ada suatu hari pun yang seorang hamba memasuki waktu pagi padanya, kecuali ada dua malaikat yang turun dari langit dan salah satunya berdoa: ‘Ya Allah, berikanlah ganti untuk orang yang berinfak.’ Dan malaikat yang lain berdoa: ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan untuk orang yang menahan infak.” (HR. Imam al-Baihaqi).*/Nur Faizin M., M.A, dikutip dari bukunya Rezeki Al-Quran-Solusi Al-Quran untuk yang Seret Rezeki.

 

HDAYATULLAH

Mengatasi Seret Rezeki dengan Bersedekah (1)

MEMBUKA pintu rezeki dengan infak atau sedekah, diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam beberapa firman-Nya, antara lain ayat:

Katakanlah: “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini: “Apa pun yang telah kalian infakkan di jalan yang sesuai dengan perintah atau diperbolehkan oleh Allah, maka Allah akan menggantinya, baik di dunia dengan ganti yang lain, sekaligus menggantinya dengan pahala kelak di kehidupan akhirat.”

Syeikh Fadhal Ilahi mengatakan: “Barangsiapa menginfakkan rezekinya, berarti dia telah melakukan syarat datangnya rezeki pengganti. Barangsiapa menahan hartanya dari infak, maka harta dunia pastilah akan habis. Orang yang menahan rezekinya dari infak, berarti dia belum menjalankan syarat untuk datangnya rezeki lain yang menjadi penggantinya.”

Tidak ada yang abadi dan kekal dari harta benda dunia. Jika boleh diibaratkan, harta itu ibarat sumur. Apabila air sumur itu diambil, maka sumbernya akan mengeluarkan air baru lagi. Apabila sumur itu dibiarkan saja, tidak mungkin juga airnya meluap sampai ke permukaan. Setiap kali rezeki diinfakkan, maka setiap kali itu juga rezeki pengganti akan menempati tempat rezeki yang lama.

Seorang pedagang yang mengetahui bahwa barang dagangannya akan membusuk dan tidak laku jika dibiarkan, pasti mendorong orang itu untuk segera menjualnya, meskipun pembayarannya masih tertunda, daripada membiarkan barang dagangan membusuk dan tidak laku. Nah, bagaimana jika ada yang membeli barang itu dengan pembayaran kontan ditambah pembayaran tidak kontan yang lebih banyak lagi? Tentunya penjual itu pasti bersedia menjualnya. Dia akan menjual barangnya kepada Allah yang menjamin pembayaran di dunia sekaligus kelak di akhirat.

Kebanyakan manusia memang tidak menyadari kenyataan di atas bahwa harta pada akhirnya akan membusuk dan hilang tanpa sisa. Kebanyakan menganggap bahwa dengan harta, manusia bisa eksis selama-lamanya. Persis seperti yang disindirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’ an:

Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (al-Humazah: 2-3)

Mereka bukanlah orang yang mengingkari kematian. Mereka tahu bahwa tidak ada manusia yang bisa hidup selamanya. Namun, sikap dan perbuatannya mencerminkan sikap orang yang tidak percaya kematian dan hilangnya harta benda. Karena itu, ketika Allah mengutarakan janji-Nya kepada kita bahwa Dia akan membukakan pintu rezeki yang baru ketika kita sudah menyedekahkan atau menginfakkan harta kita, Dia perlu menguatkan janji itu dalam beberapa cara.

Ibnu Asyur menafsirkan surat Saba’: 39 di atas dengan mengatakan: Allah menguatkan dan mengukuhkan janji untuk memberikan ganti dalam ayat itu, dengan bentuk kalimat kondisional (jumlah syarthiyyah). Allah juga menjadikannya dalam bentuk kalimat nominal (jumlah ismiyyah) dan mendahulukan subjek dengan predikat kata kerja. Semua itu menunjukkan kesungguhan janji Allah dan bahwa Dia menginginkan manusia melakukannya.

Namun, permasalahannya adalah adakah jaminan bahwa Allah akan menggantinya kontan di dunia? Inilah pertanyaan yang sering mengganggu pikiran orang. Meskipun Allah berfirman di dalam Al-Qur’ an dengan sungguh-sungguh, tapi jika belum ada jaminan kertas bermaterai enam ribu, atau belum ada akte notarisnya, sepertinya manusia masih kurang percaya. Itulah manusia di zaman modern. Mereka lebih percaya kertas bermaterai atau tanda tangan notaris, daripada firman Allah dalam Al-Qur’an yang dijamin kebenarannya.

Buktinya, ketika berinvestasi ke sebuah perusahaan atau pabrik, apakah jaminannya? Tidak lain hanya berupa kertas MoU (Memorandum of Understanding), akta notaris, atau mungkin hanya kertas bermaterai 6.000 rupiah. Dengan jaminan kertas-kertas itu, mereka percaya. Namun, ketika mereka berinvestasi kepada Allah, Rabb Pemberi rezeki di semesta raya, manusia masih membutuhkan bukti dan jaminan. Tidakkah cukup kebesaran dan kekuasaan Allah di semesta raya menjadi jaminan? Tidakkah lembaran-lembaran kertas Al-Qur’an yang di dalamnya tertulis firman-firman Allah sebagai jaminan?

Di dalam pembahasan ini, pembaca tidak perlu bingung antara bersedekah atau memberikan uang belanja untuk keluarga sebagai tanggung jawab kita, menginfakkan uang untuk pembangunan gedung madrasah, ataukah bersedekah kepada orang-orang lemah dan fakir miskin di sekitar kita. Semuanya adalah bentuk dan cara-cara untuk membuka pintu rezeki Allah yang dijamin keuntungannya oleh firman Allah yang suci di dalam Al-Qur’an.

Mengeluarkan atau menginfakkan harta yang kita miliki terkadang perlu diberikan secara terbuka kepada umat, tapi seringkali lebih baik disampaikan secara rahasia atau tertutup saja. Saat seorang mukmin perlu memberikan uswah atau teladan kepada orang lain agar mau meniru dirinya, maka sebaiknya infak itu dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh orang banyak, tanpa disertai kesombongan atau pamer (riya’).

Pada saat seseorang harus menginfakkan harta secara diam-diam, karena hal itu telah menjadi kewajiban setiap orang, maka tidak perlu rasanya dilakukan secara terbuka. Orang yang mempunyai akal cerdas dan pikiran sehat, serta berorientasi akhirat, pasti akan menimbang dengan bijaksana, apakah akan menginfakkan hartanya secara terbuka atau diam-diam. Allah berfirman:

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (ar-Ra’d: 19-22).*/Nur Faizin M., M.A, dikutip dari bukunya Rezeki Al-Quran-Solusi Al-Quran untuk yang Seret Rezeki

 

HIDAYATULLAH