Menguak Hakikat Ibadah dan Ikrar Pemurnian Ibadah

Menguak Hakikat Ibadah

Allah berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Allah menciptakan kita untuk beribadah. Apakah makna ibadah? Berikut ini kami nukilkan keterangan Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah di dalam Fath Al-Majid (hal. 17 cetakan Dar Ibnu Hazm). Beliau memaparkan sebagai berikut:

Syaikhul Islam mengatakan, “Ibadah adalah melakukan ketaatan kepada Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul.” Beliau juga menjelaskan, “Ibadah adalah istilah yang meliputi segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridai-Nya, berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibadah berporos pada lima belas patokan. Barangsiapa dapat menyempurnakan itu semua, maka dia telah menyempurnakan tingkatan-tingkatan penghambaan (ubudiyah). Keterangannya ialah sebagai berikut:

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan hukum-hukum yang berlaku dalam kerangka ubudiyah itu terbagi lima: wajib, mustahab/sunah, haram, makruh, dan mubah. Masing-masing hukum ini berlaku meliputi isi hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan.”

Al-Qurthubi mengatakan, “Makna asal dari ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan. Berbagai tugas/beban syariat yang diberikan kepada manusia (mukallaf) dinamai dengan ibadah dikarenakan mereka harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan kepada Allah Ta’ala. Makna ayat tersebut (QS. Adz-Dzariyat: 56) adalah Allah Ta’ala memberitakan bahwa tidaklah Dia menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Inilah hikmah penciptaan mereka.” Saya katakan (Syekh Abdurrahman), “Itulah hikmah yang dikenal dengan nama hikmah syar’iyah diniyah.”

Al-‘Imad Ibnu Katsir mengatakan, “Makna beribadah kepada-Nya, yaitu menaati-Nya dengan cara melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Itulah hakikat ajaran agama Islam. Sebab makna Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala yang mengandung puncak ketundukan, perendahan diri, dan kepatuhan.” Selesai ucapan Ibnu Katsir.

Beliau (Ibnu Katsir) juga memaparkan tatkala menafsirkan ayat ini (QS. Adz-Dzariyat: 56), “Makna ayat tersebut adalah sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa yang taat kepada-Nya, akan Allah balas dengan balasan yang sempurna. Sedangkan barangsiapa yang durhaka kepada-Nya, niscaya Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat keras. Allah pun mengabarkan bahwa diri-Nya sama sekali tidak membutuhkan mereka. Bahkan, mereka itulah yang senantiasa membutuhkan-Nya di setiap kondisi. Allah adalah pencipta dan pemberi rezeki bagi mereka.”

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu mengatakan mengenai ayat ini, “Maknanya adalah tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah agar mereka Aku perintahkan beribadah kepada-Ku.” Sedangkan Mujahid mengatakan, “Tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah untuk Aku perintah dan Aku larang.” Tafsiran serupa ini juga dipilih oleh Az-Zajjaj dan Syaikhul Islam.

Beliau (Ibnu Katsir) mengatakan, “Tafsiran ini didukung oleh makna firman Allah Ta’ala,

أَیَحۡسَبُ ٱلۡإِنسَـٰنُ أَن یُتۡرَكَ سُدًى

Apakah manusia itu mengira dia dibiarkan begitu saja dalam keadaan sia-sia.’ (QS. Al-Qiyamah: 36). Asy-Syafi’i menjelaskan tafsiran ‘sia-sia’ yaitu, ‘(Apakah mereka Aku biarkan) Tanpa diperintah dan tanpa dilarang?!’”

Sampai di sini keterangan yang kami nukil dari Fath Al-Majid.

Dengan memperhatikan keterangan beliau di atas, dapat disimpulkan bahwa:

Pertama: Ibadah adalah tujuan hidup kita.

Kedua: Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridai dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada Allah

Ketiga: Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya

Dengan demikian, orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan baik dengan melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan hidupnya akan terwujud. Semoga Allah memberikan taufik dan pertolongan-Nya kepada kita untuk menjadi hamba-Nya yang sejati, yang tunduk dan patuh kepada Rabb Penguasa jagad raya, bukan menjadi budak hawa nafsu dan ambisi-ambisi dunia. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Ikrar Pemurnian Ibadah

Firman Allah,

إِیَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِیَّاكَ نَسۡتَعِینُ

Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)

Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan sebagai berikut:

Ayat ini bermakna “kami mengkhususkan ibadah dan permintaan tolong tertuju hanya kepada-Mu.” Sebab didahulukannya penyebutan objek pembicaraan (Engkau, yaitu Allah) menunjukkan ada maksud pembatasan. Hakikat dari pembatasan itu adalah menetapkan suatu hukum terhadap objek yang disebutkan serta menafikannya dari segala sesuatu selainnya. Seolah-olah orang ini mengatakan, “Kami beribadah kepada-Mu dan tidak akan beribadah kepada selain diri-Mu. Dan kami juga meminta pertolongan kepada-Mu dan tidak akan meminta pertolongan kepada selain diri-Mu.” Didahulukannya (penyebutan) ibadah sebelum permintaan tolong merupakan bentuk ungkapan mendahulukan sesuatu yang bersifat umum sebelum yang bersifat khusus. Selain itu, motifnya adalah untuk menunjukkan bahwa hak Allah Ta’ala harus dijunjung tinggi di atas hak semua hamba-Nya.

Ibadah itu sendiri hakikatnya adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridai-Nya yang berupa perbuatan maupun ucapan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Sedangkan makna dari isti’anah/ permintaan tolong adalah bersandar kepada Allah Ta’ala dalam rangka meraih kemanfaatan dan menepis bahaya. Hal ini diiringi dengan kepercayaan yang kuat terhadap Allah dalam upaya untuk memperoleh itu semua.

Menunaikan ibadah kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya, sebenarnya itulah sarana untuk menggapai kebahagiaan abadi serta jalan untuk menyelamatkan diri dari segala bentuk keburukan. Oleh sebab itu, tidak ada jalan untuk menemukan keselamatan, kecuali dengan merealisasikan keduanya (ibadah dan isti’anah). Suatu ibadah baru bisa disebut ibadah yang benar apabila diambil dari tuntunan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam serta dikerjakan dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah. Dengan dua syarat itulah ibadah menjadi ibadah yang sebenarnya.

Sedangkan maksud dari penyebutan isti’anah setelah ibadah (padahal isti’anah juga bagian dari ibadah itu sendiri) adalah demi menunjukkan betapa besar kebutuhan seorang hamba terhadap pertolongan Allah dalam rangka mewujudkan semua ibadah yang dilakukannya. Sebab, seandainya Allah tidak memberikan pertolongan kepadany,a niscaya apa pun yang diinginkan olehnya tidak akan tercapai, baik dalam mengerjakan perintah maupun menjauhi larangan.

(Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39)

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78153-menguak-hakikat-ibadah-dan-ikrar-pemurnian-ibadah.html