Menutup Jalan yang Dapat Mengantarkan Menuju Keharaman adalah Seperempat Agama

Ibnul-Qayyim rahimahullah membagi perkara-perkara di dalam syari’at ini menjadi dua jenis, yaitu:

Pertama: al-Ma’murat (المأمورات), yaitu perkara-perkara yang diperintahkan.

Kedua: al-Manhiyyat (المنهيات), yaitu perkara-perkara yang dilarang.

Adapun al-ma’murat atau perkara-perkara yang diperintahkan, maka terbagi lagi menjadi dua jenis:

Pertama, al-Maqashid, yaitu perkara-perkara yang memang diperintahkan dan dimaksudkan oleh syari’at secara zatnya.

Kedua, al-Wasa’il, yaitu perkara-perkara yang diperintahkan karena ia adalah jalan yang dapat mengantarkan kepada perkara-perkara yang merupakan al-maqashid.

Contoh: Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya. Misalnya dalam firman-Nya di al-Qur’an,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Beribadahlah kalian kepada Allah, dan janganlah berbuat syirik.” [QS. an-Nisa’: 36]

Beribadah kepada Allah Ta’ala adalah perkara yang diperintahkan dan dimaksudkan oleh syari’at secara zatnya. Wajib bagi kita untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah al-maqashid.

Itu mengapa, di saat yang sama, kita juga diperintahkan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan, agar kita dapat beribadah kepada Allah dengan baik. Kita juga diperintahkan untuk mencari nafkah dan penghidupan yang layak, agar kita dapat melangsungkan kehidupan kita di dunia ini sehingga kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan baik. Ini semua adalah al-wasa’il.

Adapun al-manhiyyat atau perkara-perkara yang dilarang, maka terbagi pula menjadi dua jenis:

Pertama, al-Maqashid, yaitu perkara-perkara yang memang dilarang dan dimaksudkan oleh syari’at secara zatnya.

Kedua, al-Wasa’il, yaitu perkara-perkara yang dilarang karena ia adalah jalan yang dapat mengantarkan kepada perkara-perkara yang merupakan al-maqashid.

Contoh: Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kita untuk berbuat kesyirikan, sebagaimana pada ayat yang telah kita bawakan di atas. Ini adalah al-maqashid.

Oleh karena itu, di saat yang sama, kita juga dilarang untuk bersikap ghuluw atau berlebih-lebihan kepada para ulama’ dan orang-orang saleh. Karena hal itu adalah jalan yang dapat mengantarkan menuju kesyirikan. Kita juga dilarang untuk membangun kuburan, karena itu juga adalah jalan yang dapat mengantarkan menuju kesyirikan. Kita juga dilarang untuk mencela tuhan-tuhan dan sesembahan-sesembahan orang kafir dan musyrik, jika itu akan berujung pada celaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini semua adalah al-wasa’il.

Menutup jalan yang dapat mengantarkan menuju keharaman itu dikenal dalam literatur para ulama’ dengan istilah saddudz-dzari’ah (سَدُّ الذَّرِيْعَةِ). Karena perkara agama berdasarkan penjelasan di atas terbagi menjadi empat:

  1. al-Ma’murat yang merupakan al-maqashid,
  2. al-Ma’murat yang merupakan al-wasa’il,
  3. al-Manhiyyat yang merupakan al-maqashid,
  4. al-Manhiyyat yang merupakan al-wasa’il,

dan karena letak dari saddudz-dzari’ah adalah pada poin keempat, maka itulah mengapa Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau I’lamul-Muwaqqi’in mengatakan bahwa saddudz-dzari’ah adalah seperempat dari agama.

Ini menunjukkan betapa pentingnya untuk memperhatikan kaidah saddudz-dzari’ah ini, sehingga wajib bagi kita untuk menutup setiap jalan yang dapat mengantarkan menuju perkara yang haram. Kaidah saddudz-dzari’ah ini banyak sekali penerapannya dalam berbagai bab agama, yang insya Allah akan kami bahas dalam kesempatan berikutnya.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66509-menutup-jalan-yang-dapat-mengantarkan-menuju-keharaman-adalah-seperempat-agama.html

Pesta Hajatan, Tradisi atau Gengsi?

JIKA kita pindahkan arah pembahasan kepada pertanyaan: kenapa kita harus menggelar hajatan, kadang-kadang kurang masuk akal juga. Yang jelas, walau pun syariah Islam menganjurkan seseorang menyelenggarakan walimah pernikahan, tetapi kalau judulnya pakai menutup jalan segala, sehingga orang-orang yang lewat jadi terhalang, tentu sudah tidak lagi proporsional. Apalagi bila posisi jalan itu jalan penting dan utama, dimana orang akan kesulitan sekali kalau sampai ditutup, maka hukumnya malah jadi haram.

Selain walimah pernikahan, sebenarnya kalau cuma hajatan ulang tahun, atau khitanan anak, tidak ada keharusan untuk merayakan, apalagi sampai menutup jalan, memasang panggung hiburan di tengah jalan dan seterusnya. Semua itu kalau ada, jelas-jelas tidak berasal dari ajaran Islam. Tetapi lebih merupakan tradisi saja, yang saya sendiri agak bingung kalau harus menelusuri asal-usulnya.

Dan berdasarkan pengalaman ngobrol-ngobrol dengan para penyelenggara hajatan, ternyata banyak di antara mereka yang serba salah. Sebab yang namanya hajatan sudah pasti butuh dana besar, tidak semua orang siap membuang-buang dana besar cuma buat sekedar bikin keramaian. Tetapi di sisi lain, ada semacam rasa gengsi atau malah rasa bersalah, kalau sampai menikahkan anak misalnya, tetapi tanpa menyelenggarakan pesta besar yang sampai menutup jalan.

Seolah-olah ukuran sukses tidaknya sebuah hajatan itu diukur ditutup atau tidaknya jalanan di depan rumah. Meski ukuran ini tidak pernah ditetapkan, tetapi nampaknya ‘mazhab’ itulah yang kurang lebih dianut oleh kebanyakan warga kita. Dan ukuran ini sering dijadikan bahan obrolan tentang ukuran kesuksesan sebuah hajatan. Sangat konvensional dan kuno memang, tetapi nampaknya orang-orang suka dan senang sekali.

Pak Haji Dul di samping rumah nampak sumringah sekali seusai menyelenggarakan hajatan anaknya, sebab dia terima laporan bahwa jalanan macet panjang sampai 2 kilometer, karena ada hajatan itu. Itu berarti hajatannya sukses. Naudzubillah min zalik. Jadi ukuran suksesnya adalah kesusahan orang lain. Kalau paradigma seperti ini yang masih dianut oleh kebanyak masyarakat kita, tentu butuh proses pergantian generasi untuk membaliknya. Generasi pak Haji Dul bila sudah lewat nanti, lalu digantikan oleh generasi anak dan cucu beliau, yang semoga tidak mewarisi paradigma yang sama, tetapi sudah berubah.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, LC,.MA]

 

INILAH MOZAIK

Awas! Gelar Hajatan dengan Menutup Jalan

SAYA termasuk orang yang kurang setuju digelarnya resepsi pernikahan, kalau digelar di tengah jalan hingga sampai menutup jalanan dan orang-orang yang mau lewat jadi terhalang. Kenapa demikian? Karena ada larangan tegas dalam syariah untuk menghalangi orang yang lewat. Jangankan menghalangi, kalau saja di jalan ada aral menintang atau ada onak dan duri, kita wajib membuangnya, agar orang yang lewat tidak celaka. Dan membuang duri dari jalan itu merupakan salah satu cerminan keimanan kita kepada Allah Ta’ala.

Mungkin kalau kita menengok ke Jakarta di masa lalu, menggelar hajatan di jalan itu masih bisa saya mengerti. Sebab di masa lalu, Jakarta dan kota-kota lainnya masih sepi dari penghuni, tidak padat seperti sekarang ini. Jadi kalau ada tetangga yang sedang punya hajatan, kita ikut bergembira dan semua anggota masyarakat serta tetangga kanan kini ikut membantu dan berkorban. Dan salah satu bentuk pengorbanannya adalah merelakan jalan di kampung kita ditutup sementara, termasuk rela cari jalan berputar yang agak jauh demi sebuah hajatan tetangga.

Tetapi seingat saya, hajatan orang Jakarta tempo dulu pun juga tidak sampai menutup jalanan. Hajatan seperti itu lebih sering digelar di halaman rumah atau di lapangan terbuka. Kadang digelar panggung lenong, wayang atau layar tancep, atau apa lah jenisnya. Tetapi jalanan tetap bisa untuk orang lewat. Saya juga masih bisa memahami kalau hajatan menutup jalan itu dilakukan di kampung nun jauh di mata, dimana penduduknya sepi dan jarang-jarang. Maka begitu ada hajatan, kita semua yang jadi tetangga sekampung ikut berkorban juga. Dan tentunya malah bangga dan rela kalau sampai hajatan bisa menutup jalan tempat kita lewat.

Tetapi ketika kita bicara tentang lokasi di Jakarta yang padat, macet, jalan sempit dan frekuensi lalu lintas sangat padat, tentu lain lagi ceritanya. Apalagi yang namanya hajatan pengantinan atau sunatan, nyaris hampir setiap hari Sabtu dan Ahad digelar. Kadang bukan cuma satu tempat, tetapi bisa sampai dua atau tiga titik yang saling berdekatan. Sehingga membuat bingung para pengguna jalan, mau lewat mana lagi, karena semua jalan ditutup.

Kalau sudah begini, maka menutup jalan demi sekedar hajatan sudah tidak produktif lagi, karena sudah mengganggu sesama penduduk dan warga. Sayangnya, pihak pemerintah agak banyak membiarkan hal-hal ini terjadi begitu saja. Bahkan seringkali malah yang suka menggelar hajatan menutup jalan justru pak RT, pak RW, pak Lurah, pak Camat dan pejabat lainnya. Maksudnya, mereka yang seharusnya menegakkan disiplin, malah justru menjadi pelanggar disiplin itu sendiri.

 

INILAH MOZAIK