Menyantuni Anak Yatim pada 10 Muharram, ini Penjelasannya

Sebagian umat Islam di Indonesia ada yang menggelar tradisi dengan menyantuni anak yatim pada 10 Muharram (Hari Asyuro).

Namun apakah ada dalil sahih terkait penyelenggaraan ini, dan seperti apa hukumnya?

Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Assoc Prof H Wawan Gunawan Abdul Wahid Lc MAg, mengungkapkan dia tidak pernah menemukan hadits terkait menyantuni anak yatim pada 10 Muharram.

“(Apabila) merujuk hadits nabi itu ada peristiwa perayaan orang-orang Yahudi di Madinah itu tanda kemenangan Yahudi, Musa diselamatkan dari pengejaran Firaun. (Sementara) Nabi mengatakan ‘Kita merayakan berbeda dengan mereka pada 9-10 berpuasa’,” kata Wawan pada Rabu (11/8).

Abu Musa Radhiyallahu anhu berkata: “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu” (HR Bukhari). 

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:  “Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya”.

“Santunan di bulan apa pun bagus saja, kenapa dikhususkan 10 Muharram. Mengapa tidak dikhususkan menjelang Idul Fitri supaya orang-orang miskin bisa berlebaran juga, kenapa tidak 10 Dzulhijjah supaya orang-orang miskin bisa merayakannya juga. Semua itu dirujukkan kepada dalil. Saya belum menemukannya, wallahu a’lam, ” ucap Wawan.

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU Mahbub Maafi mengatakan, menyantuni anak yatim pada 10 Muharram merupakan hal yang baik. Terlebih lagi pahala yang didapatkan pada bulan Muharram dua kali lipat dibandingkan waktu yang lain. 

“Memang ada hadits tapi statusnya dhaif, tapi maknanya baik menurut saya. Tradisi menurut saya baik pada asyuro baik momentumnya memiliki kepedulian kepada anak yatim, tapi memberi bisa kapan saja,” ucap Mahbub 

Adapun sebuah hadits yang menjadi sandaran menyantuni anak yatim pada 10 Muharram yakni ‘Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari Asyuro’ (10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yang diusap satu derajat’. Namun hadits ini statusnya palsu.

“Yang jelas perlu perhatian kepada anak yatim, dan bukan asyuro saja, bulan-bulan lain gak ada masalah. Namun pada asyuro ini mengingatkan kita yang selama ini tidak memikirkan anak yatim. Jadi Muharram momentum saja, momentum mengingatkan orang-orang agar peduli. Tetapi ini bukan gak bisa dilakukan, ini sesuatu yang baik apa yang salah dari menyantuni,” kata Mahbub. 

Allah Ta’ala berfirman, “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS. Al-Maidah ayat tiga).

IHRAM

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim

Dalam Islam ibadah menyantuni anak yatim mendapat kedudukan yang tinggi dan terhormat. Setidaknya ada tiga kemuliaan bagi sang penyantun anak yatim.

Tiga Kemuliaan

Pertama, bersanding bersama Nabi Muhammad SAW di akhirat kelak. Siapa yang tidak ingin mendapatkan kedudukan yang dekat dengan beliau? Tentu setiap kita ingin meraihnya. Banyak orang yang bersusah payah untuk bertemu dengan artis pujaannya. Uang yang banyak tidak menjadi masalah dan bukan halangan demi memuaskan kerinduan berjumpa dengannya. Padahal, belum tentu artis yang bersangkutan mau kenal dan dekat dengannya apalagi bisa membantunya di akhirat.

Seorang muslim yang mengidolakan Nabi Muhammad pasti akan rela berkorban apa saja. Harta, waktu, dan tenaganya akan dikerakan demi bisa dekat dengan beliau. Dengan dekat kepada beliau, maka kita akan menjadi hamba yang bahagia dan mendapatkan syafaatnya.

Menyantuni anak yatim menjadi tiket masuk ke dalam surga sebelum akhirnya kita bisa duduk berdekatan dengan nabi. Rasulullah SAW telah bersabda : “Aku dan orang yang mengasuh/menyantuni anak yatim di surga seperti ini.” Kemudian beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah seraya sedikit merenggangkannya (HR. Bukhari).

Tidakkah kita ingin dekat dengan Nabi? Beruntung seseorang yang memanfaatkan harta dan kekayaannya untuk berbagi kepada anak yatim yang hidupnya kesepian karena ditinggal wafat oleh orang tuanya. Sungguh sangat bahagia seorang dermawan yang sadar akan betapa mulianya orang yang menyantuni anak yatim. Karenanya, jangan sia-siakan. Manfaatkan dengan sebaik-baiknya agar kemuliaan itu tidak hilang dari diri kita.

Kedua, melunakkan hati dan menyebabkan terpenuhi hajat. Hati yang mengeras karena penyakit yang bersarang di dalamnya dapat berubah drastis menjadi lembut dengan menyantuni anak yatim. Hati yang gemuruh penuh sesak dengan beragam kotoran sebagai akibat hidup yang penuh pikiran-pikiran picik dan licik dapat sedikit demi sedikit terobati, salah satunya, dengan melakukan santunan kepada para yatim.

Diriwayatkan dari Abu Darda` yang berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW mengeluhkan hatinya yang keras. Nabi pun bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu suka, jika hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu terpenuhi?’ Kasihilah anak yatim, usaplah kepalnya, dan berilah makan dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu menjadi terpenuhi.” (HR. Thabrani).

Jika seseorang mampu memposisikan diri sebagai ayah yang secara naluri sayang dan cinta kepadanya, lalu hal yang sama ia terapkan kepada anak yatim dengan memberi makan, membantu dan menyantuninya, maka terhimpun di dalam hatinya sarana-sarana yang bisa melembutkan hati, membasahi jiwa yang gersang, dan melunakkan nurani yang kaku.

Selain itu, menyantuni anak yatim menyebabkan hajat kehidupan mudah terpenuhi. Inilah janji Allah SWT yang disampaikan oleh Nabi SAW. Ini tentu di luar logika akal manuia pada umumnya. Secara lahir, harta yang kita keluarkan berkurang dengan menyantuni anak yatim. Namun sekali lagi ini di luar logika kita. Allah Maha Menepati janji-Nya dan tidak sekalipun melanggar janji-Nya.

Ketiga, meraih pahala salat sepanjang malam. Bangun setiap malam untuk salat dan ibadah lainnya, bagi sebagian kita, hal yang sulit. Rasa lelah dan capek kerap menjadi alasan kita berat untuk bangun malam. Belum lagi kendala-kendala lainnya, seperti udara dingin, rasa kantuk yang hebat, dan sebagainya. Rasa-rasanya, hanya Nabi Muhamad SAW yang sanggup bangun di tiap malam. Bagi beliau, bangun malam untuk ibadah adalah kewajiban.

Namun, ada kesempatan yang terbuka lebar untuk bisa mendapatkan pahala salat sepanjang malam. Amalan itu adalah menyantuni anak yatim. Inilah kesempatan emas yang dibuka lebar oleh Allah bagi siapa saja yang ingin menambah amal kebajikan dalam hidupnya. Inilah bentuk kasih sayang dan perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya. Rasulullah SAW telah bersabda, “Siapa yang menafkahi tiga anak yatim, maka seperti mengerjakan ibadah sepanjang malam.” (HR. Ibnu Majah).

Dari hadits tersebut, jika kita hitung secara matematis, menyantuni anak yatim selama sebulan, maka kita mendapat pahala selama satu bulan. Jika menyantuni anak yatim selama satu tahun atau bahkan lebih, berapa pahala Tahajud yang kita peroleh? Ringkasnya, selama seseorang menyantuni anak yatim, selama itu pula ia mendapatkan pahala tahajud sepanjang malam.

Tidak ada yang tahu kapan kita meninggalkan alam yang fana ini. Sebelum ajal tiba, sebelum matahari terbit dari barat, mari kita manfaatkan kesempatan yang luar biasa ini.

Oleh : Ali Akbar bin Aqil

 

sumber: Kiblati

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim

Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا »  وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً

Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni anak yatim, sehingga imam Bukhari mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan orang yang mengasuh anak yatim.

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

  • Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[2].
  • Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar[3].
  • Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa[4].
  • Keutamaan dalam hadits ini belaku bagi orang yang meyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu[5].
  • Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya[6].
  • Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan mengasuh anak yatim, yang ini sering terjadi dalam kasus “anak angkat”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya:

1. Larangan menisbatkan anak angkat/anak asuh kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

{ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ}

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” (QS al-Ahzaab: 5).

2. Anak angkat/anak asuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia[7].

3. Anak angkat/anak asuh bukanlah mahram[8], sehingga wajib bagi orang tua yang mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.

 وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

 

 

 

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
sumber: Muslim.Or.Id