Mungkinkah Menjadi Sufi di Era Modern?

Sebagian kalangan muslim menyangka, jalan tasawuf itu sulit dan mustahil, apalagi di era modern seperti saat ini. Bagaimana tidak, dalam tasawuf terdapat berbagai cara mendekatkan diri kepada Allah dengan beberapa ritual yang membutuhkan kesiapan jasmani dan rohani, serta butuh konsistensi.

Ada yang menempuh jalan sufi dengan berpuasa dalam rentang waktu cukup lama, setahun bahkan puluhan tahun. Beribadah di malam hari, seperti shalat sunnah, berdzikir, munajat dan ragam pendekatan diri kepada Allah yang lain. Tentu saja, cara-cara di atas sulit dilakukan oleh orang yang memiliki kesibukan karena tugas negara, mencari nafkah, dan lain-lain.

Pada sisi lain, kita sebagai umat Islam membutuhkan asupan gizi untuk mempertebal keimanan kepada Allah. Setiap umat Islam meyakini, dunia hanya sementara saja dan tujuan sebenarnya adalah akhirat. Karenanya, kesibukan apapun di dunia ini tidak boleh mengalahkan tujuan ukhrawi sebagai tujuan inti. Dengan kata lain, membersihkan diri dari perbuatan dosa, akhlak tercela, hawa nafsu jahat dan segala larangan agama harus dilatih untuk dihindari.

Jalan mendekatkan diri kepada Allah itu lazimnya adalah tasawuf. Orang yang menempuh cara tasawuf disebut “sufi”. Tapi, mungkinkah jalan tasawuf itu bisa kita lakukan saat ini?

Satu kuncinya. Jika seseorang menganggap jalan sufi itu mustahil, maka akan sulit dan ada kemungkinan Allah menutup jalan tersebut karena yang bersangkutan beranggapan mustahil. Tapi, kalau masih semangat jalan itu akan terbuka lebar, sebab siapapun memiliki potensi untuk menjadi seorang kekasih Allah.

Syaikh al Imam Tajuddin bin ‘Athoillah as Sakandari dalam kitab tajul arusy nya, mengatakan:

من فاته كثرة الصيام والقيام أن يشغل نفسه بالصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم. فإنك إن فعلت في جميع عمرك كل طاعة ثم صلى الله عليك صلاة واحدة رجحت تلك الصلاة الواحدة على كل ما عملته في كل عمرك كله من جميع الطاعات لأنك تصلى على قدر وسعك وهو يصلى على حسب ربوبيته

“Bagi seseorang yang sering meninggalkan puasa dan ibadah malam, hendaknya menyibukkan diri dengan membaca solawat kepada Rasulullah SAW. Sesunggunya, jika engkau melakukan segala ketaatan disepanjang umurmu, lalu Allah bershalawat kepadamu denga satu shalawat saja, tentu, hal itu mengungguli segala bentuk ketaatan yang telah engkau lakukan disepanjang umurmu dengan berbagai macam ketaatan. Sebab engkau bershalawat dengan kadar kemampuanmu, sementara Allah bershalawat atas dasar sifat ketuhannanya”.

Ada hal mendasar yang menjadi pijakan ungkapan di atas bahwa shalawat memiliki keampuhan luar biasa sebagai wasilah mendekatkan diri kepada Allah.

Pertama, banyak sekali hadits-hadits Nabi yang menjelaskan keutamaan bersolawat. Paling masyhur adalah hadits yang di riwayatkan oleh imam muslim sebagaimana berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى الله عَلَيْهِ عَشْرًا»

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang bershalawat satu kali kepadaku, Allah akan bershalawat sepuluh kali kepadanya”. (HR. muslim).

Imam Ghazali, mengutip hadits di atas di dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin, mengatakan:

فهذا جزاءه في الصلاة عليه بلسانه فكيف بالخضور لزيارته ببدنه

“Ini (satu shalawat dibalas sepuluh rahmat) adalah balasan bagi orang yang hanya bersolawat dengan lisan saja”.

Tentu, menurut al Ghazali, ada nilai istimewa membaca shalawat dengan khusuk, membayangkan nabi hadir. Nilai istimewa tersebut sebanding dengan janji pahala yang disematkan dalam shalat tahajjud sekalipun. Apalagi dengan redaksi “asaa an yab’astaka robbuka maqomam mahmuda”. Pahala yang dijanjikan dalam shalat tahajjud menggunakan lafad ” ‘asaa” yang maknanya ” barangkali.

Kedua, keberuntungan seseorang kelak di akhirat tidak ditentukan oleh seberapa banyak amalnya, bahkan Nabi juga demikian, tidak dijamin masuk surga lantaran amalnya, melainkan karena rahmat Allah sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ» قَالَ رَجُلٌ: وَلَا إِيَّاكَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «وَلَا إِيَّايَ، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ، وَلَكِنْ سَدِّدُوا»،

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW sesungguhnya beliau bersabda: “Tidaklah amal seseorang bisa menyelamatkan salah satu diantara kalian”. Berkata seseorang, dan tidak juga engkau?  Wahai Rasulullah. Nabi berkata: “tidak juga saya!”, kecuali Allah melindungiku dari amal itu dengan rahmatnya. Akan tetapi, bersungguh-sungguhlah kalian semua”. (Muttafaq ‘alaih)

Dengan demikian, masih terbuka jalan mendekatkan diri kepada Allah, menjadi sufi dan menjadi kekasih Allah sekalipun di era yang menuntut banyak aktifitas seperti saat ini. Caranya adalah banyak membaca shalawat kepada Rasulullah.

Hal ini tidak berarti menyepelekan amal ibadah layaknya yang ditempuh para sufi. Media para sufi tetap menjadi prioritas utama karena disitu juga terdapat amalan bershalawat kepada Nabi. Memperbanyak membaca shalawat dikhususkan bagi mereka yang memiliki banyak kesibukan. Sehingga menjadi alternatif terbaik untuk tetap mendekatkan diri kepada Allah di tengah kesibukan tersebut.

ISLAMKAFFAH