Membicarakan Fatwa “Musik Haram” di Indonesia

Dulu pada tahun 1992, Kelompok Tarbiyah–embrio PKS–juga pernah punya fatwa musik haram. Tercatat seorang simpatisannya, AA yang dikenal sebagai mantan gitaris band cadas mengkampanyekan gerakan anti musik. Melalui Majalah Sabili selama 3 bulan berturut-turut, kampanye anti musik disampaikan dalam berbagai bentuk, yang popular adalah opini dan stiker.

Di dalam kegiatan-kegiatan tabligh akbar, para da’i tarbiyah menyampaikan pesan bahwa ada alternatif hiburan selain musik, yaitu nasyid. Maka, mulailah judul-judul nasyid seperti muwahidun ana (Tuhan Saya Satu), ghuraba (Orang-Orang Terasing) dan Addinu lana (Agama Milik Kami) popular di kalangan pengikut Tarbiyah. Grup-grup nasyid pun bermunculan menjadi idola baru menggantikan band dan penyanyi ternama.

Memasuki tahun 1993, kejenuhan terhadap nasyid mulai muncul. Suara-suara koor yang menjadi mainstream hiburan rupanya dianggap kurang membangkitkan selera. Fatwa tentang alat musik yang halal pun digali, setelah sebelumnya para asatidz tarbiyah mengharamkan semua jenis alat musik.

Namun sikap itu berubah, begitu grup nasyid Hamas Palestina mengintroduksi penggunaan kendang. Ritme nasyid al-Qudsu lanā (al-Quds Milik Kami), terdengar enerjik, dengan hentakan ritmis pukulan rebana. Kepala anak-anak muda tarbiyah pun mengangguk-angguk mengikuti lantunan nasyid al-Qudsu lana. Gairah jihad dan melawan Israel pun bangkit membakar “al-Qudsu lanā”, begitu teriak seorang pengurus Rohis sebuah SMA Negeri merespon ajakan vokalis utama sebuah grup nasyid.

Namun, hiburan nasyid yang lebih bernuansa kearaban itu ternyata tidak bisa menghibur hati para aktivis tarbiyah yang masih belum bisa move on dari Lionel Richie, New Kids on The Block, Taylor Dane, dan bahkan Madonna. Beberapa aktivis tarbiyah, kedapatan mencuri-curi kesempatan mendengarkan Electric Youth-nya Debbie Gibson meskipun baru saja mendengarkan fatwa haramnya musik dari sang murabbi.

Melihat situasi itu, sekelompok mahasiswa UI yang berasal dari Fakultas Sastra dan Fakultas ISIP menawarkan solusi kejenuhan itu. Mereka menamakan diri sebagai Senandung Nasyid dan Dakwah (SNADA). Solusi hiburan yang mereka tawarkan adalah hiburan pop tanpa alat musik, tapi serasa mendengar musik atau dinamakan acapella. Para murabbi pun agak kesulitan menyikapi tawaran hiburan dari Snada ini. Mau memberi fatwa haram, tidak ada alat musik yang dipakai. Membiarkan nasyid-nasyid SNADA dinikmati para mad’u (peserta tarbiyah), tapi seperti menikmati musik. Sebuah pilihan yang memang sulit disikapi waktu itu.

Waktu membuktikan bahwa sajian nasyid SNADA ternyata mendapat sambutan hangat dari aktivis tarbiyah. Seperti ada kerinduan yang terbayar akibat fatwa haram musik. Nasyid-nasyid SNADA banyak yang meniru total irama slow pop boyband Amerika, seperti All for One atau Peabo Bryson.

Judul-judul nasyid dan lirik nasyid pun dibuat semenarik mungkin. SNADA mencoba meramu materi-materi tarbiyah ke dalam sajian yang cozy menurut masanya. Sebagai contoh, tema ikhlas disajikan ke dalam syair, just giving once but you’re telling everyone you meet. Just giving once, every body has known what you did, dan seterusnya.

Dengan pendekatan yang kekinian itu, Snada mampu menjangkau penggemar dari kalangan muda di luar kelompok tarbiyah. Dan hasilnya, tidak sedikit para penggemar Majalah ANEKA, ANITA dan GADIS yang merapat mengaji ke kelompok tarbiyah.

Memasuki tahun 1994, kelompok Darul Arqam merilis genre baru nasyid. Memanfaatkan fatwa bolehnya penggunaan kendang dan rebab, nasyid-nasyid Darul Arqam mulai meramaikan penjualan kaset-kaset nasyid di Jakarta. Alunan irama orang Melayu dan diiringi pukulan rampak kendang, membuat nasyid Darul Arqam ini laksana dangdut Islami. Tentu, para mantan penggemar Rhoma Irama, Asep Irama, Meggy Z, Hamdan ATT, Mara Karma dan Mansyur S, yang telah berhijrah menjadi akhi dan ukhti serasa diajak kembali bernostalgia mendengarkan rampak nasyid grup Arqam ini.

Di perjalanan tahun 1994, sekelompok mahasiswa UI membentuk grup nasyid yang diambil dari nama Musholla di FMIPA, Izzatul Islam. Grup nasyid menawarkan genre sendiri yang merupakan campuran dari genre Arab dan Mars ala Masyumi.

Cukup lama fatwa haramnya musik tidak lagi diperdengarkan di kalangan tarbiyah. Kesibukan menghadapi transisi politik pada tahun 1998 telah menyita banyak energi. Sehingga perhatian terhadap haramnya musik perlahan dilupakan.

Pada akhir 1998, kelompok tarbiyah bertransformasi menjadi partai politik. Nama Partai Keadilan pun diambil untuk menegaskan misi politik yang diusung. Sebagian kalangan menilai penamaan itu mengikuti partai yang didirikan Nechmetin Erbakan, AKP, yang menjadi bench-mark gerakan politik.

Kehidupan politik, memaksa kelompok tarbiyah untuk mengikuti preferensi pasar politik, yaitu meraih dukungan sebanyak-banyaknya dari konstituen. Tuntutan ini dalam perkembangannya berimbas pada sikap fikih kelompok yang dulu dikenal kaku. Termasuk dalam persoalan musik.

Seperti dugaan sementara kalangan, bahwa pasa satu waktu kelompok tarbiyah akan mengubah fatwanya ke arah menghalalkan musik. Dugaan itu terbukti ketika pada tahun 2007, ketika perhelatan PILKADA, PKS yang merupakan kelanjutan dari PK, mengundang grup band untuk meramaikan kampanye Adang-Dani, Pasangan Cagub-Wagub yang diusung PKS.

Fatwa musik haram itu makin tenggelam. Cukup lama, fatwa haram itu hilang, kini muncul fatwa repro. Dengan dalil yang sama tapi tanpa alternatif. Kali ini fatwa haram itu dibangkitkan kelompok Salafi, yang sebagian motornya adalah para mantan aktivis tarbiyah yang kecewa terhadap PKS. Apakah fatwa musik haram akan bertahan lama ataukah bak cendawan di musim hujan? Kita lihat saja.

BINCANG SYARIAH

Habib Husein Ja’far; Musik Haram Itu, Suara Sendok dan Garpumu Ketika Makan, Sedangkan Tetanggamu Kelaparan

Musik sedang ramai dibicarakan nitizen Indonesia. Pembahasan itu sempat viral di Twitter Indonesia. Bertengger dipuncak.  Topik itu dipergunjingkan nitizen, tak terlepas dari video yang mempertontonkan belasan santri yang menutup telinga ketika mendengar musik. Konon, para santri ini sedang mengikuti acara vaksinasi. Dan tak ingin mendengar alunan musik tersebut.

Sebagai orang yang pernah nyantri, toh tindakan itu hal yang lumrah terjadi. Terutama di kalangan pesantren tradisional, terlebih di bawah asuhan pesantren Salafy. Juga belakangan muncul fakta, bahwa para santri yang tak mau mendengar musik itu adalah para penghafal Al-Qur’an. Yang merasa terganggu dan akan berpengaruh pada hafalannya.

Dalih ini tentu bisa diterima. Dan sekali lagi, hal itu biasa di kalangan pesantren. Lebih dari itu, banyak pondok pesantren yang tak membolehkan menggunakan handphone. Tak boleh memakai hetset. Tak diizinkan main Game. Tak diperkenankan mendengar musik. Dilarang keras menonton sinetron dan film. Televisi adalah benda haram.

Terkait musik, banyak pondok pesantren yang menerapkan aturan untuk tak mendengar musik. Terutama yang beraliran keras. Dan juga yang mengandung lirik yang tak mendidik. Dan jauh dari nilai islami. Fakta itu tak terbantahkan. Itu  berseliweran di pelbagai pondok pesantren diIndonesia.

Lantas kemudian persoalan kian menjauh, timbul persoalan yang menyebutkan itu pertanda radikal. Tak mau mendengar musik itu radikal. Yang menutup telinga itu radikal. Padahal musik itu bagus untuk ketentraman jiwa. Ini disuarakan oleh pelbagai pesohor. Mulai dari politisi, buzzer, musisi, dan tentu para nitizen.

Meskipun ada juga yang membela, bahwa tidak mendengar musik bukan berarti radikal. Pembelaan ini,  terbilang sangat wajar. Pasalnya, seperti tertulis di atas itu hal yang biasa dialami pelbagai orang—terutama yang pernah berkecimpung dalam dunia pesantren, tradisional. Nah menuduh mereka radikal, terbilang perbuatan yang tak berdasar.

Musik Menurut Habib Husein Ja’far Al Hadar

Terlepas dari perdebatan hangat itu—musik halal atau musik haram, atau tak mendengar musik berati radikal—, ada satu stetmen menarik yang diungkapkan oleh Habib Husein Ja’far Al Hadar.terkait musik haram. Habib Husein menuturkan bahwa musik yang haram itu adalah adalah suara sendok dan garpu dari orang yang sedang enak makan,  sedangkan tetangganya dalam kelaparan.

“Musik haram, kalau suara sendok dan garpu mu ketika makan, sedangkan tetangga mu kelaparan,” begitu katanya. Tentu Habib dalam hal ini mengomentari pendapat mereka yang menganggap musik itu haram. Toh, banyak juga yang menganggap musik itu haram. Mendskreditkan posisi musisi. Menganggap itu hina, sebab membawakan pada dosa.

Padahal pada dasarnya, menurut Habib Islam itu dekat dengan nilai-nilai kesenian. DalamAl-Qur’an dikatakan Allah itu indah, dan menyukai keindahan. Azan misalnya, kata Rasul harus disampaikan dengan cara yang indah. Hal itu menunjukkan, sahabat Nabi yang ditunjuk jadi muazzin adalah Bilal bin Rabbah.  Sebab Nabi memperhatikan nilai estetika dan keindahan suara Bilal.

Meski demikian, Habib Husein mengigatkan dalam bermusik ada valeu,  yang harus dijaga. Jangan sampai nilai yang ditonjolkan dalam musik itu mengandung hal yang buruk. Sejatinya, musik itu mengandung kebenaran,kebaikan dan keindahan. “Bila mengabaikan itu, bisa jadi jatuh pada yang haram,” jelas Habib dalam kanal Youtube Jeda Nulis.

Titik persoalannya di value musik, bukan sebab bermain musik dan alat musik. Inilah yang harus diperhatikan oleh para musisi dan orang yang bermain musik. Nilai yang ada dalam musik harus diperhatikan.

BINCANG SYARIAH

Musik dan Nyanyian dalam Islam

Pada umumnya, anak-anak akan lebih cepat dan dapat menerima pelajaran jika dilakukan dengan riang gembira, apalagi jika dengan penuh irama yang bersemangat. Maka sebagaimana yang kita telah ketahui, banyak sekali TK atau PAUD atau Play Group yang menggunakan metode bernyanyi untuk membuat anak-anak senang belajar.

Namun, pada beberapa kalangan, terjadilah perbedaan pendapat dalam masalah hukum nyanyian dan musik. Ada sebagian yang mengatakan bahwa seluruh nyanyian dan musik itu haram, ada juga yang mengatakan bahwa nyanyian dan musik itu tidak haram, ada yang mengatakan nyanyian dan musik Islami itu boleh, dsb.

Syaikh Muhammad Jamil Zainu dalam kitabnya “Kayfa Nurabbiy Awlaadanaa Attarbiyyah Al-Islamiyyah Ash-Shahiihah” mengatakan:

Nyanyian yang diperbolehkan dalam Islam adalah sebagai berikut:

1. Nyanyian pada hari Raya ‘Idain (Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha). Dalilnya adalah pada hadits ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemui ‘Aisyah dan disana ada dua orang budak perempuan kecil yang memukul-mukul rebana, maka Abu Bakar membentak keduanya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkanlah mereka, karena setiap kaum memiliki hari raya, dan hari raya kita adalah hari ini,”. (HR. Bukhari)

2. Nyanyian dan rebana pada saat pernikahan. Dalilnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pemisah antara yang halal dan yang haram adalah pukulan rebana dan nyanyian pada saat pernikahan (nyanyian hanya untuk anak perempuan saja),”. (Hadits shahih riwayat Ahmad).

3. Syair Islami pada saat bekerja yang dapat memberikan semangat saat bekerja. Apalagi jika di dalamnya terdapat do’a. Dalilnya adalah hadits Imam Bukhari dan Muslim tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mencontoh perkataan Ibnu Rowahah dan memberikan semangat bagi para sahabat yang menggali parit dalam perang Khandaq.

4. Nyanyian atau syair yang didalamnya terdapat tauhid atau pengesaan terhadap Allah, ungkapan kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, semangat jihad, semangat untuk saling tolong-menolong dan mencintai sesama muslim, dan syair lainnya yang bermanfaat untuk akhlak dan agama.

5. Alat musik yang diperbolehkan hanyalah rebana. Dengan catatan, itupun hanya diperbolehkan digunakan saat hari Raya dan pernikahan. Juga dimainkan oleh anak-anak perempuan yang masih kecil. Dan tidak boleh, -perhatikan- tidak boleh menggunakan rebana atau alat musik lainnya untuk berdzikir, sebagaimana orang-orang sufi menggunakannya untuk berdzikir dan menganggapnya sunnah. Padahal hal tersebut adalah bid’ah selama-lamanya.

Sebagai seorang Muslim, tentulah nyanyian jangan sampai membuat kita terlena dan hanya terfokus pada belajar dengan metode bernyanyi saja. Dan kalaupun kita menyukai nasyid, pilihlah nasyid-nasyid yang tidak melenakan dan tidak menggunakan musik yang tidak diperbolehkan.

Semoga kita sebagai Muslim lebih banyak menggunakan waktu kita untuk membaca, mempelajari, dan menghafalkan Al-Qur’an.

Wallahu Ta’ala a’lam.

 

sumber: Fiqih Wanita