Hari Perayaan Mualaf di Belanda

Pada Maret 2013 menjadi spesial bagi Muslimin Belanda. Mereka berkumpul mengadakan petemuan untuk menyambut saudara yang baru saja mendapat hidayah. Mereka menyebutnya sebagai hari perayaan untuk para mualaf.

Acara bertajuk “National Converts Day of Dutch Muslim” tersebut dihadiri banyak Muslim. Ruang pertemuan di Blue Mosque Amsterdam pun dalam sekejap menjadi sangat ramai. Dengan wajah berseri, Muslimin Belanda saling bersalaman dan menyapa.

Acara ini bukan ajang perekrutan para mualaf. Namun, hari itu memang spesial karena terdapat sembilan orang yang memutuskan untuk bersyahadat. Muslimin pun berdatangan untuk mengenal siapa sembilan saudara baru mereka.

Seorang pria tua, Hans (72 tahun), tampak girang. Ia merupakan satu dari sembilan mualaf yang baru saja memeluk Islam. Warga asli Belanda ini mengucapkan syahadat saat acara berlangsung.

Ia pun merasa sangat tersambut dan diterima dengan baik. Ia merasa memiliki banyak saudara baru seiman. “Hari ini saya sangat senang,” ujarnya dengan senyum berkembang dan mata berseri, seperti dikutip kantor berita KUNA.

Hans mengatakan, ia jatuh hati pada Islam setelah melihat kehidupan keluarga anaknya. Anaknya menikah dengan seorang wanita Tunisia delapan tahun lalu, kemudian memeluk Islam setelah mengenal indahnya agama sang istri. Ia bersama istrinya hidup damai dalam keluarga Muslim. Hans pun begitu terpesona dengannya.

“Saya sangat terkesan ketika saya melihat bagaimana anak saya dan istrinya begitu damai dan berdoa kepada Allah meminta solusi dan bantuan kepada Tuhan,” katanya.

Terinspirasi dari kehidupan sang anak, Hans bersyahadat. Ia sangat gembira ikut serta dalam perayaan para mualaf tersebut. Ia pun bertekad akan terus mempelajari agama Islam dengan bantuan saudara barunya. Meski usianya telah lanjut, ia tetap bersemangat mempelajari agama. “Saya akan terus mencoba untuk memahami Islam lebih dan lebih, saya akan mempelajari Alquran dan menghadiri kuliah,” ujar Hans.

Acara mualaf nasional ini merupakan yang keenam kalinya dihelat Muslimin Belanda. Bergabung di sebuah Discover Islam Foundation, mereka menjalin kerja sama dengan platform nasional untuk mualaf Belanda. Lebih dari seribu orang menghadiri acara tersebut. Seorang tokoh Muslim Amerika, Yusuf Estes, menjadi pembicara. Seorang mualaf Yunani, Hamza Tzortzis, serta warga Saudi pendaki Gunung Everest pertama, Farouk Al Zouman, juga ikut mengisi kemeriahan acara.

Juru bicara acara Jacob von der Blom mengatakan, jumlah mualaf warga asli Belanda memang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2012 terdapat 15 ribu mualaf, tahun sebelumnya sekitar 12 ribu mualaf.

Belanda menjadi rumah bagi 946 ribu Muslimin. Jumlah tersebut mencapai 5,7 persen dari total populasi Negara Kincir Angin tersebut. Meski minoritas, Muslimin hidup nyaman di sana. Jumlah Muslimin Belanda pun termasuk 10 besar Muslim terbesar di Eropa.

 

REPUBLIKA

Polisi Belanda Akhirnya Diperbolehkan Kenakan Jilbab

Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Belanda sebelumnya menyatakan petugas polisi wanita Muslim tidak diizinkan untuk mengenakan jilbab saat berseragam. Menurut hukum Belanda, petugas polisi dilarang memakai simbol keagamaan saat bertugas dengan alasan mereka harus tampil netral.

Namun petugas polisi Rotterdam, Sarah Izat, mengajukan pengaduan pada Mei lalu terkait larangan penggunaan jilbab bagi polisi. Ia mengatakan larangan tersebut bersifat diskriminatif terhadapnya dan menghambatnya untuk maju dalam karir

Sementara rekan non-Muslimnya diizinkan untuk mengenakan seragam polisi, perwira berusia 26 tahun itu hanya bisa mengenakan pakaian biasa jika dia ingin mengenakan jilbab. Namun, pada Senin (20/11), Komisi HAM Belanda memberikan keputusan yang tak terduga.

Menurut Komisi itu, dalam kasus Izat, larangan penggunaan jilbab tidak dapat dibenarkan. Terlebih Izat melakukan pekerjaannya di meja kerja, yang hanya mengharuskannya menerima keluhan warga melalui saluran telepon.

“Ketika dia berbicara di telepon, warga sipil tidak dapat melihatnya. Melarangnya [mengenakan jilbab] tidak menunjukkan sikap netral. Polisi telah membuat perbedaan terlarang atas dasar agama,” kata Komisi tersebut.

Komite juga menolak klaim yang tidak berdasar dari polisi nasional, bahwa jilbab dapat membahayakan keselamatan pribadi Izat.

Komisi HAM Belanda adalah badan pengawas independen yang bertugas untuk melindungi HAM di Belanda. Semua keputusannya tidak mengikat, sehingga polisi dapat memutuskan apakah akan mematuhi atau tidak. Keputusan tersebut juga hanya berlaku untuk kasus Izat dan tidak membahas masalah jilbab atau simbol keagamaan lainnya yang dipakai petugas polisi.

“Kami menerimanya jika Komisi telah membuat keputusannya sedikit lebih luas, tapi kami puas dengan keputusan ini”, kata Betul Ozates, pengacara Izat, kepada Aljazirah.

“Saya harap ini akan memotivasi polisi untuk mengubah kode etik yang sekarang melarang anggotanya untuk memakai jilbab. Klien saya telah melakukan pekerjaannya selama berbulan-bulan sambil mengenakan jilbabnya. Dia hanya tidak diizinkan untuk memakai jilbab dengan seragamnya,” tambah Ozates.

“Dia lebih dari mampu melakukan pekerjaannya saat mengenakan jilbab, jadi kami merasa ia harus mengenakan seragam saat dia melakukan pekerjaannya, seperti rekannya,” paparnya.

Di Twitter, Izat menanggapi keputusan tersebut dengan mengatakan, “Kami menang! Komisi telah memastikan saya berhak mengenakan seragam dan jilbab. Keputusan ini sangat berarti dan kemenangan ini adalah milik kita semua!”

Berbicara kepada Aljazirah, seorang juru bicara polisi mengatakan polisi akan mempertimbangkan keputusan tersebut. “Polisi ingin menjadi organisasi yang netral, karena itulah kami mempertimbangkan keputusan Komisi secara serius. Netralitas akan tetap menjadi aspek kunci dari kerja polisi,” kata dia.

 

REPUBLIKA